13.1

25.1K 5.6K 346
                                    

Selamat membaca


KETIKA Rukma dan Steven pulang, situasi coffee shop sedang ramai-ramainya. Terlihat dari parkiran yang penuh dengan kendaraan roda dua, serta dua mobil ukuran kecil dan sedang.

Dengan alasan ingin buru-buru membantu kedai, Rukma turun sembari membawa semua belanjaan, lalu memasuki rumah lebih dulu. Tidak memedulikan mesin mobil lelaki itu belum dimatikan. Bahkan, seat belt Steven masih terpakai.

Seperti anak takut diomeli orangtua karena berbelanja banyak, Rukma masuk kamar tanpa menyalakan lampu rumah. Dia menjatuhkan secara asal-asalan dua kantung plastik penuh perlengkapan melukis, lalu mengembuskan napas kasar di depan kaca bulat.

"Kenapa mengungkit tentang Tita dan David?!" tanyanya, sembari memandang pantulan diri sendiri yang terlihat sedikit kacau di kaca. Make up-nya masih utuh, rambut yang terlepas dari ikatan cuma beberapa helai saja, tetapi ekpresi wajah Rukma mengerikan. Rasa tidak nyaman yang mengganggu sedari di rumah makan semakin menampakkan wujud asli. Rukma malu pada dirinya sendiri. Mengaku jatuh cinta dengan siapa, tetapi melahirkan anak orang lain.

"Wah, benar-benar sikap murahan dari ibu kamu memang menurun. Suami siapa yang kamu goda sampai hamil begini?"

Tanpa Rukma sadari, kedua tangannya sudah terkepal di pinggiran lemari baju Tita, yang bagian atasnya dia jadikan tempat menaruh perlengkapan make up, bedak dan minyak telon Tita. Suara yang selalu datang di mimpi buruknya, kini menggema amat keras. Seperti istri bapaknya itu memang berdiri di sampingnya, secara sukarela mengulang kalimat-kalimat pedas waktu itu. Kemudian muncul satu pertanyaan: Apa Steven menganggapnya perempuan murahan?

Rukma bergegas menunduk, mengeratkan kepalan, lalu memunculkan segaris senyum putus asa. Dia tidak boleh menangis. Tidak lagi. Selama beberapa detik yang terasa sangat panjang, Rukma meyakinkan diri sendiri kalau memang ada perubahaan dari cara Steven memandangnya itu adalah hal yang bagus. Tidak ada lagi rasa tertarik yang Rukma takutkan bakal menyakiti mereka. Steven akan lebih fokus mengerjakan hal-hal yang harus dilakukan di sini, dan hidup Rukma kembali tenang.

Saat Rukma nyaris berhasil meyakinkan diri, bahwa dia bakal baik-baik saja bila Steven ikut menilainya seperti itu, kamarnya diketuk. Awalnya lambat dan terkesan berhati-hati, tetapi semakin Rukma biarkan—ritme ketukan makin cepat. Meski enggan, Rukma mengalah dan membuka pintu.

Steven berdiri di depannya, menatap Rukma dengan kekhawatiran yang susah dia abaikan.

"Kamu oke?" tanya Steven.

Rukma mengangguk, memasang ekpresi tidak paham kenapa Steven harus menanyakan hal seperti itu. Seolah tidak sadar caranya turun dari mobil terlihat seperti orang yang baru saja menjalani uji nyali. Pucat. Panik. Takut ...

Alih-alih berkurang, sorot mata kekhawatiran Steven bertambah. Lelaki itu maju satu langkah. Satu tangan Steven terulur di kusen pintu sebelah kiri, sementara satu yang lain bertengger di pinggul sendiri.

"Kalau gitu, aku ubah pertanyaannya—kita oke?" Steven lebih hati-hati mengajukan pertanyaan kedua ini. "Aku merasa obrolan kita di tempat makan tadi kemajuan, Rukma. Aku nggak mau setelah kamu keluar dari kamar ini nanti, kita mundur lebih jauh dari garis awal."

Rukma mengembuskan napas kasar.

Dia memeluk diri sendiri, senyum tipis yang coba Rukma paksa tetap muncul—ogah menurut. Untuk berjaga-jaga, Dia melirik pintu perbatasan antara rumah dan kedai—memastikan kunci rantai memang dia pasang sebelum pergi tadi. Di coffee shop sudah pergantian shift, dan biasanya kalau dia sedang pergi saat pergantian itu—Embun atau Fariza bakal mengabsen muka setelah dia pulang.

