7.2

30K 6.8K 478
                                    



Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Gaes.


DUA JAM berlalu, tetapi beberapa pertanyaan masih berputar di kepala Steven sejak melihat Rukma keluar dari kamar seperti dia akan melakukan kejahatan tingkat satu.

Bagaimana dia bersikap di depan Rukma setelah ciuman kedua? Apa yang harus dia lakukan kalau Rukma kembali melempar situasi mereka kembali ke awal?

Pertanyaan tersebut masih setia mengitari setiap sudut otaknya, tanpa mengizinkan satu pun jawaban yang terasa tepat muncul untuk mengakhiri segala kebingungan. Bahkan, saat dia sedang menuruni tangga--detik-detik bertemu Rukma dan Tita. Di anak tangga terakhir, Steven mengerang. Dia teringat cara Rukma membalas ciumannya, getaran tangan perempuan itu. Rasanya seperti perpaduan kelaparan dan ketakutan. Dua hal yang juga makin mengganggu pikiran Steven.

Dia berhasil kebal terhadap perempuan selama bertahun-tahun, tetapi kenapa saat bersama Rukma—menatap mata kelabu tanpa dasar itu, kerapuhan yang disembunyikan apik dengan kekuatan dan keceriaan, selalu membuat Steven hilang kendali.

Steven mencengkeram ujung pegangan tangga, lalu kenangan yang paling enggan dia ingat melambaikan tangan. Kesalahannya dulu juga dimulai dari ciuman, hasrat yang menggebu sampai dia percaya sudah menemukan pasangan yang hebat dan tepat, tetapi ....

Bagaimana kalau ini juga kesalahan? Apa-apa yang terjadi hanya gairah yang lama tak tersulut. Sialan. Dia benar-benar benci, begitu sadar kalau efek masa lalunya masih memengaruhinya. Dia sebal setengah mati karena apa yang dilakukan Laura masih bercokol dalam otaknya padahal bertahun-tahun sudah bejalan sejak perempuan itu meninggalkannya di altar. Padahal, perempuan itu berjarak 14.000 km darinya.

Suara pintu tertutup kencang, menghentikan pikiran Steven tentang Laura, dan ketika dia melewati anak tangga terakhir Tita muncul sambil tersenyum lebar.

"Om Tip! Om Tip! Nda, Om Tip." Tita benar-benar atusias melihatnya sambil menarik satu tangan, sementara tatapan Steven tertumbuk pada Rukma yang mucul beberapa detik setelah Tita.

Sebenarnya kenapa dia begitu terpikat kepada Rukma? Apa yang dimiliki perempuan ini sampai Steven berkeinginan keluar dari zona amannya?

Karena berjuang untuk anak ini, tanpa memedulikan apa pun?

"Pas tahu digantiin baju pergi, dia happy banget. Biasanya jam segini aku pakein baju bobo, eh, ini pake baju bagus. Udah gitu, makin antusias, setelah aku bilang mau diajak Om Tiv naik mobil," jelas Rukma, padahal Steven mengeluarkan satu kata saja belum. "Udah aku suruh tunggu dulu di kamar, aku mau ganti baju sama berberes barang-barang dia. Eh, dia langsung nyelonong keluar. Mau panggil Om Tiv." Rukma tertawa, dan Steven melirik Tita yang menggenggam satu tangan Steven. "Sok-sokan mau berani naik ke lantai dua. Dia tuh takut naik ke sana karena dari dulu Embun suka iseng bilang di sana ada yang serem-serem."

Meski mata Rukma fokus kepada Tita dan tatapan penuh sayang itu ditujukan untuk bocah yang memegangi tangannya, dada Steven tetap berdegup tak karuan—seakan Rukma sedang menghujaninya kasih sayang tak berujung.

Mungkin ini yang membuatnya tertarik, Rukma berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah disodorkan kepadanya. Rukma yang berisik, tetapi menggemaskan. Rukma yang terlihat biasa, tetapi sama sekali tidak membosankan. Rukma tidak pernah repot-repot berusaha terlihat menyenangkan di depannya. Semua berjalan begitu natural.

"Kamu udah ganti baju?" tanya Steven.

"Menurut kamu?" Rukma bertanya, dan Steven tersenyum masam. "Aku baru urus ada barang masuk di kedai, sama bayar-bayar tagihan. Sori."

Dia menggoyangkan tangan Tita sambil menatap bocah itu, lalu bertanya, "Kita tunggu di mobil? Mau?"

Dengan mata berbinar-binar, Tita mengangguk dan terburu-buru menarik tangannya. "Ups, ada yang nggak sabaran lagi, nih."

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang