For You, I am.

By j-statham

468K 33.1K 2.5K

-Book 1- Katya Maguire awalnya mengira Zayn Malik yang ia temui itu orang yang dingin, suka membentak, dan te... More

Prologue
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50
Part 51
Part 52
Part 53
Part 54
Part 55
Part 57
Part 58
Part 59
Part 60
Epilog
Author's Note
Hello

Part 56

4.5K 407 18
By j-statham

Saat Katya terbangun, tempat di sebelahnya kosong.

Katya langsung bangkit. Punggungnya bersandar di sandaran tempat tidur sementara kedua matanya masih terpejam. Katya akhirnya membuka mata, lalu turun dari tempat tidur untuk mencari Zayn.

Sesuai dugaannya, Zayn tengah duduk-duduk di pekarangan belakang. Samar-samar Katya bisa melihat asap rokok di sekitar Zayn.

Oh, bagus sekali.

Dengan kesal, Katya memanggil Zayn, yang tampaknya membuat cowok itu sedikit kaget. Zayn menoleh ke arahnya, dan ketika mata mereka bertemu, Katya langsung berjalan menghampiri Zayn.

“Seriously, Zayn?”

Zayn cepat-cepat mematikan rokoknya, kemudian cowok itu berdiri. “I’m sorry, okay. I’m sorry. I was just, uh, I—“

“You were so damn pissed of when I was trying to kill myself and do you think I couldn’t be pissed off when you’re trying to kill yourself?” kata Katya setengah berteriak. “What were you thinking?”

“Katya, I’m—“

“Don’t ‘Katya’ me, Malik,” potong Katya gusar. “How many times did you smoke after I told you not to smoke?” tanya Katya masih dengan nada yang sama.

Zayn diam saja.

“Zayn Malik.”

“3, maybe?”

Katya mengangkat sebelah alisnya. “Are you sure?” tanyanya. “Only three times after I told you not to smoke ever again?”

Zayn menghela napas panjang. “Ok, more than 3.”

Katya masih menunggu jawaban.

“Fine!” Zayn mengerang. “I couldn’t remember how many times but maybe it’s around 8 or 9. Or 10, maybe?” Zayn mengangkat bahu. “I can’t remember.”

Katya hanya menatap Zayn.

“Kenapa sih, kau tidak membiarkan aku merokok?” kata Zayn kemudian. Dari suaranya, sepertia ia mulai kesal juga. “Kan aku yang merokok, Kat. Aku yang senang, aku yang bahagia, aku yang tanggung akibatnya, dan aku yang mati. Bukan kau, kan?”

“Lalu, kenapa waktu itu kau mencegahku saat aku ingin mati?” jawab Katya kemudian. “Kan aku yang akan mati. Aku yang senang, aku yang bahagia, dan aku yang akan mati. Bukan kau.”

Zayn diam saja.

Katya sempat bertatap-tatapan dengan Zayn, saat mereka masih sama-sama bersikeras. Sebenarnya Katya tidak ingin bertengkar dengan Zayn, tetapi kali ini ia benar-benar kesal pada cowok itu. Apa, sih, yang dipikirkannya?

Karena Katya tidak ingin lama-lama bertengkar, ia pun langsung berjalan ke arah kamar tanpa berbicara apa-apa lagi. Sepertinya Zayn juga tidak mencegahnya. Bagus, karena Katya sedang tidak mood untuk berbicara dengan Zayn.

Cukup lama Katya menyendiri di kamar, sampai akhirnya Katya mendengar pintu kamar terbuka. Katya tidak perlu menoleh untuk memastikan kalau itu Zayn.

***

Ini pertengkaran pertama Zayn dengan Katya dalam beberapa bulan belakangan ini. Sejujunya, Zayn merasa bertegkar bukan hal yang buruk sama sekali walaupun hal itu memang tidak terasa benar.

Ujung-ujungnya, Zayn bakal minta maaf juga. Walaupun tadi ia sempat kesal kepada Katya, walaupun ia sedikit keras dalam berbicara, tetapi Zayn tidak bakal tahan lama-lama bertengkar dengan Katya.

Setelah menjernihkan otaknya dan berusaha berpikir dewasa, Zayn memutuskan sebaiknya ia meminta maaf—apapun keselahannya—kepada Katya. Sebenarnya, merokok kan tidak salah-salah amat.

Sedikit, sih. Tapi tidak banyak.

Zayn bangkit dari duduknya. Ia mengunci pintu kaca belakang, berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mencuci kaki, ke dapur untuk mengambil minum, kemudian barulah ia berjalan ke arah kamar.

Saat Zayn membuka pintu kamar, ia dapat melihat Katya sedang duduk sambil bersandar di sandaran kasur. Tv kamar yang menyala sedang menyiarkan film The Godfather yang dibintangi oleh Al Pacino.

Katya duduk sambil bersedekap, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Zayn ketika Zayn sudah berada di dalam kamar. Dari sikapnya, Zayn bisa menyimpulkan kalau Katya benar-benar marah padanya.

Zayn menghela napas singkat sebelum akhirnya ia duduk di pinggiran kasur. Walaupun Zayn memandangi Katya, tetap saja Katya tidak menoleh ke arahnya seolah-olah film itu begitu menyita perhatian cewek itu.

“Kat,” panggil Zayn.

Katya menoleh dengan wajah datar. “Apa?”

“Maafkan aku.”

“Aku tidak marah kok.”

Zayn memang agak bodoh tapi dia tidak terlalu bodoh untuk tahu kalau Katya marah.

“Maafkan aku,” ulang Zayn. “Aku janji tidak akan merokok lagi.”

“Jangan buat janji yang tidak bisa kau tepati.”

Tuh, kan, kenapa sih Katya selalu bisa menjawab kata-kata Zayn? Sepertinya semua cewek memang begitu. Mau sampai kapanpun, sekeras apapun Zayn berusaha untuk menang dalam argumentasi ini, tetap saja ia bakal kalah.

“Lalu, kau mau aku bagaimana?” tanya Zayn pada akhirnya.

“Terserah kau saja.”

Zayn mau mati.

“Kat,” kata Zayn, kali ini ia memperhalus suaranya. Tidak ada gunanya menyanggah, jadi sebaiknya ia minta maaf saja terus-terusan sampai Katya lunak. “Maafkan aku.”

“Iya.”

“Aku mungkin tidak bisa berjanji kalau aku tidak akan merokok lagi, tapi aku berjanji aku bakal berusaha untuk tidak merokok disaat aku ingin merokok,” kata Zayn pada akhirnya. “Maaf ya kalau aku membuatmu kesal.”

Zayn berdiri, kemudian ia berjalan ke arah sofa. Di atas sofa sudah ada bantal dan selimut, sesuai fungsi sofa itu sendiri—tempat tidur Zayn kalau sedang bertengkar dengan Katya.

Yah, setidaknya sofa ini berguna.

***

Lama-lama Katya merasa kesepian juga karena tempat tidur di sebelahnya kosong. Biasanya ada Zayn, yang tubuhnya sangat hangat sehangat selimut—bahkan hangatnya memancar sampai ke Katya—tetapi sekarang....tidak ada.

Katya bisa melihat kalau Zayn belum tidur karena sedari tadi cowok itu hanya bergerak-gerak mengganti posisi di atas sofa yang tidak nyaman. Sebagian dirinya ingin menghampiri Zayn, tetapi sebagian lain tidak.

Kalau Zayn saja bisa menjadi cukup dewasa untuk meminta maaf duluan kepada Katya, kenapa Katya tidak bisa menjadi cukup dewasa untuk menghampiri Zayn dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja?

Oke.

Perlahan-lahan, Katya turun dari tempat tidur. Katya lalu berjalan ke arah sofa, tetapi sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Zayn sudah berbalik ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, Zayn mengubah posisinya menjadi duduk tegak.

Katya duduk di sebelah Zayn dengan jarak beberapa sentimeter. Zayn tidak mengatakan apa-apa, dia hanya diam seolah berpikir. Katya sendiri juga masih bingung hendak mengatakan apa, sampai akhirnya ia meletakkan tangannya di lutut Zayn.

“Maaf, ya,” kata Katya pada akhirnya. “Aku tahu aku tidak berhak melarangmu merokok. Maaf aku sudah sangat kekanakkan tadi.”

Zayn berdehem. “Tidak apa-apa,” katanya dengan suara mengantuknya yang berat. “Aku tidak akan merokok lagi. Setidaknya, tidak di rumah, tidak sering-sering, dan sebisa mungkin, tidak.”

Katya sedang tidak ingin berkata apa-apa, jadi ia hanya memeluk sebelah lengan Zayn sembari menyandarkan kepalanya di bahu Zayn. Zayn sempat kaget, tetapi akhirnya cowok itu mulai merileks-kan bahunya.

Tubuh Zayn beraroma sabun yang biasa Katya beli di supermarket. Bajunya beraroma pelembut, yang sedikit tercium bau asap rokok tetapi secara keseluruhan, cowok ini memang sangat wangi. Hampir setiap saat.

