Sweet Psycho ✔

By Fadilawliet

287K 19.1K 1K

[TAMAT] Judul sebelumnya 'Possessive Sam' Sam, begitu orang memanggilnya. Dia adalah anak dari keluarga Mille... More

Prolog
1.1. Abnormal Girl
1.2. Abnormal Girl
02. Deal!
03. Coffee
04. Penguntit
05. Trip to Bali
06. Mr. Manekin
07. Mr. Manekin
08. Ex
09. Lexi?
10. I'm Hungry!
11. Lift
12. Peka
13. Apa yang aku harapkan?
14. Pesta
15. Pesta 2
16. He Kissed You
17. William Hood
18. Mom?
19. Racing
20. Racing 2
22. Drunk
23. Planning
24. Resignation
25. High Price
26. Someday
27. Sammie
28. The Beginning Of A Tragedy
29. Let's break up
30. Natalie
31. Never Forget
32. Uninvited guests
33. Choice
34. Back To You
35. Without You
36. Miller's Family
37. Forget you, can I?
38. You really don't miss him?
39. Retrouvailles
40. Au revoir
Epilog
Extra Part | Sweet Psycho

21. Kidnapped

4.2K 305 11
By Fadilawliet

Nancy berakhir tidur di penthouse milik Sam setelah aksi balapan dan kejar-kejaran bersama polisi tadi malam.

Rasa lelahnya bahkan membuat Nancy tidak ingat apa saja yang terjadi semalam. Ia hanya ingat tidur di sofa ketika Sam hendak mengambilkannya minum lalu terbangun di kasur tadi pagi. Sekarang ia tengah dalam perjalanan ke kampus karena ada kelas pagi dan diantar oleh Sam.

"Bagaimana kejadian semalam?"

"Well, sangat seru dan menengangkan." Nancy menjawab seraya terkekeh mengingat-ingat bayangan seputar kepanikannya dikejar polisi tadi malam. "Tapi aku tidak suka dibagian taruhannya dan... pria brengsek itu."

"Maksudmu Jeff?"

"Ah, jadi itu namanya."

Sam memasukkan mobilnya ke pelataran parkir di depan gedung kampus. "Mereka teman-temanmu?" tanya Sam ketika matanya menangkap kumpulan mahasiswa. Beberapa dari mereka terlihat duduk di atas kap mobil dan sebagian lagi di atas jok motor.

Nancy mengikuti arah pandangan Sam. "Ya."

"Siapa si pirang itu?"

"Ouh, maksudmu temanku yang sewaktu malam muncul di apartment? Dia Lizzy, dia teman sekamarku di asrama." Melihat raut tidak suka dari wajah Sam Nancy buru-buru menjelaskan. "Tenang saja, mereka hanya temanku. Kami sudah lama berteman."

Sam memfokuskan maniknya pada kekasihnya itu untuk mencari kejujuran dimatanya yang indah.

"Aku mohon, percaya padaku, Sam," ujar Nancy dengan penuh ketulusan.

"Baiklah."

Nancy tersenyum bahagia mendengar jawaban itu. Ia lantas bergegas membuka pintu mobil tetapi Sam mencekalnya membuat ia kembali membalikkan tubuh. "Kenapa?"

Sam mendenguskan tawa. "Apa kau akan pergi begitu saja?"

Sementara Nancy mengangkat alis tidak mengerti.

"Mendekatlah," titah Sam. Nancy menurutinya dengan ragu ketika Sam memajukan wajahnya dan menarik tengkuk Nancy. Sebuah kecupan mendarat dikening Nancy dengan lembut dan hangat. "Belajar yang rajin."

"Tentu saja. Lalu jangan lupa terima aku diperusahaamu, oke?" kelakar Nancy, sementara Sam hanya terkekeh geli seraya mengusap rambut kekasihnya tersebut.

Setelah tersenyum manis, Nancy lantas bergegas keluar. Ia melambaikan tangannya ketika Sam meninggalkan pelataran parkir lalu menghampiri teman-temannya yang tampak sudah memerhatikannya.

"Hai," sapa Nancy ramah. Ia segera duduk di atas kap mobil di samping Lizzy setelah gadis itu memberinya space dan isyarat agar duduk di sampingnya. Sementara Riley yang juga duduk di sebelah kekasihnya menggeser duduknya.

"You have a boyfriend, huh?" tanya Luke menyeringai menggoda.

"Bagaimana semalam?" tanya Lizzy. "Apa Sam marah padamu?"

Nancy menghela napas tidak semangat. "Ya, tapi untungnya hanya sebentar."

"Bagus. Ah, tunggu.." Lizzy terlihat membuka tasnya mengambil sesuatu di sana yang ternyata adalah ponsel milik Nancy. "Ponselmu, kau meninggalkannya semalam."

"Terima kasih."

"Dia yang datang waktu malam?" Eve bersuara, dia duduk di atas motor bersama Luke, kekasihnya.

Nancy mengangguk. Sebenarnya ia merasa bersalah karena pergi begitu saja dan tidak menjelaskan apa pun. Diantara teman-temannya baru Lizzy yang mengetahui hubungannya dengan Sam karena Nancy sudah cerita banyak, bahkan dari mulai pertemuannya dengan Sam.

"Maaf," ucap Nancy. Eve mengangkat alis sarat bertanya dikesekian detik rautnya merasa bersalah karena Nancy mengucapkan kata maaf yang mungkin dipicu karena pertanyaan darinya.

"Aku tidak bisa ikut makan bersama kalian."

"Hei hei, its okay," sanggah Eve.

Lizzy yang berada di samping Nancy mengangguk setuju seraya menepuk-nepuk bahu Nancy.

"Ya tenanglah, kami semua mengerti. Itu adalah hal yang biasa ketika seseorang sudah memiliki pacar." Riley yang sejak tadi menonton kini menanggapi. "Benar, kan, sayang?"

Melihat Riley mengedipkan matanya meminta persetujuan Lizzy ditanggapi dengan tinjuan kecil dari sikut Lizzy membuat Riley mengaduh pelan. Sementara Nancy dan Eve terkekeh melihat tingkah mereka berdua. Terkecuali Luke yang memang memiliki humor tinggi.

Kemudian mereka mengobrol ringan sebelum masuk ke dalam kampus untuk mengikuti kelas yang kebetulan hari itu mereka memiliki kelas pagi yang sama.

***

Setelah kelas selesai dan berakhir pada jam 2 siang, mereka keluar dari gedung kampus dan menuju parkiran, Luke menghentikan langkahnya membuat yang lain pun ikut melakukannya.

"Kenapa?" tanya Nancy.

Raut wajah Luke jelas menampilkan ekspresi terkejut yang amat kentara ketika melihat sesuatu diponselnya. "Will.. William meninggal," ujarnya seraya menatap teman-temannya satu per satu.

Lizzy yang menganggap bahwa hal itu guyonan belaka memukul kepala Luke dengan tas selempang kecilnya.

Yang dipukul memang tidak marah, tetapi pawangnya yang justru merasa kesal. Siapa lagi jika bukan Eve kekasihnya. "Hei! Kau menyakitinya," tukas Eve.

"Jangan bercanda, Luke."

"Apa wajahku terlihat bercanda?" tegas Luke dengan nada sinis, tentu membuat semua orang di sana terkejut bukan main. Karena pasalnya William adalah salah satu teman perkumpulan mereka dan terkadang ikut jalan-jalan bersama. Namun tidak terlalu sering karena lelaki itu memiliki geng dan jadwal rutinnya sendiri untuk mengunjungi kelab malam.

Tidak terkecuali, Nancy pun terkaget hingga membuat dadanya sesak dan anehnya jantungnya berdebar hebat. Sekelabat ingatan tentang William yang mabuk dan menciumnya kembali muncul.

"Ka-kau serius?"

"Ya, aku barusan mendapat pesan dari Grace." Mendengar Luke menyebut namanya Grace bahkan membuat Nancy baru tersadar jika gadis itu tidak ada sejak pagi. Tapi Nancy pikir mungkin saja Grace memiliki kelas siang.

Setelah berdiskusi singkat dan Luke mendapat informasi jika William dalam perjalanan dikebumikan, akhirnya mereka bergegas untuk ke pemakanam.

Nancy ikut bersama Lizzy menggunakan mobil Riley, sedangkan Eve naik motor bersama Luke tentunya. Teman yang lain-meski tak sedekat mereka yang sekarang bersama-sudah tiba dipemakaman menunggu jenazah William.

Membutuhkan setidaknya 20 menit, akhirnya mereka sampai tepat ketika jenazah William tiba. Nancy masih menganga tidak percaya melihat William dikubur bersama petinya. Sementara Lizzy terlihat terisak dibahu Nancy.

Setelah peti itu tertutup oleh tanah, Nancy baru menyadari jika Grace hadir di sana.

Grace memerhatikan Nancy dengan tatapan lurus dan lekat. Mata itu terlihat memancarkan kesedihan dan sebagian lagian kemarahan yang tidak Nancy mengerti.

Lizzy menyadari kehadiran Grace juga, ia mengikuti arah pandang Grace yang ternyata jatuh pada sahabatnya, yaitu Nancy. Lizzy mengangkat kepalanya dari bahu Nancy. Tepat saat itu Nancy melepaskan tangan Lizzy dari lengannya dan berniat menghampiri Grace.

Grace sudah lebih dulu pergi membuat Nancy harus mengejarnya. Sampai mereka jauh dari kerumunan yang sedang berdoa, Nancy memilih menghentikan langkahnya dan berteriak, "Grace!"

Grace menghentikan langkahnya dan berbalik dengan sinis. "Ada apa?"

"Ada apa? Seharusnya aku yang bertanya ada apa."

"Apa maksudmu?"

"Kau menghindariku dan bersikap tidak biasa."

Grace mendengkuskan tawa. "Apa kau merasa tidak bersalah?"

Pertanyaan Grace semakin membuat Nancy bingung. "A-aku tidak mengerti."

"Kau tahu, William mati terbunuh dan hal itu sangat mengganjal bagiku." Grace berjalan mendekat ke arah Nancy. "Selama ini kau tahu sendiri jika tidak ada yang berani padanya selain daripada kekasihmu yang menghajarnya saat di kelab."

Nancy mendengkus tidak percaya mendengar statement Grace yang terdengar konyol. "Ka-kau menuduh Sam?"

"Aku tidak, tapi kau bisa menanyakannya."

"Itu konyol Grace, Sam menghajarnya karena William mencuri ciumanku. Tidak lebih."

"Itu karena dia menyukaimu," tukas Grace menambahkan oktaf suaranya.

"Dia menciumku saat mabuk, memaksaku bahkan menyakitiku. Jangan berstatement menyambungkan hal-hal yang menurutmu mengganjal lalu menuduh Sam hanya karena kau mencintai William. Itu sangat tidak adil!"

Grace tertawa merendah, membuang pandang sesaat lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada Nancy. "Jadi, Lizzy yang memberitahumu, huh? Ya, katakanlah aku mencintainya dan mungkin dengan begitu aku memiliki alasan untuk peduli padanya juga peduli mengenai siapa sebenarnya yang membunuh William."

"Hei, ada apa ini?" Nancy menoleh dan mendapati Lizzy datang dari arah belakangnya mendekat dengan raut khawatir.

"Sebaiknya tanyakan pada sahabatmu itu," tukas Grace menanggapi. Lalu matanya kembali pada Nancy. "Aku harap kejanggalan yang aku rasakan terbukti benar dan kau akan menyesal menyadari kenyataan yang menyakitkan bahwa pacarmu adalah seorang pembunuh."

Lizzy mengerutkan dahi sedang Nancy merasa jantungnya berdegup kencang dan marah dalam dirinya menggebu. Kemudian satu tamparan telak mendarat di pipi Grace.

Grace tidak berkata apa pun, ia menatap Nancy sekilas dengan penuh kemarahan kemudian berbalik dan pergi.

Nancy berkaca-kaca, ia marah namun sebagian dirinya menyesal karena telah meenampar temannya sendiri. Lizzy yang menyaksikan itu hanya bisa menenangkan sahabatnya dengan mengusap lembut bahunya.

"Dia menuduh Sam, Lizz." Nancy berucap dengan parau, kedua tangannya kini menutupi wajahnya.

"Jangan pikirkan itu, Grace terkadang memang menyebalkan. Biarkan, dengan itu dia bukan lagi teman kita."

***

Meski air matanya sudah mengering, Nancy masih merasa bersalah karena telah menampar Grace. Ia hanya bisa melamun memikirkan perbuatannya yang ternyata terlalu berlebihan.

Riley menepikan mobilnya dipinggir jalan di depan sebuah minimarket. Lizzy menawarkan Nancy untuk turun dan membeli beberapa makanan dan minuman tetapi Nancy menolak.

"Kau masih memikirkan kejadian tadi?"

"Tidak," jawab Nancy singkat.

Lizzy melirik Riley sekilas kemudian kembali berbicara, "Baiklah, aku turun sebentar. Aku akan membelikanmu beberapa minuman, oke?"

Tanpa menunggu respon temannya itu, Lizzy lantas keluar bersama Riley, masuk ke dalam minimarket. Cukup lama melamun, Nancy akhirnya tersadarkan oleh bunyi ponselnya. Pertanda sebuah pesan masuk.

Kelasmu sudah selesai, kan? Aku akan menjemputmu.

Nancy menghela napasnya, mencoba bersikap sedewasa mungkin dan melupakan hal yang sudah-sudah lalu segera membalas pesan Sam.

Aku sedang bersama Lizzy.

Tidak lama setelah pesan itu terkirim, muncul lagi pemeritahuan pesan masuk dari Sam.

Kirimkan lokasimu. Tunggu disana, aku akan sampai 10 menit lagi.

Sesuai permintaan Sam, Nancy lantas mengirimkan lokasinya lalu turun dari mobil hingga tidak lama kemudian Lizzy bersama Riley keluar dari minimarket sembari membawa satu kresek besar berwarna putih.

Apakah itu yang Lizzy bilang beberapa? Lima minuman botol, kemasan susu kotak berukuran 1 liter 3 pcs dan sejumlah snack yang bermacam-macam.

"Kenapa kau keluar?" tanya Lizzy, terlihat tangannya sibuk merogoh belanjaannya untuk mengambil minuman lalu memberikannya kepada Nancy.

"Sam akan menjemputku," ungkap Nancy seraya menerima minuman tersebut.

"Ouh-eh? Di sini?" Lizzy mengerutkan dahi.

"He'em."

"Kau yakin tidak akan ikut ke rumah William?" tanya Riley.

"Aku rasa tidak. Maaf. Lagipula aku yakin jika Grace ada di sana dan aku belum mau bertemu dengannya."

"Ya, kau benar. Tapi apa kau yakin?" tanya Lizzy lagi.

"Tentu," jawab Nancy seraya tersenyum. Berharap senyuman itu cukup meyakinkan Lizzy untuk meninggalkannya di tempat tersebut.

"Baiklah. Hati-hati."

Nancy mengangguk dan Lizzy segera masuk ke dalam mobilnya. Riley melambaikan tangannya kemudian menyusul Lizzy.

Lima menit setelah Lizzy dan Riley pergi, sebuah mobil terlihat menepi tepat di depan Nancy. Nancy mengembangkan senyumnya karena Samuel-nya telah datang. Namun dugaannya salah ketika dua orang pria bertubuh tegap, besar dan tinggi keluar dengan mengenakan pakaian serba hitam dan wajah yang tertutup.

Alarm bawah sadar Nancy berbunyi, seolah memberi isyarat agar ia segera berlari. Seperkian detik saat tubuhnya merespon sinyal itu dan hendak melakukannya, tubuhnya kalah sigap dengan cengkeraman dikedua lengannya oleh salah satu pria itu. Lalu pria lain menutup mulutnya menggunakan sebuah kain.

Nancy meronta namun tenaganya kalah kuat dibanding mereka. Tidak lama dari itu tubuhnya lunglai karena lemas lalu tidak sadarkan diri.

***

Nancy mengerjap, masih dengan mata yang samar ia menyapu sekeliling dengan manik matanya. Di depannya terlihat dua orang pria berdiri seraya mengubrak-abrik tasnya. Mereka terlihat mengeluarkan semua isi tas milik Nancy tanpa terkecuali hingga semua barangnya berserakan dilantai yang kotor.

Hingga sebuah benda yang dicarinya jatuh, salah satu dari mereka lantas mengambilnya. Nancy yakin mereka menonaktifan benda itu lalu tanpa berpikir panjang langsung melemparnya ke tembok hingga isinya berserakan.

Nancy merasa sesak melihatnya. Brengsek sekali mereka menghancurkan ponsel Nancy yang dibelinya dari hasil kerja part time-nya sebelum ia magang diperusaahan Sam.

Tidak lama, menyadari Nancy yang sudah sadar kedua pria itu menyeringai dan lantas menghampiri Nancy membuat si gadis gemetar hebat dan menangis.

Salah satu dari mereka membuka lakban yang melekat dibibir Nancy secara kasar yang bahkan baru Nancy sadari. Nancy yakin jika benda yang dibuka paksa itu akan akan meninggalkan bekas merah di sana.

Setengah dari diri Nancy masih tidak percaya bahwa dirinya sekarang diculik. Nancy tidak pernah diculik seumur hidupnya.

Hebat! Sekarang seperti inilah rasanya diculik. Menakutkan dan mencekam. Nancy bahkan yakin jika ia tidak akan bisa menawar kematiannya.

"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Nancy, mencoba untuk berani.

Kedua pria itu terkekeh layaknya penculik pada umumnya. "Kau pikir penculik akan memberitahu apa keinginan serta maksudnya?"

"Tenanglah gadis cantik, bertahanlah beberapa hari di sini hingga keputusan untuk membunuhmu datang dan kami mendapatkan bayaran."

"Brengsek! Siapa yang menyuruh kalian, huh?" tanya Nancy dengan garang.

"Oh hoo, kau cukup berani menaikkan nada bicaramu, huh? Sangat tidak sopan. Aku bahkan bisa memberikan beberapa sentuhan agar kau mau diam."

"Dasar bajingan!" teriak Nancy tidak terima. Nancy merasa harga dirinya tidak pernah direndahkan seperti ini. Dengan kesal ia menatap nyalang pada kedua pria itu. "Jangan harap kau bisa menyentuhku seinci pun. Hanya dengan melihat wajah kalian saja aku bahkan merasa jijik. Kalian menculikku hanya karena beberapa gepok uang? Rendah sekali?" sarkas Nancy dengan berani bahkan tidak terdengar rasa gentar dari nada bicaranya.

Mendengar ucapan Nancy dan tidak menerima dengan apa yang dikatakannya, salah satu dari pria itu melayangkan tangannya hingga telak mengenai wajah Nancy.

Nancy merasakan perih yang amat sangat pada pipinya. Panas dan kebas mulai menjalar. Wajahnya tertoleh ke kanan dan beberapa bulir air matanya mengalir tanpa diperintah. Ia tidak pernah dilakukan sekasar ini oleh siapa pun. Sekelabat ingatan dirinya yang menampar Grace tiba-tiba berputar diotaknya. Apakah ini yang dinamakan karma? Mengingat hal itu Nancy semakin menangis deras. Mencoba bersikap sekuat apa pun Nancy tetaplah seorang gadis yang rapuh.

Belum sempat Nancy membenarkan posisi wajahnya, suara ledakan membuat Nancy terperanjat bukan main. Nancy gemetar hebat lalu dengan perlahan menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya merasa lemas ketika pemandangan pertama menunjukkan seorang pria yang menamparnya tadi tergeletak dengan darah yang bersimpah di kepalanya.

"Siapa yang menyuruhmu?"

Mengenali suara khas itu, Nancy memusatkan matanya pada seseorang yang berdiri di depan pintu utama dengan pistol yang siap ditarik pelatuknya kapan saja. Sam, itu adalah Sam. Melihat hal itu membuat Nancy menarik napas lega dan berusaha melepaskan lilitan tali yang mengikatnya di kursi.

"Aku tanya siapa yang menyuruhmu, brengsek!" Suara Sam menggema, bahkan membuat Nancy yang mendengarnya ikut takut. Samuel-nya tidak pernah semarah ini sebelumnya. Yang ia tahu, apa pun kondisinya pria itu akan berdiri dengan tubuh angkuh dan tenang seraya menatap mata lawannya dengan tatapan dingin, tajam dan mengintimidasi.

Namun Samuel-nya yang sekarang nampak berbeda.

Tapi Nancy masih tetap suka, Sam bahkan terlihat seksi dengan amarahnya seperti itu. Ah sial.... bagaimana pikirannya bisa seperti itu? Bahkan sempat-sempatnya mengagumi Sam dalam keadaan seperti ini.

Semua perasaan dan pikiran itu buyar seketika ketika si penculik dengan sigap berlari ke belakang kursi Nancy untuk mengancam Sam. Nancy semakin tersentak kala si penculik tanpa ragu menekan pisau lipatnya dan menempatkannya tepat di leher Nancy.

"Aku akan melepaskan gadis ini, tapi dengan satu syarat."

Tubuh Nancy gemetar hebat, ia tidak yakin dengan negoisasi si penculik karena mereka biasanya licik.

"Katakan," ujar Sam mencoba mengikuti alur.

"Jangan bunuh aku. Aku melakukan ini karena seseorang menyuruhku dan menjanjikan materi untuk menghidupi keluargaku."

"Siapa orang itu?" tekan Sam yang sepertinya berusaha agar tidak terdengar menuntut dan menyelidik.

Nancy tidak pandai menebak. Ia tidak tahu alasan si penculik hanya alibi semata atau memang benar adanya? Karena jika sudah menyangkut keluarga, Nancy adalah orang yang paling rapuh. Ibu Nancy sudah meninggal satu tahun lalu menyusul kepergian ayahnya yang meninggalkannya sejak umur 12 tahun. Sekarang ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang tinggal di Las Vegas.

"Lexi."

"Baiklah, lepaskan gadis itu. Aku bahkan bisa membayarmu dua puluh kali lipat dari pada perempuan sialan itu," tawar Sam. Matanya terlihat tulus dan meyakinkan bahkan ia melempar senjata apinya.

Nancy bisa merasakan tangan si penculik melonggar dilehernya kemudian dilepaskannya dengan cepat tali yang melilit ditubuhnya. Tanpa berpikir panjang, Nancy berlari menghampiri Sam untuk memeluk pria itu dengan erat.

Sam mengusap kepalanya dengan lembut hingga Nancy merasakan kembali yang namanya ketenangan. Pria itu juga mencium kening Nancy cukup lama, seolah kembali menemukan sumber ketenangannya setelah sebelumnya dibuat begitu khawatir. "It's okay."

"Ah sial! Kau benar-benar membuat kekacauan," ujar seseorang membuat Nancy melepaskan dirinya dari Sam. Tanpa Nancy sadari hal itu membuat Sam menampilkan raut kecewa.

"Nate?!" seru Nancy tidak percaya.

"Ouh hai gadis yang diculik!" kelakar Nate membuat Nancy terkekeh.

Sam diam-diam memerhatikan bagaimana gadisnya itu tertawa karena Nate.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya dan... tidak."

"Ya dan tidak?" Nate menautkan alis seolah berpikir. "Oke, aku mengerti," ucap Nate seraya menampilkan senyumnya dan Nancy ikut tersenyum melihat hal itu.

"Kita pergi dari sini, biar Nate yang mengurus sisanya," tukas Sam seraya menggandeng tangan Nancy lalu membawanya keluar.

"Apa perlu aku membunuh sampah itu?"

"Apa saja yang membuatmu senang," ucap Sam apatis lalu sembari berlalu.

"Tunggu."

Sam terhenti langkahnya mendengar teguran Nancy. "Apa Nate akan membunuhnya?"

"Kau tidak perlu memikirkannya. Yang terpenting kau selamat dan kita sudah tahu siapa dalang dari kejadian ini."

Nancy yang hanya bisa menurut dan percaya mengenai keputusan Sam kemudian mengangguk. "Baiklah."

***

#Tbc

Terima kasih dan ily ❤

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 30.1K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
6.5M 397K 61
Hanya dalam satu kedipan, mampu membuat pria angkuh itu bertekuk lutut jatuh sejatuh jatuhnya dalam jurang tak kasat mata yang dibuat oleh si cantik...
800K 38.9K 62
⚠️DON'T COPY MY STORY!! REAL IMAGINATION!!⚠️ CERITA INI DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA PASAL 1 Cip...
1.6K 768 30
Anggap saja aku rumahmu, jika kamu pergi kamu tahu arah pulang. Menetaplah bila mau dan pergilah jika bosan. Picture by Pinterest Edit by Canva