00

372K 16.3K 152
                                    

Mbak author tahu pasti akan ada banyak pembaca baru di cerita ALIF ini. Apalagi setelah melihat fyp tiktok maupun ig.

Sebelum mulai marathon baca diharap agar tidak lupa untuk memvote setiap bab di cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian kepada penulis.

"Waktunya balik ke pondok, sebelum bagian keamanan patrol ke kamar!" Teriak remaja laki-laki mengingatkan teman-temannya yang sedang asik dengan dunia pasar malam. Hingga, beberapa pengunjung pasar malam yang bukan santri melihat ke arahnya.

"Maaf kalau boleh tau sekarang jam berapa, Gus?" tanya salah satu santri yang berjalan sedikit membungkuk, mendekat ke remaja yang di panggil Gus itu.

Beberapa santri yang mendengar seruan tersebut juga berdatangan. Ada yang datang dengan senyum sumringah setelah main beberapa wahana, ada yang datang dengan tangan penuh makanan dan minuman, ada juga yang datang dengan raut wajah sedih karena sudah waktunya balik ke pondok.

  "Sudah jam sembilan lewat lima belas," jelas remaja laki-laki itu. "Biasanya jam segini kemanan sudah cek semua kamar di pondok. Saya tidak ingin disalahkan karena menemani kalian keluar pondok tanpa izin," sambungnya dengan tatapan mata menyipit sembari memperhatikan setiap santri yang masih bermain di wahana pasar malam.

"Sampe ketauan bagian keamanan, kita bisa dilaporin ke pak Kiyai," celetuk salah satu dari mereka.

"Setidaknya yang bahaya di sini bukan kamu, Gendut. Yang ada, yang pertama kena hukuman pasti, Gus Alif. Karena mau bantu kita keluar pondok diam-diam."

"Apalagi pak Kiai kalau marah serem banget," timpal yang lain.

Plak

Tamparan buku ke atas kepala terdengar sangat renyah. Sampai-sampai membuat seorang Haafiz Alif Faezan menggeleng melihat tingkah para santri.

"Kamu itu, loh. Bisa-bisanya ngomong seperti itu, gak liat ada anak Pak Kiai disini?"

"Eh....hehehe. Ngapunten geh, Gus. Kulo mung guyon." (Maaf ya, Gus. Saya cuma bercanda.)

Alif tidak menggubris, ia memilih pergi untuk mengumpulkan santri lainnya.

"Ayok! Kumpulkan semua santri lima menit dari sekarang!"

Para santri mengehela nafas lega saat Alif berbalik memberi mereka aba-aba untuk segera mencari teman mereka.

"Alhamdulillah....! Kirain gus bakal marah."

"Untung kita gak jadi kena sanksi besok."

Alif berjalan terus ke arah di mana ada santri dari pondok Ulumul Kalam milik kakeknya yang sekarang dipimpin abinya. Sudah beberapa santri yang berhasil ia beri instruksi untuk menunggu di depan pasar malam bersama santri lainnya.

"Azzam!"

"Loh, Gus? Sudah waktunya balik pondok, ya?"

"Iya. Kamu lihat Fathur? Tersisa kamu dan Fathur yang belum kumpul di depan."

"Fathur tadi katanya mau ke toilet, tapi gak saya temenin Gus, soalnya toiletnya ada di samping tong setan." ungkap Azzam sedikit bergidik takut melihat keberadaan toilet yang dimaksud.

"Ya sudah. Kamu kumpul dengan yang lain. Biar saya yang cari Fathur."

"Gus, gak takut? Mau saya temani?"
Alif mengerutkan kening menatap Azzam. Yang ditatap pun hanya cengar-cengir tidak jelas.

Sampai akhirnya mengerti tatapan yang dilempar oleh anak Kiai-nya itu, Azzam memilih permisi dan pergi untuk bergabung dengan yang lain.

