41. Antara Dendam dan Cinta

1.4K 24 1
                                    

"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku, biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee ...."

"Ahhh ....." Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyum-senyum, akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.

Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat ..."

Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda ....."

Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasih-kasihan dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya? Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.

"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun, seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi ..... setelah sekarang kau bertemu dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air ...." Han Sin melihat perubahan pada wajah adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya, akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.

"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih. Akan tetapi .... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita! Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula .... dia mengenalmu dan cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia bisa menyatakan cinta? Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"

"Sin-ko ....!" Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.

Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan ..... terus terang saja akupun agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya ... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat puterinya ... berdampingan dengan musuh bangsa ....?"

"Sin-ko ...., kau menghancurkan hatiku ...." Gadis itu mengeluh.

Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya, untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji."

"Ke mana .....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.

"Ke Ta-tung."

Kasih di Antara RemajaWhere stories live. Discover now