7.1

29.6K 6.7K 594
                                    


Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan commennya, gaes.



SEMUA yang ada dalam diri Rukma melebur, seperti es besar yang mencair dan basah di titik tertentu. Bibir Steven terlalu hangat, lebih hangat daripada tempelan bibir beberapa hari lalu. Menawarkan sesuatu yang lebih, seperti sebuah upaya untuk meyakinkannya tentang sesuatu—apa ini tentang kalimat sebelumnya? Padahal, aku punya kehidupan di Jakarta. Apa Steven sedang berusaha mengatakan bahwa lelaki ini bisa mempunyai dua kehidupan berbeda yang berjalan beriringan?

Kewarasaannya coba mengambil alih lagi diri Rukma, tetapi gagal ... cara Steven menggerakkan bibir dan tidak terkesan caraku-atau-berhenti berhasil merayu sebagian besar dalam diri Rukma buat bertahan dan menikmati ini.

Ini bukan hal yang salah. Iya, kan? Pertanyaan itu menggema dalam benaknya, tetapi sebelum jawaban berhasil ditemukan.

Dia sudah membuka bibir di bawah serangan Steven, sementara lidah lelaki menyambut sukacita dengan menjelajahi setiap sudut mulutnya disertai sentuhan-sentuhan lembut Steven di beberapa titik tubuhnya. Sensasi menakjubkan muncul dan menjalar dari ujung rambut ke jari kaki Rukma, sampai-sampai dia menginginkan hal yang lebih lagi.

Ciuman tidak cukup untuk Rukma. Sentuhan ditangan dan punggung Rukma tidak cukup untuk Steven.

Steven mengerang pelan, lalu menarik Rukma kian dekat, menggoda kedua tangan Rukma melingkar di pinggang Steven. Astaga. Dia bahkan belum cukup dekat dan tahu apa-apa tentang lelaki ini, tetapi sesuatu tentang Steven membuatnya kewalahan karena merindu. Hampir tiga tahun dia menolak kehadiran satu pun lelaki,. Dia mampu menguasai diri, kenapa sekarang malah hilang kendali begini. Seperti ada satu kabel dalam dirinya yang terlepas ketika mengetahui di balik sikap tegas serta tanpa basa-basi Steven, tersembunyi lelaki manis, antusias, hangat .....

Pembatas yang coba dibangun Rukma runtuh tak tersisa. Dia kebingungan menemukan cara keluar dari situasi berbahaya seperti ini—hari di mana Rukma sangat takut Steven pergi dari kehidupannya. Steven mengumamkan namanya di bibir mereka yang menyatu, mendesah, seraya menelusuri jemari di lekukan punnggu, tanpa memedulikan hal-hal itu menggetarkan diri Rukma sampai kedua lututnya lemas dan dia merapatkan diri ke Steven. Dadanya menekan dada kukuh Steven, dan bibir lelaki itu makin rakus memakan bibirnya, yang anehnya tetap terasa lembut bagi Rukma—tidak ada kasar-kasarnya sama sekali.

Hasrat yang begelung di antara keduanya mendadak tertahan, saat ponsel di meja kerja Steven berdering.
Steven mematung, dengan napas memburu dan mata penuh gairah. Rukma juga diam, dengan pikiran kusut.

Dalam sekejap, akal sehat Rukma kembali berfungsi dan kenyataan dia hampir saja membuat kesalahan gila menghantam dengan keras bagai tertabrak bus pariwisata yang besar. Rukma memaki dirinya dalam hati, mengeluarkan sumpah-serapah yang dia tahu, tetapi tidak ada yang cukup membuatnya merasa bersalah, hingga ... memang ya darah nggak bisa bohong, ibunya murah, anaknya juga!

Rukma mundur secara otomatis lalu lari meninggalkan kamar Steven, tanpa mengucapkan selamat bekerja lagi, atau pertanyaan yang sebenarnya dia bawa saat naik tadi; kira-kira kita mau makan malam di mana, ya? Aku mau menyiapkan keperluan Tita selama pergi.

Ketika Rukma nyaris membuka pintu kamar, sikunya ditarik. Tidak kasar, tetapi cukup tegas memaksa Rukma berbalik dan menatap si pelaku.

"Kenapa—"

The TeaseWhere stories live. Discover now