PASCA OPERASI

1.9K 28 8
                                    

PASCA OPERASI

            Hega mulai tersadar. Ia melihat ke sekelilingnya. Awal membuka mata, semuanya terlihat buram. Kepalanya terasa pusing. Perutnya terasa kram dan membuatnya sesak nafas di saat ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Dan ia tidak bisa merasakan bagian lehernya ke bawah… mati rasa. Ia sadar kalau ia baru saja mengalami kecelakaan… Hega melihat Raymond mendampinginya sepanjang perjalanan dari lokasi kecelakaan hingga ke ruang UGD. Didengarnya samar-samar bahwa dokter meminta persetujuan pihak keluarga untuk mengoperasinya setelah melakukan pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan lanjutan MRI. Dengan wajah panik, Raymond mendekati Hega yang masih berbaring di salah satu ranjang di ruang gawat darurat. “Bu… apa Ibu punya saudara?”

Hega mencoba menggelengkan kepalanya. Tapi tidak bisa. Ia mencoba menggelengkannya sekali lagi. Tapi lehernya tetap tak bergeming. Hega menarik nafas sejenak untuk tetap tenang. Ia menyahut, “Saya... masih punya... tante dua... orang... Tapi yang satu ada di Fiji... Yang satu lagi di Finlandia... Apa... kata dokter?”, sahut Hega perlahan-lahan.

Raymond sedikit merunduk dan terlihat sangat cemas. Tapi ia tak berlama-lama lagi untuk segera memberikan jawaban. Terlihat jelas dalam ketergesaannya, bahwa keadaan Hega tampaknya akan sangat tidak menyenangkan… Hega menarik nafas sekali lagi saat mendengar Raymond memberi jawab padanya. “Bu… dari hasil pemeriksaan MRI,,, tulang Belakang Ibu hancur di lima bagian dan menjepit urat saraf Ibu. Apa Ibu ngerasa mati rasa dari leher ke bawah? Kata dokter, ibu mengalami kelumpuhan. Dan harus segera di operasi… kalo enggak, Ibu bisa gak selamat… Butuh operasi besar buat mengangkat hancurnya tulang-tulang yang hancur itu… Ijin dari pihak keluarga sangat dibutuhkan, Bu… duh, gimana ya…” Raymond semakin terlihat panik. Hega menarik nafas. Setelah mengalami tiga kali kecelakaan… ia merasa tidak heran kalau akhirnya ia mengalami sesuatu yang fatal juga… Ia menarik nafas, lagi dan lagi… dan merasakan sesak juga kram pada perutnya. Kepalanya semakin pusing. Takut hilang kesadaran, cepat-cepat dipanggilnya Raymond untuk mendekat. Karena untuk berkata-kata saja, ia sudah merasa lemas… “mon…”

            “Ya, bu…” Raymond mendekat dan menyahut seperti selayaknya anak yang penurut. Ia terus memandangi Hega dengan tatapan mata yang begitu sedih…

            “Bi…”, Hega menarik nafas lagi. Kepalanya semakin terasa pusing. Dan pandangannya semakin kabur. “Bilang sama dokter”, Hega berusaha keras meneruskan kalimatnya, “Saya gak bisa gerakkan tangan saya. Tapi pakai cap jari tangan aja untuk persetujuan operasi… tolong bantu ya, mon…”

            “Iya, bu.” Raymond bergerak cepat melapor pada pihak administrasi Rumah Sakit Husada. Tak lama kemudian, seorang perempuan berseragam suster, muncul dengan cepat membawa bantalan tinta untuk stempel dan surat persetujuan operasi. Dengan sigap dan cekatan, si suster bergerak cepat membantu melekatkan jemari Hega pada bantalan tinta dan memindahkan jemarinya ke atas kertas persetujuan operasi. Setelah cap tertera dengan baik, beberapa suster lain pun muncul dan langsung membawanya ke ruang operasi. Semua tampak begitu tergesa-gesa. Hega berharap hidup. Ia berharap masih bisa memastikan keadaan Antonius baik-baik saja sekalipun ia tak bisa memiliki Antonius.

Hega tak tahu sudah berapa lama ia tak sadarkan diri akibat efek obat bius. Tapi yang ia sadari sekarang,,, begitu banyak selang-selang melintang di tubuhnya. Ia masih tidak bisa menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tapi ia bisa melihat dari pantulan kaca jendela di hadapannya, ada lima orang lainnya yang seruangan dengan dirinya. Hega berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi, sakit dan kram menyerang perutnya. Nafasnya pun terganggu. Kepalanya pun masih merasa pusing… Ia tidak bisa merasakan bagian tubuhnya dari leher hingga ke bawah. Ia melirik dengan sudut matanya… mendapati kantong untuk menampung air seni yang tergantung di ujung selang kateter. Ia tidak bisa merasakan apapun. Ia pernah di rawat beberapa kali karena mengalami dua kecelakaan mobil sebelumnya dan pernah mengenakan selang kateter itu di saluran air seninya. Dan biasanya... ia akan merasakan hentakan pada perut bagian bawahnya seperti layaknya orang yang mengejan, seolah-olah mengalami kesulitan buang air kecil. Tapi kali ini, ia tidak bisa merasakannya. Tidak bisa merasakan apapun. Selain kram pada perut dan sesak pada pernafasannya. Lidahnya juga terasa dingin, kelu dan pahit. Mulutnya terasa begitu lengket dan bergetah.

Hega berusaha menggerakkan badannya lagi. Ia mengusahakannya dengan begitu keras. Tapi ia tidak berkuasa sedikitpun untuk menggerakkannya. Sekali lagi, ia merasakan sakit dan kram pada perutnya. Kepalanya pun tetap saja merasakan pusing yang membuatnya tidak nyaman untuk membuka mata berlama-lama. Hega memejamkan matanya cukup lama hingga mendengar suara Raymond menyapanya.

“Bu…”

Hega membuka matanya. Ia melihat senyum Raymond terkembang sedikit. Sedikit bercampur dengan kecemasan.

            “Ayi… yajii… jadiiii”, Hega mulai buka mulut. Ia harus berbicara dengan susah payah untuk berbicara dengan adanya selang sonde yang tersangkut ke dalam mulutnya,,, yang terus menjalar masuk hingga ke kerongkongan dan ke lambungnya. “Ekayang, aya umpu. Api a’pa ata okeh, mon?”

Raymond mengerti kalau Hega menyadari kelumpuhannya dan menanyakan apa kata dokter.

Raymond merunduk. “Ibu harus di terapi… Urat saraf Ibu udah di benerin dan tulang-tulang yang ancur juga udah di angkat semua. Dokter pasang alat selsil yg kanan kirinya ada kawat penyangga buat menjaga keseimbangan badan… Ibu harus di fisioterapi… kata dokter sih, gak permanen, bu… mungkin sekitar lima bulan… tapi kalo penanganannya tepat…” Lalu Raymond memaksakan senyumnya terkembang lebih lebar, “Hey! Tapi toh, lima bulan itu singkat kok, bu…” Raymond berusaha membesarkan hati Hega.

Tak lama kemudian, seorang suster muda melangkah masuk ke dalam kamar tempat Hega terbaring. Ia memberi senyum dan menyapa Hega dengan hangat. “Eh… udah bangun… ada yang di rasa gak enak, mbak?”, tanya si suster.

Hega merasa tidak nyaman dengan mulutnya. Terasa lengket dan bergetah. Entah sudah berapa lama tidak ada air yang membasahi mulutnya.

            “Suh… bo’eh in’ta i’num?”, Hega meminta minum.

            “kan pake sonde, bu…”, sahut si suster.

            “Api muyut saya keying…”

Suster melirik ke sudut ranjang dan melihat kaki Hega bergerak-gerak. Berbarengan dengan itu, Hega tampak sedikit melenguh, merasakan kram pada perutnya. “Eh, kakinya bisa gerak… saya panggil dokternya, ya…”, kata si suster sambil memberi senyum sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruang ICU.

Raymond menoleh ke sisi kiri dan kanan Hega. Melihat kondisi orang-orang lain yang di rawat di situ. Keadaan mereka tampak lebih buruk. Raymond pun bergetar pilu melihatnya…

Hega berusaha memanggil Raymond. Tapi suaranya semakin sulit saja untuk keluar. Tapi dengan begitu pekanya, Raymond langsung saja mendekatkan wajahnya ke wajah Hega dan menyendengkan telinganya ke mulut Hega.

            “n.. a ‘acih…”, kata Hega langsung lunglai.

            “Sama-sama, bu…”, sahut Raymond dengan senyum yang hangat… “O ya, bu… maaf, ya… saya jadi buka dompet ibu untuk ambil kartu asuransi…”

Hega ingin mengangguk karena ia mulai kelelahan bahkan untuk sekedar berbicara saja. Tapi mengangguk pun tak bisa dilakukannya sekarang ini… Tapi Raymond sepertinya selalu mengerti apa isi pikirannya meskipun ia tak mengucapkannya.

Hega mulai termenung sejenak. Membayangkan seandainya ia bisa mengulang masa-masa di mana Antonius masih mengejarnya…

Aku rindu kamu. Kamu merindukan Mira. Siapa yang merindukan aku sekarang?, Hega membatin dengan pilu di hatinya. Ia merasa begitu sendirian dan kesepian…

Hega bahkan tidak mengingat Raymond lagi... yang masih menemani di sisinya. Tidak mengingat perasaan khusus Raymond padanya…

Baginya sekarang, hanya kehadiran Antonius yang membuatnya merasa tak sendirian… Tapi ia tak bisa memberitahukan keadaannya pada Antonius. Ia merasa hanya akan merepotkan Antonius. Dan ia tak mau Antonius datang padanya hanya karena merasa kasihan. Ia menginginkan cinta yang murni dari Antonius. Tak perduli berapa lama ia harus menunggunya…

Hega ingin sekali menangis. Belum pernah ia merasakan dorongan yang sekuat itu untuk menangis. Bukan karena kelumpuhannya. Tapi karena ia tidak bisa lagi menahan hatinya yang sangat merindukan Antonius. Tapi ia hanya bisa menangis di dalam hati. Ia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan Raymond. Dan di depan siapapun. Baginya, menangis adalah sebuah sikap yang lemah... Dan Hega mulai merasa begitu kelelahan... lelah untuk tidak menangis...

NURANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang