18.1

17.5K 3.9K 397
                                    

Selamat membaca
••

Jangan lupa taburan bintang dan komen, Bestie! 🤌🏻🤣

KEESOKAN HARINYA RUTINITAS berjalan seperti pagi-pagi sebelumnya. Steven turun pertama kali untuk berolahraga saat langit masi gelap. Kedua kalinya untuk mandi, dan Rukma masih mendekam di kamar walau langit mulai terang. Ketika dia turun ketiga kalinya, Rukma sudah terlihat di dapur, tapi tidak ada aroma makanan yang menguar. Padahal, sejak Tita pergi, perempuan itu bertekad tetap melakukan kegiatan wajib seperti ada si anak: memasak.

"Daripada bingung jajan apa, mending aku masak buat kita." Begitu kata Rukma, sewaktu Steven berupaya membuat perempuan itu meninggalkan dapur selama Tita pergi.

Kemarin-kemarin, di tengah ketiadaan interaksi Rukma dan Tita, Steven masih bisa mendengar perempuan itu bersenandung atau sekadar menyebutkan nama-nama barang di dapur seperti guru mengabsen anak murid. Namun, hari ini benar-benar hening. Bahkan, sedikit pergerakan saja tidak terlihat. Rukma bagaikan patung yang berdiri di depan tempat cuci piring sembari memandang keluar sana lewat jendela yang terbuka.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, Steven menghampiri Rukma yang berdiri memunggunginya. Tanpa memberi isyarat tentang kedatatangannya, Steven menangkup lembut kedua lengan Rukma, lalu menempelkan bibir ke rambut bagian belakang perempuan itu.

"Pagi," bisiknya.

Rukma Tidak langsung bereaksi atau menunjukkan rasa terkejut. Biasanya, Rukma selalu bereaksi cepat pada apa pun bahasa tubuh Steven. Apa dia harus mengkhawatirkan ini?

Setelah beberapa saat, Rukma mengela napas kasar lalu bertanya, "Kamu terbang dari lantai dua? Kenapa aku nggak dengar suara kaki kamu?"

Itu mungkin nada paling sendu dan serak pertama yang pernah didengar Steven selama tinggal bareng Rukma, dan dia makin sulit menahan rasa marah pada apa pun penyebab kesedihan Rukma.

Steven tidak langsung menanggapi pertanyaan Rukma. Khawatir, apa pun yang dia katakan tanpa pikir panjang malah berpotensi memperkeruh situasi. Entah dia bakal melemparkan kalimat sinis sampai menimbulkan rasa tersinggung Rukma, atau malah memberi ide buruk yang berhubungan sama si penyebab tangisan Rukma semalam. Jadi, dia sengaja merapatkan bibir dan membelai naik turun kedua sisi tangan Rukma. Merasakan halusnya kulit Rukma, sembari memperhatikan situasi tempat cuci piring dan dapur yang malah memperparah kejengkelan dalam dirinya.

Rapi. Tidak ada tanda-tanpa Rukma berkegiatan di dapur.

Steven ingin berkata, "Tumben masih rapi dapurnya."

Namun, yang keluar sebuah pertanyaan seakan tidak memahami alasan kondisi Rukma sangat berbeda. "Mau sarapan di luar?" tanya Steven. "Bubur yang kamu bilang enak dua hari lalu. Kayaknya, oke deh buat jadi makan pembuka kita hari ini."

Rukma berupaya melarikan diri sembari membawa lap kering, seolah perempuan itu mempunyai kemampuan melihat yang tidak terlihat sedang mengacaukan meja makan, dan kehadirannya ditugaskan membersihkan kekacauan. Dia mengikuti Rukma, lalu berdiri miring di samping agar leluas menatap wajah perempuan itu.

Mata yang bengkak, menggoda jemari Steven menelesuri pipi Rukma, tapi cara Rukma mengelap meja hanya di satu titik membuat tangannya bekerja spontan menangkap lembut pergelangan tangan perempuan itu.

"Sori sebelumnya, mungkin ini bakal terdengar menyebalkan, tapi—" Steven berhenti sejenak, ketika Rukma menoleh. Kesakitan, kebingungan, kemarahan. Semua tergambar jelas di wajah Rukma, mengingatkan Steven pada rasa frustasinya saat mengetahui tidak akan ada mempelai perempuan menemuinya di altar. Fuck! "Bukan meja ini yang perlu dibersihkan, Ma. Kotoran mengganggunya ada di otak dan hati kamu."

Pelajaran yang dia ambil bertahun-tahun lalu, tapi anehnya terasa sakit selagi dilemparkan ke Rukma. Mungkin, karena dia sendiri sadar banget masih belum bisa membersihkan kotoran miliknya secara tuntas.

"Stev?"

