19.2

18.5K 3.5K 157
                                    

Selamat membaca
••

Jangan lupa taburan bintang dan komen, Bestie! 🤌🏻🤣



PUKUL LIMA SORE, Steven berlari kecil keluar kamar lalu menuruni anak tangga. Layaknya anak kecil antusias menyambut jam pulang sekolah, apalagi saat alasannya bertingkah konyol langsung terlihat tanpa perlu bersusah-susah dicari. Dengan melompati dua sisa anak tangga terakhir sekaligus, Steven antusias menghampiri serta membuat Rukma berdiri sambil memegangi pensil gambar.

"Stev?" Kedua mata perempuan itu membulat sempurna, lalu mengerjap cepat.

Sebelum Steven menjawab ataupun memberi Rukma kesempatan mengajukan pertanyaan lain, ketukan keras dan panjang terdengar dari pintu rumah. Secara otomatis Rukma bersiap ingin membuka, tetapi Steven buru-buru menahan perempuan itu tetap di tempat.

"Aku aja," pinta Steven dengan nada riang. "Kamu tunggu di sini."

Kerutan kening Rukma menjadi pengantar sekaligus penyambut, saat dia menyelesaikan urusan si pengetuk pintu. Rukma mematung sembari memasang ekspresi bingung menggemaskan. Tidak ingin terburu-buru memuaskan rasa ingin tahu Rukma, Steven sengaja berjalan lambat selangkah demi selangkah seraya berusaha keras menyembunyikan barang di balik punggung. Perempuan itu berusaha mengedarkan pandangan lebih jauh, mencondongkan badan sembari memiringkan kepala ke kiri dan kanan, tetapi sekali lagi, Steven berhasil mengecoh dengan perbedaan tinggi badan yang menguntungkan. Ke mana pun Rukma bergerak, dia mengikuti untuk menghalangi.

Akhirnya, Rukma melengos. Dan rasa jengkel yang dipamerkan perempuan itu, kian menggemaskan di mata Steven. Seperti kehabisan akal mencari tahu sendiri, Rukma menyilangkan kedua tangan di depan dada lalu bertanya lagi dengan nada tidak sabar.

"Bapak Steven yang terhormat, sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?" Tatapan Rukma mencari-cari jawaban di mata Steven. "Serius. Kamu buat aku ngeri," keluh Rukma. "Jangan bilang kamu beli barang aneh-aneh karena obrolan kita tadi pagi?" Rukma menutup kedua bibirnya dengan tangan, membelalak seakan-akan memang ada benda berbahaya yang coba Steven selundupkan. "Stev, please, aku ingat kamu pernah bilang nggak suka ada yang ganggu, tapi—"

"Kencan," potong Steven seraya memutar kedua bola mata. Astaga, dia berniat mengajak bercanda—ujung-ujungnya jengkel sendiri sama pemikiran Rukma. "Ini perlengkapan kencan kita."

Rukma mengerjap lagi dalam posisi yang sama. Secara perlahan, kedua tangan perempuan itu meninggalkan bibir seraya mundur dua langkah sampai badan menyentuh pinggiran kursi. Selama beberapa detik, Rukma menunduk, lalu melihatnya lagi tanpa menghilangkan sorot pandangang gabungan rasa bingung dan terkejut.

Percikan rasa tertarik yang susah sekali keduanya tahan menjilat-jilat di tengah mereka, rasa panas terasa menjalari ujung kaki Steven saat membayangkan Rukma memakai semua benda pilihannya. Dress, heels, bahkan kalung.

"Kemarin kita pergi ke tempat pilihan kamu. Hari ini ke tempat pilihan aku."

Dengan gesit, Steven menghilangkan jarak di antara mereka. Satu tangannya meraih dan mengelus-elus siku Rukma, sementara yang lain mengangkat dua paper bag besar berisi barang-barang yang dia beli secara online sebelum jam makan siang. Satu set pakaian formal untuknya, satu dress berserta aksesoris untuk Rukma. Semua barang sudah dibersihkan hingga tidak meninggalkan harum bekas toko, siap dipakai.

"Beberapa kali kita pergi bareng, tapi belum pernah makan bareng romantis layaknya pasangan. Yang pertama seperti keluarga kecil sama Tita, kedua kayak teman lama yang janjian ketemu di tempat makan terenak di Bandung, ketiga juga lebih kayak—begitulah. Belum ada yang benar-benar berkesan. Iya 'kan?"

The TeaseWhere stories live. Discover now