Setelah yakin tidak bakal ada tamu tak diundah, Rukma menyandarkan bahu di kusen lain yang belum tersentuh Steven. "Kemajuan?"

Sesungguhnya seluruh insting Rukma memperingatkan agar menghentikan obrolan dengan jawaban simple; kita aman, silakan kembali bekerja. Namun, rasa penasaran pada perkataan Steven, tidak mau diabaikan. Di tengah kegelisahan Rukma tentang pandangan Steven kepadanya, kenapa lelaki itu bisa berpikir tentang kemajuan?

"Hmm. Apa yang kamu bilang di rumah makan tadi bukan hal yang mudah diceritakan," sahut Steven, membuat Rukma terkesiap. "Pasti sulit. Terima kasih sudah mau membagi cerita itu ke aku."

"Berterima kasih buat hal yang memalukan?"

"Apa?"

"Yang aku bagi ke kamu." Wajah Rukma terasa panas. Makian dari Bapak dan istri beliau kembali terdengar di telinga Rukma, disusul bayangan Bapak menamparnya. Ya, bekas tamparan Bapak masih bisa Rukma rasakan, meski bertahun-tahun sudah berlalu.

Meskipun sadar kalau mencari tahu apa dipikirkan Steven bakal berbahaya baginya, Rukma masih mau mendengar secara langsung.

"Kamu nggak menganggap aku murahan?" Bahkan, Rukma mengagumi ketenangan suaranya saat mempertanyakan hal itu. Sangat berbanding terbalik dengan kekacauan di dadanya, gemuruh yang perdetiknya bertambah kencang saja. "Kamu tahu orang yang dulu aku cintai sampai tolol itu David, tapi aku—" Rukma berhenti sejenak. Dia berusaha menggeser matanya ke wajah Steven, tetapi takut luar biasa—kalau-kalau dia menemukan sorot kekhawatiran yang tadi menghiasi mata Steven berganti cemooh. "Melahirkan anak orang lain."

Ketika kalimatnya mencapai titik, Rukma berhasil mempertemukan mata mereka. Rahang Steven berkedut, dan selama beberapa saat, lelaki itu tidak menjawab. Bahkan, Rukma merasa di sekelilingnya menjadi sangat hening. Satu-satunya bunyi di antara mereka hanya tarikan napas keduanya.

Akhirnya, Steven mendesah kencang. Lelaki itu bersedekap lalu ikut menyandarkan bahu di kusen tempatnya bersandar, membuat posisi berhadapan mereka sangat, sangat dekat.

"Aku juga pernah mencintai cewek sama kayak kamu. Tolol. Buta. Sampai aku nggak bisa lihat, dia cuma manfaatin aku." Tatapan Steven melembut. Lelaki itu memandang ke dalam kamarnya selama beberapa detik, lalu kembali mengamati wajah Rukma. "Dia punya sesuatu yang nggak aku lihat dari cewek lain. Kemandiriannya. Spontanitasnya, bahkan keberaniannya. Dia ajak aku pacaran duluan. Dia memulai semuanya duluan, dan jiwa muda sialan aku girang bukan main. Gairah dan rasa kagum buat otak aku nggak bisa berpikir logis."

"Dia—"

Steven menggeleng. "Bukan uang. Aku."

Rukma mengernyit.

"Dia butuh aku supaya terlihat normal. Hubungan kami. Rencana pernikahan kami." Raut wajah Steven mendadak sangat sedih dan suara yang hampa memperparah keterkejutan Rukma. "Dia meninggalkan aku di altar demi cewek lain."

Rukma mengeratkan pelukan pada diri sendiri, mengabaikan keinginannya untuk mengulurkan tangan ke wajah dan menenangkan Steven. Namun, apa yang mati-matian dia tahan justru dilakukan Steven dengan sangat ringan. Lelaki itu mengulurkan satu tangan ke puncak kepala Rukma, mengusap lembut bagian itu sembari tersenyum.

"See, masa lalu aku juga memalukan," kata Steven. "Jangan terlalu keras sama diri sendiri, Rukma."

Terima kasih sudah membaca 👀
Gimana yang semalam heboh soal 'kamar' di ig aku? 🤏🏻🤡 otaknya ya dikasih spoiler ada kata kamar pikirannya udah ke mana-mana. Hahahaha!

Btw, buat kalian yang baru menemukan aku bisa loh follow Instagram: Flaradeviana

Biasanya aku tebar spoiler di sana. Ehehe

Love, Fla! 💜

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang