13.2

33.2K 5.7K 332
                                    

Selamat membaca


KALIMAT itu berputar dalam benak Steven. Dia tersenyum miris dalam hati. Seharusnya ucapan itu dia tujukan lebih dulu kepada diri sendiri sebelum ke Rukma. "Jangan keras pada diri sendiri, Steven."

Meski selalu mengira sudah lama meninggalkan kenangan buruk itu, ketakutan Steven akan hubungan serius mengatakan sebaliknya. Dia masih terjebak di sana. Terkadang, saat malam datang, walaupun sedang mengurung diri di kantor dengan setumpuk pekerjaan—Steven masih sempat menyalahkan diri sendiri atas rasa malu sang mama dan suami beliau. Di depan petinggi rumah sakit dan kolega bisnis, dia ditinggalkan begitu saja setelah kalimat, "Stev, sorry, aku nggak bisa. Aku mencintai Grace."

Bagaimanapun Steven menyakinkan orang terdekatnya dia tidak berubah, jauh di dasar hatinya dia sadar betul—banyak perubahan dalam dirinya. Ada bagian-bagian yang hilang, dan entah bakal ditemukan atau tidak. Bahkan, saat dia ditanya Ghina; "apa lo benar-benar yakin mau sama Rukma? " Dia cuma menjawab, "Let me try, okay?"

Rukma masih terdiam, sementara satu tangannya bertahan di puncak kepala perempuan itu. Ketakutan di mata Rukma sudah lenyap, digantikan rasa prihatin yang sedikit mengusik hati Steven. Rukma bukan orang pertama yang melihatnya dengan cara seperti itu, Alfa pernah, Ghina juga, tetapi Rukma ... dia tidak mengharapkan itu dari Rukma.

Tangannya turun perlahan, menelusuri tulang rahang Rukma, lalu menangkup satu pipi perempuan itu. Dengan lambat, ibu jarinya bergerak ke kanan dan kiri.

"Penilaian aku ke kamu masih sama," kata Steven. "Kamu cewek yang kuat, Bunda yang baik buat Tita."

Bicara soal Tita. Berdiri di depan kamar, dengan posisi sedekat ini, dan situasi seemosional yang tercipta. Steven tiba-tiba menyesali permintaannya kepada Ghina, membawa Tita beberapa hari. Ide yang awalnya terlihat cemerlang, kini dipenuhi ranjau. Tujuannya supaya saling mengenal dan menentukan apa mereka bisa dibawa ke hubungan yang pasti, tetapi—

"Ngomong-ngomong soal jangan keras sama diri sendiri." Tiba-tiba Rukma menghancurkan keheningan, yang tadinya Steven pikir bakal mengarah pada kecanggungan. "Kamu juga."

Rukma menyelimuti punggung tangan Steven, menggeser pipi secara perlahan sampai bibir perempuan itu menyapa telapak tangannya.

Steven berusaha mengancam gairah agar tetap tertidur, tetapi gagal. Sorot mata Rukma memancing hal-hal, yang dia kunci rapat sejak Rukma mengajukan penawaran tentang pertemanan. Tatapan dalam Rukma saat ini memercikan api seperti pematik.

"Aku kenal betul sama ekpresi kamu, Steven," lanjut Rukma, tanpa memikirkan embusan napas yang menggelitik telapak tangan Steven sangat berbahaya. "Kamu juga kesakitan kayak aku. Aku berpura-pura nggak sakit selama kurang lebih tiga tahun, kamu? Kalau nggak keras sama diri sendiri, itu namanya apa, Bapak Steven?"

Seperti dugaan Steven. Meski dia tidak menceritakan secara detail tentang apa yang dirasakan, Rukma pasti memahami dengan cepat. Namun, Steven tidak ingin memanjangkan pembicaraan tentang apa yang dia lakukan kepada diri sendiri setelah hari itu. Dengan terburu-buru, Steven mengolah banyak hal dalam benaknya—mencari sesuatu buat memindahkan obrolan.

"Apa aku udah bilang kalau cara kamu berdandan hari ini sangat mengagumkan?" tanya Steven sembari tersenyum, mengakhiri tangkupan di pipi Rukma, lalu meraih ujung dagu perempuan dengan sangat lembut. "Kalau tadi aku nggak ikut, dan kamu memutuskan buat bersantai sebentar di kafe—aku yakin kamu pulang bawa banyak penawaran perkenalan."

Rukma menarik wajah dari jangkauan Steven, sambil memandang curiga kepadanya. "I know what you want to do."

"What?"

"Mengalihkan pembicaraan dengan pujian. Terima kasih, tapi maaf nggak mempan."

Steven tersenyum tanpa menunjukkan giginya. Dia maju selangkah lagi, berdiri di garis pintu.

"Jadi hal apa yang bisa mengalihkan perhatian kamu? Seingat aku, beberapa hari terakhir obrolan kita terlalu berat." Rukma mundur selangkah, dan Steven ikut maju selangkah. Dia kembali mengulurkan tangan, memosisikan jemarinya di satu sisi leher Rukma.

Apa yang dia lakukan menahan Rukma di tempat, membuat posisi mereka lebih dekat dari sebelumnya. Steven sengaja menunduk sedikit sampai kening mereka bertemu, memperhatikan setiap bulu mata yang membingkai mata Rukma, merasakan aroma parfume perempuan itu—manis dan memabukkan.

"Bisa nggak kita berhenti berpikir sebentar saja?" tanyanya lembut, kemudian mempertemukan bibir mereka.

Sudah berapa malam dia memimpikan ciuman ini sejak ciuman panas mereka yang terakhir. Dalam ingatan yang terkadang samar, Steven bisa memastikan merasakan langsung bibir Rukma—rasanya jauh lebih baik.

Bibir perempuan ini jauh lebih hangat dan manis dari yang diingat.

Jemari Steven sudah terselip di antara rambut Rukma, menahan Rukma untuk memundurkan kepala. Ciuman yang tadinya dia rencanakan lembut, berubah arah dengan cepat. Dia mencium keras, panas, dan menuntut. Rukma yang tadinya enggan membalas, membuka bibir—mempersilakan lidah Steven menjelajah di sana dalam tempo stabil. Namun, desahan Rukma—meruntuhkan pengendalian diri Steven. Cara Rukma membalas ciumannya berhasil membakar seperti api yang membara. Keduanya sama-sama tenggelam, mereguk dalam-dalam seperti orang sudah puluhan tahun kehausan.

Ketika Steven berhasil berpegangaan kembali pada pemikiran; jangan terburu-buru dan tidak mau menyakiti Rukma. Dia berhasil memaksa dirinya berhenti mencium perempuan itu. Saling menarik diri, kompak terengah-engah.

Semakin hari, Steven semakin tidak tahu harus bagaimana mengatasi ketertarikannya kepada Rukma. Sekeras apa pun dia mengingatkan dirinya ketergesaan bisa memperparah luka Rukma, tetapi setiap kali mereka dekat—gairah yang mengaliri tubuhnya enggan diajak kerja sama.

"Sepertinya aku harus ke atas dan balik kerja," ucap Steven, berusaha terdengar santai. Bahkan, sengaja menambahkan nada jenaka di sana.

Tidak seperti pengalaman sebelumnya yang langsung kabur seperti habis melihat hantu, Rukma beberapa kali berkedip—terlihat memfokuskan diri, hingga Steven tidak tahan untuk tidak tertawa.

"Ya, seharusnya memang begitu," gumam Rukma.

Dan lucunya, Steven menemukan nada berbeda dari kalimat Rukma. Bukan ketakutan, seperti Rukma sedang menyayangkan sesuatu.

"Corret me if I wrong. Apa kamu menyesali ciuman kita barusan, atau kamu menyesal aku berhenti mencium?"

Sercecah rona merah merekah di pipi Rukma, tetapi perempuan itu tidak menjawab. Buru-buru membalik badan Steven menghadap pintu yang sedari tadi terbuka, mendorong punggungnya sepenuh hati sampai Steven kembali ke posisi awal—di luar kamar.

"Apa pun alasan aku menyesal. Lebih baik merasakannya itu sekarang, daripada nanti menanggung yang lebih besar." Rukma meraih gagang pintu, sudah kembali memasang tembok perbatasan—tidak terlalu tinggi. Karena Steven masih bisa merasakan kelembutan memancar dari mata Rukma. "Terima kasih sudah membagi masa lalu, yang aku tahu sulit buat kamu bagi ke orang asing seperti aku."


Terima kasih sudah membaca. 💜


Seperti biasa bagi yang baru mencoba membaca naskah aku, kalian bisa follow Instagram aku: Flaradeviana. Siapa tahu mau kenalan sama naskah2 yang lain, lihat2 spoiler di sana. 💜



Love, Fla!

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang