11.1

25.6K 6.1K 309
                                    


Selamat membaca

Jangan lupa taburan bintan dan komennya, gaes!



SETELAH mengantarkan kepergian Tita bersama Ghina dan Alfa, Rukma setengah hati menyeret kakinya melewati rumah. Selama ini ketiadaan Tita selalu jadi momen yang ditunggu Rukma, dia bisa melukis sebanyak-banyaknya sketsa tanpa warna lalu dijual secara online, tetapi hari ini ....

Dia merasa kepergiaan Tita sebuah kesalahan. Apa seharusnya dia hentikan saja? Belum terlalu jauh buat Ghina memutar balik mobil. Namun saat Rukma mengeluarkan ponsel dari saku jins, dia berhenti melakukan niat itu. Sudah terlambat dan tidak ada gunanya juga. Ghina pasti sudah menyiapkan banyak alasan untuk menolak memulangkan Tita, dan Rukma sedang malas debat kusir dengan sahabatnya itu.

"Rukma ..."  Steven berdiri di anak tangga terakhir. Sebelah tangan lelaki itu menggenggam iPad, sementara satu tangan lain terselip di saku jogger cargo navy—yang terlihat sepadan disandingkan bersama kaus slim fit abu lengan pendek.

Rukma dapat melihat Steven ingin mengupayakan oborolan dengannya tetapi ragu. Tidak butuh lama bagi lelaki itu buat menyadari kekesalan Rukma ada sangkut pautnya dengan Steven. Kalau Steven memang sesadar itu seharusnya lelaki itu menghindar, tetapi seperti yang sudah-sudah—Steven selalu bertindak di luar perkiraan Rukma.

"Are you okay?" tanya Steven, sembari menghampiri Rukma di ruang duduk.

Selama beberapa saat Rukma mengalihkan tatapan dari wajah Steven, lalu kembali membalas tatapan lelaki itu tanpa berupaya menyembunyikan sedikit pun kegusaran yang mengganggunya sejak Ghina menceritakan alasan utama membawa Tita pergi secara mendadak.

"Kenapa melibatkan Ghina?" Rukma balik bertanya, tidak berniat menjawab pertanyaan basa-basi Steven. "Bukannya kita udah sepakat buat jadi teman saja, Pak Steven?"

"Saya nggak sepakat. Kamu mengambil keputusan sepihak," kata Steven, lalu melipat kedua tangan di depan dada.

Kalau kondisinya Rukma tidak sedang kesal, dia pasti mau memanjangkan obrolan demi menikmati pemandangan menggiurkan dari otot dada—Rukma buru-buru menggigit bagian dalam dari bibir bawahnya—demi menendang sisi liar dalam dirinya yang selalu menggila setiap kali bertatap muka dengan Steven.

"Keputusan sepihak?" Rukma tak tahan melebarkan kedua matanya, seperti sedang memperingatkan Tita buat berhenti memainkan barang-barang yang dilarang. Dengan gaya menantang, Rukma maju satu langkah sambil menaruh kedua tangan di pinggang. "Kamu bilang nggak suka komitmen, sementara saya butuh sesuatu yang pasti. Karena saya nggak melihat ada jalan tengah buat mengarahkan kita ke hubungan yang gimana-gimana, saya meminta kamu buat menjalin hubungan yang sama dengan Ghina. Pertemanan."

Tidak ada tanda-tanda tidak enak hati di mata Steven, memancing kejengkelan Rukma makin besar.

"Kenapa kamu malah menceritakan apa yang saya pikirkan ke Ghina?" Napas Rukma tersekat. Dia tidak mau mengeluarkan pikiran buruk yang menggema sedari Ghina bertindak seperti penyambung lidah Steven, yang terlihat sedang merencanakan sesuatu antara dia dan Steven. "Apa rasa tertarik yang kamu bilang tiba-tiba itu karena disuruh Ghina? Apa—"

"Aku suka membereskan musuh sebelum dia berada di garis start. Contohnya, memastikan Ghina mau membantu aku," henti Steven. "Bisa bisa non-formal saja? kalau kamu bicara seformal itu, aku jadi ngerasa lagi bicara sama pekerja junior di kantor."

Sebelum Rukma menjawab, Steven melangkah maju satu langkah—mempersempit jarak kosong di antara mereka. Sesungguhnya, Rukma ingin beringsut mundur, tetapi ekpresi lembut sekaligus tegas lelaki itu menahan Rukma. Lagi, rasa tidak wajar yang mengejutkan kembali mengaliri dada Rukma—berbahaya.

"Membereskan musuh? Kamu mengganggap Tita musuh? Tita—"

"David." Satu kata, tetapi berhasil membuat banyak rasa tidak nyaman dalam diri Rukma membaur lalu membentuk persekutuan yang menyakitkan dadanya. "Sejujurnya, sejak hari pertama aku di sini—hampir setiap hari aku melihat mobil dia parkir di seberang, kadang di sisi rumah ini tetapi yang tertutup pohon rimbun. Awalnya, aku nggak tahu dia siapa karena kaca mobilnya gelap banget, tapi kemarin siang sewaktu dia keluar kafe kami berpapasan dan aku lihat dia naik ke mobil yang sering banget aku liat."

Rukma berdeham. Berbagai perasaan tidak nyaman tadi mulai mengaliri badannya dengan deras, silih berganti sangat cepat sampai Rukma kesusahan mana yang paling menonjol. Meski begitu, dia tahu berpura-pura tidak mengerti pembicaraan Steven adalah jalan amannya.

"Jangan berusaha mengelak," pinta Steven, yang memorakporandakan wajah datar Rukma. Aku sadar dia lelaki yang kamu ceritakan malam itu. Selain aku bisa merasa dia pengin banget menyeret aku keluar dari rumah ini saat kami berpapasan, aku sudah tanya langsung ke Ghina."

Tiba-tiba Steven menghilangkan ruang kosong antara mereka, dengan satu tangan yang bebas—lelaki itu merangkum siku Rukma. Seberapa tekun Rukma melarikan matanya ke sembarang arah, Steven tak giat mengejar. Hingga akhirnya dia menyerah, lalu mengadu pandangan mereka.

Bahkan saat ini, setelah obrolan tengah malam dia dan Steven—kedatangan David, Rukma tetap ingin mengulang adegan ciuman di lantai dua waktu itu. Bergelung di salah satu rumah ini, melangsungkan kegiatan itu lebih panjang dan tanpa gangguan siapa pun. Dia ingin—

"Steven, ini—" Rukma menggeleng. Dia berupaya mundur, tetapi Steven menahannya dengan menarik siku dan menghapus sisa-sisa jarak yang tak seberapa itu—hingga kedua ujung jemari kaki mereka saling bersentuhan.

"Ketakutan kamu berhubungan erat sama Tita, kamu khawatir Tita telanjur sayang sama aku—tapi kita nggak berhasil. Untuk saat ini, Tita aman ..." Rukma berusaha keluar, tetapi Steven semakin memindahkan cepat tangan dari siku jadi melingkar di pinggang Rukma. "Aku pernah ditinggalin di depan altar. Aku pernah sangat menginginkan satu cewek, tapi dia gunain rasa suka aku buat menyembunyikan siapa dia sebenarnya. Itu alasan aku males berkomitmen. Bukan karena aku mementingkan kebebasan, tapi aku takut—sama kayak kamu."

Senyum Steven saat mengucapkan pengakuan yang terlalu pribadi itu, mengantarkan rasa panas ke perut Rukma. Dia belum bisa memutuskan tindakan selanjutnya setelah mendengar apa yang terjadi, Steven melepaskan Rukma secara perlahan.

"Aku ceritakan detailnya pelan-pelan, oke?"

Dan lagi, Rukma tidak mampu mengeluarkan respons apa pun. Seperti, otaknya sedang melakukan mogok kerja, hingga kata demi kata yang dikeluarkan Steve hanya masuk ke otaknya tanpa berniat disentuh.

"Buat saat ini aku nggak bisa janji apa pun ke kamu, tapi izinin aku berusaha selama Tita nggak ada." Steven mengedikkan bahu. "Aku nggak bisa melihat kamu, seperti melihat Ghina. Mau tahu kenapa? Aku lihat dia kayak cowok, sementara kamu 100% cewek di mata aku."

Rukma merasakan bibirnya berkedut. "Cemburunya Alfa selama ini sia-sia."

"Alfa yang malang."

Dan untuk kali pertama setelah beberapa hari dipenuhi rasa tidak nyaman, Rukma tertawa.


Terima kasih sudah membaca 💜

Yang minta update double di ig : Flaradeviana , sudah aku kabulkan, Gaes.

Love, Fla.

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang