4.1

29.6K 6.6K 625
                                    




Sebelum baca jangan lupa taburan bintang dan komennya, ya.


Selamat membaca kalian


SATU-satunya yang bisa Rukma lakukan adalah megencangkan bibir dan menahan teriakan gemas melihat tingkah Tita, sementara Fariza terus mengelus punggung--merayu agar Tita mau melepaskan diri darinya

"Bunda cuma mau pergi sebentar, Tita," kata Rukma setengah merengek, yang langsung didukung Fariza dengan kalimat membujuk; nanti main pasir-pasiran sama Mbak.

Biasanya rayuan mainan pasir warna-warni bisa membuat Tita merelakan kepergian Rukma, tetapi hari ini ... boro-boro lepas, melirik Fariza saja Tita tidak sudi.

Rukma mengelus bagian belakang rambut Tita, menarik napas dalam-dalam, sambil memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk keluar dari krisis ini. Namun, pintu rumah yang terbuka, dan Steven berjalan melewati ambang pintu, membuyarkan segala usaha Rukma. Dari cara lelaki itu menghentikan langkah yang dan menganalisa apa yang terjadi, sepertinya Steven cukup terkejut melihat hasil karya Tita di ruang tamu sekaligus ruang tengah ini. Mainan berserakan, bahkan baju-baju pergi yang diambil asal dari kamar dan ditaruh di meja ruang tamu.

"Wow," kata Steven akhirnya, sambil membungkuk dan menyingkirkan mainan balok dan puluhan huruf ke sisi yang jauh dari jangkauan kaki panjang itu.

"Ya, wow," sahut Rukma lalu memberi kode supaya Fariza kembali ke kedai lebih dulu. "Hulk kecil mengamuk," lanjutnya.

Dan Steven sudah berdiri di samping Rukma, mengusap-usap rambut Tita dengan sangat lembut. "Siapa yang memancing hulk kecil bangun?" Tersenyum ramah kepada Tita, yang membuat bocah ini buru-buru menyembunyikan wajah di tengah dada Rukma.

Sialan. Kenapa harus tersenyun begitu sih?

"Mau ikut saya pergi," jawab Rukma mewakili Tita.

"Pergi?"

"Saya harus belanja bulanan. Saya selalu belanja sendiri karena nggak mungkin saya bawa Tita dan belanjaan sekaligus. Biasanya nggak masalah, Tita mau ditinggal sama anak-anak kedai, tapi hari ini ..." Rukma mengembuskan napas lambat. "Ya sudahlah, saya belanja besok-besok saja. Mungkin hari ini Tita—"

"Ayo, saya antar."

Steven mundur dua langkah darinya, dan Rukma memanfaatkan waktu hening di antara mereka untuk mencari tahu apa Steven sekadar berbasa-basi demi kesopanan, atau ....

"Mungkin, Tita mau jalan-jalan sama bundanya," lanjut Steven, seakan-akan ingin menghapus opsi menawarkan demi kesopanan dari benak Rukma. "Dan saya perlu membeli beberapa kebutuhan pribadi. Win-win solution, kan?"

Rukma menghela napas. "Kamu ke sini bukan liburan. Kerja. Ada klien menyebalkan yang nunggu di Jakarta."

"Sangat setuju di bagian menyebalkan, tapi ..." Steven memasukkan kedua tangan ke saku jins, lalu meringis dan rahang kukuh itu mengetat. "Saya rasa Ghina nggak masalah kalau satu-dua jam waktu kerja saya dipakai untuk membantu sahabat kesayangannya."

Rukma menggigit bibir dan menatap Steven, benar-benar tidak tahu apakah ide pergi bersama ide yang bagus atau tidak, tapi Tita yang sepertinya memahami situasi "bisa ikut Bunda", keluar dari persembunyian. Bocah itu melirik Steven, dan demi Tuhan seperti ikan memakan umpan—Steven maju lagi dan mengulurkan tangan ke pipi Tita.

"Kamu udah siap pergi?" Steven bertanya, seraya melirik Rukma. Ada sesuatu dari tatapan Steven yang langsung menghujam dada Rukma, tanpa kompromi, hingga Rukma merasa satu perasaan kuat—takut? Entah, sesuatu yang kuat dan membuatnya kembali tidak tenang.

Sepertinya, Rukma terlalu lama tenggelam dalam pikiran sendiri, sampai tidak tahu apa yang dikatakan Steven hingga Tita melepaskan pelukan dari lehernya dan berpindah gendongan ke Steven.

"Wah, kamu memang hulk kecil." Kalimat pertama yang melewati telinga Rukma, mengembalikan fokusnya. Steven menggendong Tita dengan hati-hati, sementara Tita tersenyum lebar. "Saya dan Tita tunggu kamu di mobil."

Steven memberi perintah sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipi Tita, dan pemandangan itu menghantam Rukma seperti ada beberapa peluru menembus dadanya.

"Rukma?"

Rukma menarik napas dan mengangguk. Dengan jantung yang berdegup tidak biasa, hingga sakit yang entah datang karena apa, Rukma berjongkok dan mengambil baju-baju yang dijadikan pelampiasan kekesalan Tita tadi. Setelah berhasil mengumpulkan, Rukma berjalan dan memasuki kamar. Dia tidak langsung membereskan yang harus dibawa untuk berpergian bersama Tita, susu-pampers-baju ganti, Rukma terduduk di pinggiran ranjang. Satu tangannya merayap dan berhenti di dada.

Cara Steven menggendong dan memeluk Tita, senyum Tita. Bahkan, anak itu tidak pernah mau digendong pekerja cowok di coffee shop. Kenapa? Saat Rukma tidak sengaja melihat pantulan dirinya di kaca bulat di atas lemari putih panjang tempat pakaian Tita, rasa bersalah yang selalu diabaikan Rukma kembali datang. Karena begitu banyak ketakutan dalam dirinya, Tita tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah.

Sesaat, Rukma menikmati sensasi menusuk-nusuk tulang belakang yang menyebar ke seluruh tubuh, membuatnya kesakitaan dan kebingungan. Setelah merasa cukup, Rukma berdiri dan memandang sekali lagi pantulan dirinya di cermin.

"Aku melindungi Tita dari rasa sakit. Kemungkinan kehadiran Tita diterima oleh si ayah dan keluarganya hanya 0,1%. Jadi begini saja sudah baik." Rukma berbicara pada tampilan dirinya di cermin, lalu tersenyum kecil.

Kemudian, dia buru-buru merapikan yang harus dibawa. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Rukma menyempatkan waktu untuk berpamitan kepada Fariza dan meminta tolong dibantu merapikan sisa-sisa kekacauan Tita. Sebelum Fariza berhasil memunculkan lirikan atau apa pun yang mengarah ke ledekan tentang penghuni sementara, Rukma berlari kecil menuju mobil Steven.

Dan sekali lagi, Rukma mematung sepersekian detik melihat pemandangan saat pintu mobil terbuka. Kata; maaf menunggu lama, menguap begitu saja.

Tita dibalik kemudi, di pangkuan Steven, dan keduanya tengah tertawa.

"Akhirnya Bunda datang!" seru Steven, yang dibalas senyum antusias Tita. "Sudah?"

Rukma hanya mampu mengangguk, lalu naik ke mobil. Saat dia berminat mengarahkan tangan untuk mengambil Tita, Steven menggeleng.

"It's okay, Tita mau nyetir sama saya," kata Steven.

"Ngggg. Ngg. Nda." Susul Tita, seolah sedang ikut membujuk Rukma.

Rukma memandang Steven dan Tita bergantian, lalu memutar bola mata malas. "Astaga, kalian baru aku tinggal lima belas menit nggak ada, dan sekarang sudah menjadi sekutu buat lawan aku?" Rukma sengaja memasang ekpresi terkhianati dan suara merengek. "Tita, beneran nggak mau dipangku Bunda?"

Dan saat Tita menggeleng tanpa berpikir dua kali, Rukma membuka bibir dan memasang wajah terkejut—ditambah efek kedua tangan di depan dada—seakan-akan terkena serangan jantung.

Tita tertawa melihat aksinya, tetapi Steven malah menatap Rukma tanpa reaksi apa pun. Wajah lelaki itu tenang, dengan kedua mata tanpa emosi yang terbaca.

Karena tidak terlihat lebih aneh, Rukma memasukkan tujuan mereka ke GPS mobil Steven, lalu berkata, "berangkat?"

Cuping hidung lelaki itu mengembang, lalu mengatur posisi duduk yang nyaman bersama Tita.

Ketika mobil bergerak menjauh, dan tawa Tita mengisi seluruh mobil, tiba-tiba Steven bersuara, "Ekspresi kamu dan Tita saat tersenyum sangat mirip."

"Oh ya?"

Steven menggangguk dan melirik Rukma. "Sama-sama manis."






Termina kasih sudah membaca 💜

Untuk mengikuti informasi naskah2, spoiler atau apa pun, kalian bisa follow ig :

Flaradeviana
Atau
Coretanflara

The TeaseWhere stories live. Discover now