Before Wedding [END]

De wulankenanga

491K 43.5K 2.5K

Lentera selalu ragu akan pernikahan, ajakan untuk menikah berkali-kali dari sang pacar-Raka-tidak mampu mengu... Mais

Kata Pengantar
Prolog
BAB 1: Lelaki Pemilik Lentera
BAB 2: Catatan di Tepi Buku
BAB 4: Aku Akan Mencintaimu; Kalau Itu Memang Perlu
BAB 5: Secangkir Kopi Tak Bertuan
BAB 6: Ampas Kopi yang Tersisa Pada Sudut Bibir
BAB 7: Lekuk Lelah Pada Lengan Kemeja
BAB 8: Keraguan
Bab 9 : Secangkir Lemon Hangat
BAB 10: Pertemuan
BAB 11: Nadin di Kala Kemarau
BAB 12: Dua Piring Salad di Pagi Hari
BAB 13: Kau Mau Menjadi Kekasihku?
BAB 14: Sepucuk Cerita Masa Lalu
BAB 15: Kopi Dingin dan Mi yang Mengembang
BAB 16: Lelaki yang Mendengkur
BAB 17: Lelaki di Bawah Rintik Hujan
BAB 18: Menguatkan
BAB 19 : Merenggang
BAB 20: Ingkar Janji
BAB 21: Rahasia Lentera
BAB 22: Desau
BAB 23: Jemari yang Saling Bertaut
BAB 24: Untuk Waktu yang Telah Berlalu
BAB 25 : Secangkir Teh Melati tanpa Gula
BAB 26: Kau Tahu, Aku tak Suka Hujan
BAB 27: Trauma
BAB 28: Aroma Cemara pada Lantai Rumah Sakit
BAB 29: Awal Kulminasi
BAB 30: Ada Berapa Jenis Cinta Buta?
BAB 31: Kopi Kedua
BAB 32: Menunda
BAB 33: Ketika Lelaki Membutuhkan Waktu
BAB 34: Kulminasi
BAB 35: Rahasia, Rahasia, dan Rahasia
BAB 36: Menjadi Manusia Seutuhnya
BAB 37: Sebelum Pernikahan
BAB 38: Akuisisi (FINAL)

BAB 3: Tetes Air Hujan yang Jatuh Pada Pundakmu

17.1K 1.4K 55
De wulankenanga

Sudah banyak yang mengulas mengenai kursi di dekat jendela kereta. Hampir semua orang menyukai tempat duduk di dekat jendela. Bukan alasan melankolis, melainkan dengan duduk di dekat jendela, penumpang seperti memiliki ruang tersendiri. Tak terkecuali, Lentera.

Avel memesankan tiket kereta pulang-pergi Surabaya-Bandung. Sebelum itu, Lentera berpesan kepada Avel untuk memilih tempat duduk di dekat jendela. Banyak orang yang memesan tiket melalui aplikasi daring, kebanyakan memilih kursi di dekat jendela. Sayangnya, bayangan indah perjalanan ke Bandung mendadak sirna, hanya karena dia mendapati tempat duduknya diisi oleh ibu-ibu yang memangku seorang anak perempuan yang tengah tertidur.

"Maaf, Bu, itu tempat duduk saya," ucap Lentera. Ibu-ibu yang duduk di kursinya menengadah. "Ibu menduduki kursi saya," Lentera memperjelas.

"Ini sudah sesuai, kok," jawab ibunya. "Duduk di sini saja," tambahnya, sembari menunjuk kursi di sebelah yang masih kosong.

Lentera mendesah, "Boleh lihat tiketnya, Bu?" pintanya, masih dengan menahan emosi.

Dengan wajah enggan, ibu tersebut merogoh saku jaketnya, memperlihatkan tiket keretanya kepada Lentera. Lentera memeriksa tiket tersebut dan memang mendapati kursi ibu tersebut salah. Seharusnya, kursi ibu tersebut berada di belakang kursi Lentera, pada sisi kiri. Itu artinya, bukan di tepi jendela.

"Tempat duduk ibu, di belakang," ujar Lentera masih sopan. Dia menyerahkan tiket tersebut. Ia ingin suasana ini segera berakhir, karena ia sudah mulai menarik perhatian beberapa penumpang.

"Yah, mbak saja di belakang," tukas ibu-ibu itu dengan mudahnya. "Dari tadi anak saya tidak mau duduk di situ," tambahnya. Lentera menahan amarahnya. Sebenarnya, anak ibu tersebut mau atau tidak, bukan urusan Lentera. Yang jelas, tempat duduk yang diduduki ibu tersebut milik Lentera.

"Saya sengaja beli tiket online, untuk bisa memilih tempat duduk," balas Lentera. Namun, nampaknya ibu-ibu tersebut tidak peduli. "Saya tidak peduli anak ibu mau duduk di belakang atau tidak. Yang jelas, ibu sedang duduk di kursi saya." Akhirnya, apa yang ada dalam benak Lentera keluar juga.

Terlihat ibu-ibu tersebut mendesah. Dia mengemasi barang-barangnya, mengangkat anak perempuannya yang masih tertidur pulas. Ibu itu menggerutu sembari pindah tempat duduk. "Hal seperti ini saja dipermasalahkan. Toh sama saja!"

Lentera pura-pura tidak mendengar ucapan ibu-ibu tersebut dan menaruh tas ranselnya di atas, lalu duduk di kursi dekat jendela. Dia sadar beberapa orang penumpang melihat ke arahnya, akan tetapi dia tidak peduli. Perjalanan ke Bandung cukup lama, dia tidak mau duduk di tempat yang membuatnya tidak nyaman.

Maka, ia mengeluarkan sebuah buku, menyumpal telinganya dengan earphone dan tenggelam dalam kisah lelaki tua bernama Ove.

***

Lentera tak pernah tahu, pertengkaran kecilnya dengan ibu-ibu di gerbong kereta menarik banyak perhatian orang, terutama oleh Gilang. Lelaki itu duduk tidak jauh dari Lentera. Dia menikmati pertengkaran Lentera, mengamati perempuan itu, melihat ekspresinya dan bagaimana Lentera berdebat dengan ibu-ibu tadi. Berkali-kali, Gilang menarik sudut bibirnya. Bagaimana mungkin, sekadar kursi dalam kereta saja membuat Lentera uring-uringan?

Usai Lentera duduk di kursi impiannya, Gilang beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri kursi Lentera. Perempuan itu sedang menenggelamkan diri dalam buku bersampul biru muda, tidak menyadari kehadirannya.

Tanpa banyak berkata, Gilang duduk di kursi kosong sebelah Lentera. Tepat ketika dia duduk, Lentera melihat ke arahnya. "Kau!" seru perempuan itu. Dia terkejut mendapati Gilang di sampingnya. Kali ini, Lentera benar-benar merasa telah diikuti oleh Gilang. Bisa-bisanya dia muncul di sampingnya?

Gilang tertawa kecil melihat ekspresi perempuan di sampingnya itu, "Hai," balasnya. Seperti biasa, Gilang tampak tak peduli dengan keterkejutan Lentera.

"Aku tidak akan percaya lagi, kalau ini kebetulan," tukas Lentera. Gilang tertawa keras, membuat beberapa penumpang kereta penasaran. "Kau membuat keributan, Gilang," tegur Lentera.

"Tak ubahnya dengan kau," balas Gilang. Lelaki itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Lalu, ia menoleh ke arah Lentera. "Kau tak sadar, kau tadi membuat orang lain tidak nyaman?"

"Apa?" detik berikutnya, Lentera menyadari apa yang dimaksud oleh Gilang. Tentu saja kejadian pertengkarannya berebut kursi dengan penumpang lain. "Aku hanya memperjuangkan hakku."

Gilang mengangguk-angguk. Mengerti.

"Itu berarti, kau sejak tadi memperhatikan?" tanya Lentera.

Gilang hanya mengangguk.

"Dan kau, diam saja?"

"Aku memperhatikanmu," balas Gilang. "Lagipula, apa yang kau harapkan? Membantumu mendapatkan kursi dekat jendelamu?" Lelaki itu memberikan penekanan pada tiga kata terakhir.

Lentera menyerah. Dia kembali mengambil novel yang dia bawa dari Surabaya, mulai membaca lagi. Sedangkan Gilang, sibuk dengan smartphone-nya, mengurus pekerjaan.

Selang beberapa menit, Lentera kembali bersuara, "Kursimu memang di sini?" dia baru menyadari sesuatu. Tidak mungkin ada kebetulan semacam ini. Lagipula, Gilang tadi berkata memperhatikannya sejak lama dan Lentera sama sekali tidak menyadari kehadiran Gilang. Kalau lelaki itu memperhatikannya sembari berdiri, tentunya Lentera akan mengenalinya.

"Bukan," sahut Gilang. Dia masih sibuk dengan smartphone miliknya.

