Travelove

By urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... More

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 11
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 07
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 12
2018 : 13
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 17
2018 : 18
2018 : 19
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2018 : 14

1K 84 1
By urfavcalamari

halo! apa kabar? semoga pada sehat yak ^^

di tengah-tengah hati yang berdegup kencang menunggu perilisan resmi buku novel pertamaku, I managed to write a chapter for this TTATT

doakan lancar ya ^^

seperti biasa, read-vote-comment. boleh banget untuk turut berpartisipasi ngoreksi typo. namanya juga manusia biasa yekan, tempatnya salah u.u

enjoy!


---


Kuala Lumpur, Agustus 2018, sore hari


Kia telah sampai di ibukota Malaysia siang tadi. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan kereta monorel di KL Sentral. Sesampainya di KLIA2 tadi, Kia masih mengambil gambar-gambar yang sekiranya bisa dia pakai untuk artikelnya. Dia juga menulis cicilan artikel tersebut dengan ponselnya sebelum menaiki bus menuju KL Sentral.

Hostel yang dia tuju berada tidak jauh dari Stasiun Imbi, stasiun tujuannya. Hanya di belakang Berjaya Times Square, jika menurut pada peta. Oke, sejauh ini perjalanannya lancar, jadi seharusnya nanti ketika menuju hostel itu juga bisa lancar.

Sore hari sepertinya menjadi jam-jam sibuk di Kuala Lumpur. Mungkin orang-orang juga berniat untuk merilekskan diri setelah bekerja seminggu ini di pusat perbelanjaan. Entahlah, tapi melihat kepadatan di stasiun monorel KL Sentral sepertinya bisa dibilang seperti itu.

Monorel yang ditunggu Kia pun datang. Johan sudah mewanti-wantinya agar bersikap seperti pelancong yang tahu tata krama, jadi Kia menunggu hingga para penumpang sebelumnya turun semua, barulah dia naik. Di dalam monorel pun, dia melihat situasi. Jika memang ada kursi yang kosong, Kia baru akan duduk. Toh, meskipun lelah setelah perjalanan dari Jakarta, dia masih dapat menahannya. Barulah di dua stasiun setelah KL Sentral, Kia mendapatkan tempat duduk.

Tak berselang lama, Kia sampai di Stasiun Imbi. Dari stasiun ini, sebetulnya dia bisa melewati Berjaya Times Square karena memang terhubung. Tapi dengan keadaannya sekarang yang kucel dan belum mandi, dia tidak bisa memasuki mal. Kia memutuskan untuk langsung turun, keluar, lalu berjalan menuju hostel yang dituju.

Untunglah hostel tersebut memang tidak jauh dari Stasiun Imbi. Hanya berjalan kurang dari lima menit, dia telah menemukan hostel tersebut. Hanya saja... Kia menelan ludah. Rupanya hostel itu berada di lantai tiga. Dia menatap tangga yang tinggi itu dengan nanar. Sebetulnya dia sudah terlalu lelah untuk berjalan, tapi apa boleh buat?

Kia disambut dengan rak sepatu yang berada tepat di depan pintu masuk. Oh, jadi dia harus melepaskan alas kakinya. Kia sebetulnya tidak yakin akan hal ini, karena kakinya sudah sangat berkeringat dan jelas bau. Dia kemudian mengambil parfum dari ranselnya di bagian samping, lalu menyemprotkannya ke kaus kakinya sebelum masuk.

Resepsionis hostel sedang melayani tamu yang sepertinya hendak check out. Kia menunggu sebentar hingga tamu tersebut pergi, meskipun agak lama. Dia sampai duduk di sofa yang disediakan, sekadar untuk melepas lelah sementara.

"May I help you?" tanya sang resepsionis kepada Kia. Dari tampangnya, dia terlihat seperti bule.

Kia cepat-cepat menghampiri resepsionis. "Oh, you see... I've booked for one person before..." kemudian menjelaskan detail pemesanan kamar—kasur, karena ini adalah hostel.

"Alright, you can go to room... wait, have I met you before?" tanya resepsionis tersebut seraya mengernyit.

