Travelove

By urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... More

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 11
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 07
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 12
2018 : 13
2018 : 14
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 17
2018 : 18
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2018 : 19

1.1K 88 3
By urfavcalamari

MEPET BANGET HARI RABU dan masih sempet-sempetnya bikin kata-kata pembuka kayak gini hahahahaha

seperti biasa, read+vote+comment ya ^^ bantu benerin typo juga boleh banget!

enjoy~


---


Jogja, September 2018, sore hari


Bram merutuki dirinya sendiri karena terkejut dengan kehadiran Fay. Bukan hal yang aneh jika Fay berada di rumah tersebut, karena toh itu memang rumahnya meskipun Fay sendiri sebenarnya sudah pindah ke rumah dinas suaminya. Dia sedikit malu karena harus menganga lebar—wajahnya terlihat jelek—di hadapan kakak sulung Kia itu.

Fay juga menganga, tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Sudah kuduga," ucapnya di sela tawanya, "pacar Kia itu memang kamu!"

Bram tidak merespons; hanya menaikkan alisnya.

"Tadi Bunda nge-WA aku, katanya pacar Kia datang ke rumah untuk melamar. Semua kecurigaanku selama ini, tentang pacar Kia itu ciri-cirinya mirip kamu, akhirnya terbukti. Kamu ada di sini, artinya kamu memang pacar Kia!"

Bram mengernyit sementara menunggu Fay selesai tertawa. Jadi... Fay sendiri sudah tahu?

"Kukira kamu bakalan kaget," Bram memberanikan diri untuk berkomentar.

Masih ada sisa tawa di wajah Fay, namun kakak Kia itu mengulum senyum sebagai usahanya untuk berhenti tertawa.

"Awalnya mungkin iya, tapi lama-lama aku mikir kalau tipenya Kia itu ya memang yang kayak kamu gitu," kata Fay. "Yang udah tua!"

"Sialan!" sungut Bram, yang kemudian disusul tawa. Fay kembali tertawa, jadilah mereka tertawa berdua.

Hingga akhirnya seorang pria dengan seragam ala tentara datang menghampiri mereka dengan tanya terpampang jelas di wajahnya. Fay segera menarik tangan pria yang merupakan suaminya tersebut mendekat ke arahnya.

"Yang, kenalin, ini temenku Bram, sekaligus pacarnya Kia," ucapnya. "Bram, ini suamiku, namanya Fadhil. Bisa dipanggil Yudha juga."

"Panggil Yudha aja, itu nama yang biasa dipakai di lingkup keluarga untuk memanggil saya. Insyaa Allah kita bakalan jadi keluarga, kan?" ujar Yudha seraya mengulurkan tangannya kepada Bram. "Pacarnya Kia yang mau ngelamar itu, ya?"

"Udah ngelamar kali Yang, tapi belum resmi karena belum ada keluarga yang datang," kekeh Fay.

"Oh iya juga, ya?" Yudha ikut terkekeh.

Bram menyambut tangan Yudha. "Saya Bram, calon suaminya Kia. Senang akhirnya bisa ketemu dengan... emm... Mas Yudha."

Di situ, Fay kembali tertawa keras, membuat kedua pria yang masih bersalaman itu kebingungan.

"Eh maaf... hahaha!" Fay susah payah mengontrol tawanya. Setelah beberapa saat, dia pun lumayan tenang. "Bram, kamu ngapain juga panggil Yudha pakai 'Mas'? Orang tuaan kamu juga!"

"Hah?!" Yudha terkejut. "Lho... sebentar... kok bisa lebih tua dari aku, Yang?"

"Ya bisa, lah."

Yudha memindai Bram dengan matanya dari atas ke bawah dengan raut wajah yang menyiratkan ketidakpercayaan. Di samping itu, Bram sendiri sudah manyun mendengar ejekan Fay. Barulah beberapa saat kemudian raut wajah Yudha kembali normal. Bahkan sekarang dia tersenyum.

"Kalau dipikir-pikir, Mas Bram ini memang lebih tua dari saya, ya?" celetuknya, menekankan kata 'mas' yang membuat Bram berseru kesal dan Fay mengajak suaminya tos.


*


Jakarta, September 2018, petang hari


Kia memeriksa ponselnya, di mana Bram mengiriminya foto-foto. Di foto-foto itu, tampak Bunda, Fay, Yudha, dan Bram sedang berpose di dekat meja makan. Kata Bram, mereka sedang akan makan malam setelah menunaikan salat magrib. Kekasihnya itu juga menyampaikan salam dari mereka. Tadinya Bram sempat berniat untuk melakukan panggilan video, tetapi Kia bilang sedang sangat malas memakai lagi kerudungnya. "Salah sendiri telepon pas saya sudah di rumah," begitu kata Kia dalam pesan yang dikirimkannya kepada Bram, yang dibalas dengan emoticon tertawa.

Melihat foto-foto tersebut, ada perasaan lega menghinggapi hati Kia terutama saat melihat Bram dan Fay. Mereka tampak baik-baik saja bertemu lagi sebagai calon kakak dan adik ipar. Sebagian besar ketakutan yang sempat membuatnya insecure menghilang begitu saja.

Saat ini, Kia berpikir satu hal. Mungkin dirinya memang belum cukup dewasa untuk memahami bagaimana orang-orang yang jauh lebih tua darinya menangani perpisahan. Sesungguhnya, Kia masih tidak paham mengapa Fay dan Bram bisa baik-baik saja setelah berpisah. Memang mereka tidak pernah meresmikan hubungan apapun, tetapi Bram pernah berniat menikahi kakaknya itu, kan? Fay juga pernah menantikan lamaran Bram sebelum akhirnya Yudha datang dan mencuri hati Fay.

Mengingat respons Rei terhadap penolakan tegasnya beberapa jam lalu, Kia kembali berpikir bahwa meskipun telah mencapai usia dewasa, orang-orang yang sebaya dengannya mungkin masih menyisakan sikap yang terkesan kekanak-kanakan dalam menghadapi perpisahan. Kia sendiri kemarin-kemarin masih ragu apakah Bram dan Fay dapat bersikap biasa saja setelah apa yang terjadi. Kini, setelah melihat bukti-bukti bahwa mereka baik-baik saja, tentu saja Kia lega, tapi di sisi lain dia bingung kenapa mereka bisa baik-baik saja.

Tidak ada baper kah? Mungkin perasaan berdesir? Atau teringat yang dulu-dulu?

Kia memejamkan matanya. No, aku nggak boleh terlalu mikirin hal kayak gini, batinnya.

Bram pernah bilang bahwa urusan antara dia dan Fay sudah selesai. Mereka telah mengakhiri 'hubungan' secara baik-baik, jadi mungkin karena itulah mereka bisa bersikap biasa saja. Kia makin tidak mengerti jalan pikiran orang-orang kelewat dewasa ini.

Kia menatap langit malam. Pikirannya melayang kepada Rei. Apakah di masa depan nanti dirinya dan Rei bisa menyikapi perpisahan ini secara dewasa seperti Bram dan Fay? Sungguh suatu perbuatan yang egois, mengatakan kepada Rei bahwa dirinya menunggu saat-saat di mana sang perwira bisa menganggapnya sebagai teman. Saat itu Kia tidak memikirkan perasaan Rei, dan hal ini baru disadarinya sekarang. Cara orang-orang menangani perpisahan pasti berbeda-beda. Rei butuh waktu karena masih menyimpan perasaan kepada Kia, sementara Kia sendiri yakin akan segera baik-baik saja karena dia tahu, hatinya sekarang sudah mengarah kepada Bram seluruhnya.

Kia mengusap wajahnya seraya mendesah kesal. Dia baru menyadari betapa egoisnya dirinya. Hanya karena dia sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Rei, dia bisa dengan entengnya mengajak cinta pertamanya tersebut berteman. Pasti Rei sudah menganggapnya sebagai wanita jahat titisan setan. Jika benar seperti itu, Kia tidak akan protes karena Rei pantas membencinya.

Di tengah ratapan, pesan dari Bram datang lagi.

Ki, saya bingung harus manggil kakak ipar kamu gimana. Kan dia lebih muda dari saya, ya?

Satu pesan itu cukup untuk membuatnya tertawa lagi.


*


Jogja, September 2018, malam hari


"Saya pamit pulang dulu, Bun. Sudah malam dan takutnya nanti nggak dapat TransJogja ke hostel. Takut juga kalau dikira sudah check out sama pihak hostelnya," ucap Bram seraya menjabat tangan bunda Kia.

Setelah menghabiskan waktu seharian di rumah Kia, Bram jadi terbiasa memanggil wanita yang melahirkan Kia itu dengan sebutan 'Bunda'. Tentu saja awalnya karena Bunda yang memaksa, tapi lama-lama dirinya juga merasa nyaman memanggil beliau dengan 'Bunda'.

"Diantar sama Yudha dan Fay saja, Bram," kata Bunda.

Bram menggeleng dengan senyum. "Jangan, Bun. Arahnya berlawanan. Yu—Mas Yudha dan Mbak Fay pasti juga capek, dari pagi kerja. Pulang kerja malah saya repotin. Kasihan Sera juga kalau kemalaman sampai rumah."

Bunda menghela nafas. Di satu sisi tidak tega melepaskan Bram, tapi di sisi lain beliau tidak dapat membantah kekasih Kia itu karena dia memang benar. Sera masih kecil, sehingga Bunda juga tidak ingin ambil risiko untuk mengajak anak sekecil itu keluar malam.

"Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya, Bram. Pastikan barang-barang kamu aman selama perjalanan. Jangan sampai lengah," Bunda berpesan.

Bram mengangguk. "Nggih, Bun."

Bunda menepuk-nepuk lengan Bram. "Terima kasih, ya, sudah menyempatkan waktu ke sini. Padahal kamu baru saja selesai menunaikan tugas kamu sebagai relawan dan bahkan belum sempat pulang ke Semarang."

"Karena Kia akhirnya menerima lamaran saya, mana mungkin saya melewatkan kesempatan ini. Mungkin juga saya terlalu senang karena setelah menanti lama, dia akhirnya bilang iya," ujar Bram dengan cengiran bahagia.

Tawa dilepaskan Bunda. "Tuh anak mikir apa, sih, ada lelaki ngelamar kok sukanya ngegantungin. Dulu Rei, kemarin kamu. Masih untung kamunya nggak pergi. Coba kalau dia ngeiyain tapi kamunya udah capek nunggu, bisa nangis tujuh hari tujuh malam dia!"

Candaan Bunda membuat Bram ikut tertawa. Beberapa saat kemudian, tawanya digantikan oleh senyum. "Saya nggak akan ninggalin Kia, Bun. Saya tahu cuma Kia yang saya inginkan dan butuhkan. Cuma Kia yang mampu melengkapi saya."

Bram dapat melihat mata Bunda mulai menggenang. Tapi dengan beberapa kedipan, air yang menumpuk di mata Bunda menghilang. Bram tersentuh, tapi dia tidak ingin terlihat goyah di hadapan ibu mertuanya.

"Sudahkah tadi Bunda bilang betapa bersyukurnya Bunda karena Allah sudah sangat baik hati mempertemukan Kia dengan kamu, Bram?" tanyanya. "Kalau ayahnya Kia masih hidup, beliau juga pasti akan senang sekali punya calon menantu seperti kamu. Kamu benar-benar pantas untuk Kia."

Bram hanya mengangguk, tanpa mampu berkata-kata. Tenggorokannya tercekat, dan dia yakin bahwa jika ada sepatah kata yang dia paksa untuk terucap, pasti suaranya akan serak karena tengah berjuang keras menahan air mata. Restu Bunda adalah satu hal yang sangat disyukurinya karena itu adalah satu langkah lebih dekat agar dapat hidup bersama Kia.

Setelah ini, dia harus berbicara dengan Dirga. Dia tidak tahu apakah kakak laki-laki Kia itu akan menerimanya dengan tangan terbuka seperti Bunda atau malah harus menjotosnya dulu, tapi jika itu harus terjadi... dia akan menyiapkan mental terlebih dahulu.


*


Jakarta, September 2018, pagi hari


Begitu menginjakkan kaki di kantornya, ponsel Kia berbunyi. Karena ponselnya berada di dalam tas, Kia memutuskan untuk duduk sejenak di kursi yang berada di lobi dan merogoh tasnya. Ketika mendapatkan apa yang dia cari, dia mengernyit karena melihat nama kakak sulungnya di layar ponsel.

