Monochrome

By Vekhapur

7.5K 5.1K 6.4K

Sekian banyak orang yang dapat Narend tebak aura dan ingatan mereka tapi tidak dengan, dia. Dia terlalu gelap... More

01- Sore yang Sama
02- Di ambang Pintu
03- Walkman dan Lagunya
04-Terbiasa Berantakan
05- Tangerine
06- Menjadi Guru Senimu
07- One day
08- Mepet Sawah
09- Jalan Pulang
10- Kata yang Tak Terdengar
11- Perjalanan
12- Peterpan's Story
13- Janji Neverland
14- Selamat Ulang Tahun
15- Jani, Januari, Dewasa
16- Sebait Kisah Lalu
17- Hujan dan Ingatan Lalu
18- Come and Go
19- Feeling

00- Prelude Narendra dan Kolasenya

1K 485 864
By Vekhapur

<<<•••••>>>


Hujan di penghujung tahun membawa suasana khas tersendiri dan terutama untuk seorang Narendra Hemagibta yang merasa baik karenanya. Sore itu mendung seolah tak bisa mengulik untuk muncul di permukaan langit. Warnanya kelam hitam keabu-abuan yang begitu sedih.

Gorden berwarna krem itu ia biarkan terbuka, membiarkan angin dingin masuk menohok pori-pori. Sesekali langit terlihat memunculkan siluet merah, kentara sekali bila hujan akan turun.

Warna. Menurut Narend warna punya cara untuk berbicara. Hanya dengan menggoreskan kuas pada kanvas, Narend mampu membuat banyak cerita. Banyak sekali orang-orang yang ia temui dan masing-masing dari mereka memiliki siluet warna yang berbeda. Ada beberapa yang sama, namun tetap saja selalu tidak 100% sama.

Selagi sketsa lukisan yang dibuatnya hampir selesai, Narend menopang dagunya. Memandang langit yang semakin lama semakin terlihat muram. Ia tidak suka hujan, tidak juga benci, biasa saja. Namun ia selalu memperhatikan orang-orang disekitarnya selalu merasa damai ketika hujan turun. Plis deh, bukan damai tapi lebih ke males.

Kalau warna berada di dalam sebuah kolase yang sangat indah, mungkin Narend akan memilih menjadi salah satu diantaranya. Kalau ditanya soal warna, Narend ingin menjadi warna apa? Ia ingin menjadi warna putih.

"Rend!"

Narend masih setia di dalam kegamangannya. Setelah bermenit-menit yang lalu, ia merasa lukisannya kali ini terlihat lebih aneh dari sebelumnya--meskipun memang selalu aneh. Tapi kali ini lebih aneh.

Gerakan kuasnya kali ini menunjukkan seorang perempuan dengan suasana senja di belakangnya. Ya, memang hal itu sering terjadi.

"Narend!!" Yang dipanggil jelas terjungkal dari tempat duduknya. Lalu mencebik, "Kebiasaan! Ketuk pintu dulu kek!!"

Di depan pintu sudah ada Bang Wina yang menyangga punggungnya pada pintu, dengan wajah ditekuk.

Winata Aergibta, kalian cuman perlu memanggilnya Wina. Bang Wina itu mungkin sama halnya dengan air. Cocok dengan namanya Aergibta, mengalir. Tampangnya persis seperti tokoh Disney atau Anime bermata sipit yang sering ditonton Jioslen--temannya. Memang bisa diakui Wina sangat tampan. Dulu Narend mengira kakak laki-lakinya itu ialah anak orang Cina yang sengaja di titipkan di rumahnya.

Dengan malas Narend melihat abangnya dengan ekor mata, yang sudah pasti hanya memakai celana pendek dengan gambar yang itu itu saja. Gambar Spongebob, iya! Kuning mentereng. Tetapi glitter berwarna ungu masih tetap ada.

"Kamu gak mau lihat muka Abang yang ganteng dan baik hati ini kah?" bang Wina mendekat yang sontak membuat Narend terkejut bukan main, dan segera menutup kanvas miliknya.

"Apa sih? Ngomong dari jarak jauh juga bisa kan. Gak usah deket-deket?!!"

Seperti biasanya bang Wina hanya akan tersenyum membuat ujung matanya menyipit, sangat sipit bahkan Narend ingin mencolok nya supaya bisa memiliki mata lebar seperti penampakan kartun Powerpuff Girls.

Bang Wina terkadang bingung dengan adiknya ini, sesekali waktu itu ia pernah bertanya tentang apa cita-citanya? Dengan begitu Narend menjawab, "Melamun dan menghayal." Entah saat itu sedang bercanda atau tidak. Tapi kali ini, ia mengamini pernyataan itu, Narend benar-benar sering kelihatan melamun. Kadang ia menemui Narend sedang melamun di bawah pohon, di balik kanvas, di teras rumah atau di depan minimarket dekat rumahnya.

Sebab kebiasaannya di sore hari hanya melamun, mencoret-coret, kadang juga uring-uringan tidak jelas.

Bang Wina jelas geleng-geleng kepala melihat ruangan ini sudah seperti kapal pecah. "Tck.. ini kamar apa studio pameran?"

"Lo kelihatan lebih butek, bang hari ini." kalau saja ada Bunda disini sudah pasti dirinya akan mendapat ceramah andalan "Hayo, sama abangnya harus sopan!"

"Eh, emang iya? Bukanya masih ungu ya kemarin lusa?"

"Mau ngomong apasih? Sibuk gue!"

"Mau ngomong apa ya, lupa gue." ucapnya menirukan gaya bicara Narend yang menye-menye.

Narend jelas mendengus, dengan seperkian detik berikutnya, bang Wina sudah mendapat satu tendangan panas pada bokongnya. "Ih, gangguin mulu. Cari pacar sana!!"

"Eh don't change the subject. Lo tuh bangun, gak panas apah tuh pantat duduk terus. Kasian gue sama kursi nya yang gak pernah lelah menyangga punggung lo."

"Eh don't change the subject." Narend menirukan.

"Tuh disuruh Bunda nurunin jemuran. Udah mau hujan!!" setelah mengambil sebuah flashdisk yang tadinya tergeletak, bang Wina berlalu kemudian menutup pintu dengan keras sampai menimbulkan bunyi .

"KENAPA NGGAK LO AJA SIH??"

Sudah dibilangkan, abangnya yang satu itu memang pantas bersaudara dengan Jin dan Jun, suka tiba-tiba ngilang-- kayak doi tiba-tiba nyuruh. Kayak hidupnya gak punya kerjaan lain selain mengganggu adiknya. Padahal bang Wina sudah kuliah semester ganjil, mungkin dirinya terlalu leha-leha sebagai mahasiswa. Padahal pemuda Indonesia sedang krisis identitas.

Mau tidak mau Narend harus bangkit dan melakukan apa yang disuruh, bisa-bisa ia dicap sebagai anak durhaka oleh bunda.

♧♧♧♧

Narendra Hemagibta. Begitu namanya yang tertulis pada akta, KK, dan ijazahnya. Kata papa arti namanya itu ialah Raja berkuasa di laut Himalaya. Sesekali Narend berfikir apakah dirinya ini raja dari duyung-duyung di lautan? Banyak sekali kontraks pada nama Hemagibta yang dimaksud, sebenarnya Narend tidak begitu memperdulikannya. Untuk bunda pribadi arti Hema ialah emas. Layaknya warna emas, bunda ingin anak nya tumbuh menjadi orang yang berharga.

Di sela-sela suara hujan yang bergemuruh di luar, suara penyiar radio dari DJ Sun terdengar. Seperti dua hari yang lalu suara Haekal terdengar nyaring namun hangat. Lalu terdengar suara dehaman, Narend menambah volume.

"Hai, gimana kabarnya? Semoga selalu baik ya!

Semoga, dimanapun dan kapanpun, juga kemanapun langkah kakimu membawa pergi, semoga kamu senantiasa dalam lindunganNya ya."

Yang Narend suka dari Haekal yaitu: pembukaan yang selalu manis.

"Ghm.. ghm.. oke gaes, kembali lagi dengan radio 37,5 Mhz dengan Sunflowers di sini yang tampan mempesona disini. Ya.. seperti biasanya kini hujan turun lagi."

Udah nih mulai annoying.

"Oh tadi ada yang WhatsApp katanya mau request lagunya Kunto Aji. Iya mbak siapa ya tadi? Oh iya mbak Laras. Hello mbak Laras, hehe jangan senyum-senyum."

Narend geleng-geleng kepala mendengar suara temannya itu yang makin lama makin terdengar serak.

"Tenggorokan saya kebetulan lagi radang mbak Laras, gimana kalau dengar lagunya langsung dari mas Kunto Aji."

"Bilang aja gak bisa nyanyi, Kal." gumam Narend.

Hujan turun dengan derasnya, rintik yang terdengar dari atas plafon kamarnya seakan itu sudah cukup untuk mengganti suara irama lagu dari Kunto Aji. Dengan gerakan spekitis suara Kunto Aji terdengar, diantara suara gemuruh yang bersahutan di luar.

Sudah terlalu lama sendiri
Sudah terlalu lama aku asik sendiri
Lama tak ada yang menemani
Rasanya

Pagi ke malam hari
Tak pernah terlintas di hati
Bahkan di saat sendiri
Aku tak pernah merasa sepi

Sampai akhirnya kusadari
Aku tak bisa terus begini
Aku harus berusaha
Tapi mulai dari mana?

Haha sial, lagu itu.

Narend tertawa gamang, sepertinya lagu ini juga cocok untuk dirinya alih-alih bang Wina. Meskipun Wina tidak punya pacar, karena dirinya memang susah sekali percaya dengan orang lain. Wina selalu di puja-puji di kampus, sebab ya, ia sangat tampan.

Nasip naas justru menimpa Narendra, bahkan ia belum punya pacar sampai sekarang. Mantan sih punya itupun waktu SMP, yang naksir juga banyak. Kalau kata abangnya, Narend itu ganteng tapi sok kalem, terkadang juga ngamok-ngamok. Lagaknya juga sedikit aneh.

Sudah terlalu asik sendiri
Sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri
Lama tak ada yang menemani
Rasanya

Teman-temanku berkata
Yang kau cari seperti apa?
'Ku hanya bisa tertawa
Nanti pasti ada waktunya

Walau jauh di lubuk hati
Aku tak ingin terus begini
Aku harus berusaha
Tapi mulai dari mana?

Lagu itu terdengar lagi, dari radio miliknya.

"Nanti juga ada."

Narend membuka jendela kamarnya, melihat ke bawah banyak orang-orang tengah berkerumun dalam satu lingkup. Tanpa ia sadari bibirnya terangkat. Bergumam dalam hati. "Warna yang cantik. Ingatan yang baik."

♤♤♤♤

"Papa jadi ngadain seminar?"
 
Papa mengangguk saat Narend menjatuhkan pantatnya di kursi sebelah kanan. Ritual rutin sebelum melakukan aktivitas hari ini: sarapan. Lalu Bunda menyusul membawa semangkuk sup ikan kesukaannya.

"Nanti jangan bawa mobil ya, Pa."

Papa menyeruput kopi dengan hati-hati, menikmati aroma kafein yang sangat menenangkan hati. "Kenapa?"

Narend belum menjawabnya, ia menerima piring berisi nasi lengkap dengan lauk yang baru saja di sodorkan Bunda. Narend meneguk air putih sebelum mengutarakan maksud dan tujuannya melarang Papa untuk pergi mengendarai mobil.

"Saat nanti di perjalanan bisa jadi mobilnya mogok. Naik taksi saja."

Papa mendelik menaruh mug keramik itu di atas meja. "Semakin dewasa semakin bisa melihat gituan?"

Narend hanya menggidikkan bahu, "Tidak,  tiba-tiba saja melintas."

"Bagaimana dengan gue?" Bang Wina tiba-tiba muncul dari dapur. Tampangnya menyebalkan sekaligus imut, tapi tidak bisa Narend umpati secara terang-terangan. Mengingat mereka pernah satu rahim, dan termasuk sumber keuangan. Jelas butuh pertimbangan untuk mengumpati orang itu. Lihatlah wajahnya imut tapi juga minta ditempeleng dalam waktu bersamaan. Otaknya cerdas, Narend mengakui hal itu.

"Apanya?"

"Gimana dengan hari gue saat ini?"