"Lalu, kenapa kau duduk di sini?"

"Mengamankan kursi ini, agar tidak dihuni orang lain," jawab Gilang.

Lentera mendesah. Tidak habis pikir dengan lelaki di sebelahnya, maka dia kembali membaca bukunya, sampai akhirnya dia tertidur sembari bersandar pada sisi jendela kereta. Salah satu hal yang disukai Lentera ketika duduk di tepi jendela adalah bisa bersandar dengan bebas.

***

Gilang menguap beberapa kali, merenggangkan badannya dan melihat ke arah luar kereta. Dia mendapati langit menggelap dan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas. Gilang tersenyum kecil, hendak membangunkannya untuk makan malam, tetapi ia tak tega.

Laju kereta berhenti. Beberapa orang turun dari gerbong kereta, beberapa lagi masuk. Salah seorang penumpang yang masuk, menghampiri Gilang dan berkata, "Maaf, Pak. Ini kursi saya."

Gilang menengadah, "Ah, iya." Gilang berdiri untuk menyamai remaja yang baru saja masuk gerbong kereta itu. "Begini, tunangan saya tidak mau jauh-jauh dari saya. Bisa tukar kursi?" ucapnya. "Kursi saya di sebelah sana." Gilang menunjuk kursi dua baris dari kursi yang ia duduki saat ini.

Remaja itu mengangguk. "Tentu."

"Terima kasih," ucap Gilang dan kembali duduk di kursinya.

Dan Gilang pun, menyandarkan kepalanya di bahu Lentera.

***

Lentera merasakan pegal di bahu kirinya, entah apa. Dia membuka matanya perlahan dan hal pertama kali yang dilihatnya adalah kaca jendela kereta. Di luar sana, langit gelap dan ia hampir tak bisa melihat apa pun.

Lentera ingin menggerakkan tubuhnya, tetapi ia merasakan bahu kirinya berat seakan terhalang sesuatu. Dia terkejut, ketika melihat Gilang bersandar pada bahunya dan lelaki itu tertidur. Tak seperti kebanyakan orang, ketika mendapati seseorang tidur pada bahunya, mereka akan mendorong orang tersebut. Pada kenyataannya, Lentera justru berdiam diri sepersekian detik, untuk memperhatikan Gilang.

Dengan jarak sedekat ini, Lentera menghidu aroma pelicin pakaian yang digunakan Gilang. Dan yang lebih menarik perhatian Lentera ialah, alis lelaki itu begitu tebal dan hidungnya begitu mancung.

Tiba-tiba saja, suhu tubuh Lentera naik. Sinting, batinnya. Buru-buru ia menggerakkan tubuh, memberikan tanda pada Gilang, agar lelaki itu segera terbangun.

Gilang membuka matanya, mengangkat kepala dan tubuhnya dari Lentera. Dia melihat ke arah perempuan di sebelahnya. Lentera tengah memijat-mijat lengannya, ekspresi wajahnya terlihat tidak senang.

"Maaf," ucap Gilang. Dia menguap lebar-lebar, kemudian mengambil tas ranselnya. "Mau ikut?"

"Ke mana?"

"Restoran," ucap Gilang. Dia tidak menunggu jawaban dari Lentera, lelaki itu langsung berjalan meninggalkan kursinya. Lentera menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Tidak habis pikir dengan perilaku lelaki itu.

Lentera mengambil tas bahunya, memasukkan novel serta buku catatan ke dalamnya, kemudian mengikuti Gilang yang ternyata menunggunya di sisi toilet gerbong mereka.

Tanpa banyak bicara, lelaki itu kembali berjalan dan Lentera mengikutinya.

***

Lentera meneguk sisa kopinya yang sudah dingin, kemudian mendesah ketika melihat ke luar jendela kereta. Titik-titik air menempel pada kaca, membuat langit di luar sana semakin gelap saja.

"Hujan," lirihnya. Gilang melihat ke arahnya. "Aku tidak suka hujan," akunya pada lelaki itu. Seakan Gilang ingin tahu.

"Kau seperti orang kebanyakan," sahut Gilang. Lelaki itu meminum tehnya. Itu merupakan gelas keduanya. "Membenci hujan, takut baju basah, kotor, dan membuat harimu buruk."

"Apa itu sebuah kesalahan?"

"Apa?"

"Tidak menyukai hujan. Apa itu sebuah kesalahan?"

"Tidak ada yang berkata demikian," jelas Gilang. "Hanya saja, menggerutu mengenai hal-hal sepele semacam ini, tidak akan menghasilkan apa-apa. Hujan sekadar air yang turun dari langit. Datangnya pun tidak sepanjang tahun. Tuhan sudah mengaturnya demikian, untuk keseimbangan."

"Apa kau tidak pernah berada pada keadaan, ketika harus menyelesaikan pekerjaan dan hujan turun?"

"Sering. Tapi, aku tidak pernah merasa sedang sial atau hal itu mengganggu," tukas Gilang. "Aku punya mobil, ketika hujan turun, aku tidak akan kehujanan. Katakan, lalu lintas akan semakin padat ketika hujan turun, itu sudah risiko. Kau cukup memanjangkan rasa sabarmu, saja. Sesederhana itu."

Lentera mendesah. Tidak salah apabila lelaki di depannya ini memiliki media daring yang cukup populer di Indonesia. Bahkan, sosoknya itu menjadi inspirasi banyak orang. Banyak media dari dan cetak yang membicarakan sosok Gilang. Dan, Lentera yakin, banyak perempuan yang rela berjuang keras untuk di dekatnya.

Bahkan, Lentera juga mengagumi Gilang. Seandainya saja, mereka tidak dijodohkan, perasaan kagum itu akan tetap ada.

"Kulihat, kau tipe penggerutu," tuduh Gilang. Mata Lentera membulat. "Aku tidak salah, kan?"

"Kau tipe orang yang tidak dipikir dua kali untuk bicara," balas Lentera.

"Untuk apa? Menjaga perasaan orang lain?" Lentera mengangguk. Gilang kembali meminum tehnya. "Aku menjaga perasaan orang lain atau tidak, mereka akan tetap tersakiti, kalau kebetulan kalimat yang aku lontarkan menyakiti mereka. Kau tahu, orang-orang cenderung menyukai apa yang mereka ingin dengar saja."

Lentera tertegun. "Sepertinya, kita memang tidak cocok," ucap Lentera. "Aku tidak suka lelaki yang tidak bisa menjaga perasaan orang lain."

Gilang menarik sudut bibirnya, "Tenang saja. Aku akan mengubah sudut pandangmu mengenai hal itu."

***

"Mengenai kau punya mobil," ucap Lentera tiba-tiba. Kini, Gilang dan Lentera sudah kembali ke gerbong mereka, membagi camilan keripik kentang berdua. Kali ini, Lentera tanpa ragu-ragu membagi makanan dengan Gilang. Yah, masih ada beberapa jam lagi sampai Bandung dan Lentera tak bisa melanjutkan tidurnya.

"Apa kau tidak memikirkan orang-orang yang tak memiliki mobil, seperti aku, misalnya," lanjut perempuan itu. Remahan keripik kentang jatuh ke pangkuannya, Gilang membersihkannya. Lentera sedikit terkejut, namun dia menguasai diri. "Seperti aku yang harus memakai jas hujan, ketika harus bertemu klien dan hujan sedang deras-derasnya. Ketika sampai di lokasi, pakaianku tetap basah dan aku harus menanggung malu karena hal itu."

"Kenapa harus malu? Kenyataannya, kau memang kehujanan, bukan karena tercebur got."

Lentera mendelik. "Apa kau memang suka berdebat seperti sekarang? Maksudku, kau tahu, kau bukan tipe lelaki idaman yang lemah lembut."

"Apa kekasihmu seperti itu?"

Keduanya saling menatap satu sama lain. Sejujurnya, Lentera tak mengerti apa yang tengah ia lakukan bersama Gilang. Keduanya hanya dua orang yang melakukan perjalanan kereta selama kurang lebih dua belas jam. Tetapi, Lentera merasa ia sedang mencari tahu mengenai Gilang. Seakan informasi yang didapatkan dari akun media sosial lelaki itu, serta artikel-artikel yang bertebaran di internet mengenai Gilang tak pernah cukup.

"Raka orang baik," tukas Lentera. "Kami memiliki hobi yang sama, dia juga lelaki yang menyenangkan. Bahkan, dia mengajakku untuk menikah."

Gilang menoleh ke arah Lentera. "Kau menerimanya?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Aku tidak percaya akan pernikahan."

***

Usai subuh, ketika matahari malu-malu di balik kabut tipis, mereka sampai di Stasiun Bandung. Keduanya, dalam keadaan luar biasa lelah. Lentera dan Gilang terbangun, ketika orang-orang mulai sibuk menurunkan koper-koper dan barang bawaan mereka.

