3.1

32.2K 6.5K 419
                                    




Sebelum baca jangan lupa taburan bintang dan komennya, ya.


Selamat membaca kalian


"MBAK RUKMA kurang tidur?"

Rukma yang baru saja melangkah memasuki area kedai segera menghadiahkan senyum tipis kepada Fariza. Petugas kasir sore, tetapi khusus hari ini bertukar jam kerja dengan Embun. Dan untuk alasan tertentu, Rukma senang bukan main yang melihat wajah lesunya bukan Embun.

"Biasa, Tita nggak mau tidur sampai subuh," sahut Rukma dan berdiri di samping meja kasir. Dia memandangi Lesmana di balik punggung Fariza, yang sibuk memeriksa berbagai macam kopi dan perlengkapan pendukung pembuat kopi.

"Oh, karena Tita ... aku pikir—" Fariza terkekeh, dan Rukma segera paham ke mana perempuan yang usianya tidak beda jauh dari Embun akan mengakhir kalimat.

Jadi sebelum dilanjutkan, Rukma mendaratkan sentilan kecil di punggung tangan Fariza dan menggeleng. Dia sudah lega, sepanjang sore kemarin Fariza sama sekali tidak menyinggung tentang penghuni sementara rumah ini. Bahkan saat orang itu membeli kopi, Fariza bersikap tak acuh. Namun, kenapa pagi ini jadi ikut-ikutan Embun?

"Kalau ngantuk banget, tidur bareng Tita aja, Mbak." Fariza dengan bijak mengganti pembahasaan, hingga Rukma sangat berterima kasih. Belum lagi sorot mata penuh maklum yang diberikan kepada Rukma. "Di sini aman, kok."

Rukma tersenyum lagi. Dia tahu coffee shop ini bakal baik-baik saja. Sebelum hari ini, sudah ratusan kali Rukma ikut tidur bersama Tita di jam-jam kedai beroperasi. Hanya saja sejak semalam dan saat ini pun, dia merasa ada yang janggal. Dia merasa sangat was-was. Seperti sedang mengizinkan hewan buas yang sakit beristirahat di tempat teraman miliknya, tanpa memikirkan kapan si hewan bakal pulih dan menyerang. Perasaan seperti itu membuat tidur Rukma  tidak nyenyak. Konyol, kan? Siapa pula yang mau menyerang, tetapi menyadari ada orang lain satu atap dengannya sangat meresahkan hati Rukma.

"Mbak?" Fariza memanggil, dan Rukma melebarkan senyum lagi—berusaha menyembunyikan ketakutan konyol itu dari siapa pun termasuk Fariza. Kemudian, dia berpamitan setelah memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kedai kopi sederhana ini.

Di setiap langkahnya, Rukma meminta pada diri sendiri untuk berhenti merasa takut. Menjejalkan banyak kalimat meyakinkan; kalau tidak ada yang berupaya menyakitinya ataupun Tita di rumah ini, bahkan tidak ada yang bakal susah-susah memisahkan mereka. Ini hanya Steven, rekan kerja Ghina, teman Alfa. Kenapa dia harus merasa khawatir seperti ini?

Dengan memeluk diri sendiri, Rukma meninggalkan kedai dan masuk ke rumah. Kakinya baru tiga kali melangkah, dan si penghuni  sementara muncul dari arah kamar mandi yang biasa dipakai olehnya  dan Tita.

Dalam sekejap, Rukma mematung. Masih memeluk diri sendiri, tetapi sesuatu dalam dirinya  yang sudah lama dia matikan—sejak kehadiran Tita diumumkan—menggeliat. Siapa sangka lelaki yang biasa terlihat serius, kaku, gila kerja, membosankan, ternyata memiliki ketampanan yang menggoda dan nakal. Seolah-olah, di dalam kamar mandi sana ada proses penganugerahan puluhan unsur godaan seksual yang mampu membuat barisan perempuan normal mana pun bertekuk lutut—termasuk dirinya.

Rambut yang kemarin ditata rapi ke belakang sampai terlalihat kaku karena gel, terlihat setengah kering dan acak-acakan—ada beberapa helai terjatuh di depan kening—menggoda Rukma untuk merapikannya. Belum lagi garis-garis maskulin yang biasa tersembunyi di balik kacamata, kini terlihat begitu nyata tergurat kuat di wajah kebulean Steven. Alis tebal yang melengkung di atas mata cokelat gelap lelaki itu, membuat jemari Rukma gatal ingin membelai.

Wah.

"Rukma?"

Entah sejak kapan, tetapi Steven sudah berdiri sangat dekatnya—sedikit membungkuk untuk menjajarkan wajah mereka, dengan kedua tangan mencengkeram erat kedua sisi handuk yang tergantung di leher. Dan Rukma, tanpa sadar sudah menahan napas. Seakan, paru-parunya kering.

"Rukma? Woi."

"Ya?" Pipi Rukma memanas, seraya menjatuhkan kedua tangan ke samping paha dan mencubit diri sendiri supaya kembali sadar—berhenti bertindak konyol.

Mata Steven terlihat tajam, dengan membuka lalu menutup bibir dengan cepat. Ada kata yang coba diucapkan, tetapi tak keluar satu pun. Lelaki itu berdiri tegak, menggeleng cepat, dan berbalik memunggunginya.

Saat perlahan Steven menjauh, Rukma tersadar pertanyaan yang seharusnya dia tanyakan.

"Steven?" Rukma menghampiri Steven yang berhenti dekat tangga, memaksa pengendalian dirinya untuk bekerja. Mengadu matanya dengan mata Steven. "Kenapa pakai kamar mandi bawah? Di atas—" Kemudian, Rukma menepuk jidat sendiri. "Astaga!"

"Air shower atas nggak keluar, padahal toilet jalan," kata Steven. "Saya tadi bilang sori nggak tanya kamu dulu sebelum pakai, tapi kamu—" Steven menunduk sepersekian detik, lalu lanjut berkata, "Kayaknya lagi mikirin hal yang penting banget sampai nggak dengar saya bilang apa. Tadi. Di sana."

Seketika, lutut Rukma terasa lunglai. Dia tertangkap basah, dan Steven jelas berusaha berpura-pura tidak mengetahui apa yang dia pikirkan.

Memalukan.

"Oh. Iya." Rukma melangkah mundur lalu melingkar kedua tangan di pinggang, berusaha kerasa terlihat tenang. "Saya lupa panggil tukang air. Saya juga lupa nggak kasih tahu kamu. Kemarin, astaga—semalam."

Steven menggangguk. "Saya mandi lumayan malam setelah kerja. Sewaktu saya turun lantai satu ini lampunya udah mati semua. Karena nggak mau ganggu kamu, saya pikir sekalian aja izin pagi-pagi. Ternyata pagi pun, kamu sibuk di kamar."

Sibuk di kamar. Rukma diam-diam mengembuskan napas lambat. Padahal dia sudah tahu maksud kalimat itu berhubungan sama Tita, tetapi kenapa terasa intim? Seolah, yang dia lakukan di kamar lebih dari sekadar menidurkan atau mengurus Tita.

Sekali lagi, Rukma menepuk keningnya. Niatnya mengusir pikiran-pikiran tidak pantas, tetapi kerutan khawatir di wajah Steven membuat otak sialannya semakin menggila.

"Maaf buat ketidaknyamanannya." kata Rukma. "Saya pastikan hari ini bakal mencari orang yang bisa membetulkan air atas."

"It's okay. Selama kamu nggak masalah berbagi kamar mandi, saya aman-aman saja." Steven menyugar rambut, dan mata kurang ajar Rukma mencuri pandang ke arah kulit lembab dan otot tangan Steven yang kencang. "Mandi saya nggak berantakan dan nggak berminat juga memainkan puluhan hewan dari karet."

Rukma memerintahkan matanya berhenti melakukan hal-hal tidak pantas, memaksakan senyum lebar. Dia mengangguk kecil sebagai tanda Steven bisa melanjutkan apa pun yang lelaki itu inginkan di atas sana, sementara dia menuju dapur.
Namun, Rukma kembali ke posisi awal, menatap posisi Steven sudah cukup jauh dari pijakan awal.

"Saya masak nasi goreng," ucap Rukma. "Kalau kamu mau, bisa saya siapkan."

Meski tidak menuruni tangga, Steven berbalik ke arahnya. Melemparkan senyum, yang membuat paru-paru Rukma kembali kering.

"Terima kasih. Saya ambil kacamata dulu." Setelahnya, Steven lanjut menaiki tangga.

Sementara Rukma, berdiri seperti orang tolol dan meraba-raba ke saku celana jinsnya. Dia berjalan menuju kursi dan duduk di sana sambil mengotak-atik ponsel.

Plis, apa pun yang Pak Steven desain, lo dan suami tercinta lo itu nggak boleh ribet. Gue nggak mau gila cepat, Ghina! Sialan! Seminggu! Nggak boleh lebih!


Termina kasih sudah membaca 💜

Untuk mengikuti informasi naskah2, spoiler atau apa pun, kalian bisa follow ig :

Flaradeviana
Atau
Coretanflara

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang