54. Giandra Pangestu

46.9K 5.2K 2K
                                    

Mari melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebayanya basah. Matanya terfokus satu arah. Jantungnya masih berdetak tidak tenang. Tangannya mengambil handuk pemberian Giandra. Lahya menghampiri Nadine yang duduk dengan kepala menunduk.

"Kamu pasti dingin," ujar Lahya menyelimuti kebaya wisuda Nadine dengan handuk.

Nadine menolak kehangatan yang akan diberikan Lahya. Ia berdiri melihat Alif baru saja datang bersama Pak Yasin.

"Mau kemana?" tanya Lahya menahan tangan Nadine.

"Lepas!" berotak Nadine.

"Bisa diem anteng nggak sih?" tanya Lahya dengan nada tinggi.

"Apa sih Ya?" tanya Nadine cukup terkejut.

"Kamu yang apa?" tanya balik Lahya. Tatapan matanya sulit ditebak oleh siapa pun. Antara marah dan khawatir menjadi satu.

Sekarang Giandra yang berganti duduk di sofa. Paman Lahya itu mengeluarkan sebatang rokok. Salah satu kakinya naik siap menonton kegaduhan dari Lahya dan Nadine. Tangan Giandra menarik bantal sofa di sampingnya.

Pak Yasin menarik tangan Nadine lebih dulu. Takut pertengkaran pecah antara anak dan keponakannya, sedangkan Alif yang belum memahami situasi hanya mengkhawatirkan istrinya yang basah kuyup.

"Aku baik-baik aja. Nggak usah khawatir berlebihan bisa? Lebay!" sungut Nadine karena melihat Lahya berlebihan.

Kaki Lahya melangkah maju. "Apa? Lebay? Kamu nggak tau, aku hampir gila karena liat kamu sekarat di tengah kolam. Kamu bilang aku lebay?"

"Iya lebay," jawab Nadine.

"Apa sih Mas," ucap Lahya saat Alif menahan dirinya agar tidak ada perdebatan di rumah Nadine.  "Kamu pikir aku begini tanpa sebab? Aku begini karena takut kehilangan dua orang sekaligus Nad."

"Bisa berhenti? Brisik tau nggak," kata Nadine tidak tahan.

"Aku brisik karena kamu duluan yang brisik," sanggah Lahya. "Kamu brisik teleponin aku malem-malem cuma buat denger kamu nangis karena mama kamu izin nikah lagi. Kamu brisik sampai bikin aku khawatirin keadaan kamu tiap hari Nad. Kamu yang selalu cerita ke aku, kalau kamu susah maafin diri kamu setelah Liya meninggal. Kamu yang selalu cerita betapa menyesalnya kamu nggak langsung nolongin Liya waktu itu. Aku tau perasaan kamu Nad, aku tau, tapi kamu malah bilang aku lebay?" tanya Lahya dengan tangis derasnya.

Lahya melangkah maju lagi. "Kamu pernah nggak mikirin perasaan aku gimana tiap kamu cerita soal rasa bersalah kamu ke Liya. Kamu pernah nggak mikirin posisi aku lihat Liya sekarat depan mataku? Kamu pernah berpikir gimana lebih besarnya rasa bersalah aku ke Liya karena aku yang terakhir masuk ICU sebelum Liya meninggal?" tanya Lahya menyudutkan Nadine, bahkan tak segan-segan mendorong mundur Nadine dengan jari telunjuknya.

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang