Monochrome

By Vekhapur

7.5K 5.1K 6.4K

Sekian banyak orang yang dapat Narend tebak aura dan ingatan mereka tapi tidak dengan, dia. Dia terlalu gelap... More

00- Prelude Narendra dan Kolasenya
01- Sore yang Sama
02- Di ambang Pintu
04-Terbiasa Berantakan
05- Tangerine
06- Menjadi Guru Senimu
07- One day
08- Mepet Sawah
09- Jalan Pulang
10- Kata yang Tak Terdengar
11- Perjalanan
12- Peterpan's Story
13- Janji Neverland
14- Selamat Ulang Tahun
15- Jani, Januari, Dewasa
16- Sebait Kisah Lalu
17- Hujan dan Ingatan Lalu
18- Come and Go
19- Feeling

03- Walkman dan Lagunya

491 384 356
By Vekhapur

 
Dulu waktu SMP, Narend adalah salah satu murid yang bisa di bilang sangat antusias pada pelajaran seni budaya dan keterampilan. Katanya, menyederhanakan warna menjadi empat kelompok. Yakni, primer, sekunder, tersier, dan netral.

Kalau ditanya soal warna, Narend selalu menjawab ia bisa menjadi warna apa saja. Bisa menjadi merah yang pemberani, kuning yang ceria, biru yang tenang, atau hitam yang hampa.

Seperti bungkus permen warna-warni yang tengah berada di hadapannya. Yang naas harus bersanding dengan bakso, mie ayam, bahkan bau semerbak kuah soto buatan ibu kantin.

"Eit.. gimana my brother, ciwi-ciwi kelas unggulan cantik-cantik tidak?" Haekal menyumpil duduk di antara Narend dan Aruna. Dengan gerakan cepat langsung mendapat pukulan dari Aruna yang hampir saja terguling ke belakang jika tidak bisa menahan keseimbangan.

Narend hanya menggidikkan bahu, ia masih memandangi mie ayam yang sudah dingin sebab cuman diaduk-aduk. Nafsu makannya benar-benar hilang sejak kemunculan Haekal.

"Narend!"

Yang dipanggil justru menghela nafas frustasi, berbeda dengan Haekal dan Aruna yang sudah menahan tawa. Itu adalah hal buruk bagi seorang Narendra Hemagibta. Kehadiran Mishel tak ubahnya jailangkung.

Narend geming saat gadis itu justru duduk di hadapannya. Kalau boleh Narend ingin pergi dari kantin saat itu juga, tapi apalah daya justru Haekal menahannya. Rasanya anak itu memang sengaja membuat Narend menderita.

"Na.. nitip Cappucino satu gak usah pakek es ya?" begitu suruhnya ketika Aruna berdiri dari tempat duduk yang hendak mengembalikan mangkok gambar ayam jago itu. Dengan memutar bola mata malas Aruna berlalu.

"Kalau nggak pakek es ya nggak enak." kata Haekal.

"Nggak apa-apa. Es nya udah ada di sini."

Narend geming, ia melanjutkan kegiatan makannya meskipun malas setengah mati. Sedangkan Haekal sudah tertawa luar biasa di sebelahnya, di dalam hati Narend menyumpahi agar keselek.

Mishel itu anak kelas sebelah. Wajahnya cantik seperti Kang Seulgi favoritnya Haekal. Anaknya kalem-kalem gimana gitu, tapi bila dia ingin mendapatkan sesuatu maka tak gencarnya ia usaha sampai dapat. Penampilannya dari atas sampai bawah semua barang branded. Maklum anaknya konglomerat.

Parasnya ayu. Siswa disini bahkan rela mengeluarkan uang untuk membeli setangkai bunga yang harganya mahal--meskipun berujung di dalam tong sampah.

Meskipun pakaian branded, warna bibir merah mehong, parfum wangi seperti kembang tujuh rupa, tak tidak membuat seorang Narend sudi melihatnya.

"Narend, sibuk nggak?" tanya Mishel sambil membenarkan rambutnya yang diombre warna merah. Sepertinya ia baru ke salon lagi, sebab seingat Narend rambut perempuan itu berwarna hijau stabilo minggu lalu.

Narend mengalihkan pandanganya dari semangkuk sawi yang mengapung diatas kuah, ke senyum manis dari bibir Mishel. "Sibuk, lagi makan."

"Ih bukan gitu. Maksudnya ada acara nggak nanti malam?"

"Ada kelompok di rumahnya Haekal. Jadi gak bisa." Lantangnya seakan sudah tahu kemana arah pembicaraan yang dimaksud perempuan itu.

"Kelompok apaan dah? Orang kita udah gak sekelas." jawab Haekal dengan mulut penuh bakso mercon jika di hiperbolakan berisi sekilo cabai.

"Sial Haekal gak bisa diajak kompromi!"

"Ha? Maksudnya gimana?" tanya Mishel setelah menerima satu cup es Cappucino tanpa es, dari Aruna. Dan tak lupa memberi cengiran lebar yang sama sekali tak mempan untuk seorang Aruna yang tak banyak bicara, sebab dengar-dengar anak itu introvet.

"Iya. Pindah kelas."

"Pindah kelas? Maksudnya gimana sih, Rend?"

"Oper ke kelas unggulan elah. Dodol banget otak loe!!'

Narend berdecih, matanya melirik Mishel sekilas lalu kembali pada bungkus-bungkus permen yang justru terlihat menarik untuknya.  "Ngomong sama orang gak punya otak emang susah."

Haekal tertawa bukan main, sampai-sampai Aruna tersedak di sebelahnya. Apapun yang keluar dari mulut Narend, benar-benar sesuatu yang buruk. Tapi berani jamin, kebahagiaan Mishel adalah ketika Narend berbicara seperti itu.

Mishel ini cantik-cantik tapi oon.

"Kalau Narend punya otak nggak?"

Narend mendelik. "Ya punya lah!"

Mishel memajukan tubuhnya, menangkupkan dua tangan di atas meja sambil tersenyum dan bertanya. "Ada aku nggak di sana?"

Narend tersedak permen yang baru saja landas di mulutnya.  Kedua curut tadi kembali tertawa  terbahak-bahak, sampai seisi kantin melihat kearah mereka untuk mencari titik kelucuan. Padahal tidak ada yang lucu, sumpah.

"Mantan mah mantan aja..." tiba-tiba Jio menyembul dari belakang diikuti Ale di belakangnya.

Dalam hati Narend mencebik. "Boro boro mantan, pacaran aja nggak pernah."

"Apasih anak kecil diem aja deh!" ujar Mishel sewot. Lalu kembali menatap Narend yang tetap geming di tempat.

Mishel dengan paras ayu nya itu, sudah naksir Narend sejak kelas sepuluh. Ini bukan kali pertama Mishel mendeskripsikan Narend sebagai 'mantan pacarnya'. Dulu kelas nya sempat di hebohkan dengan pengakuan bahwa dirinya berpacaran dengan Narend. Notabene Mishel yang sudah terkenal sejak menjadi siswa baru sampai akhirnya kini menjabat sebagai ketua Padus, jelas memiliki peran penting di sekolah.

Awalnya Narend tidak ambil pusing, ia tidak mau tahu. Tapi lama kelamaan ia jengah juga bila kemana-mana dibuntuti Mishel yang saat itu Narend tidak mengenalnya. Narend bahkan sempat bilang, bahwa dia saja tidak tahu Mishel itu siapa? Anak kelas mana? Spontan membuat Haekal geleng-geleng kepala pada saat itu.

Narendra tidak tahu apakah Mishel berhalusinasi atau memang terobsesi, pada saat itu Narend menyebutnya perempuan sakit jiwa.

Narend segera menggelengkan kepala, ingatannya berhenti disana. Ia tidak mau peduli dan bodoamat dengan apa yang dilakukan Mishel. Biasanya Haekal yang akan menjadi temeng andalanya.

"Rend? Narend. Ih kamu dengerin aku ngomong gak sih?!"

"Ha? Kenapa sih?!"

"Nanti malem bi--"

"Sama Haekal aja lah. Sedia dua puluh empat jam non stop!" Haekal justru menawarkan diri dengan senang hati.

"Kayak UGD aja!" timpal Jio.

"UGD dokter cinta."

Narend hanya tertawa kecil sambil menunjukan deretan gigi putihnya. Mendengar lelucon yang dilontarkan oleh sahabat-sahabatnya seakan eksitensi Mishel terlupakan. Sesekali Narend juga ikut menimbrung tentang FTV yang kebetulan waktu itu dirinya juga nonton. Sampai hafal lagu BGM-nya Dewi Dewi.

"Dia tak tampan, tak juga rupawan
Dia tak juga bergelimang harta
Oh, tapi mengapa gayanya seperti superstarrrr..." Mengambil garbu seolah-olah microfon.

"Mama, mama, mama...." Haekal bernyanyi lagaknya sedang berada di konser solo, penuh dengan penonton.

"Tolonglah aku yang sedang bingung
Kurasakan virus-virus cinta
Kubutuh dokter cinta

Papa, papa, papa
Inikah yang dinamakan cinta?
Mengapa sakit yang kurasakan?
Kubutuh dokter cinta

Oh, mengapa ini harus terjadi...."

Suara helaan terdengar beberapa kali dari mulut Mishel. Kalau dia bisa ia ingin mencabik muka ganteng Haekal yang sudah mengganggu waktu ngobrolnya dengan Narend. Akhirnya dirinya bangkit dari sana. Berpamitan kepada Narend yang sudah pasti tidak akan ditanggapi.

"Untung udah pergi."

♤♤♤♤

Sketsa perempuan berambut panjang sebahu yang tadi ia lihat setengah selesai. Narend hampir menyelesaikannya, hanya saja ada dua hal yang selamanya tak pernah bisa ia gambar, yaitu mata dan bibir.

Seperti pensil-pensil warna yang berserakan di meja. Narend menyangga dagunya mungkin ini kali pertama ia kesulitan untuk mencocokan warna pada lukisannya. Padahal dirinya hanya ingin memberi warna pada bagian tepi. Hanya itu, tapi rasanya sulit sekali.

Laki-laki itu meletakkan pensil warnanya begitu saja. Lalu bersandar pada kursi yang tak pernah mengeluh untuk menopangnya. Menerawang plafon kamar miliknya yang cat warna abu-abu sudah memudar. Besok-besok ia akan meminta bang Wina untuk mengecat warna tosca, biar sedikit ada perubahan.

Narend memejamkan matanya dengan hikmad setelah lagu Don't Go EXO terputar dari walkman miliknya. Narend sendiri tidak tahu kenapa dirinya membeli walkman yang sudah jarang sekali ditemui. Waktu itu iseng ikut Papa pergi ke pasar loak yang katanya mau beli ikan cupang. Ketika Papa sibuk menego ikan cupang seharga lima ribu menjadi sepuluh ribu dapat tiga--padahal udah murah banget-- Narend berkeliling untuk melihat banyak arloji jam yang terpampar pada etalase. Tetapi, pandangannya justru teralih pada walkman diantara radio-radio lama. Entah bagaimana ia membeli walkaman itu.

Pernah sekali waktu itu bang Wina menceletuk dengan mata menyipit kemudian berkata. "Kuno banget selera lo!"

"Selera-selera gue kenapa lo yang sewot sih bang?"

"Emang masih zaman dengerin lagu pake walkman? Jaman sekarang tinggal unduh, di Joox juga banyak."

"Kalau zaman berubah apa yang kita sukai harus diubah? Kalau untuk dengerin lagu lewat Joox atau Youtube, itu kembali pada poin awal, selera orang beda-beda."

"Emang Indomie apah pakek selera segala? Lagian lo bisa ngomong sok-sok an gini habis nonton Podcast nya siapa? Deddy Corbuzier atau Zeva?"

"Bacot, lu." Itu adalah kalimat terakhir sebelum akhirnya Narend menutup pintu kamarnya.

Narend perlahan membuka matanya, kemudian bangkit untuk melihat pantulan langit dari balik jendela kamarnya.

Detik berikutnya, laki-laki itu mengambil jaket denim dari balik pintu kamar. Mengambil ponsel dan dompet alakadarnya. Mungkin sudah menjadi kebiasaan disetiap sore dirinya akan keluar rumah hanya untuk melihat padatnya jalanan ibukota yang sudah mirip parkir gratis.

Disaat yang sama sebelum menuruni tangga, Narend mendapati bang Wina keluar dari balik pintu kamarnya lengkap dengan handuk dipundaknya. Narend berjalan melewatinya, dengan sekian detik berikutnya lengan bang Wina sudah menggulung diantara lehernya.

"Bang bau! Ih busuk banget lo!" tepis Narend yang sudah menahan nafas setengah mati.

"Apasih wangi." elaknya, kemudian menciumi keteknya sendiri. Dengan ekspresi muka oh oke wangi kok, bau kembang kenongo.

"Kemana lo? Hei? Keluyuran mulu ya lo."

"Nikmatin hidup!" jawab Narend setelah menuruni tangga, ia bisa melihat bang Wina tengah membuat ancang-ancang untuk memiting lehernya lagi. Dan sebelum hal itu terjadi dirinya segera lari terbirit-birit keluar rumah.

Usai mengeluarkan motor Honda Beat hitam miliknya, Narend menengadah pada langit meyakinkan bahwa hari ini tidak turun hujan. Sebab ramalan cuaca pada ponselnya menunjukan  suhu 24°c.

Ban menggelinding menyibak jalanan, membelah hiruk pikuk Jakarta. Dengan kecepatan rata-rata Narend dapat menikmati angin berhembus lembut dari selatan. Hanya butuh sepuluh menit akhirnya berhenti didepan minimarket.

☆☆☆☆

Sembari menghabiskan minuman fruit tea nya, Narend melamun duduk di emperan minimarket. Penampilannya yang selalu alakadarnya dan memakai jaket yang itu-itu saja cukup membuat orang yang lalu-lalang hafal dengan keberadaannya. Selain Sandi, mbak-mbak penjual kebab Istanbul didepan minimarket pun sudah sampai hafal kegiatan rutin seorang Narendra di sore hari.

Ngomong-ngomong soal Sandi, anak itu tidak ada di tempat biasanya ia berdagang. Mungkin anak itu sudah pulang lebih cepat karena dagangannya habis, atau sengaja pulang kerumah.

Setelah membuka satu kemasan minuman lagi ngeluarkan walkman kesayangannya. Dengan begitu ia bisa betah untuk lama-lama duduk di kursi tunggu depan minimarket. Hanya untuk melihat langit yang berubah warna dan memperhatikan pedagang kaki lima yang mendasarkan tenda birunya.

Narend bukan anak indie yang akan menghabiskan bercangkir-cangkir kopi untuk menulis sajak perihal cinta. Narend hanya berharap bahwa senja tidak pernah ada. Seperti kata orang: senja itu hanya datang sebentar kemudian pergi. Iya kan?

Narend juga bukan orang yang menggenjreng lagu sendu ketika hujan turun. Dia hanya orang yang berharap bahwa senja tidak datang ketika hujan turun. Gila memang.

Tapi ada satu hal darinya, ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan melamun atau menggambar di atas koran, menikmati semesta melakukan tugasnya , dan untuk dirinya sendiri akan memperhatikan langit yang perlahan-lahan berubah warna. Ditambah dengan kaset yang terputar dari walkmannya.

Lagunya masih sama. Bahkan hanya ada satu album berisi sepuluh lagu, yang tak pernah ia ganti setelah bertahun-tahun lamanya.

Kalau kalian tanya Narend punya kaset apa saja?

Dia akan menjawab. "Cuman dua, itu tanpa gue tahu tiba-tiba langsung ada di dalam walkman yang gue beli."

Coba deh kalian beli sesuatu yang menurut kalian aneh atau jarang sekali diminati. Siapa tahu bisa seberuntung Narend. Heheheh.

Atau mencoba sesuatu yang kedengarannya asing padahal seru. Misalnya mengoleksi barang kuno, atau paling sederhana ialah berbicara dengan binatang.

Mas Agatha pernah bicara seperti ini: Berarti kamu mau melakukannya, cuman kamu tidak yakin. Terlalu takut untuk mencoba hal baru itu akan membuat diri kamu kecewa. Kecewa karena kenapa kamu gak mau ngelakuin hal itu. 

Artinya ya, gak ada salahnya buat sesuatu baru.

Berdiam duduk manis sambil ongkang-ongkang kaki--udah kayak bapak-bapak-- menikmati deru debu yang mengudara disertai bising dari suara klakson kendaraan, sepertinya Narend sudah persis seperti orang pengangguran.

Selagi menunggu tegukan minumannya tandas, tiba-tiba matanya menoleh ke satu arah dimana ia melihat seorang yang cukup ia kenali berada tak jauh darinya. Perempuan itu menunggu di pinggiran trotoar.

"Pucuk dicinta ulung pun tiba!" Bangkit dari singgasana Narend berjalan menyusul di pinggiran trotoar.

Narend ingin memberi pelajaran untuk perempuan itu. Cara atau tips kesabaran. Ya, itu terdengar tidak buruk. Meskipun dirinya sendiri juga lebih butuh tips itu.

Tapi orang tadi tiba-tiba mendadak berjalan duluan dan membuat terkejut adalah lampu pejalan kaki masih menyala merah.

"Hey!"

Narend berlari cepat untuk menghentikan langkahnya. Bisa-bisa orang tertabrak mobil yang melintas. Saat ia berhasil meraih lengan gadis itu, Narend langsung menariknya untuk segera mundur ke belakang.

"Ya!---"

"Lampu jalan masih merah. Lo mau bunuh diri?"

Gadis itu terkejut dalam diam melihat siapa orang yang menarik nya saat ini. Lantas tangan segera di lepas oleh sang pemilik.

"Ha?" itu adalah kata pertama yang keluar. Dengan ekspresi cengo menatap Narend. Sungguh ia terlihat lucu.

"Ha ho ha ho. Lo hampir mati tau nggak?!"

"Maaf aku nggak lihat."

"Besok-besok diperhatiin bisa-bisa lo ketabrak mobil tadi!"

Si gadis mengangguk.

"Siapa nama lo?"

"Ha?"

Narend segera menjitak dahi gadis itu, membuat sang empu meringis. "Siapa namamu?" kali ini Narend mencoba menggunakan bahasa yang lebih halus, siapa tahu bisa masuk ke dalam telinganya.

Gadis itu menunduk dalam-dalam, meremas ujung bajunya masih lengkap dengan balutan seragam sekolah padahal langit sudah mulai malam. Dengan perasaan berkecamuk, perempuan itu mengulurkan tangannya yang bergetar.

Narend jelas melongo, "Apa?"

"Senjani. Namaku Senjani" jawabnya.

"Benerkan namanya Senjani."

  







  
  Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 143K 43
โ€ผ๏ธ NEW VERSI โ€ผ๏ธ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "๐“š๐“ช๐“ถ๐“พ ๐“ช๐“ญ๐“ช๐“ต๐“ช๐“ฑ ๐“ฝ๐“ฒ๐“ฝ๐“ฒ๐“ด ๐“ช๐“ด๐“พ ๐“ซ๐“ฎ๐“ป๐“ฑ๐“ฎ๐“ท๐“ฝ๐“ฒ, ๐“ญ๐“ฒ๐“ถ๐“ช๐“ท๐“ช ๐“ผ๐“ฎ๐“ถ๐“ฎ๐“ผ๐“ฝ๐“ช๐“ด๐“พ ๐“ซ๐“ฎ๐“ป๐“น๐“ธ๐“ป...
390K 19.9K 30
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
484K 27.3K 73
The endโœ“ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] โ€ขโ€ขโ€ข Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
2.2M 118K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...