Berada dengan posisi seperti ini bersama Zayn membuatnya tenang. Katya sedang tidak ingin memikirkan masalah apapun—ia hanya ingin memejamkan mata dengan Zayn berada di sampingnya, membuat segalanya oke-oke saja.

Tiba-tiba Katya memikirkan seandainya mereka tidak pernah bertemu.

Well, seandainya mereka tidak pernah bertemu, pasti semuanya tidak akan terasa semenyenangkan ini. Pasti hidup Katya hanyalah maraton yang panjang dan menyedihkan, dengan ingatan-ingatan yang selalu menghantuinya.

Entah sudah berapa lama Katya bersandar di bahu Zayn. Ia mulai merasa mengantuk. Lama-lama kesadarannya mulai hilang, dan Katya pun tertidur.

***

Catatan untuk diri sendiri: jangan merokok.

Zayn berhasil menghabiskan dua minggu ini tanpa rokok sama sekali, karena dua minggu lalu Katya marah-marah lumayan dahsyat cuma karena Zayn kepergok merokok (batang yang kedua) di halaman belakang.

Saat itu Zayn antara kesal dan merasa teramat bersalah—tetapi sekarang ia lebih ke merasa kapok. Walaupun rokok membuatnya rileks tetapi tetap saja Zayn jadi lebih was-was sekarang. Takut-takut Katya muncul entah dari mana dan marah lagi.

Sekarang sudah memasuki bulan April. Zayn lumayan sibuk dengan berbagai kegiatannya, dan Katya juga sesekali masih datang ke Oxford walaupun itu membuatnya super kecapekan. Zayn juga tidak bisa menyalahkan Katya kalau ia bosan dirumah sendirian.

Zayn masih teringat kata-kata Dr. Flynn—tentang harus memilih—tetapi ia tentu tidak perlu berpikir dua kali untuk menentukan pilihannya. Zayn akan membuatnya sangat jelas: ia tidak ingin kehilangan Katya.

Tidak ingin, tidak boleh, dan tidak akan pernah.

Sebisa mungkin Zayn meredam ketakutannya, mencoba memikirkan hal-hal positif lain. Ia dan Katya bakal memiliki anak entah perempuan atau laki-laki, Zayn tidak peduli. Dan mereka akan hidup bahagia selamanya.

Persis seperti cerita-cerita dalam dongeng.

Sejak kecil Zayn tidak pernah mengharapkan sebuah akhir yang bahagia karena menurutnya itu terlalu klise, tetapi sekarang ia menyadari betapa ia ingin sebuah akhir yang bahagia bersama Katya, setelah semua yang mereka lewati.

Zayn berharap takdir adil kepadanya sesekali. Ia tidak masalah bila diuji dengan hal lain, tetapi tolong jangan menguji dengan cara mengambil satu persatu orang-orang tedekatnya. Itu bukan menguji—itu menyiksa.

Pandangan Zayn beralih ke arah Katya yang kini sedang tertidur menyamping menghadapnya. Rambut cokelat karamel Katya menjuntai beberapa helai sehingga separuh wajahnya tertutup. Kedua tangannya diletakkan di bawah pipi sebagai penyanggah.

Katya tampak sangat tenang dan damai dalam tidurnya. Cewek itu juga terlihat sangat cantik. Cantik dalam artian dia tidak perlu berusaha untuk menjadi cantik karena pada dasarnya dia memang sudah cantik.

Entah sudah berapa kali Zayn mendapati dirinya sendiri hanya ada disana, menatap Katya seolah-olah cewek itu adalah sesuatu yang sangat jauh, yang tidak dapat diraih oleh Zayn. Tetapi nyatanya, Katya begitu dekat. Begitu nyata.

God, how could I love her this much...

***

HA! Maaf author update nya lama yaaa abis yg ngevote dikit HAHAHAHA ok galucu

Part ini udah masuk part-part terakhir soalnya author udah abis idenya buat nulis =') nikmati aja ya. Luv kalian banget

Semakin banyak votes&comment-nya semakin cepet author update ;) sudah ya author lelah. Pusing pala author. DADAH

Continue Reading

You'll Also Like

Let It Be By Han.

General Fiction

4.2K 831 27
Indira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu a...
210K 17K 34
#117 in fanfiction [5 september 2016] Berawal dari Harry yang membutuhkan assistant. Simon Cowell akhirnya mencari assistant untuk Harry, ternyata Ha...
2.3M 255K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
997K 48.3K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...