Alif berjalan ke toilet yang berada di samping tong setan. Terlihat sangat sepi saat ia menemukan letak toiletnya. Ternyata bukan di samping tong setan, tapi belakang tong setan. Remaja laki-laki berumur 15 tahun itu bersumpah bahwa tidak akan ada yang berani ke toilet pasar malam meski sudah kebelet untuk buang hajat.

Suasananya sangat sepi berbeda dengan di  bagian depan yang sangat ramai akan pengunjung pasar malam. Pohon-pohon menjulang tinggi, sangat gelap. Sedangkan lampu toilet hanya memancarkan cahaya remang-remang.

"a'udzu bikalimatillahi taammati min syarri maa khalaq," ucap remaja laki-laki itu seraya mencari Fathur.

"Akhirnya," gumam Alif melihat Fathur berdiri mematung di depan pintu toilet.

"Fathur!"

"Astagfirullahaladzhim!" Teriak Fathur terlonjat kaget saat Alif menepuk pundaknya.

"Allahu akbar! Gus!"

Alif terkejut bukan main saat Fathur tiba-tiba memeluknya dengan erat.

"Fathur....kamu kenapa? Saya gak bisa nafas ini loh...."

"Itu....itu...ada setan! Gus!!!"

"Setan apa, kamu ini jangan ngawur!"

"Tolong...Mas.....!"

"Huwaaaa....itu loh. Gus dengar sendiri kan?"

Remaja laki-laki itu menelan salivanya sendiri. Dia belum budeg, bahkan dengan jelas mendengar suara rintihan anak kecil, meminta tolong.

"Tolong...Mas....Lahya sakit!"

"Sakit...!"

"Lahaula! Gus....!" Fathur semakin ketakutan.

Alif yang takut kehilangan wibawanya itu menyuruh Fathur untuk berada di belakangnya saja. Dengan gagah-berani dan banyak ketakutan seperti Fathur, akhirnya ia melangkah untuk melihat ada siapa di dalam toilet.

"Adek?!" panggil remaja laki-laki itu memastikan gadis kecil yang terbaring mengenaskan di dalam sana adalah manusia.

"Tolongin Lahya, Mas!" rintih gadis kecil itu dengan wajah yang penuh lebam dan tak dapat kenali lagi. Bajunya sudah compang-camping seperti disengaja. Rambutnya pun tercecer karena tidak diikat.

"Allahu Akbar!" remaja laki-laki itu masuk melepas jaket biru navy-nya dan menutup tubuh gadis yang tengah menangis tak berdaya itu.

"Fathur, cepat cari bantuan. Minta tolong ke siapa pun untuk telpon ambulance!" Fathur yang kebingungan dan merasa bersalah, lari mencari bantuan.

"Ibu. Ibu dimana?"

"Sebentar, ya, Dek. Kita cari bantuan dulu. Baru cari ibu kamu."

"Lahya mau ketemu ibu. Semua orang jahat sama Lahya."

Alif yang tidak tahu kronologi kejadiannya tak mampu menatap mata gadis kecil ini. Melihat beberapa luka di wajah gadis kecil ini, cukup membuatnya ikut merasakan ngilunya.

Dengan susah payah Alif menggendong gadis kecil yang terbalut dengan jaketnya, keluar dari toilet. Saat akan berdiri ia melihat kalung emas milik gadis digendongannya ini, jatuh. Dengan terpaksa ia kembali berjongkok untuk mengambilnya dan pergi menyusul Fathur yang mencari bantuan.

Belum sampai di keramaian, segerombolan pengunjung pasar malam berdatangan dipimpin Fathur yang berlari di depan mereka. Kejadiannya begitu cepat saat mereka mengambil gadis kecil yang tak berdaya dan penuh luka itu dari dekapan Alif.

Alif tidak tahu harus apa saat beberapa polisi datang dengan ramah memintanya untuk menjadi saksi mata bersama Fathur.

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang