50. Satu dan Setia

102K 8.1K 2.5K
                                    

Mari melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Gery Gany-Rusuk 🎧)

Pemakaman Liya hari itu dibanjiri dengan hujan air mata. Hari terakhir ujian sekolah yang harusnya disambut bahagia oleh siswa kelas 12 SMA Tunas Bangsa, berganti dengan sambutan tangis kehilangan.

Liya tutup usia diumur yang masih muda, 18 tahun. Disaat teman-temannya akan bertambah usia ke 19 tahun dan berjuang masuk universitas impian mereka, Liya harus kembali ke tempat peristirahatan terakhirnya dan terkubur bersama mimpi-mimpinya.

Ucapan bela sungkawa berdatangan untuk keluarga Liya, serta sahabat-sahabat Liya yaitu Nadine dan Lahya. Bahkan setelah beberapa hari pasca pemakaman Liya, Lahya masih mendapat pesan bela sungkawa dari teman-temannya.

Lahya maupun Nadine hanya bisa saling menegarkan satu sama lain. Saling menguatkan satu sama lain. Bagaikan seseorang yang kehilangan salah satu kakinya, hingga meminta bantuan orang lain agar bisa berdiri tegak lagi. Merekalah Lahya dan Nadine.

Sejauh ini Lahya lebih banyak diam ketimbang hari-hari sebelumnya. Sejauh ini juga Alif selalu menghibur dan terus berada disisinya. Untuk mengajak Lahya mengobrol dan berhenti melamun sendirian.

Jika Lahya ada yang menghibur, bagaimana dengan Nadine yang lebih banyak menyendiri di rumah. Sepupunya itu menolak banyak endorsan yang masuk dan beberapa hari ini terlihat tidak aktif di media sosial.

Andai Lahya masih tinggal bersama bapak, mungkin setiap hari ia akan ke rumah Nadine. Namun setelah sekolah Lahya selesai, ia harus pindah ke apartement bersama suaminya. Untuk sementara waktu Lahya akan tinggal di apartement bersama Alif, saraya menunggu rumah yang dibangun tepat di sebelah ndalem selesai.

"Iya, kan?"

Lahya menoleh melihat Alif. "Hm?"

"Melamun lagi?" tanya Alif merapikan berkas-berkas mereka di atas meja. "Jangan bilang dari tadi Mas ngomong sendirian, gak kamu dengerin?"

"Maaf Mas." Hanya kata itu yang mampu Lahya ucapkan.

"Sayang, kematian adalah sebuah janji Allah yang pasti. Kita sebagai manusia, hanya bisa menunggu kepastian itu kapan datangnya. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Tugas kita hanya perlu menyiapkan diri sebelum kepastian itu datang menjemput. Allah beri kita kesempatan untuk hidup lebih lama, tujuannya agar kita bisa mengumpulkan bekal untuk pulang nanti."

Lahya mengangguk paham. Ia memainkan jemarinya di atas meja yang penuh dokumen dirinya dan Alif. Mereka tengah menyiapkan surat-surat untuk pengajuan pernikahan.

Tangan Alif terulur menggenggam tangan Lahya. "Kehilangan seseorang yang kita sayang memang berat, tapi Mas harap kamu gak berlarut-larut dalam kesedihan kamu, sampai kamu lupa sama orang sekitar yang juga sama sayangnya ke kamu."

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang