21. Kritis

1.3K 289 32
                                    




Xinlaire  telah berhasil masuk ke dalam kamar Raylene setelah menerjang kobaran  api, pria itu mengedarkan pandangannya dan menemukan Raylene telah  tergeletak di lantai.

Kaki Xinlaire bergegas mendekati Raylene. Pria itu meraih tubuh Raylene. "Raylene! Raylene!"

Raylene masih memiliki sedikit kesadaran. Wanita itu membuka matanya dan menatap wajah cemas Xinlaire.

"Jangan tutup matamu! Aku akan membawamu keluar dari sini!" Xinlaire segera berdiri dengan menggendong Raylene.

Tangan  Raylene menyentuh wajah Xinlaire dengan lembut. Di masa lalu Xinlaire  juga tampak seperti ini ketika ia berada dalam bahaya. Saat itu ia  berpikir bahwa Xinlaire sangat takut kehilangannya. Ia sangat bahagia  karena merasa begitu dicintai oleh Xinlaire. Namun, ternyata semua itu  hanyalah sandiwara Xinlaire.

Dan sekarang  kenapa Xinlaire harus terlihat seperti ini lagi? bukankah semua  rencananya telah berhasil? dia seharusnya tidak perlu bersandiwara lagi.

"Xinlaire,  apakah pernah sedikit saja kau benar-benar mencintaiku?" Raylene tahu  jawabannya, tapi ia masih tetap bertanya. Mungkin saja ada di suatu  waktu Xinlaire benar-benar membalas perasaannya. Raylene mentertawakan  dirinya sendiri, ternyata bahkan sampai sekarat seperti ini pun ia masih  berharap bahwa perasaan tulusnya terhadap Xinlaire tidak bertepuk  sebelah tangan.

Xinlaire menatap Raylene  sejenak. Ia ingin mengatakan bahwa perasaannya terhadap wanita itu bukan  hanya sedikit, tapi teramat banyak. Namun, kata-katanya tertahan di  kerongkongan. Sulit sekali untuk mengakui perasaannya sendiri pada  Raylene.

Senyum getir tampak di wajah  pucat Raylene. "Ternyata sampai akhir aku memang hanya berjalan  sendirian." Hati Raylene sangat kesakitan. "Sudah selesai, Xinlaire.  Perpisahan akhirnya tiba."

"Jangan bicara  lagi! Tidak akan ada perpisahan antara kau dan aku!" Xinlaire menatap  Raylene tajam, pria itu dipenuhi oleh rasa cemas sekarang, tapi yang  bisa ia tunjukan hanyalah raut dingin yang sulit didekati.

Raylene  tidak mengerti apa sebenarnya isi hati Xinlaire. Pria itu tidak  menginginkan perpisahan dengannya, tapi ia juga tidak pernah  mencintainya. Apakah rasa benci dan dendam yang membuatnya seperti ini?  Namun, bukankah itu tidak masuk akal? Untuk apa Xinlaire mempertaruhkan  nyawanya sendiri demi seseorang yang ia benci?

Lupakan saja, untuk apa ia memikirkan tentang isi hati Xinlaire. Tubuhnya tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Mata Raylene terasa semakin berat, ketika Xinlaire berhasil menembus kobaran api, tangan Raylene sudah terkulai lemah.

"Segera  panggil tabib!" Xinlaire memberi perintah pada Domenico. Setelahnya  pria itu bergegas membawa Raylene ke tempat pribadinya.

Setiap  langkah yang Xinlaire lalui diliputi oleh kegelisahan, rasa takut dan  kekhawatiran. Wajahnya kini tidak bisa menyembunyikan betapa ia takut  kehilangan Raylene.

Sampai di tempat istirahatnya, Xinlaire membaringkan Raylene di ranjangnya dengan perlahan.

"Raylene!  Raylene!" Xinlaire memanggil Raylene, tapi tidak ada jawaban. "Buka  matamu! Bukankah kau ingin mendengar jawabanku? Aku mencintaimu, aku  sangat mencintaimu. Apakah itu cukup? Jangan bermain-main, buka matamu!"

Masih tidak ada balasan dari Raylene. Kini Xinlaire mulai merasa tercekik.

"Apakah  sekarang kau sedang mencoba membalasku, Raylene? Aku tidak  mengizinkanmu meninggalkanku, apakah kau mendengarkanku!" Xinlaire masih  bersuara.  Dia benar-benar telah kehilangan semua ketenangannya.

Tabib datang dengan cepat dan segera memeriksa kondisi Raylene.

"Selamatkan nyawanya apapun yang terjadi jika tidak kau akan kehilangan nyawamu!" bengis Xinlaire pada tabib.

Tawanan Hati Sang RajaWhere stories live. Discover now