15.1

28.5K 4.7K 338
                                    

Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya

"RUKMA...."

Tidak terhitung berapa kali Steven membisikkan namanya dengan suara parau, yang berhasil meremangkan kulitnya—sesaat terdengar seperti penyataan kuat, mengandung kekuatan besar yang mampu menggagalkan usahanya mengumpulkan kepingan kewarasan. Walau tahu sudah tidak bisa kembali bersikap seperti hari-hari sebelumnya, dia masih mau mendirikan tembok pembatas. Pendek tak apa, yang penting masih ada ruang baginya untuk sembunyi.

Memang sebagian besar dirinya tidak lagi merasa takut seperti kemarin-kemarin, tetapi tidak juga lebih menyenangkan. Ada banyak tali-tali pikiran yang membentuk jalinan kusut dan menggumpal di dadanya, yang selalu terlupakan tiap kali bibir Steven menyapa bibirnya.

Sudahlah. Pikirkan besok. Kalimat seperti itu berulang kali Rukma putar, sejak dia menabrak bibir Steven—memohon untuk dilepaskan dari rasa sepi sekaligus dipuaskan.

Namun, sungguh—astaga, lelaki ini benar-benar ahli mencium. Seakan-akan setiap isapan yang diciptakan disertai mantra agar Rukma melupakan tentang kehidupannya, tentang siapa dia, sampai satu-satunya pemikiran Rukma; ayo, nikmati saja malam ini.

Walau sebagian lain dari dirinya yang memilih menonton pertunjukan di pojok, terus berteriak, Ini gila dan berisiko, tetapi sayang, sia-sia sekali peringatan itu.

Harum maskulin dari kulit Steven yang tidak terutupi kaus; sabun, deodoran, apa pun itu, mengundang Rukma untuk menjelajahi badan hangat Steven sekali lagi.

Sambil berbaring miring saling berhadapan usai menemani Steven makan sejam lalu, Rukma dengan berani menaruh satu tangan di dada bidang Steven, menggoda dengan menautkan kedua kaki mereka, menggerakkan jemarinya menelusuri garis-garis samar dari otot perut Steven—menghasut kesadaran keduanya untuk undur diri, lagi.

Iya. Rukma dengan sadar memberi sinyal agar permainan kedua mereka dimulai. Toh, mereka sama-sama belum puas.

"Kalau besok kamu kesiangan, gimana?" tanya Steven, dengan nada menggoda.

"Nggak mungkin, sih. Badanku ada alarmnya, palingan kamu harus siap bayarin aku Mbok pijet." Rukma menggunakan nada menggoda, yang memancing tawa rendah Steven menggema, dan astaga—badan Rukma langsung merespon tak wajar.

"Selain Mbok pijet. Kamu mau apa lagi?" tanya lelaki itu, seraya memajukan badan sampai jarak kosong di antara mereka sangat kecil. "Nonton? Makan di luar? Atau, belanja?"

"Makan, oke. Belanja, hmmm, nggak deh. Nonton apa lagi."

lengan kukuh Steven memeluknya, jemari-jemari lelaki itu menari ringan di sepanjang punggung Rukma. "Kenapa?"

"Aku cuma belanja buat hal-hal yang penting aka, buat saat ini—nggak ada barang penting yang aku beli. Bioskop. Aku benci bioskop. Terlalu gelap."

Steven mendekatkan wajah, tanpa merespon kalimat terakhir Rukma. Kalau dipikir-pikir, barusan adalah obrolan terpanjang mereka usai pelepasan pertama dua jam lalu, setelah mereka sama-sama membersihkan diri, bahkan ketika dia duduk di samping Steven dan menenamani lelaki itu menghabiskan masakannya.

Mereka lebih banyak bertukar senyum, belaian ringan, satu-dua kalimat candaan—persis seperti yang diinginkan Rukma. Menikmati hal-hal ini tanpa ada kebisingan obrolan, yang ujung-ujungnya bakal bermuara pada bayak pertanyaan; Kenapa? Apa? Bagaimana?

Tangan Rukma merangkak naik ke tulang leher Steven, ke dagu, menggunakan dua jari berjalan naik menyusuri tulang hidung Steven, lalu beristirahat sejenak di rambut tebal lelaki itu.

The TeaseWhere stories live. Discover now