Guru BK Ngeselin Itu, Suami G...

By Kurniasuhada_

23.5K 893 72

Dia tetanggamu yang tiba-tiba jadi guru BK di sekolahmu. Dia yang sejak kecil menjengkelkan, mengaturmu denga... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Double R, and other
Part 5
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20 (a)
Part 20 (b)
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45

Part 6

667 26 0
By Kurniasuhada_

Note : Bahasa tidak baku

"Capek ya?" Abian meletakan sebotol air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan di atas meja untuk Rifa. Cowok itu juga menyalakan kipas angin mini yang dipinjamnya dari Susan. Jam pelajaran telah berakhir beberapa menit lalu. Hanya ada beberapa siswa yang tertinggal di kelas untuk piket.  "Kata Udin, lu disuruh nge-packin baju-baju buat korban banjir sendirian?"

Rifa mengangguk, menyentuh pundaknya yang pegal. "Ngeselin banget kan, tuh guru BK. Dari sekian banyak siswa di SMA ini kenapa harus gua yang disuruh?"

Abian membukakan bungkus makanan ringan untuk Rifa. "Tadi gua mau nyamperin sekalian mau bantuin lu. Tapi Pak Rizal tiba-tiba manggil, minta tolong pasang spanduk di depan."

"Nggak pa-pa kok, Yan. Gua cuma heran aja sama tuh orang. Dia kayak ada dendam pribadi gitu sama gua.

"Mungkin karena di sini dia cuma kenal sama lu, Fa. Kalau ngga salah kalian tetanggaan, kan?"

"Gamungkin banget kalo alesannya cuma itu. Jelas-jelas dia kenal banyak anak pramuka sama PMR. Dia mah emang gapernah mau baik aja kali, Yan, sama gua. Dari gua kecil tuh orang emang udah ngeselin."

"Berarti kalian udah saling kenal satu sama lain dong ya?"

"Bukan kenal lagi, gua mah dah hafal banget kebiasaan tuh orang. Selain dia pernah ngompol pas naik bianglala, dia juga masih sering minta suapin tante Mita makan. Ih, manja banget, kan? Gacocok sama muka yang sok keras."

"Ati-ati nanti malah suka loh sama tetangganya."

"Dih, apaan sih? Ogah ya—" Rifa menahan kata-katanya. Ia diam sejenak, mencerna baik-baik arah pembicaraan Abian. Ia lalu menatap wajah cowoj itu lamat-lamat kemudian tersenyum. "Lu cemburu ya?"

"Enggak, gua nggak cemburu," elak Abian.

"Ih, bener ya lu cemburu?" Rifa terkekeh menggoda Abian. "Cie pacar gua cemburu."

"Enggak, Fa. Nggak cemburu. Gua cuma nanya doang kok."

"Nggak cemburu tapi kok mukanya gitu?"

"Emang muka gua kenapa?" tanya Abian jutek.

"Muka lu ganteng," balas Rifa, menepuk gemas pipi Abian. "Udah ih, gausah cemburu. Lagian juga ngapain banget gua suka sama tetangga sejenis Pak Raka. Judes, galak, gapunya selera humor, ish nggak deh makasih."

"Ya udah, abisin snacknya abis itu gua anterin lu pulang."

"Langsung pulang banget, Yan?"

"Mau mampir ke mana dulu?"

"Gramedia dulu ya, gua mau beli novel."

Abian mengangguk setuju. Namun beberapa saat kemudian ponsel Rifa berdering. Perasaan tidak enak sudah menjalar ketika melihat nama yang tertera di layar. "Siapa, Fa, kok nggak diangkat?" tanya Abian.

"Nggh...i-tu si Udin. Kayaknya gapenting deh, biarin aja," jawab Rifa berbohong. Tetapi ponselnya terus berdering membuat Abian menaruh curiga.

"Pak Raka, ya?" tebakannya seketika membuat Rifa berkeringat.

"Kok Pak Raka sih, Yan?"

"Kalo itu beneran Udin ya angkat aja , Fa. Siapa tau ada yang penting, motornya mogok dijalan atau apa gitu."

"Udah nggak usah dipikirin. Kan ada Susan, jadi aman lah."

***

"Jadi, sejak kapan lu suka sama gua, Yan?" tanya Rifa disela-sela aktifitasnya memilih buku.

"Dari lama...,"jawab Abian singkat. Ia mengambil satu buku di rak paling atas. "Mungkin dari kelas sebelas," tambahnya.

"Kalo udah suka dari lama, kenapa baru nembaknya sekarang?" tanya Rifa penasaran.

"Karena dulu gua pikir lu ada hubungan lebih sama Udin. Kalian deket banget, kan? Kemana-mana seringnya berdua."

"Wah, ternyata emang bener Udin tuh penghambat jodoh gua. Pantes aja selama gua temenan sama Udin gua jomblo mulu," sahut Rifa diikuti tawa kecil diikuti gelengan kepala. "Terus, kenapa akhirnya lu berani nembak gua?"

"Karena gua udah nggak bisa nahan perasaan ini sama lu. Yah, modal nekat juga sih, kalo diterima ya syukur kalo nggak ya palingan gua malu," terangnya.

Rifa mengangguk masih berusaha kalem, meskipun dalam hatinya senang sekali karena selama ini bukan hanya dirinya yang diam-diam menyimpan rasa kepada Abian, tetapi cowok itu juga.

"Lu sendiri, kenapa mau nerima gua, Fa?" Abian balas bertanya.

Rifa berhenti dari aktivitasnya memilih buku. "Karena apa ya...."Rifa tampak berpikir sebelum memberi jawaban. "Mungkin karena lu nggak kayak Udin. Dibandingkan kita bertiga, lu yang idupnya paling lurus. Nggak pernah bolos, selalu ngerjain PR, punya pikiran terbuka—"

"Udah, Fa, cukup. Jangan diterusin, ntar gua jadi besar kepala."

"Kepala yang mana, Yan?" goda Rifa.

"Rifa...."

Rifa terkekeh, menepuk bahu Abian. "Iya, Pacar, cuma bercanda kok."

Lagi-lagi ponsel Rifa berdering. Melihat nama Raka yang tertera, ia sontak berdecak, me-reject panggilan tersebut. Mengapa sejak tadi guru BK mengesalkan itu menghubunginya? Apa mau memprotes lipatan bajunya tidak rapi atau mau menyuruh-nyuruhnya lagi?

"Pak Raka?" Abian tak sengaja mengintip. Ah, ralat ia memang mengintip karena penasaran. "Kenapa nggak diangkat?"

"Males, Yan. Paling juga dia mau protes kenapa lipatan bajunya nggak rapi." Tidak mau diganggu lagi, Rifa langsung mematikan data seluler supaya Raka tidak bisa mengganggunya lagi. "Gua udah dapet novel yang mau dibeli."

Selesai membayar, Abian dengan gentle mengantarkan Rifa pulang naik motor ninjanya. Karena statusnya sudah jadi pacar kini Rifa tak canggung lagi melingkarkan tangannya di perut cowok itu.

Masa-masa jadian yang belum seumur jagung—lebih tepatnya belum genap satu hari itu terasa manis sekali. Dunia serasa milik berdua. Rifa bahkan tidak peduli kalau seharian Abian mau membawanya berkeliling kota, di tengah cuaca terik sekali pun. Tetapi, Abian bukan tipe cowok yang seperti itu. Kalau dia bilang akan mengantar pulang, berarti ya tujuan mereka adalah untuk pulang.

Memasuki komplek perumahannya, Rifa melepaskan pelukan di perut Abian, takut kalau ibu-ibu ghibah yang biasa nongkrong di depan rumah melihatnya. Kalau sampai mereka lihat, Rifa tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa beritanya. Bisa-bisa Rifa habis diamuk ayahnya.

Motor berhenti di depan pagar. Rifa turun dengan hati-hati dibantu Abian. Cowok itu melepaskan helm di kepala Rifa dengan manis. "Mau mampir dulu, Yan?" tawar Rifa.

Cowok itu melihat jam di pergelangannya, lalu menggeleng. "Lain kali aja ya, Fa. Hari ini Ibu nggak bisa jemput Putri di tempat les, jadi aku yang jemput. Takutnya nanti kesorean kalo mampir dulu."

Rifa mengangguk paham. "Ya udah, kalo gitu lu hati-hati di jalan."

Motor Abian melaju kencang meninggalkan komplek perumahan. Rifa menutup pagar lalu melenggang masuk. Ada beberapa pasang sendal yang diyakini bukan milik orang tuanya tertata di depan rumah. Seperti nya ada tamu, begitu pikir Rifa.

Ia mengetuk pintuk diikuti salam dan semua yang berada di ruang tamu kompak menjawab salam Rifa. Gadis itu tampak salah tingkah mengetahui bahwa yang bertamu adalah tetangganya sendiri—tante Mita beserta suami dan anak laki-lakinya yang mengesalkan.

"Kok baru pulang, Fa? Tadi Mama liat, Susan udah pulang sama Udin," tanya Sarah.

"Nggh, itu, Mah, tadi Rifa ke Gramed dulu beli buku," jawab Rifa, tak melibatkan Abian dalam alasannya pulang lambat.

"Hmmm, kebiasaan banget, Mamah kamu ini ya, Fa. Anaknya baru pulang, bukannya disuruh duduk dulu malah diinterogasi," sahut Mita. Wanita itu menepuk kirsi di sebelahnya yang masih kosong. "Duduk sini, dekat tante."

Rifa menurutinya, duduk di sebelah Mita. Sekilas ia melirik Raka yang asik bercengkrama dengan Tomi. Pembicaraan terpecah dua. Rifa asik dengan obrolannya dengan Mita, sementara yang lainnya asik dengan obrolan mereka sampai akhirnya Tomi berdehem dan menghentikan semua pembicaraan.

"Dibicarakan sekarang saja, ya, Man?" ujar Tomi yang mendapat anggukan dari Firman.

Seketika suasanya menjadi agak canggung. Rifa merasa bingung, sebenarnya ada apa? Tumben sekali tante Mita bertamu satu keluarga, dan obrolannya seserius ini.

"Jadi begini, saya mau menerangkan maksud dari pertemuan kita hari ini." Tomi tersenyum semringah melempar tatap ke Firman dan Mita. "Seperti yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, baik dari pihak kami maupun dari pihak Mas Firman. Kami berencana menjodohkan Nak Raka dengan putri kami Rifa."

"Hah, apaan?" sambar Rifa yang seketika mendapat tatapan tajam dari Tomi. Gadis itu menutup mulut dengan ekspresi kaget. "Maksudnya?"

"Jadi begini, Fa." Kali ini Firman yang bicara. "Saya dan Tomi ini 'kan sudah berteman lama sekali. Bahkan dulu sekali jauh sebelum saya menikah dengan tantemu dan Tomi belum bertemu sama ibu kamu. Kami berangan-angan kalau suatu saat akan menjodohkan anak kami untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Ternyata Tuhan menjawab doa kami, saya dianugerahi seorang putera dan Tomi dianugerahi dua orang putri yang cantik."

"Betul, Fa. Tante akan senang sekali kalau kamu juga menyetujui perjodohan ini dan bisa secepatnya menikah dengan Raka," timpal Mita.

Rifa masih nga-ngo-nga-ngo, tidak paham dengan alur pembicaraan. Perjodohan? Pernikahan? "Ini maksudnya gimana, sih? Sumpah deh, Rifa nggak ngerti?"

"Om Firman sama Tante Mita ke sini mau melamar kamu untuk Raka," jelas Tomi.

"Ngelamar?" Rifa tertawa, jokes Papa-nya benar-benar menggelitik perut. "Papa bercanda deh. Maksudnya Kak Raya, kali. Masa Rifa sih? Rifa masih SMA kaleee," selorohnya.

"Rifa!" tegur Sarah. Wanita itu memberi kode agar Rifa menjaga sikap. "Papa kamu nggak lagi bercanda, begitu juga sama Om Firman. Di sini kami mau menjodohkan kalian berdua. Jadi kamu dengerin, jangan nyahut mulu."

"Iya, Rifa. Om akan sangat senang sekali kalau perjodohan ini bisa kita sepakati. Om sangat ingin sekali melihat kamu dan Raka menikah. Sebab, jika melihat kamu, Om selalu terbayang wajahnya Dita. Dan...Dita juga pasti sangat senang kalau kamu mau menerima Raka."

"Tapi, Om—"

"Sebagai wali, saya menerima perjodohan ini. Saya bersedia menikahkan anak saya dengan putramu, Man."

"Papa? Papa kok gitu, sih, Pah?" selak Rifa. "Papa nggak bisa gitu dong. Keputusan 'kan ada di Rifa mau atau nggak? Lagipula ini mendadak banget, Rifa nggak bisa."

"Kamu itu belum genap berusia delapan belas tahun. Jadi keputusan masih ada di tangan Papa, dan Papa setuju kalau kamu dan Raka secepatnya menikah."

Rifa semakin tidak paham dengan yang terjadi dan Raka? Cowok itu hanya diam saja. Seolah-olah dengan diamnya ia menyetui semua rencana perjodohan antat keluarga mereka. "Gini ya, Pa, Om. Rifa itu masih kelas dua belas, belum lulus SMA. Gimana ceritanya mau nikah? Kak Raka juga nolak, kan, Kak?"

"Semuanya bisa diatur. Kalian nikah di bawah tangan dulu saja sebagai pengesahan secara agama. Nanti, kalau kamu sudah lulus SMA baru kita urus pernikahan secara hukum."

Semua seolah sudah direncanakan dengan matang. Segala pertanyaan yang Rifa layangkan selalu terjawab dengan masuk akal oleh mereka. Jalan satu-satunya adalah Raka, apakah cowom itu juga sepemikiran dengannya? Menolak perjodohan ini atau bagaimana?

"Saya mau ngomong sebentar sama Kak Raka," pinta Rifa.

***

Taman belakang menjadi tempat mereka bicara. Rifa berkacak pinggang menginterogasi Raka yang duduk tenang di bangku yang terbuat dari batang kayu. "Kak Raka pasti udah tau dari lama, kan? Kenapa Kak Raka nggak ngasih tau saya?"

"Saya juga baru tahu hari ini. Saya juga udah berusaha ngasih tahu kamu. Berapa kali saya telepon kamu tapi nggak diangkat?"

Berkali-kali Raka menelepon tapi diabaikan saja oleh Rifa. Ya, itu karena Rifa sedang bersama Abian dan ia pikir Raka meneleponnya untuk hal-hal yang tidak penting. Kalau ia tahu halnya se-urgen ini ia tidak akan seabai itu. "Lagian kenapa nggak di chat aja? Kaka bisa ngetik, kan?"

"Asal kamu tahu, saya lulus strata satu di perguruan tinggi ternama dengan predikat cumlaude. Urusan seperti itu kamu nggak perlu ajarin. Saya sudah kirimkan pesan panjang lebar ke kamu, salah siapa ponselnya nggak aktif?"

"Masa sih?" Rifa mengecek kebenaran dari perkataan Raka dan ia harus menelan rasa malu karena cowok itu sama sekali tidak berbohong. Sederet pesan chat masuk dari nomor Raka. "Jadi sekarang gimana? Saya nggak mau ya nikah sama orang nyebelin kayak Kak Raka. Nggak Asik!"

"Kalau tadi kamu angkat telepon saya. Saya bisa atur rencana buat kamu tidak pulang dulu dengan alasan kegiatan di sekolah dan pembahasan ini bisa ditunda beberapa minggu lagi sampai kita mikir rencana buat ngebatalin perjodohan ini," jelas Raka. Sebenarnya bukan hanya Rifa yang menolak perjodohan ini, Raka pun sama. Ia juga tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan gadis bodoh seperti Rifa. "Tapi karena semuanya udah terlanjur, saya setujui saja perjodohan kita."

"Setujui?" mata Rifa membeliak mendengar ucapan Raka. "Nggak bisa gitu dong, Kak. Saya nggak mungkin nikah sama Kaka. Saya punya pacar dan saya juga masih SMA."

"Emangnya kamu punya cara buat ngebatalin semuanya? Kamu mau kenalin pacar kamu itu ke Om Tomi sama tante Sarah?" Rifa mengangguk. "Itu rencana paking bodoh, Fa. Nggak akan berpengaruh apa-apa sekalipun kamu ngaku punya pacar sama orang tua kamu. Keputusan mereka udah final dan seandainya bisa ditolak saya udah menolak ini sejak lama."

"Sejak lama? Jadi bener dong, Kak Raka udah tahu soal ini sejak lama? Kenapa Kak Raka nggak bilang sama saya?"

"Karena saya nggak mau nyakitin hati orang tua saya, Fa. Mereka naruh harapan lebih sama kamu. Setiap kali mereka bahas soal kamu mereka selalu ingat Dita. Saya juga nggak mau terlibat dalam masalah rumit kayak gini. Seandainya posisi ini ada di kamu, saya yakin kamu jiga akan melakukan hal yang sama."

Rifa terdiam kembali teringat ucapan Firman. Mereka yang sudah Rifa anggap seperti ayah dan ibu kedua. Apa mungkin Rifa juga tega menyakiti hati mereka? Lebih-lebih ini menyangkut Dita, teman masa kecilnya yang sudah tiada. Dita pasti marah kalau Rifa menyakiti hati kedua orang tuanya. Tetapi, Rifa juga berhak menentukan dengan siapa ia akan menikah dan perjodohan ini dirasa tidak adil sama sekali.

"Terserah bagaimana pendapat kamu, tapi saya akan tetap menyetujui perjodohan ini demi orang tua saya." Raka beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu begitu saja.

"Kak Raka nggak mikirin gimana perasaan saya? Saya baru jadian Kak sama Abian. Tiga tahun saya mendam perasaan sama dia dan setelah saya berhasil jadian sama dia, Kak Raka tega ngerebut kebahagiaan saya?"

Raka menghentikan langkahnya. Ia berbalik memandang Rifa yang perlahan meneteskan air mata. "Saya minta maaf. Tapi saya tetap pada pendirian saya."

Rifa menghentakan kaki. Marah, kesal, kecewa. Ia terjebak di lembah tanpa ada pilihan sama sekali. Ia benci situasi ini, ingin rasanya berteriak, memaki keadaan yang seolah tak berpihak kepadanya.

Continue Reading

You'll Also Like

97K 3.2K 30
"Yakin ingin kabur?" bisiknya yang spontan membuat bulu kuduk gadis di hadapannya merinding.wajah mereka yang hanya terpaut lima cm saja membuat gadi...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 55.6K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
3.2M 158K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
49.4K 1K 27
bagaimana jadinya jika kalian harus menikah dengan pria dari papah teman dekat kamu sendiri?. itulah yang dirasakan Rachel Melissa perempuan berusia...