11.2

26.6K 5.9K 296
                                    



Selamat membaca

BEBERAPA jam berlalu sejak Tita meninggalkan rumah, meja panjang yang biasanya dijadikan tempat Tita menggambar atau Latihan menulis, kini ditutupi banyak keperluan kerja milik Steven: kertas gambar, laptop, iPad, sampai penggaris dan pensil. Setelah beberapa hari selalu kerja di satu tempat yang sama, kamar di lantai dua, akhirnya Steven bisa bekerja di tempat berbeda dari rumah ini.

Dia mati-matian menenggelamkan diri di rumus-rumus bangunan rumah istirahat Ghina-Alfa, berusaha tidak mengindahkan gerak-gerik Rukma yang terkadang membuat fokusnya kian tipis. Sebenarnya perempuan itu tidak melakukan sesuatu yang mengganggu, cuma bolak-balik melewati pintu pemisah rumah dan kafe—kadang ke dapur ataupun ke kamar—meliriknya sedikit pun tidak dilakukan Rukma. Steven saja yang kesulitan mempertahankan kesepakan pada diri sendiri untuk bekerja sesuai jam kantor meski berada jauh dari gedung MegaTarinka Architectur. Dia ingin menarik Rukma duduk di dekatnya, mengulik kedalaman bagian-bagian tersembunyi di diri Rukma yang tidak diketahui dunia—termasuk Ghina.

Ketika dia sudah membereskan bagian menghitung dan bersiap menggambar di AutoCAD, bunyi pintu kamar yang tertutup—membuat Steven menoleh. Rukma keluar dari sana, berjalan santai menuju ruang depan seakan tidak menyadari kehadiran Steven. Tidak ada tanda-tanda Rukma mau menegur Steven, tetapi dia terlalu gatal untuk tidak bertanya sebelum Rukma membuka pintu rumah.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya.

Rukma berbalik, sembari memegangi tali sling bag hitam. Sejenak, Steven tidak bisa memindahkan matanya dari Rukma, yang terlihat siap pergi.

"Memang kenapa?" Rukma balik bertanya, tetapi Steven sudah lebih dulu sibuk memperhatikan satu demi satu perbedaan penampilan perempuan ini saat pergi bersama Tita dan tidak.

Kemudian, dia berdiri dan menghampiri Rukma buat memastikan apakah di wajah perempuan itu memang ada make up atau hanya perasaan Steven saja. Ketika memastikan ada make up tipis menghiasai wajah Rukma, bukan cuma lipstik berwarna nude yang biasa dipakai demi tidak terlihat pucat—hari ini lengkap.

Rukma mundur tanpa melepaskan genggaman di tali tas, menaikkan satu alis dan kembali bertanya, "Kenapa?" Nada tenang Rukma digantikan gemas. "Ada sesuatu yang perlu aku bantu urus?"

Dan lagi, mata Steven masih sibuk menilai sampai enggan menjawab. Tidak ada jins dan kaus. Rukma mengenakan baju berlengan sampai siku berbahan rajut tipis abu, yang dipadukan dengan long tulle midi skirts hitam. Bahkan, rambut yang biasa digerai asal-asalan atau dikuncir kuda—dirapikan sedemikin rupa hingga membentuk bun yang dipermanis headband polkadot kecil.

Rukma semakin mundur, sampai punggung perempuan itu menyentuh pintu. "Kamu kebanyakan kerja sampai bertingkah aneh, atau—" Rukma menunduk dan melihat penampilan diri sendiri, lalu bahu Rukma menegang. "Apa? Mau bilang penampilan begini nggak cocok buat ibu anak satu?"

Tidak cocok? Steven menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, dia berani bertaruh tidak ada yang mengira Rukma sudah memiliki anak.

"Kamu mau ke mana?" tanya Steven lagi, dan Rukma mengerutkan kening.

"Pergi. Nggak mungkin kan aku menyapu halaman depan pakai baju serapi ini."

"Sendiri?"

Kepala Rukma miring sedikit ke kanan sambil memuta bola mata. "Kenapa kamu harus tahu aku mau pergi ke mana atau sama siapa?" Kemudian, Rukma mendorong Steven beberapa langkah sampai ada ruang buat membuka pintu. "Silakan kembali bekerja, aku pergi dulu."

Tanpa berpikir kenapa atau bagaimana, Steven menarik siku dan menahan Rukma melewati pintu. "Kerjaan aku hari ini udah beres. Kamu mau ke mana? Aku antar."

The TeaseWhere stories live. Discover now