Selain menjadi anak di keluarga ini, Narend kerap menjelma menjadi peramal dadakan untuk para kerabat dan kakaknya sendiri. Haruskah ia memberi tarif kepada setiap hal-hal yang diketahuinya? Lumayan bisa kaya mendadak.

"Biasa aja."

Bang Wina langsung melengos. Jadi Wina ini memang tipikal orang yang tidak mudah, percaya dengan orang asing. Makanya, ia sangat berhati-hati dan tidak langsung percaya sama orang yang baru dikenal. Meskipun dengan adiknya sendiri, ia tahu Narend baru saja berbohong.

Malah, Wina pernah mengelabui dosen dan ketua himpunan dengan memberikan nomor palsu berulang kali. Butuh waktu 2 bulan untuk bisa menyakinkan Wina bergabung dengan agensi himpunan hingga akhirnya ia bisa bergabung sampai saat ini. 

"Aku berangkat." Ujarnya kemudian melenggang keluar rumah. Jangan tanya ke mana, tentu saja ke sekolah. Narend ini anak baik-baik dari keluarga terpandang seorang pelukis terkenal di ibukota. Tidak keren bila ia kelayapan di jam seperti ini.

Metromini berhenti tepat di depan Narend. Pas sekali saat ia baru menapakkan kaki di halte.

Metromini sudah berjalan setelah Narend masuk ke dalam. Pak supir menginjak pedal rem dalam-dalam membuat kendaraan yang didominasi warna merah dan biru melaju kencang.

Pada pemberhentian berikutnya metromini berhenti. Seorang ibu hamil masuk dengan bocah laki-laki di gandengan tangan. Narend menoleh, semua kursi penuh. Ia langsung berdiri untuk menyilahkan ibu dan anak tadi duduk di bangkunya.

Anak laki-laki dengan blink-blink merah muda, tersenyum. "Terimakasih, Kak."

Metromini berjalan lagi. Sampai beberapa menit setelahnya di pikirannya Narend melihat sebuah kecelakaan beruntun yang melintas di depan matanya yang melibatkan metromini ini. Narend gagap, tangannya bergetar dan napasnya seolah-olah tercekat. Dilihatnya anak laki-laki tadi sedang tertawa bersama ibunya. Haruskah tawa itu berhenti begitu saja?. Lalu 5 anak dengan seragam merah putih yang sedang duduk tak jauh dari sana, mereka sedang ada ujian matematika hari ini. Juga diingatannya anak pak sopir sekarang juga tengah sakit di rumah.

"Pak, sopir berhenti!" Narend memekik  dengan keras membuat penumpang di sekitarnya menghunuskan pandang seolah-olah ingin memakannya saat itu juga. Namun, ia tidak peduli ini juga demi kelangsungan hidup mereka. Pak sopir tidak menggubris ucapannya, Narend semakin histeris dibuatnya.

"Pak saya bilang berhenti!!!"

"Berhentikan metromini sekarang, Pak!"

"Tujuan mas di SMA depan, masih berapa meter lagi." jawab si supir dari balik kemudi.

"Saya bilang berhenti sekarang, berhenti!!"

Berhasil. Akhirnya metromini ini berhenti tepat sebelum persimpangan jalan. Orang-orang sudah menyumpahi Narend dengan segala sumpah serapah dan belum sampai di hitungan kelima ia membalikan badan, lebih tepatnya ia tidak ingin melihat.

Tak lama setelahnya truk datang dari arah barat dengan kecepatan sangat kencang, kemudian menabrak 4 mobil dan 3 motor yang tengah melintas, juga menabrak beberapa ruko dan pembatas jalan. Jika metromini ini tadi terus berjalan bisa dipastikan Narend dan semua penumpang lainnya juga akan ikut mati.

"AA!!"

Terdengar semua orang memekik, membuat dengungan panjang di telinganya. Diantara pekikan itu seorang tangan anak kecil meraih tangannya yang terkepal. Anak kecil dengan warna blink-blink merah muda tadi datang menghampirinya dan mengucapkan terima kasih sekali lagi.

  

 
 

 

 
Bersambung....

Narend

Winata


Maaf atas kebimbanganku.

Tertanda,
Ve.

Continue Reading

You'll Also Like

469K 26.4K 73
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.4M 210K 65
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
3.4M 162K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
4.8M 204K 50
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...