Lentera membuka mata, dia mendapati Gilang sudah berdiri mengangkat koper milik Lentera. Gilang sendiri hanya membawa satu tas ransel. Lentera berkata terima kasih, keduanya berjalan menuruni kereta.

Sepagi itu, stasiun sudah terlihat ramai, seperti stasiun-stasiun kota pada umumnya. Lentera menggeret kopernya, sesekali mengangkatnya. Gilang tidak sabaran melihat Lentera melakukan hal itu, dia meraih koper Lentera dan menentengnya.

"Kau berencana berapa hari di Bandung?" tanyanya, sembari berjalan bersisian.

"Hanya setelah acara selesai," sahut Lentera. "Biar aku bantu bawa ranselmu," tawar Lentera. Gilang tidak menanggapinya.

"Dan kau, membawa koper untuk keperluan dua malam di Bandung?" Gilang mengangkat alisnya. Tidak mengerti jalan pikiran perempuan. Hanya dua malam bepergian, tetapi barang bawaannya sekarang. "Dengan koper sebesar ini, kau bisa menginap di Bandung selama satu bulan."

"Aku tidak tahu harus mengenakan apa ketika acara besok. Jadi, aku membawa beberapa pilihan baju."

"Dasar perempuan."

"Begitulah." Lentera sama sekali tidak tersinggung, sebab memang begitulah dia.

Di luar stasiun, hujan masih saja merajai jalanan. Langit begitu kelabu, tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Gilang meraih ponselnya, menekan salah satu logo aplikasi daring untuk memesan taksi online. Sayangnya, ia tak langsung mendapatkan driver.

Hari sepagi ini, dengan hujan turun meskipun tak begitu deras, tak banyak driver kendaraan daring yang beroperasi. Mungkin, mereka tengah meringkuk di balik selimut tebal dan enggan menjemput rezeki sepagi ini.

"Oke, dapat," ucap Gilang. Lentera menyerahkan urusan memesan taksi daring kepada Gilang. Toh, tujuan hotel mereka sama. Semua perwakilan media online ditanggung di acara Temu Media. Acara tersebut diadakan di hotel tempat mereka menginap.

"Kita harus keluar stasiun, menunggu di tepi jalan," jelas Gilang. Ada beberapa tempat yang memang tidak boleh didatangi oleh driver online, demi menyamaratakan keberadaan driver konvensional dan driver online. Untuk itu, mereka harus datang ke titik penjemputan terlebih dahulu.

"Masih hujan," sambung Lentera.

Gilang merogoh sesuatu dari tas ranselnya dan mengeluarkan payung lipat kecil berwarna biru matang. "Aku ada payung."

"Wow!" Lentera cukup terkejut. Tak banyak lelaki yang memiliki persiapan seperti diri Gilang, terlebih lagi untuk masalah membawa payung.

"Sedia payung sebelum hujan, ingat?"

Lentera mendesah dan mengangkat bahu. Gilang mengembangkan payungnya, mengangkat koper Lentera dan mereka berdua berjalan di bawah payung yang sama.

Sesekali bahu mereka bersentuhan, kemudian Lentera menyadari bahu Gilang sisi kiri terkena tetesan hujan. "Kau terkena tetesan hujan." Perempuan itu menyadari, bahwa Gilang menggeser tubuhnya melebihi seharusnya, hanya agar Lentera sepenuhnya tidak terkena tetesan hujan.

"Kau bilang, kau tak suka hujan. Anggap saja, ini balasan karena kau sudah membiarkan aku tidur di bahumu semalam," balas Gilang.

Hati Lentera menghangat, di bawah rintikan hujan pada hari pertamanya di Bandung.

Ia tak pernah tahu, bahwa lelaki di sebelahnya ini akan memberikan pundaknya kapan pun ia butuh. Tetesan hujan pada pundaknya, tidaklah berarti apa-apa.

***

Continue lendo

Você também vai gostar

1.1M 53.5K 65
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
I Choose You De its.me.dii

Literatura Feminina

356K 14.5K 20
Caliandra Caliandra menutup pintu kamarnya agak keras, dan duduk di depan meja riasnya, " Apa? Lo pikir lo siapa tuan Rayhan? Karena sejujurnya gue s...
443K 17.9K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.2M 129K 46
Shamma Elmira, yang tengah susah payah melupakan cinta dari masa lalu, didesak oleh keluarganya untuk segera menikah. Namun di tengah pencariannya, M...