"Assalamu 'alaikum, Mbak Fay?" sapa Kia. "Tumben telepon pagi-pagi?"

Fay tertawa. "Wa 'alaikum salam. Kaget ya?"

"Iya, lah. Nggak biasanya. Ada apa?"

"Sebenarnya Mbak pengin ngobrol ngalor-ngidul sama kamu, tapi karena Mbak tahu kita sama-sama mau kerja, Mbak singkat aja, ya. Mbak pengin nanya sama kamu, baru kepikiran tadi malam tapi nggak enak mau telepon kamu ngobrolin ini, takut Yudha salah sangka."

Kia menaikkan alisnya. Sementara itu, jantungnya sudah berdegup kencang karena dalam pikirannya, dia sudah menebak sesuatu. Perutnya jadi mulas karena gejala psikosomatis.

"Apa kamu masih terbebani dengan fakta bahwa Mbak Fay dan pacarmu dulu pernah ada histori bersama?" tembak Fay.

Sungguh tepat sesuai tebakan Kia. Dia hanya bisa melepaskan tawa kecil yang terkesan dipaksakan.

"Emm..."

"Tebakan Mbak benar, nih?"

Kia menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung. "Yah... dulu sempat berantem sama Mas Bram gara-gara itu, sih. Kupikir kalian mungkin masih ada rasa satu sama lain, makanya Mas Bram memilih Kia karena kita mirip secara fisik."

Wajah Kia memerah ketika mendengar tawa membahana terdengar di seberang. Satu hal yang dia syukuri adalah bahwa dia tidak mengaturnya dalam mode pengeras suara.

"Kia, Kia. Kamu kebanyakan nonton drama Jepang sih!" ejek Fay. "Bram bilang apa ke kamu soal Mbak dan dia?"

"Katanya sih kalian sudah menyelesaikan urusan kalian dari lama," jawab Kia dengan nada pelan.

Fay bergumam. "Dia benar, kalau begitu. Kenapa kamu se-drama itu, deh? Coba kamu belajar untuk lebih mempercayai pacar kamu itu. Kasihan juga lho dia kalau kamu masih aja ragu soal perasaannya."

Kia mengangguk, meskipun Fay tidak akan melihatnya. "Maaf, deh."

"Kok minta maafnya ke Mbak? Ya ke Bram, lah," ujar Fay. "Oh, ngomong-ngomong, kamu mau tahu apa yang lebih drama lagi?"

"Apa?" Kia mulai pasang telinga dan hati.

"Bahkan sebelum ketemu dengan Mbak, Bram sudah mencintai kamu," jawab Fay. Nadanya tidak ada tanda-tanda sedang bercanda sama sekali. "Awalnya Mbak nggak tahu kalau itu kamu, tapi intinya dulu Harsya, teman Mbak Fay yang juga teman Bram, yang mengenalkan kami, bilang kalau Bram sempat ketemu dengan cewek yang jauh lebih muda di Gili Trawangan dan Bram langsung suka. Lucunya, Bram sok-sokan nggak mau tanya nomor HP si cewek dan bergantung pada takdir. Bahkan selama masih dekat dengan Mbak pun, Bram nggak bisa melupakan cewek itu."

Jantung Kia berdebar kencang.

"Untungnya takdir memang berpihak pada kalian, ya?"

Kia dapat mendengar senyuman Fay. Setetes air matanya jatuh, karena Kia tahu semuanya tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Semuanya akan baik-baik saja.


***

Continue Reading

You'll Also Like

381K 19.3K 40
SEBUAH KONDISI KETIKA SEDANG TERGILA GILA DENGAN SESEORANG. Leon Andrean Gardien. Putra kedua dari pasangan Fathan dan Ara. Siapa yang tak kenal deng...
4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2K 229 23
Cinlok di kantor? Jenar sadar itu berbahaya, apalagi untuknya yang sedang merintis karir. Embel-embel cinta picisan yang mengganggu pikirannya bisa b...
334K 27.3K 64
Rupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega m...