Travelove

By urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... More

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 11
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 07
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 12
2018 : 13
2018 : 14
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 18
2018 : 19
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2018 : 17

1.1K 82 1
By urfavcalamari

ah. sudah hari rabu -_- maapkeun eke yak, tadi eke bener-bener riweuh dari pagi. dari minggu lalu sibuk banget aselik :( maapkeun maapkeun :( tadi juga ke distract banyak hal wkw

well, nih chapter terbaru Travelove!

read-vote-comment ya ^^ jangan lupa ikut bantuin benerin typo.

enjoy!


___


Jogja, September 2018, pagi hari


Akhirnya Bram bisa pulang. Namun, dia tidak lekas pulang ke Semarang. Dia mengunjungi Jogja, kota asal kekasihnya. Perjalanan yang panjang ditempuhnya hingga akhirnya sekarang dia melaju bersama ojek daring, menuju sebuah hostel. Bram berencana untuk menginap sekitar dua malam di Jogja, sekadar untuk melepas lelah dan... mengitari kota di mana Kia dibesarkan.

Selain itu, dia juga memiliki agenda pribadi di Jogja.

Sesampainya di hostel yang telah dipesannya, Bram segera ke front office untuk mendapatkan nomor kasurnya. Bram meletakkan barang-barang di loker yang disediakan untuknya sesuai nomor kasur sebelum pergi mandi karena badannya sudah sangat lengket.

Hari masih pagi dan cuaca masih cerah. Bram memutuskan untuk keluar lagi, namun kali ini dengan TransJogja. Sudah sangat lama sejak dia terakhir kali naik busway, sehingga dia ingin kembali merasakan sensasi naik bus kota yang lebih terintegrasi. Bus ini hanya akan berhenti di halte-halte tertentu, sehingga untuk beberapa orang bus tersebut tidak menjadi pilihan utama karena halte dan lokasi asal maupun tujuannya cukup jauh.

Akan tetapi, bus ini tetap akan mengantarkannya ke tempat tujuannya yang pertama kali terlintas ketika berniat mengunjungi Jogja. Tidak terlalu jauh malah, dari halte menuju lokasi tujuannya. Hari ini sudah dia alokasikan untuk hal besar ini.

Akhirnya Bram berdiri di depan pintu sebuah rumah. Rumah tersebut tidak terlalu besar, tapi dari yang Bram dengar, penghuni tetapnya sekarang hanya tinggal seorang saja, kadang ditemani asisten rumah tangga atau seorang kerabat. Hal itu menjadikan rumah itu terkesan besar, kecuali jika seluruh anggota keluarga berkumpul dengan personil lengkap.

Bram mengetuknya pelan-pelan. Awalnya Bram mengira dirinya harus menunggu sedikit lama, ternyata pintunya malah segera terbuka beberapa saat setelah dia mengetuk pertama kali. Seorang wanita yang lumayan tua dengan garis-garis di sekitar kedua matanya pun menyambutnya.

"Assalamu 'alaikum," sapa Bram.

"Wa 'alaikum salam. Badhe madosi sinten, Mas?" tanya wanita tersebut. Artinya kira-kira mau cari siapa, Mas?

Bram menggaruk leher belakangnya yang mendadak gatal. "Ibunipun... lenggah, Bu?"

"Nggih, Mas... Nuwun sewu, Mas niki..."

Saat itulah Bram baru sadar bahwa dirinya belum memperkenalkan diri. "Kula Bram, Bu. Rencangipun Dhik Kia."

Wajah wanita tua itu mendadak cerah. "Oh! Monggo pinarak rumiyin!" serunya, yang langsung berlalu ke dalam untuk memanggil orang yang Bram cari.

Ya, bundanya Kia. Untuk pertama-tama, dia harus menemui dan memberi salam kepada wanita yang telah melahirkan kekasihnya ke dunia ini. Kia beberapa kali menyebut bahwa bundanya mengirim salam kepada dirinya, sehingga sekarang adalah saat yang tepat untuk bertemu secara resmi.

Dengan gugup, Bram duduk di sofa ruang tamu tersebut. Dia melihat sekelilingnya. Foto-foto almarhum ayah Kia dipajang beberapa. Hampir semuanya foto beliau dengan pakaian resmi, ada yang memakai PDU dan ada juga yang sedang mengenakan PDL loreng biru. Sisanya beliau berbusana santai namun tetap berwibawa—kemeja polo dan jins, mendampingi wanita yang Bram ketahui adalah bunda Kia di Bromo, karena latar belakang foto tersebut menampilkan panorama gunung yang unik tersebut.

Foto pernikahan Fay, pernikahan Dirga, para keponakan Kia, semua dipajang. Termasuk foto wisuda Kia yang dihadiri seluruh keluarganya. Foto wisuda kedua kakak Kia juga ada, di mana semua menampakkan kekasihnya itu dalam versi anak kecil dan remaja yang sebenarnya sudah sangat manis. Bram sedikit menyadari ada kemiripan antara Kia, Fay, dan sang Bunda. Ah, seharusnya dia lebih peka dalam mengenali kemiripan tersebut.

Foto keluarga mereka juga terpajang di ruang tamu itu. Dengan bingkai paling besar di sana, memuat empat foto yang juga berukuran besar seperti kolase. Lucunya, mereka sekeluarga—Kia, kedua kakaknya, serta kedua orang tuanya tidak mengenakan pakaian adat seperti kebanyakan foto keluarga bahkan seperti yang ada di rumahnya. Mereka memakai kaus bertuliskan 'HUTAMA FAM' dengan pose saling merangkul, di mana Kia selalu berada di tengah. Mungkin karena saat itu Kia masih kecil, atau karena dia anak bungsu makanya seluruh anggota keluarga sangat memanjakannya.

Di foto pertama, ayah dan bunda Kia berada di bawah, sementara tiga bersaudara itu menindih kedua orang tuanya. Di foto kedua, posisinya bergantian namun ayah dan bunda Kia tetap menahan tubuh mereka dengan tangan. Di foto ketiga, Kia dirangkul di kanan dan kirinya oleh seluruh anggota keluarga yang menatap penuh sayang kepada sang bungsu. Sementara itu, di foto terakhir posisi mereka persis seperti foto ketiga, hanya saja mereka semua menatap ke arah kamera.

Satu-satunya yang sama dalam keempat foto tersebut adalah... senyum mereka yang sangat merekah. Bram langsung tahu bahwa Kia dibesarkan dalam keluarga yang sangat hangat dan penuh cinta. Tidak ada keinginan dalam hati Bram untuk merusak senyum merekah itu. Membiarkan Kia tenggelam dalam pikiran negatifnya sudah cukup sekali saja, tidak ada yang kedua kali.

Kemudian, wanita yang masih sama persis dengan di foto yang baru saja Bram lihat-lihat pun muncul. Bram beranjak dari tempat duduknya seiring bunda Kia itu mendekat dengan senyum lebar. Ketika bunda Kia telah berada tepat di hadapan Bram, pria itu langsung meraih tangan kanan beliau dan menyalaminya, tak lupa mencium punggung tangan tersebut.

"Assalamu 'alaikum, Bu," Bram memberi salam. "Saya Bram."

"Wa 'alaikum salam," balas Bunda. "Akhirnya ketemu kamu juga. Kamu dari mana, Bram?"

"Saya dari Lombok langsung ke Jogja dulu, Bu. Tapi tadi saya taruh barang-barang di hostel dulu, baru ke sini," jawab Bram.

"Lho, kamu nggak pulang ke Semarang dulu? Siapa tahu ibu kamu kangen anak relawannya."

Bram tersenyum. "Karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Ibu," ujarnya yakin.

Bunda Kia memiringkan kepalanya sedikit dengan kening yang mengerut. "Membicarakan ap—oh?" mendadak kerutan di keningnya menghilang, digantikan bibir yang membentuk 'o'. Bram tahu bahwa bunda Kia mendapatkan gambaran tentang apa yang ingin dirinya katakan.

Beliau pun menyuruh Bram kembali duduk, maka pria itu pun duduk lagi sementara bunda Kia mengambil tempat di seberangnya.

"Terakhir kali Bunda cek, Kia masih terpaku pada kontraknya yang setahun itu. Sudah begitu, dia juga agak skeptis soal pernikahan. Apa sekarang dia sudah berubah pikiran?" tanya Bunda.

"Sepertinya begitu," jawab Bram. "Beberapa waktu lalu, waktu Kia masih di Kuala Lumpur... dia bilang dia menerima lamaran saya."

Bunda menepuk tangannya sekali dengan cukup keras. Beliau mengucap syukur sebelum berkata, "Dia sudah membuka pintu hatinya."

Bram mengangguk. "Karena itu... kedatangan saya kemari adalah untuk meminta restu kepada Ibu. Untuk sementara ini memang baru saya yang datang, tapi jika Ibu berkenan, segera setelah Kia menyelesaikan kontraknya, saya akan mengajak keluarga saya kemari."

Bunda Kia tersenyum. Wanita tua yang tadi membukakan pintu, yang sedang mengantarkan suguhan pun ikut terpana. Cepat-cepat Bunda menarik lengan wanita tua tersebut seusai beliau menaruh gelas dan toples camilan di atas meja, kemudian mengajaknya duduk di sampingnya.

"Mbakyu, ini Bram, teman dekatnya Kia. Katanya mau nikahin Kia," ujar Bunda senang.

"Alhamdulillah..." wanita itu mengelus dada tanda lega. "Bocahe ketok apikan, bagus."

Bram tersenyum senang dipuji seperti itu. Apikan maksudnya baik, sementara bagus artinya tampan.

"Oh iya Bram, ini Bude Sari," Bunda memperkenalkan wanita tua itu kepada Bram. Bram pun langsung sigap menyalami Bude Sari. "Beliau yang membantu Bunda ngurusin rumah setelah pada pergi dari rumah. Karena sekarang Fay sudah menikah, Dirga juga di luar kota, Kia kerja di Jakarta, jadinya kadang Bude Sari ke rumah untuk nemenin Bunda dan ngurusin rumah, masak juga."

Jadi, Bude Sari adalah asisten rumah tangga bunda Kia. Kia sepertinya belum pernah menyinggung soal Bude Sari, mungkin karena lupa. Tapi Bram senang juga, karena bunda Kia tidak akan terlalu kesepian sekarang jika Kia ikut dengannya ke mana saja dia mau. Kia juga pasti merasa lega.

"Ngomong-ngomong, kamu juga mau ketemu dengan Dirga?" tanya Bunda. "Wali nikah Kia kan Dirga. Cuma masalahnya dia kan di Surabaya, jadi nanti kamu benar-benar traveling ke sana kemari."

"Nggak masalah, Bu. Kalau memang saya harus ke Surabaya untuk minta restu dari... hmm... Mas Dirga, maka saya akan ke sana."

Bram ingin tertawa karena memanggil Dirga dengan sebutan 'Mas'. Secara usia, tentu Bram jauh lebih tua dari Dirga. Tapi, karena dia akan menikahi adik Dirga tentu saja Bram harus memanggilnya 'Mas'. Nantinya dia juga akan memanggil Fay dengan sebutan 'Mbak'.

Astaga, iya. Fay. Haruskah dia bertemu dengan perempuan yang pernah dekat dengannya itu?

"Kalau Fay, nanti sore dia ke sini buat jemput anaknya. Anaknya lagi tidur—lah, bangun dia," belum selesai Bunda menjelaskan soal anak Fay, yang sedang dibicarakan langsung berteriak dan menangis. Bude Sari cepat-cepat meluncur ke kamar di mana anak Fay berada, mencegah agar Bunda tidak perlu repot-repot berlari juga. Tentu, karena sedang ada tamu.

Bram menyunggingkan senyumnya. "Anaknya Mbak Fay dititipkan di sini?" tanyanya.

Bunda mengangguk antusias. "Biar Bunda nggak kesepian banget, kalau kata Fay. Yah, daripada dititipin di daycare, mendingan sama eyangnya."

Tak lama kemudian, Bude Sari muncul sambil menggendong anak perempuan yang lucu. Sekarang ini anak perempuan tersebut sudah berhenti menangis dan malah tertawa-tawa meskipun jejak air matanya masih menempel di pipinya. Mungkin tadi dia menangis karena panik ditinggal sendirian dan tidak melihat ada siapapun di sampingnya ketika bangun. Begitu akhirnya dia melihat Bude Sari, kepanikan tersebut menghilang dan digantikan dengan tawa riang.

"Sera!" Bunda menyambut anak perempuan itu. "Sini Nak. Maaf ya, tadi pasti takut ya, karena sendirian? Eyang lagi ada tamu ini, temannya Auntie Kia."

Anak yang bernama Sera itu tidak banyak protes karena Bunda sudah muncul di hadapannya, bahkan sekarang memangkunya. Dari jarak yang lumayan dekat, Bram dapat mengenali mata dan senyum Zakiyya alias Fay. Anak yang cantik, sungguh. Tapi dia tidak akan mengatakan apapun soal itu.

Bram pun mulai berpikir. Ah, lebih tepatnya membayangkan. Kalau dirinya memiliki anak dari Kia, akan seperti apa wajahnya? Akankah anak itu mirip Bram atau Kia? Akan menyenangkan jika anak itu perempuan dan mirip dengan Kia karena kekasihnya itu sebenarnya sangat manis. Setidaknya itu menurut pendapatnya pribadi. Tapi jika ternyata anak itu mirip Bram... bagaimana pendapat Kia? Akankah dia akan senang atau kesal? Bram biasa menemui para ibu yang mengeluhkan ketidakmiripan anak yang mereka lahirkan dengan wajah mereka sendiri karena lebih mirip sang suami. Katanya, padahal sudah Sembilan bulan mengandung tapi kok tidak ada mirip-miripnya.

Tapi jika melihat Sera, sepertinya anak ini benar-benar campuran kedua orang tuanya. Ada beberapa titik di mana Bram melihatnya mirip dengan Fay, dan di titik lainnya tidak. Mungkin yang itu keturunan dari suami Fay.

Sejenak Bram berpikir. Dia belum pernah bertemu dengan suami Fay. Sebetulnya dia lumayan siap jika harus bertemu dengan Fay, tapi entah jika harus bertemu suaminya. Apakah suami Fay akan menghajarnya? Atau menembaknya? Bisa jadi malah diterjunkan tanpa pengaman apapun dari pesawat tempur dalam ketinggian dan kecepatan yang melebihi batas? Duh, kok kayaknya seram....

"Bram, sudah sarapan?" Bunda tiba-tiba bertanya, membuyarkan lamunan Bram. "Makan dulu, le. Jangan coba-coba nolak, ya!"

Bram sudah ingin tertawa, namun perutnya sudah berbunyi duluan. Untung tidak keras. Tapi, tetap saja malu.

Sekarang, dia harus makan yang banyak agar tidak langsung tumbang ketika nanti berhadapan dengan suami Fay!


***

Continue Reading

You'll Also Like

998K 13.7K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
37.5K 5.2K 31
#1 in Bali (7 Desember 2021) #1 Pertemuan (11 Juni 2022) Aditya Putra. Dia rela melepas jabatannya sebagai pasukan khusus dalam dunia kepolisian kare...
381K 19.3K 40
SEBUAH KONDISI KETIKA SEDANG TERGILA GILA DENGAN SESEORANG. Leon Andrean Gardien. Putra kedua dari pasangan Fathan dan Ara. Siapa yang tak kenal deng...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...