Comeback [SasuSaku Fanfiction...

De MandaNawa_

225K 22K 2K

Sepuluh tahun setelah kegagalannya dalam menjalin rumah tangga dengan Uchiha Sasuke, Sakura akhirnya dapat me... Mais

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30 (End)
Epilog

16

5.2K 628 36
De MandaNawa_

Baru kemarin siang dia berperan menjadi zombie bersama anaknya, hari ini dia seolah tengah menjadi zombie sungguhan. Dia butuh tidur, dia ingin merebahkan pungungnya walaupun hanya sebentar. Setelah digempur dengan pasien yang seolah menyerbu UGDnya. Dia bahkan 3 kali masuk ruang operasi dalam satu malam saja, dan menunggu pasien ICU hingga pagi ini. 

Dia berjalan gontai sambil memijat tengkuknya sendiri, masuk ke lift tanpa memperhatikan sekelilingnya. Dalam Satu lift yang sama Karin dan Sasuke berdiri tepat di belakangnya. Yang sibuk meregangkan tubuhnya, hingga tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan. 
Saat lift sudah menunjukan angka lantai tujuan, dia hendak sarapan dulu di kantin dan setelahnya dia ingin tidur sebentar di ruangannya. 

"Dokter Haruno," Pangilan itu sontak membuat Sakura menoleh sebelum benar-benar keluar dari lift. "Saya suka kostum anda hari ini." Ucap Sasuke beberapa detik sebelum pintu lift mulai menutup. 

Belum sempat Sakura menjawab pintu itu sudah tertutup. "Sejak kapan dia disana?" Tanya Sakura pada diri sendiri, lalu matanya melihat ke bawah, menilai penampilannya yang tidak ada indah-indahnya untuk dilihat. Seragam biru tua khas, celana panjang yang longgar begitu juga bajunya yang ada bekas percikan darah pasien. Harusnya dia berganti dulu sebelum masuk kantin. 

"Ah sudahlah, tidak penting juga. Sasuke pernah melihatku hanya menggunakan daster dulu." Ucapnya lirih, dan berjalan ke salah satu meja kosong, pelayan menghampirinya. 

Sakura menyembutkan salah satu menu pagi itu dan menunggu. 

Tidak terlalu lama hingga dia bisa menyantap pesanannya. Ketika dia akan mengangkat gelas berisi air hangatnya, tiba-tiba gelas itu retak, membuat sedikit airnya merembes keluar. "Permisi." Sakura mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. "Gelasnya retak tolong ganti yang baru ya." Ucap Sakura. 

Tanpa membantah lagi si pelayan berjalan ke dapur, tiba-tiba perasaanya jadi tidak enak. Dia melirik jam besar di dinding, sudah jam 8 lebih, hanya untuk meyakinkan dirinya jika anaknya pasti sedang duduk di kursinya dan mendengarkan gurunya menjelaskan. 

Beberapa menit berikutnya, bahkan kekhawatirannya belum hilang, ponselnya berbunyi. 

"Ya." Jawabnya, seketika dia berdiri dan berlari meninggalkan semua makannya,

"Ada bus sekolah tabrakan dengan truk pengangkut besi. Dalam 5 menit mereka sampai di UGD." Sakura berdiri gelisah di dalam lift, berusaha menepisakan kalau anaknya tidak ada di sana. Kalau bus itu bukan bus sekolah Sarada, anaknya juga tidak pernah bilang kalau dia akan berpergian menggunakan bus sekolah. 

Kacau, itulah kata yang pantas untuk menjelaskan segala keadaan di UGD. Dia melihat dokter-dokter yang sudah sibuk dengan pasien masing-masing. 

Nami yang sedang melakukan CPR pada pasiennya, yang detak jantungnya sudah berhenti. Keringat mengucur di dahinya, rambut panjangnya diikat acak ke belakang. 

"Dokter Haruno sebelah sini." Teriak salah satu perawat, dari salah satu bilik. Sakura mengabaikan Nami yang sudah melepaskan tangannya dari dada anak lelaki kecil itu, dan mengumumkan waktu kematiannya. Rasa sakit tiba-tiba mencengkram dada Sakura. Dia tidak mau itu terjadi padanya, mengummumkan waktu kematian pasiennya. 

"Katup jantung bocor, ini sudah akut." Sakura melihat gambar hasil ct scan. Lalu dia memeriksa sendiri kondisi pasien yang tidak sadarkan diri, wajah pucat dan bibirnya mulai membiru. 

"Persiapkan untuk operasinya, aku akan bicara dengan orang tuanya." Salah satu perawat mengawalnya untuk keluar dari bilik itu, perawat itu menunjuk pada wanita setengah baya yang berdiri khawatir di depan bilik. Sakura mengenalnya, sangat mengenalnya. Tidak mungkin dia lupa wajah itu, sepertinya begitu juga wanita itu. Wanita itu berusaha untuk berbicara namun suaranya seolah tidak pernah bisa keluar. 

"Emergency-emergency!" Teriakkan itu membuat Sakura menoleh pada kegaduhan itu, dia melihat seorang anak gadis yang digendong oleh petugas 119. 

"Sarada!" Sakura seketika mengabaikan wanita itu dan berlari menuju anaknya. 

"Mama, Boruto!!" Ucap Sarada. Dia tidak terluka parah hanya siku dan lututnya yang berdarah, lainnya baik-baik saja. 

"Anak ini meminta untuk dibawa ke rumah sakit ini dia bilang papanya yang punya rumah sakit ini. Setelah saya telusuri memang benar, tapi dokter ada yang lebih penting." Jalas petugas yang menggendong Sarada. 

"Sebentar apa ini kecelakaan yang sama dengan bus sekolah itu?"

"Oh tidak, ini kecelakaan yang ada di rute15." Sakura tidak terlalu mengenal nama jalan tapi dia hanya mengangguk mengerti. "Begini temannya._" Belum sempat petugas itu menjelaskan, dia melihat anak lelaki berambut pirang baru saja dipindahkan ke ranjang rumah sakit. 

"Boruto" Sarada meloncat dari ranjangnya dan berjalan tertatih menghampiri Boruto. "Mama tolong Boruto, Mama..." Sarada menangis sejadi-jadinya. 

"Ya, sayang pasti, kau butuh diobati dulu Sarada. Dokter Tenten, tolong!" Sakura melihat Tenten yang tidak sengaja lewat di depannya. Tenten langsung menghampiri Sarada dan menuntunnya kembali ke ranjang. Dan langsung meminta perawat yang terlihat sedikit menganggur untuk merawat luka kecil Sarada. Karena dia juga punya pasien yang harus dirawatnya. 

"Bagaimana?" Sakura memeriksa dada Boruto yang berwarna ungu kebiruan. Dibagian itu terlihat sedikit tenggelam kedalam, Sakura menduga tulang rusuk Boruto patah dan menusuk paru-parunya. "CT Scan?" 

"Belum dilakukan." Jawab perawat yang mendampinginya. 

Bunyi bip yang tanpa jeda membuat keringat dingin Sakura langsung mengalir deras. 

"Dokter detak jantungnya terhenti." Sakura meremas kuat sprei ranjang Boruto, hanya beberapa detik dia ingin terdiam dan berpikir. 

"Lakukan pijat jantung internal. dan siapkan Ultrasonografi. "

"Disini?" Tanya perawat yang seolah tidak mau menuruti Sakura. 

"Cepat tidak ada waktu lagi." Sambil menunggu mereka membawakan apa yang dia minta. Sakura melakukan CPR, dan dokter magang mendampinginya dengan menekan-nekan tabung udara, yang sudah tersambung dengan alat yang ada di mulut Boruto. Sakura menekan dada itu dengan penuh hati-hati, tidak terlalu kuat dia takut dugaannya benar dan akan berakibat fatal pada paru-parunya. 

"Gantikan sebentar, jangan terlalu keras." Seorang dokter magang tadi menggantikan Sakura, dan perawat yang mendampinginya menekan-nekan tabung udara. 

Sakura mulai merobek kulit halus di tubuh kecil itu, seukuran telapak tangannya, perlahan dia memasukan tangannya yang sudah terlapisi sarung tangan elastis. Dia tau itu akan menyakiti Boruto tapi tidak ada cara lain, dia menemukan jantung kecil Boruto dan dia memberikan pijatan teratur. 

Dokter magang tadi mengambil mesin USG dan mulai mencari-cari kesalahan di dalam tubuh Boruto. 

"Benar sekali," Ucap Sakura yang juga melihat ada sebatang rusuk yang menusuk paru-paru itu. Sudah pasti tabrakan itu sangatlah keras hingga membuat rusuk yang sekuat itu patah. Selagi memeperhatikan itu, detak jantung Boruto juga tidak kunjung kembali, sesungguhnya tangannya di dalam sana sudah sangat pegal, tapi jika dia menyerah maka selesailah semua. "Ayo Boruto berdetaklah," Ucap Sakura lirih, tangannya rasanya sudah sulit untuk digerakkan. 

"Ayolah Boy," Ucap Sakura lagi. Detik berikutnya bunyi bib teratur menandakan bahwa detak jantung itu sudah kembali Sakura melepaskan tangannya, dan segera menutup luka terbuka di tubuh Boruto. Pindahkan ke ruang Operasi sekarang. Aku akan menyusul." Ucap Sakura, segera mendapatkan anggukan mengerti dari pendampingnya tadi. 

Setelah berbalik dia melihat Sarada yang berdiri menatapnya, kali ini lukanya sudah terbalut perban. Sakura hanya tersenyum pada Sarada lalu dia berlari untuk segera melakukan tindakan selanjutnya untuk menyelamatkan Boruto. 

Pertama dia mencuci mukannya, berharap bisa membuat matanya tetap terbuka. Dia pernah tidak tidur karena mengerjakan tugas saat kuliah dulu, seharusnya ini bukan hal yang sulit. 

Setelahnya dia mengganti bajunya, di ruang ganti sial sekali dia berada di dalam bersama Nami, yang semakin dilihat semakin membuatnya iri saja, pantas saja Sasuke meliriknya. 

"Ada apa dengan UGD akhir-akhir ini? Seolah seluruh pasien di jepang dirujuk kesini saja. Menyebalkan." Nami membanting pintu lokernya. 

"Doktor Nami,"

Nami berhenti tapi tidak menjawab, dia hanya melemparkan pandangan tajam pada Sakura. "Pasien katup jantung, bisa tolong periksa dia dan lakukan operasi untuknya."

"Kenapa?"

"Aku rasa aku tidak bisa mengoperasinya."

"Ya, aku tanya kenapa? Kau bukan dokter yang tidak bisa melakukannya kan?"

"Aku hanya tidak bisa melakukannya pada anak itu."

"Kalau aku ada waktu." Jawab Nami singkat dan dia pergi meninggalkan Sakura sendiri. 

Sakura menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia berjalan dengan langkah besar sambil memijat pergelangan tangannya yang pegal, sebenarnya bukan hanya itu, pergelangan kakinya pun sama. 

"Mama!" Sarada berada di depan ruang Operasi bersama dengan dua orang dewasa yang tak lain adalah orang tua Boruto. 

"Sayang kenapa kau tidak istirahat saja? Kau juga terluka."

"Mama janji ya pada Sarada, kalau mama akan menyelamatkan Boruto." 

"Mama akan berusaha."

"Dokter, apakah anak saya akan baik-baik saja." Ucap Hinata dengan air mata yang mengalir deras. 

"Saya akan berusaha, tolong bantu saya dengan doa ya bu, pak." Ucap Sakura sopan, terbesit perasaan iri, melihat mereka. Naruto yang tidak pernah melepaskan pelukannya pada sang istri. Andai dulu, saat Sarada dalam bahaya mereka saling berpelukan seperti itu. Mungkin semua akan baik-baik saja hingga sekarang.

"Mohon bantuannya dokter." Ucap Naruto. Sakura hanya mengangguk.

"Sebaiknya Sarada menunggu di ruangan mama atau Sarada ke ruangan papa."

"Sarada mau disini." Tatapan Sarada masih sama seperti tadi, tatapan penuh kesedihan, rasa bersalah dan ada sedikit campuran ketakutan.

"Mama janji akan membawa Boruto kembali pada Sarada." Entah bisa atau tidak, Sakura hanya mengatakan itu sebagai beban untuk dirinya sendiri. Sebagai pendorongnya untuk tidak mudah menyerah. Sakura meninggalkan Sarada, saat seorang perawat memanggilnya.

"Bisa tolong hubungi direktur rumah sakit, minta dia ke sini. " Ucap Sakura pada perawat itu, sambil berjalan untuk menghemat waktu.

"Huh maksud anda tuan Uchiha?"

"Ya, kenapa?"

"Saya rasa akan kesulitan untuk bicara langsung pada beliau."

"Katakan saja pada sekertaris nya kalau anaknya ada di depan ruang operasi. Tidak ada bantahan." Walau masih sedikit bingung, perawat itu memilih berlari keluar dan melakukan apa yang Sakura minta.

Bukan hal yang mudah untuk memasang rusuk buatan dan menghentikan pendarahannya. Bahkan Boruto sampai membutuhkan transfusi langsung dari ayahnya. Karena banyaknya pasien hari itu rumah sakit sampai kehabisan stok darah. Lagi pula darah Boruto sangat langka.

Di detik-detik terakhir, hanya tinggal menjahit, Sakura hampir terjungkal karena tidak bisa lagi menahan kantuknya.

"Dokter tidak apa-apa?" Ucap asisten Operasi nya.

"Kau bisa menyelesaikannya? Dia masih sangat muda jahit yang rapi."

"Baik Dokter." Ucap pemuda itu dengan senang hati. Sakura membuka jubah luarnya, dan membuang ke tong sampah begitu juga masker nya dan sarung tangannya.

Di luar dia langsung disambut oleh orang tua Boruto yang penasaran dengan kondisi anaknya.

"Operasi berjalan lancar, tapi dia masih harus melewati masa kritisnya. Kami akan terus memantau perkembangannya. " Sebenarnya banyak yang perlu dia bicarakan dengan orang tua Boruto mengenai rusuknya, dan juga larangan untuk Boruto bergerak terlalu aktif. Misalkan melakukan olahraga berat sangat tidak disarankan. Tapi semua itu bisa dia bicarakan baik-baik nanti, cukup terpukul dengan kondisi Boruto yang belum membaik, dia tidak ingin menambahkan beban pada orang tua Boruto, setidaknya untuk sekarang ini.

Matanya jatuh pada anaknya yang menatap cemas kearahnya.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Sarada. Sakura bertemu tatap dengan Sasuke sebentar lalu kembali menatap anaknya.

"Sarada masih harus membantu mama berdoa, agar Boruto bisa melewati masa kritis nya. Oke?" Sarada memeluk Sakura, terdengar isak tangis yang begitu pilu.

"Mama semua gara-gara Sarada, Boruto seperti itu karena menyelamatkan Sarada. "

"Sayang,,," Sakura tidak tau harus berbicara apa, dia tidak tau bagaimana kronologinya mereka bisa mengalami kecelakaan itu.

"Sarada ini bukan salahmu sayang, ini kecelakaan. Boruto menyelamatkan Sarada karena dia sayang padamu dia tidak ingin membuat temannya terluka. Boruto akan sedih kalau kau menyalahkan diri seperti ini." Hinata menimpali dia sudah berulang kali bilang pada Sarada kalau itu bukan salahnya, tapi bagaimanapun juga Sarada pasti merasa bersalah.

"Benar. " Ucap Sakura menghapus air mata di pipi Sarada.

Beberapa saat kemudian Boruto dibawa keluar dari ruang operasi dan dipindahkan ke ruang ICU. Tugas Sakura belum selesai dia harus memantau kondisi Boruto. Tapi dia ingin sekali tidur walau hanya sebentar.

Orang tua Boruto pamit untuk menanti anaknya. Sakura dan Sasuke hanya mengangguk.

"Kau sudah makan?" Tanya Sasuke, saat melihat wajah Sakura yang pucat.

"Sudah hanya beberapa suap tadi pagi."

"Oke kita makan dulu bagaimana?" Sasuke menatap Sarada untuk menanyakan pertanyaan serupa.

Sarada mengangguk. "Tapi setelah makan Sarada mau kesini lagi menemani Boruto."

"Aku tidak bisa lama, " ucap Sakura, benar pasiennya banyak dan menunggu untuk dia tangani.

"Dokter, Dokter tolong anak saya dok!!" Wanita tadi, wanita yang sangat Sakura kenali. Tiba-tiba saja berlutut di depan Sakura, hingga membuat Sarada dan Sasuke terkejut.
Sakura hanya diam, dia tidak menjawab, alih-alih menyuruh orang itu untuk kembali berdiri.

Tatapannya penuh kebencian, ingin dia memakai habis-habisan pada wanita itu yang memohon seolah tidak pernah mengenalnya. Seolah tidak pernah melakukan kesalahan padanya.

"Maafkan saya dokter, tapi tolonglah anak saya. Tolong selamatkan anak saya dokter saya mohon." Kini wanita itu menarik tangan Sakura, menggenggamnya dengan dua tangan. Sakura menghempaskan tangan itu.

"Saya sudah menyuruh orang lain untuk Operasi anak anda. Jadi tunggu saja."

"Tidak ada yang bisa. Saya sudah mendengarnya dari beberapa suster, kalau tidak ada dokter yang bisa melakukan operasi. Kecuali dokter Haruno yang baru saja keluar dari ruang operasi. Tolong dokter tolong anak saya. "

"Ma ada apa? Mama cepat tolong anak ibu ini.Ayo ibu berdiri," Sarada dengan sopan membantu ibu-ibu itu untuk berdiri.

"Saya akan carikan dokter lain." Ucap Sakura langsung berlari pergi. Mencari persembunyian tentunya. Dia sudah tidak peduli dengan Sarada yang memanggil-manggilnya dan Sasuke yang mengejarnya.

****

Disinilah dia berakhir. Di salah satu ruang tangga darurat, menyandar ke tembok memejamkan matanya. Berusaha untuk melupakan dan terlelap, tapi dia langsung dihantui dengan sumpah nya sebagai dokter. Bagaimana dia bisa pilih-pilih pasien seperti itu, walau pembunuh sekalipun dia wajib menyelamatkan nyawanya.

"Lelah?" Tiba-tiba dia merasa pipinya menghangat, sebuah kaleng kopi hangat menyentuh pipinya. Lalu seorang teman muncul setelahnya. Sakura mengambilnya dan meneguk kopi itu hingga tinggal setengah. "Atau ada alasan lain?" Lanjut Sasuke, memberikan sebungkus onigiri segitiga isi salmon pedas kesukaan Sakura.

"Hanya lelah."

"Tapi tidak perlu seperti itu kan? Aku dengar kau tidak pernah menolak pasien sebelumnya. Bahkan kau memintaku untuk ngebut saat ada pasien darurat kemarin."

"Aku lelah aku butuh tidur. Dan_" dia menimang-nimang lagi untuk mengatakan atau tidak. Tapi jika dia mengatakannya, mungkin dia akan mendapatkan dukungan dari Sasuke.

"Ada apa?" Suara Sasuke menghalus, seolah tengah merayu kekasihnya yang sedang merajuk.

"Dia yang meninggalkan Sarada sendiri saat itu. Dia pengasuh yang aku sewa saat itu." Sasuke terdiam, hanya saling menatap dengan Sakura, tidak ada yang keluar dari bibir mereka dalam waktu yang lama.

"Kau tau, aku sekarang marah. Sangat marah padanya, bagaimana dia bisa begitu tega meninggalkan bayi sekecil Sarada saat itu. Tapi Sakura, anaknya tidak berdosa kan?" Sasuke mengambil tangan Sakura, menggenggamnya lembut, mencoba untuk saling menenangkan emosi masing-masing. Sasuke tau Sakura sedang sangat murka saat itu, tapi dia tidak bisa langsung melampiaskan pada wanita itu.
"Jangan hukum anaknya atas kesalahan orang tuanya, dia bahkan tidak tau apa yang telah dilakukan oleh ibunya, dia tidak pantas menderita karena ibunya."

"Tapi Sasuke aku tidak akan bisa melakukannya. Aku tidak akan benar-benar bisa berusaha menyelamatkan anaknya. "

"Kau bisa, kau seorang dokter. Jangan melihatnya sebagai anak wanita itu, lihatlah seperti kau melihat pasien mu yang lain." Air mata Sakura menetes tak tertahan. "Sakura?"

"Iya, aku akan melakukan operasi itu."

"Aku akan siapkan makan malam. Kami akan menunggumu selesai,lalu berangkat makan di restoran enak langganan ku."

"Oke."

****
TBC








Continue lendo

Você também vai gostar

476K 47.4K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
75.3K 3.3K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
48.2K 6.4K 39
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
328K 27.1K 38
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...