53. Kehilangan kedua kali?

56.1K 5.3K 1.4K
                                    

Mari melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Si paling anti bunga mawar putih, pada akhirnya juga membawa mawar putih. Lahya yang sering membuang buket bunga mawar putih di atas meja Liya, pada akhirnya dia sendiri yang datang untuk membawanya untuk almarhumah Liya. Lahya menurunkan semua buket bunga yang ada di meja Liya. Bisa dikatakan bahwa meja Liya sekarang penuh dengan buket bunga mawar putih.

Lahya menitikkan air matanya. Ia menjadikan buket yang ia bawa, menjadi satu-satunya buket yang ada di meja Liya. "Maaf ya Liy, maafin aku yang sekarang malah bawa buket mawar putih buat kamu."

Lahya merasakan tangan Titin mengusap punggungnya. "Sabar ya Ya. Pasti Liya sudah tenang di sana."

Lahya mengangguk. Ia mengepalkan kuat tangannya, tidak ingin menangis lagi. Meski sulit, tapi ia harus belajar mengikhlaskan sahabatnya. "Ayok kita ke aula. Sebentar lagi acara wisuda dimulai."

"Kamu duluan aja. Aku masih mau di sini. Nanti aku susul," balas Lahya.

"Kami duluan ya Ya!" ucap Titin pergi bersama beberapa teman kelas Lahya yang masih ada di kelas.

Lahya melihat punggung teman kelasnya keluar satu-persatu. Helaan nafas berat terhembus dari hidungnya. "Ayok Liy, kita wisuda bareng-bareng. Kamu, aku, Nadine seharusnya pakai baju wisuda kembar hari ini. Kebaya aku dan kebaya Nadine hari ini kembar. Kamu..."

Lahya menarik nafas berusaha menegarkan hatinya. Tangannya menaruh box berukuran sedang ke atas meja Liya. "Aku bawa kebaya juga buat kamu," kekeh Lahya dibarengi air mata kehilangan yang begitu menyakitkan.

"Aku tau kamu nggak akan pernah bisa pakai, tapi aku anggap ini sebagai hadiah terakhir aku buat kamu. Kamu kalau sepi, atau sendirian di sana, jangan sungkan datang ke mimpiku, ya? Aku juga sepi nggak ada temen curhat lagi selain kamu. Nadine ada, tapi dia juga lagi ngalamin masa-masa sulit. Aku butuh tempat sandaran seperti kamu Liy. Aku kangen. Kita berdua kangen kamu," ungkap Lahya dengan air mata begitu deras mengalir ke pipinya. Ia sudah tidak memikirkan apakah make upnya akan luntur atau tidak.

"Dulu tiap sudut sekolah punya cerita bahagia tersendiri untuk kita bertiga Liy, tapi sekarang semua berubah jadi menyakitkan. Aku sakit Liy. Kenangan indah yang seharusnya terukir di masa putih abu-abu menjadi kenangan paling menyakitkan untuk anak kecil yang seperti aku Liy," lanjut Lahya.

"Sampai jumpa Liy. Masa putih abu-abu aku sudah selesai. Aku harap kamu juga. Selamat tidur dipangkuan Tuhan sahabatku. Kami semua sayang kamu, tanpa kata dan sebuah pejelasan, doa kami lantunkan untuk kamu sebagai suratan yang kami hantarkan pada Tuhan untuk di sampaikan padmu. Liya Hanum Mega."

Lahya melambaikan tangannya pada bangku Liya. Ia melihat sahabatnya itu tersenyum padanya. Sebuah ilusi yang begitu nyata membuat anak kecil dalam diri Lahya ingin berlari kembali masuk ke dalam kelas dan memeluk ilusi indahnya itu.

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang