Double up dong 😆
Happy Reading💃
---
Gevandra duduk di tepi rooftop. Menatap jalan raya dari atas dengan pandangan kosong. Pikirannya hanya tertuju pada Liora.
Untuk kesekian kalinya, air matanya mengalir dipipi. Karena Liora.
Setengah jam berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kelas. Mungkin Liora sudah berada disana.
Gevandra berjalan menuruni tangga. Sebelum ke kelas, ia pergi ke toilet untuk membersihkan darah di tangannya.
Gevandra menatap pantulan wajahnya dicermin toilet. Ia membasuh wajahnya, lalu menyugar rambutnya kebelakang.
Kondisinya cukup buruk, tak beda jauh dari Liora. Matanya sembab, kantung matanya menghitam.
Ia kembali membasuh tangannya saat darah kembali menetes. Mengalir diwastafel.
Gevandra keluar dari toilet. Dan tempat yang ingin ia tuju sekarang adalah UKS. Untuk membalut luka ditangannya.
Baru saja ia sampai didepan UKS, ponselnya berdering. Ternyata yang menelponnya adalah sekertaris ayahnya. Tanpa berlama-lama, ia langsung mengangkatnya.
"Hallo, ada apa om?" Tanya Gevandra pada orang diseberang telepon.
Gevandra memasang raut wajah terkejut "Dimana?"
Gevandra mengangguk mendengar jawaban dari seberang telepon. Kemudian ia berjalan dengan cepat menuju parkiran. Menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh, dengan perasaan yang berkecamuk didadanya.
Ayahnya kecelakaan dan sekarang masuk rumah sakit. Itulah informasi yang ia dapatkan. Tanpa sempat meminta ijin dari guru, ia langsung bergegas menuju rumah sakit. Tak perduli jika tangannya masih mengeluarkan darah.
Pikirannya bertambah kacau. Ia begitu kalut. Mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Dadanya bertambah sesak. Bagaimana sekarang keadaan ayahnya?
Urusannya dengan Liora saja belum selesai, sekarang bertambah dengan ayahnya. Kenapa semesta sedang tidak berpihak padanya?
Gevandra memakirkan mobilnya diparkiran rumah sakit. Dengan berlari ia menyusuri koridor rumah sakit.
Menaiki lift menuju lantai 4. Ruang rawat ayahnya. Setelah dari lift ia langsung masuk kedalam sebuah ruangan VVIP.
"Papa," Gevandra langsung memeluk ayahnya. Untunglah keadaan ayahnya tidak begitu buruk.
"Kamu kenapa bolos?" Tanya Jack.
"Kenapa bisa pa?" Gevandra berdiri, melepas pelukannya "Apa yang luka?"
"Nggak parah. Cuma kaki sama kepala papa yang luka," Ujar Jack. Memang bagian kepalanya diperban "Cuma luka ringan."
Jack menyingkap selimutnya, memperlihatkan luka di kakinya. Gevandra menghembuskan nafasnya lega. Kaki ayahnya tidak begitu parah. Tapi memang dipenuhi perban juga. Tapi lukanya tidak dalam.
"Papa kenapa bisa kecelakaan?" Tanya Gevandra.
"Tadi itu papa sedikit pusing, pas hampir sampai kantor, mobil papa oleng. Terus nabrak bahu jalan," Ujar Jack.
Gevandra mengangguk "Lain kali kalau pusing jangan berangkat ke kantor pa. Dirumah aja."
"Gevan, tangan kamu," Jack baru saja menyadari tangan Gevandra yang terluka. Untung darahnya sudah mengering.
Gevandra langsung menyembunyikan tangannya kebelakang tubuhnya "Cuma luka kecil pa."
"Cepat diobati. Nanti infeksi," Titah Jack.
"Nggak papa, pa. Udah biasa kan," Ujar Gevandra. Jack hanya menghela nafasnya. Selalu saja sepeti itu.
Gevandra duduk di sofa yang berada di ruang rawat ayahnya. Ia meletakkan tas nya, dan mengeluarkan ponsel dari saku.
Mengecek ponselnya, siapa tau sudah ada kabar dari gadisnya. Tapi nihil, tidak ada satupun pesan yang masuk dari Liora.
Hari sudah berganti menjadi petang. Dan selama itu Gevandra hanya duduk terdiam sembari pikirannya berkelana kemana-mana.
"Gevan, kamu pulang aja. Biar papa ditemani sama Om Irfan," Ujar Jack, ia tidak tega melihat Gevandra yang seperti tidak ada gairah untuk hidup. Ia tahu, pasti putranya ini sedang ada masalah.
Gevandra menggeleng "Aku temenin papa aja."
"Kamu selesaikan dulu masalah kamu. Nanti papa suruh om Irfan kesini," Ujar Jack. Akhirnya Gevandra mengangguk, memang ia harus segera menyelesaikan masalahnya.
🍁
Mobil yang dikendarai Cica tiba-tiba berhenti ditengah jalan.
"Kenapa Ca?" Tanya Erlin.
"Mogok kayanya deh Lin," Cica mencoba menstater mobilnya. Tapi tetap tidak hidup juga.
"Duh, gimana dong. Mana udah malem gini," Erlin bergerak gelisah. Melihat keluar jendela, hari sudah begitu gelap.
"Hoaam," Liora menguap lebar sembari merentangkan kedua tangannya, "Ada apa?" Tanyanya sembari mengucek matanya.
"Mogok, Ra." Ujar Erlin.
"Ini kita sampai dimana? Masih jauh dari rumah kita?" Liora melihat keluar jendela, "Coba deh, hubungin siapa gitu."
Cica dan Erlin membuka ponsel mereka masing-masing. Mencoba meminta bantuan.
Liora menurunkan kaca jendelanya saat melihat orang yang tak asing diseberang jalan. Kemudian ia melambaikan tangannya sembari memanggil orang tersebut "Kak Gibran!"
Yang dia panggil menoleh. Kemudian orang itu berjalan menghampiri Liora. Lalu ketiga gadis itu turun dari mobil.
"Kenapa?" Tanya Gibran saat sudah sampai didepan ketiga gadis tersebut "Loh kok kalian masih pakai seragam?"
"Ini mobilnya mogok kak," Jawab Liora "Kita habis dari mall kak. Sepulang sekolah langsung kesana."
"Harusnya tadi itu ganti baju dulu," Ujar Gibran "Lain kali kalau main jangan pakai seragam. Kalian juga pasti nggak ijin sama orang tua kalian kan?"
Ketiga gadis itu hanya cengar-cengir. Gibran menggelengkan kepalanya.
"Gue punya nomer bengkel langganan. Gue telponin ya," Ujar Gibran. Ketiga gadis itu mengangguk semangat. Beruntung ada Gibran.
Keempat remaja itu duduk di pinggir jalan. Menunggu orang bengkel datang. Tiba-tiba saja Gibran menyampirkan jaket dibahu Liora.
"Eh," Liora tersentak kaget.
"Biar nggak kedinginan," Gibran menampilkan cengiran nya.
"Berasa jadi nyamuk gue," Ujar Erlin.
"Kalau gue berasa jadi setan," Celetuk Cica. Membuatnya semuanya tertawa.
Beberapa saat kemudian, orang bengkel pun datang. Memperbaiki mobil Erlin. Tidak perlu waktu lama. Kurang lebih hanya membutuhkan waktu setengah jam saja dan mobil sudah selesai diperbaiki.
"Makasih ya mas," Ujar Erlin kepada orang bengkel setelah membayar. Setelah itu, orang bengkel pun pergi dari sana.
"Makasih ya kak. Kalau nggak ada kakak, paling sekrang kita lagi nangis," Ujar Erlin kepada Gibran.
"Iya," Jawab Gibran "Liora biar bareng gue aja. Apartemennya kan searah sama rumah gue."
Cica dan Erin menatap Liora. Meminta pendapat gadis itu.
"Emang nggak ngrepotin kak?" Tanya Liora.
"Udah biasakan kalau direpotin kamu," Gibran mengacak puncak kepala Liora "Aku ambil motor dulu."
Liora menatap punggung Gibran yang berjalan membelakanginya sembari mengerucutkan bibirnya lucu.
"Pengen deh jadi pacarnya kak Gibran," Ujar Erlin tiba-tiba.
"Sayangnya kak Gibran nggak mau jadi pacar lo," Cica menggelengkan kepalanya "Kasian."
"Kasian, kasian kasian," Erlin prihatin dengan dirinya sendiri.
"Ayok Ra," Ujar Gibran yang sudah berada disamping Liora.
Liora memangguk, menerima helm dari Gibran. Menaiki motor cowok itu sembari memakai helm.
"Aku duluan ya. Kalian hati-hati," Pamit Liora kepada Erlin dan Cica.
"Duluan ya," Ujar Gibran sembari menjalankan motornya.
Kedua gadis itu mengangguk. "Beruntung banget jadi Liora," Ujar Erlin "Pengen kaya dia."
"Nggak cocok! Liora itu manis, lemah lembut. Sedangkan lo itu asem, kerikil kasar," Cica tertawa sendiri. Memang Erlin kan tidak ada manis-manisnya.
🍁