Mendengar itu, Kia sedikit jengah. Kalau ini hanya sebagai ajang untuk menggodanya, dia benar-benar akan menimpuk Johan dengan koper berat yang dibawanya setelah keluar dari hostel ini.

"We met in Jakarta. Yeah! You're the one I asked about tourism attractions in Jogja!" resepsionis itu memekik pelan.

Pikiran jelek Kia mengenai resepsionis hostel itu sirna seketika. Dia langsung teringat masa-masa di mana dia sedang menjalani proses melamar kerja di Wartawara. Waktu itu memang dia menginap di sebuah hostel di Jakarta dan bertemu dengan rombongan bule yang hendak ke Jogja. Dia ingat memberikan rekomendasi tempat-tempat wisata di Jogja yang antimainstream kepada mereka.

"Ah!" seru Kia. "You're... Rei... han?"

Resepsionis itu tersenyum. "Rihan," katanya meralat tebakan Kia.

"I see, sorry," balas Kia menahan malu.

"Nah, it's okay. I forgot your name as well, but you just told me your name a while ago. Kia, isn't it?" tanya Rihan dengan senyuman yang dibalas anggukan. "Come, I'll take you to your room."

Kia mengikuti Rihan sampai ke kamar yang ternyata masih berada di lantai atas. Wow, mau setinggi apa lagi? Akan menjadi sedikit melelahkan ketika nantinya Kia pulang dari menjelajahi Kuala Lumpur dan masih harus menaiki tangga sebanyak itu. Dari bawah ke lantai tiga, lalu masih ditambah naik lagi ke lantai empat. Belum-belum, kepalanya sudah pusing duluan.

Ketika Kia memasuki kamarnya, di sana sudah ada dua perempuan yang menempati kamar itu. Namanya juga hostel, tentu ada saatnya Kia harus berbagi kamar dengan orang lain. Kia hanya memastikan bahwa kamar yang diinapinya berisi perempuan saja dan tidak campur. Bisa ngamuk Bunda dan Bram kalau tahu dia menginap di kamar campuran.

Satu perempuan itu tampak seperti orang Eropa, sementara satunya berwajah oriental. Kia mengangguk sebagai sapaan untuk mereka berdua, yang sama-sama menyambut dengan senyum merekah. Kia merasa sangat lega melihat senyum mereka, karena setidaknya mereka tidak menatapnya sinis.

"You can choose any bed," kata Rihan yang berdiri di depan pintu kamar, tidak ingin mengganggu privasi para pelanggan hostel.

Kia menyisiri kasur yang kosong. Di sana ada tiga bunk beds, dan kedua perempuan itu berada di salah satunya, di mana si wanita Eropa menempati tempat tidur yang bawah sementara wanita oriental berada di atasnya. Karena Kia tidak mau naik lagi, dia memilih salah satu kasur yang berada di bawah.

"I choose this one," kata Kia untuk didengar oleh Rihan.

"Alright, please enjoy your time here," tanggap Rihan dengan senyum.

Kia mengangguk. "Thank you, Rihan."

Selepas Rihan pergi, Kia menyalami kedua perempuan yang menjadi teman sekamarnya itu dan memperkenalkan diri. Wanita Eropa tersebut—yang ternyata berasal dari Jerman—bernama Sophie, sementara wanita oriental yang rupanya datang dari Singapura itu bernama Janice. Dari awal perkenalan pun, mereka sangat menerima kedatangan Kia. Mereka juga solo traveler, bahkan Sophie sudah berkeliling Asia, di mana setelah Kuala Lumpur dia berencana mengunjungi Bali sebelum ke Australia. Janice sendiri dalam rangka mengunjungi kekasihnya yang tinggal di Kuala Lumpur.

Mereka tampak antusias ketika mendengar keperluan Kia ke Kuala Lumpur, alias dengan pekerjaannya. Sedikit banyak, mendengar antusiasme itu membuat rasa cinta Kia terhadap pekerjaannya bertambah.

"How cool, Kia! You get to travel around the world and share your experience to whoever reads your article," puji Janice. "You even get paid for that!"

Sesungguhnya, itu juga yang menjadi salah satu alasan Kia menyukai pekerjaan ini, tidak peduli betapa berat beban menjadi penulis artikel. Setidaknya, dia bekerja sambil traveling. Dibayari pula. Tidak pernah terlintas di pikirannya sebelum menerima tawaran bekerja di redaksi segmen Travel Wartawara bahwa bekerja tidak sesuai dengan latar pendidikan bisa semenyenangkan ini. Dia bersyukur telah bekerja di situ.

"Then, I guess for a starter, you can visit KLCC or Batu Caves. Genting Highland is also interesting," Sophie memberi rekomendasi.

Kia mengangguk-angguk. "Yeah, I'm planning to visit Batu Caves tomorrow morning, then Suria KLCC at night. For now, I'm just longing for the bed..." ujarnya, mengundang tawa Sophie dan Janice.

Tapi tidak. Kia sadar bahwa dia harus mandi dahulu, barulah dirinya bisa pergi tidur.

Ah, salah lagi. Dia keburu lapar. Maka Janice dan Sophie mengajaknya ke Berjaya Times Square untuk makan malam di salah satu gerai makanan di sana, baru kemudian kembali ke hostel dan tidur.


*


Kuala Lumpur, Agustus 2018, pagi hari


Sebelum tidur semalam, Kia mengabari Bunda dan Bram bahwa dirinya telah sampai dengan selamat di Kuala Lumpur. Bunda membalasnya dengan peringatan agar selalu berhati-hati, sementara Bram belum membalas. Kia pikir Bram sudah tidur, tapi bahkan hingga pukul delapan waktu KL di mana di Semarang sama dengan pukul tujuh pagi, Bram tetap belum membalas.

Kia sedikit was-was. Ada apa gerangan dengan Bram? Selama perjalanan ke Batu Caves dengan kereta, dia tidak henti memikirkan nama Bram yang tak kunjung muncul di layar ponselnya. Pikirannya tidak bisa santai. Sesungguhnya Kia tidak menyukai situasi ini. Jika ada suatu hal yang tidak pada tempatnya, dia pasti jadi selalu kepikiran dan firasat buruk tak beralasan pun bermunculan, membuatnya tenggelam dalam kecemasan.

Kereta yang membawanya pun sampai di stasiun dekat Batu Caves. Oke, sekarang saatnya bekerja. Kia pun memfokuskan diri untuk menulis dan mengambil foto selama menjelajah tempat wisata yang sangat terkenal di Malaysia itu.

Sebenarnya Kia tidak mau, tetapi demi tulisan yang kaya dia pun menaiki tangga yang seakan tak berujung itu. Astaga, kakinya belum pulih sepenuhnya dari pegal-pegal. Untung saja pelayanan hostel itu top markotop, sehingga lelahnya kaki Kia untuk naik dan turun tangga di hostel dapat teralihkan sebentar. Tapi tangga di Batu Caves ini... wow. Beberapa kali Kia berhenti untuk beristirahat dan minum air putih. Tangganya memang bukan bercandaan, tapi kapan lagi dia bisa mengunjungi Batu Caves?

Kelelahannya terbayar oleh pemandangan yang ditawarkan setelah sampai di atas. Kia mendapatkan banyak sekali foto bagus di sana. Tak lupa dia menuliskan apa saja yang dia lihat dalam catatannya. Untungnya Kia membawa tripod, jadi dia juga bisa berswafoto di sana.

Kia garuk-garuk kepala ketika harus turun tangga. Meskipun hanya turun, tapi tetap saja anak tangga yang harus dilangkahinya tidak sedikit. Dengan langkah pelan, dia turun seraya melihat pemandangan. Dia juga mengambil foto selagi menuruni anak tangga, di mana dia mendapatkan foto kumpulan orang dan burung merpati dari atas. Kia cukup puas dengan hasilnya.

Tapi, perjalanan belum usai. Kia masih harus mengunjungi gua di sisi lainnya. Setelah berfoto di depan patung Budha raksasa dan memfoto para merpati yang sedang makan biji-bijian, Kia melanjutkan perjalanannya.

Tentu saja guanya gelap, tapi cukup menyenangkan bisa mengunjunginya. Dia berjalan dan berjalan, tak lupa mengambil beberapa foto. Tapi, karena sudah cukup lapar, dia tidak berlama-lama di sana. Setelah ini pun, dia masih harus menuliskan artikel versi mentah.

