6.2

29.5K 6.5K 514
                                    

*
*

Selamat membaca



STEVEN meregangkan kedua tangan sambil berdiri, lalu menepuk-nepuk leher yang kaku setelah menghabiskan waktu sejak pagi sampai sore begini, dengan duduk menunduk dan menggambar kerangka renovasi rumah istirahat Ghina yang rasanya lebih susah dikerjakan dari proyek-proyek lain. Kurang ini, coba ditambahin itu. Padahal, dia ingin segera menyelesaikan pekerjaan di sini dan kembali beraktivitas normal di Jakarta.

Seketika dia tertegun saat kata normal dan Jakarta terlintas di benaknya. Steven berdiri di depan jendela dan merasakan angin yang lumayan kencang membelai wajah serta memainkan ujung rambut yang beberapa hari terakhir tidak pernah lagi dia pakaikan pomade.

Benarkah dia ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta? Bagaimana dengan hal-hal yang menarik perhatiannya di sini? Rukma. Tita. Apa perasaan tertarik ini bakal hilang setelah kembali ke Jakarta? Apa ada baiknya melakukan seperti yang diminta Rukma? Menjaga jarak demi kebaikan bersama ....

Steven menyenderkan satu tangannya di kusen jendela, lalu mengehela napas kasar sambil memperhatikan langit sore yang jarang sekali dia nikmati pemandangannya di Jakarta. Dia tersadar. Bukan cuma tentang rasa tertarik besar yang sudah lama tidak dia rasakan, dia menadapatkan banyak hal lainnya di sini. Steven jadi lebih manusiawi. Rutinitasnya masih sama dari buka sampai tutup mata, hanya saja ada selipan yang tidak pernah dilakukan di Jakarta. Sarapan yang layak. Mendengar ocehan tentang tukang gas yang susah ditelepon padahal sudah telanjur masak setengah jalan. Rengekan balita. Di otaknya ada hal lain selain desain-build-money.

Saat dia menyelesaikan pikirannya itu dan berbalik, Steven terlonjak mendapati Rukma sedang bersandar di kusen pintu sambil membawa semangkuk buah naga.

"Aku baru tahu melamun itu bisa menular," kata Rukma, seraya tersenyum dan mengangguk. "Lain kali aku harus hati-hati biar kamu nggak tertular. Oh ya, sewaktu aku naik pintu kamu udah bukaan. Aku juga udah panggil nama kamu, tapi kamu lagi serius lihat langit."

Steven menunjuk mangkuk di tangan Rukma dengan ujung dagu, yang langsung diakui Rukma sebagai ucapan terima kasih. Dia mengerut, makan malam saja belum, kenapa Rukma sudah mengucapkan terima kasih?

"Karena kamu sudah mau membujuk Tita supaya mau main sama Embun selagi aku mengurus beberapa pekerjaan penting, terus sekarang dia tidur pulas banget saking capeknya main." Rukma memberi kode untuk masuk, dan Steven mengizinkan. "Tadi aku sempat tanya Ghina cemilan kamu di kantor apa, terus dia jawab buah. Di kulkas cuma ada ini jadi aku—"

Steven mendekat, menggunakan garpu dia menyuap satu potong buah naga tanpa memindahtangankan mangkuk dari Rukma. "Aku pemakan segala buah." Tidak ada maksud lain dari kalimat itu, dia memang menikmati buah apa pun—tetapi Rukma yang mendadak tersipu dan salah tingkah, menyadarkan Steven ke arah mana pikiran Rukma berjalan.

Sambil menggigit ujung garpu, Steven menunduk untuk menyembunyikan tawa dari Rukma. Buah yang itu juga dia suka, hanya saja terlalu implusif menikmati yang itu dengan terburu-buru. Dia tidak mau salah langkah lagi.

"Aku taruh di meja," ucap Rukma, yang terdengar seperti sebuah usaha untuk pergi dari kamar ini secepatnya.

Dia mengangkat kepala, membiarkan Rukma berjalan ke arah meja kerjanya. Dan tanpa bisa menahan diri, Steven membiarkan matanya mengamati penampilan Rukma yang agak berbeda. Tidak ada kaus oversize dan jins. Perempuan itu menggunakan dress navy polkadot selutut, menampakkan kaki yang bentuknya bagus, serta garis leher atasan yang lumayan rendah sampai—dia mengerjap. Rukma sudah menaruh mangkuk di meja dan menghadap ke arahnya, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Shit! Dia ketahuan.

Masih menggigit ujung garpu, Steven mengangkat kedua tangan, meskipun kulitnya mendadak gatal.

"Katanya sudah dewasa, tapi cara kamu melihat ini—" Oh, wow, si canggung Rukma sedang bersembunyi. "Seperti anak baru akil balig."

Kata-kata menggoda Rukma sangat kontras dengan tatapan tegang perempuan itu ke wajah Steven, yang kemudian kembali diputus secara terburu-buru.

"Rancangan buat rumah sebelah?" Tiba-tiba Rukma bertanya, seraya menunjuk kertas-kertas gambar di mejanya.

"Begitulah."

"Pantes sih kalau Ghina minta revisi terus." Steven terkesiap, sementara Rukma memusatkan mata ke tiga rancangan kasar yang dibuatnya sejak kemarin untuk dipilih Ghina. "Bangunan itu sama sekali bukan Ghina. Setahu aku rumah sebelah mau direnovasi supaya Ghina bisa beristirahat sejenak dari hiruk-pikuk Jakarta demi punya anak. Artinya rumah itu harus mewakili Ghina, digabung sedikit sama kesukaan yang punya uang alias suaminya. Tapi melihat prinsip apa pun demi Ghina, kamu buat keseluruhan rumah itu mengikuti gaya Ghina rasanya nggak masalah."

Steven menghampiri dan berdiri di samping Rukma, ikut memandangi gambar-gambarnya.

"Masalahnya sahabat kamu ataupun suaminya nggak kasih intruksi khusus kecuali lakukan apa pun yang menurut lo oke, gue percaya sama hasilnya."

Bukan berniat merajuk, hanya saja bekerja berulang-ulang itu menyebalkan.

Walau akhir-akhir ini Steven makin berpikir Ghina tidak mau memberikan request tertentu demi melambatkan pekerjaannya dan berlama-lama di sini, apalagi sebelum berangkat Ghina secara tersirat menegaskan keinginan mencarikannya pendamping. Atau, jangan-jangan, Alfa yang memaksa Ghina supaya dia tidak berada di dekat Ghina selama sisa waktu sebelum perempuan itu resign dari kantor.

"Oh ya?" Rukma menoleh dan mengernyit.

"Iya. Sepertinya dua orang itu sengaja mau nahan aku lama-lama di sini," sahut Steven, sambil menyandarkan bokong ke kepala kursi setelah menaruh garpu di mangkuk. "Entah Alfa masih nggak percaya aku sama sekali nggak berminat sama istrinya, atau Ghina memang mau aku pindah ke sini. Padahal, aku punya kehidupan di Jakarta. Dasar mereka."

Tubuh Rukma menegang dan garis-garis ekpresi menggoda yang sengaja dipasang untuk Steven lenyap, digantikan ekpresi ketakutan yang benar-benar membuat dada Steven tersentak sampai sesak.

"Rukma." Steven mengulurkan satu tangan, lalu menyapukan telapak tangannya ke lengan Rukma—berharap bisa meredakan rasa takut pada perempuan itu. Dan sepertinya, dia salah langkah. Rukma makin kaku. "Aku bercanda. Aku—"

Kemampuan merangkai kata Steven mendadak hilang entah ke mana, bola mata Rukma yang melebar dan menatap lekat matanya, membuat dia terpesona. Mungkin, dia terlalu percaya diri, tetapi Rukma seolah ingin menegaskan bukan berapa lama dia tinggal di sini. Kehidupan di Jakarta. Itu masalahnya.

Seperti akal sehatnya telah hancur, Steven menarik Rukma sampai jarak di antara mereka benar-benar hilang. Kemudian, bibirnya menyapu bibir Rukma. Merasakan kelembutan menggoda yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, mencetuskan pikiran; tak masalah setelah ini Rukma mengikatnya untuk tetap tinggal di sini—dia rela. Steven kian rakus menyesapi setiap rasa yang ada di Rukma, manis eksotis nan memabukkan.

Steven mati-matian menahan kedua tangannya di lengan Rukma, di saat pikiran gila menghasut untuk menjelajah saja.

Namun, Rukma yang terdiam dan tegang di bawah sentuhannya, menciutkan nyali Steven. Dia nyaris menarik diri, saat ujung lidah Rukma membelai bibir atas Steven. Tidak terlalu terasa, tetapi meyakinkan Steven—Rukma menginginkan ciuman ini sebesar dirinya.

Steven menangkap bibir Rukma, lebih rakus, dan melupakan sejenak setiap bagian yang bertentangan dengan prinsipnya selama ini.

Terima kasih sudah membaca 💜

Jangan lupa follow ig

Flaradeviana
Atau
Coretanflara

Love, Fla.

The TeaseWhere stories live. Discover now