09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng

1.7K 29 1
                                    

WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati. "Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat."

"Eh, kenapa kau begini baik hati? Kita baru saja bertemu," kata Han Sin sambil tertawa, pandang matanya tidak percaya dan curiga.

"Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik kuambil dulu surat itu darimu." Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecil-kecil itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin. Pemuda ini tidak tahan lagi dan tertawa terkekeh-kekeh. "Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh .... aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku, nona .....!"

Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu. Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang pemuda seperti ini.

"Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu."

Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Nona .....eh, Li Hoa, kau anak baik, kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini. Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak mungkin kau bisa mengambilnya."

"Masa? Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh dan lemah?" tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol, pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!

Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. "Tidak .... tidak .... kau takkan berani mengambilnya, Ha ha ha!"

"Aku tidak berani? Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan berani mengambilnya," jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani?

"Aku tidak bisa memberitahukan, aku .... aku ... ah, memalukan!"

Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis. "Han Sin yang baik, kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu? Kalau harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia."

Han Sin memandangnya. "Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga .... juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan .... kusimpan ...."

"Di mana ....??" Li Hoa berteriak tak sabar lagi.

"Di dalam ... di dalam celana .... kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih, bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya? Kurasa tidak mungkin kau gadis baik-baik dan sopan."

Kasih di Antara RemajaWhere stories live. Discover now