Di luar, dia melihat ada beberapa ekor monyet. Jelas, itu tidak luput dari kameranya. Dia tidak berani mendekat karena Kia memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi jika monyet-monyet itu berada dekat dengannya. Mending kalau hanya diam dan anteng, nah kalau dia nyakar?

Tak terasa, ternyata dia cukup lama menghabiskan waktu di Batu Caves. Hari sudah menjelang sore. Itu artinya dia harus kembali ke hostel untuk mandi lagi karena sudah sangat berkeringat. Cuaca hari itu sangat terik dan dia tidak ingin membawa dirinya yang kucel lagi untuk mengunjungi Suria KLCC.

Kia mampir makan siang yang terlambat sesampainya di KL Sentral, sekaligus mengecek ponselnya. Masih belum ada balasan apapun dari Bram. Dia mengingat-ingat, apakah sebelumnya Bram pernah tidak membalas pesannya? Jika pernah, perasaan Kia yang sekarang ini lebih was-was daripada dahulu. Entah apa yang sedang dilakukan Bram saat ini.

Apakah Bram marah padanya karena melarang ke Lombok?

Kia menghela nafas. Dia benar-benar perlu melatih diri untuk berpikir positif.

Hmmm... sebentar, dia punya nomor kontak ibu Bram. Apa sebaiknya aku telepon Ibu? batin Kia. Dia pun memantapkan hati untuk kembali ke hostel agar mendapatkan WiFi sehingga dia dapat menelepon Ibu via WhatsApp.

Sesampainya di hostel, ponselnya langsung terhubung dengan WiFi. Tanpa buang waktu lagi, Kia menekan nomor Ibu.

"Assalamu 'alaikum, Kia?" sapa Ibu. "Ada apa, kok tumben telepon?"

"Wa 'alaikum salam, Ibu. Emmm... anu Bu, saya cuma mau ngabari kalau saya lagi di Kuala Lumpur untuk meliput," Kia berbasa-basi.

"Kuala Lumpur? Walah, kok adoh tenan, Nduk? Baik-baik aja, to?"

"Alhamdulillah, Bu. Ibu gimana? Sehat?"

"Alhamdulillah, sehat juga, Nduk."

Kia menggigit bibirnya. "Emm, Bu, Mas Bram lagi ngapain, ya? Kok saya hubungi dari kemarin ndak ada balasan sama sekali? Apa Mas Bram lagi sibuk?"

Terdengar gumamam bingung di seberang. "Hmm... apa di sana ndak ada sinyal, ya? Apa malah dia lagi sibuk bantu-bantu?"

Gadis itu mengernyit. "Di sana? Di sana mana, Bu?"

"Lho, memang Bram ndak ngabari?" Ibu balik bertanya. "Bram kan jadi relawan di Lombok, Nduk."

Jantung Kia serasa copot dan kakinya seolah tidak lagi berpijak pada lantai.


***


note:

jangan lupa ya, minggu depan buku novelku berjudul RUN dirilis. silakan kunjungi toko buku gramedia di kota kamu untuk mendapatkan buku ini, ya! harganya 79.000 untuk pulau Jawa ^^



nah, kalau menemukan kover seperti di atas, jangan dilewatkan begitu aja ya! hehehe

sampai jumpa minggu depan! :*

Continue Reading

You'll Also Like

719K 54.3K 54
#03 Selebgram (05/03/2019) #26 Militer (31/05/2019) #09 Penulis (05/03/2020) #01 Pontianak (28/04/2020) #22 Tentara (05/03/2020) #01 Surabaya (29/02...
334K 27.3K 64
Rupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega m...
15.6K 1.7K 40
Punya mantan suami, ayah dan paman yang berselingkuh saat sudah sukses bikin Sinar alergi sama cowok sukses. Waktu Satrio Hendrawan, si calon profeso...
381K 19.3K 40
SEBUAH KONDISI KETIKA SEDANG TERGILA GILA DENGAN SESEORANG. Leon Andrean Gardien. Putra kedua dari pasangan Fathan dan Ara. Siapa yang tak kenal deng...