Steven mengambil paksa lap kering, lalu melempar sembarang barang itu ke tepian kitchen set. Dia juga menuntun Rukma duduk di kursi, yang segera disusulnya. Mereka duduk berhadapan, dengan kedua lutut saling bersentuhan dan satu tangan Steven menangkup punggung tangan Rukma.

"Setiap luka pasti melewati proses sakit dulu buat sembuh," ucap Steven. "Kalau memang dibutuhkan, aku nggak masalah menempuh itu bareng kamu."

Kebisuan serta sorot mata keberatan sekaligus ngeri Rukma muncul lagi. Tiba-tiba situasi kembali seperti di restoran, usai dia mengajak Rukma membuat keluarga baru. Kalau kemarin, Steven mewajarkan reaksi Rukma—mengingat berapa lama mereka dekat. Namun, kali ini ... dia tidak mau memaklumi apa pun.

Rukma bersiap menarik tangan darinya, tapi Steven menahan sambil menggeleng kecil. Kemudian, karena dia tidak tahan melihat bibir bawah Rukma terus digigit, Steven mengulurkan satu tangan dan menangkup pipi Rukma. Seketika, air mata meluncur menyentuh ibu jari Steven. Perempuan itu menunduk, tapi Steven mengangkat pelan-pelan wajah Rukma—menyambung lagi adu tatap mereka.

"Rukma ...."

"Kamu tahu selama ini David nggak pernah benar-benar melepaskan aku."

Satu tamparan mendarat di wajah Steven.

"Dia menghubungi aku setiap hari. Voice note, foto-foto tempat favorit aku—berbagi sudut tempat kenangan kami. Setiap hari, padahal sejak aku ninggalin dia di rooftop—aku mematikan nomor itu."

Satu tamparan lainnya mendarat di wajah Steven.

"Sejak pindah ke Bandung, dia juga selalu nunggu di depan rumah. Dia—dia juga yang bawa aku ke rumah sakit. Hari itu aku pikir; ah, gue terlalu sakit sampai memimpikan orang itu. Tapi nggak, aku nggak mimpi. Kalimat-kalimat—" Rukma menarik paksa satu tangan keluar dari genggaman Steven, menutup bibir dan terisak.

Jemari Steven yang bertahan di lekukan belakang telinga Rukma mengantarkan rasa dingin ke dadanya, berusaha membekukkan hatinya—siapa tahu ampun menghentikan rasa sakit yang hadir karena menyaksikan kepayahan Rukma serta tangis sendu perempuan itu untuk lelaki lain.

"Seandainya nggak ada apa-apa antara kita," bisik Rukma sembari menurunkan tangan. "Aku bakal mudah menemui David kemarin malam. Iya, dia ada di luar kemarin. Dia mengirimkan foto, terus, terus, tapi—" Satu tangan Rukma yang bebas mengusap-usap bagian tengah dada sendiri. "Kamu. Memikirkan semua tentang kamu, tentang kita, mengurungkan niat aku buat nemuin dia." Tarikan napas Rukma terasa sulit bagaikan ujung belati yang berhasil memperdalam tusukan ke dada Steven. "Aku tahu betul kekecewaan kamu yang dulu belum sembuh. Dikhinati calon istri, di altar lagi. Stev, aku takut secara nggak sadar menambahkan luka lain ke kamu."

Menahan dorongan berbagai perasaan yang sulit dijelaskan, Steven mengizinkan mata Rukma kabur sebentar, sementara tangan Steven pamit dari pipi Rukma lalu mengusap kasar sebagian wajahnya. Ketika mereka sama-sama merasa cukup dengan jeda beberapa detik itu, Steven dan Rukma kompak saling pandang lagi.

"Stev, aku—"

Steven mendaratkan telunjuk di bibir Rukma. Dengan tatapan selembut yang dia mampu, Steven mengulurkan lagi satu tanganya—menjalin ujung-ujung rambut Rukma ke jarinya.

"It's okay, Rukma. Kalau bertemu David bisa membereskan hal-hal yang ganggu pikiran kamu ..." Steven mengangguk kecil. Dia mengurai genggaman dengan Rukma, menyusul satu yang lebih dulu menangkup satu sisi lain pipi perempuan itu, lalu mempertemukan kening mereka. "Go do what you need to do, Rukma. Aku percaya kamu."

Rukma menghela napas lebih kasar dan berkata, "Aku udah duga kamu bakal bilang begini, tapi ..." Kedua tangan Rukma memegangi ujung siku Steven, sembari memejamkan mata. "Aku nggak percaya sama diri aku sendiri. Aku takut mengulang apa yang aku lakukan ke ayahnya Tita."


Coba drop dua emo setelah baca bab ini. 🤭🥺


Terima sudah menyempatkan waktu membaca.

Seperti biasa buat kalian yang mengintip spoiler, mencari tahu tentang naskah-naskah aku yang lain. Kalian boleh follow akun2 berikut

Instagram : Flaradeviana
Tik-tok : Flaradeviana

Love, Fla.

The TeaseWhere stories live. Discover now