18.2

19.3K 4K 249
                                    

Selamat membaca
••

Jangan lupa taburan bintang dan komen, Bestie! 🤌🏻🤣


GHINA SEKALI PUN tidak pernah tahu apa yang tejadi antara Rukma dan Edo, tetapi kali ini ... sekeras apa pun dia menolak dorongan untuk bercerita pada Steven, Rukma selalu terlempar lagi ke pintu yang di dalamnya terdapat kisahnya dan Edo. Seperti ada yang bersikeras Steven harus tahu dulu tentang masa lalunya, baru dia bisa melangkah.

"Kisah masa lalu aku lebih memalukan dari apa yang kamu pikirkan selama ini," bisik Rukma. Dia memberanikan diri membuka mata, setelah kesunyian panjang usai kalimat terakhir tadi.

Dari jarak wajah mereka yang amat dekat, dengan kening saling menyentuh, Rukma bisa merasakan Steven kesusahaan bernapas. Seperti dirinya. Namun, lagi, bagaimanapun usaha Rukma mengakhiri obrolan penting tidak terencana ini, suara-suara di hati kecilnya berhasil meyakinkan dia untuk membagi kisah sepribadi ini ke Steven.

Untuk apa? Entah ....

Dia hanya berpikir, tanggapan Steven akan menentukan pilihannya.

Rukma menggosok kedua siku Steven sekali lagi, sebelum meraih kedua pergelangan tangan lelaki itu dan memisahkan jemari-jemari Steven dari wajahnya.

Dia memundurkan badan sampai ada cukup ruang kosong di tengah mereka, tetapi Steven kembali menggenggam satu tangannya. Erat. Lembut. Seakan-akan berjanji; apa pun yang terjadi, lelaki itu tidak bakal melepaskan tangannya.

Secara perlahan, Rukma menghela napas lalu berkata, "Edo. Ayahnya Tita. Dia kerja bareng aku di coffee shop dekat rumah sakit. Tempat aku ketemu David."

Steven ikut menyandarkan punggung ke kursi, tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. Kejadian yang sama terulang seperti saat dia menceritakan apa yang dilakukan David, sorot mata Steven menjeritkan kesakitan.

Namun, Rukma tetap pada tekad awal: harus mengatakannya.

Biar Steven tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Siapa tahu lelaki ini mau memikirkan ulang tentang pernyataan siap sakit bersamanya.

"David pelanggan tetap di sana. Iyalah, dia teman baik Alfa. Mereka selalu bareng. Dia—" Rukma mengambil jeda lagi. Dia memandang kedua lutut mereka yang menempel, sebelum kembali ke mata Steven. "Seperti yang aku bilang di awal perkenalan kita. Aku naksir berat sama dia sampai sulit banget rasanya bicara normal. Waktu ngobrol yang nggak pernah lebih dari 10 menit, iya, cuma pas dia mesen kopi aja. Buat aku kesulitan bicara depan dia. Aku. Ini lucu sekaligus bodoh, tapi—" Meski sulit, Rukma menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas. "Dia pikir aku bisu."

"Bisu?"

"Iya. Karena aku nggak pernah membalas satu pun ucapannya dengan kata-kata. Anggukan. Gelengan. Senyuman. Sampai di satu waktu, dia minta nomor aku. Katanya biar lebih mudah kami komunikasi: Dia bicara, aku jawab pakai pesan singkat."

Seringai Steven terasa hangat di depan sana. Hingga Rukma tersadar lagi, dia belum pernah benar-benar menceritakan kisahnya dan David kepada siapa pun. Bahkan, Ghina ....

"Tolol 'kan?" tanya Rukma, yang langsung ditanggapi Steven dengan kedua bahu terangkat. "Awalnya, cuma buat ngobrol sewaktu dia memesan. Lama-lama, jadi fasilitas buat memberitahu dia datang ke sana atau nggak. Semakin lama, intensitas mengobrol di pesan singkat kami semakin padat. Entah bagaimana, dia jadi sering cerita banyak hal. Aku juga. Kami sama-sama merasa kesepian di hiruk-pikuk Jakarta. Berbulan-bulan, dia nggak tahu kalau aku bisa bicara. Bahkan, saat kami pergi bersama—aku tetap menggunakan pesan singkat sebagai alat berkomunikasi. Pasti kamu mau tanya kenapa?"

Karena saat itu menjelang jam-jam coffee shop buka, Rukma meminta izin untuk menyetor muka dulu ke Embun dan pegawai lain supaya tidak ada aksi-aksi menggedor.

Lima belas kemudian Rukma kembali, dan Steven masih bertahan di tempat awal. Ada beberapa pertanyaan hadir saat melihat lelaki itu dari kejauhan: Kenapa dia bisa seterbuka ini di depan Steven? Di mana rasa takut dinilai buruk atau disalahkan yang biasanya membuatnya enggan bercerita? Bahkan, pada Ghina sekali pun rasa-rasa itu masih sulit diusir.

Dalam sekali tarikan napas, Rukma kembali bergabung di kursi depan Steven. Dengan sangat lembut, lelaki itu mengembangkan senyum yang entah bagaimana memelankan keributan dalam dadanya. Belum hilang, tetapi kegaduhannya benar-benar berkurang.

"Karena aku takut kehilangan dia. David," kata Rukma cepat, saat melihat bibir Steven terbuka sedikit. "Alasan aku mempertahankan kebisuam di depannya. Berawal gugup, berlanjut jadi kebohongan."

Rukma mengamati ekprsei Steven, menangkap kebingungan lelaki itu mencari benang merah cerita David dan Edo.

"Edo selalu meminta aku jujur. Mengakhiri semua kekonyolan tolol itu." Steven mengangkat satu alis. "Setiap kali aku menolak dengan alasan aku nggak mau David berhenti menyukai aku. Dia selalu bilang begini, Mbak, mengharapkan apa dari hubungan yang berdasarkan kebohongan?"

Rukma menyisirkan tangan kanan ke rambutnya, berupaya menghalau hantaman sakit yang mengingatkannya pada betapa buruknya dia memperlakukan Edo.

"Terus, aku ketahuan." Rukma gagal menahan senyum getirnya. "David marah. Mendiamkan aku. Dan saat itu terjadi, Edo minta aku buat lihat dia." Dia mengangguk, sementara kening Steven mengerut dalam. "Aku tahu dia nggak pernah lihat aku sebagai rekan kerja yang usianya empat tahun lebih tua dari dia. Nasihat dia, sikap baik dia, perhatian dia. Aku—"

Badan Rukma merosot seolah baru saja ada tangan tak terlihat memukulnya, dan kemudian kilasan-kilasan senyum bahagia Edo saat dia mengiyakan ingin mencoba melitas di matanya bagai awan badai beserta kilatan petir.

"Rukma." Suara kental dan parau Steven menariknya kembali pada masa kini.

"Karena aku berpikir, nggak ada harapan buat mengembalikan keadaan aku dan David—aku mengiyakan ajakan Edo buat mencoba." Rukma mentertawai kebodohannya. "Sumpah, aku jahat banget."

Kenangan saat Edo berusaha keras menjadi orang yang pantas buatnya melecut Rukma tanpa ampun. Sayup-sayup berbagai tuduhan dari istri bapaknya terdengar, ikut menyerangnya, sampai kedua tangannya mengepal erat. Kalau bukan inisiatif Steven meraih tangannya, mungkin kuku-kuku dengan bengis mengucurkan darah di telapak tangannya.

"Aku dan Edo menjalani hubungan diam-diam. Tapi sekeras apa pun usaha Edo, aku nggak pernah bisa melihat dia sebagai cowok. Situasi saat itu persis seperti kita saat ini, sedang mengusahakan 'sesuatu'." Setelah berlama-lama memandang ke sembarang arah asal bukan wajah Steven, Rukma mengangkat matanya pada lelaki itu. "Tapi di antara usaha kami, nggak ada hubungan fisik. Sampai akhirnya, David tiba-tiba datang ke kos aku. Dia lama hilang, terus nelepon dan bilang ada di parkiran kos. Nggak aku temuin. Paginya, aku cerita ke Edo. Dia—"

Dia semakin dalam menatap Steven. Keteguhan saat lelaki itu bilang memercayainya tidak sedikit pun berkurang, sementara rasa tidak memercayai diri sendiri semakin mengganggu Rukma.

"Dia bilang, kalau memang harus diselesaikan dengan cara bertemu, lakuin aja, Mbak. Gue percaya sama lo." Air mata yang sempat berhenti, tiba-tiba bergulir ke pipi Rukma tanpa izin. "Pada akhirnya aku nggak pernah balik ke Edo, sampai rahasia yang disimpan David serapi aku menyimpan fakta aku bisa bicara—terbuka."

Tanpa melepaskan tangan Rukma, Steven berpindah dari kursi jadi berlutut di depannya. Saat mata lelaki itu mulai menyeledik sekaligus mempertahankan kelembutan, Rukma mengeluarkan segala ketakutan dalam dirinya.

"Aku takut secara nggak sadar memperlakukan kamu seburuk memperlakukan Edo, tapi di sisi lain—aku merasa harus bertemu David." Spontan, Rukma menggeleng kencang. "Bukan buat balik." Rukma cukup terkejut pada keyakinannya mengatakan keputusan itu. "Aku sadar udah nggak berlaku adil ke dia. Aku nggak suka sewaktu dia nggak mau mendengarkan alasan kenapa aku bohong ke dia, tapi aku juga nggak memberi waktu buat dia membela diri. Aku selalu merasa jadi korban, tapi faktanya—aku juga pelaku."


Terima sudah menyempatkan waktu membaca.

Seperti biasa buat kalian yang mengintip spoiler, mencari tahu tentang naskah-naskah aku yang lain. Kalian boleh follow akun2 berikut

Instagram : Flaradeviana
Tik-tok : Flaradeviana

Love, Fla.

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang