Travelove

By urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... More

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 11
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 07
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 13
2018 : 14
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 17
2018 : 18
2018 : 19
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2018 : 12

1K 88 5
By urfavcalamari

masih hari selasa! yay! walaupun mepet heu

bujug dah hari ini panjang sekali perasaan... //ciyeh yang sok sibuk

untung nggak ketiduran dan masih sempet upload hehehe

kira-kira tadi mbak petugas yg menangani aku di ditjen pajak DIY udah jadi pembacaku belum ya hakhakhak

in case mbaknya baca part ini, welcome to my world of imagination lah ya mbak xD

seperti biasa, read-vote-comment. bantuin benerin typo akan sangat diapresiasi ^^

enjoy!


---


Bandara Ahmad Yani Semarang, Juni 2018, sore hari


Kia dan Johan akan kembali ke Jakarta sore ini dengan pesawat. Awalnya saudara Johan yang sengklek itu, Edwin, menawarkan diri untuk mengantar mereka berdua ke bandara. Namun, Bram bersikeras untuk mengantar Kia. Johan yang memahami situasi pun mengiyakan permintaan Bram, sehingga dia memutuskan untuk melepaskan bawahannya itu kepada sang kekasih, sementara dirinya tetap diantar oleh Edwin.

Hanya saja, yang membuat Kia sedikit terkejut ketika melihat Bapak dan Ibu berdiri mengapit Bram ketika dirinya beranjak keluar dari hostel yang sudah beberapa hari terakhir ini diinapinya. Dia sampai diam berdiri di pintu utama hostel beberapa detik untuk mencerna situasi yang sedang dan akan dihadapinya.

Akhirnya, Kia melangkah pelan menghampiri ketiga orang tersebut dengan senyum lebar. Ibu adalah orang pertama yang menyambutnya dengan tangan terbuka, mengundang gadis itu dalam pelukannya. Setelah puas memeluk Ibu, Kia menyalami Bapak yang kemudian menepuk pelan ubun-ubunnya (di sini Kia pun mulai berpikir, apakah keluarga Bram itu memang hobi sekali menepuk ubun-ubun orang?). Barulah kemudian Bram mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Kia dengan cara yang sama dengan ketika dia menyalami Bapak tadi: cium tangan. Tidak serta merta mencium tangan dengan bibir tentunya, hanya menempelkan tangan mereka di dahinya.

Kia tidak berani menanyakan mengapa kedua orang tua Bram ikut, namun Ibu sepertinya memiliki intuisi yang tajam. Tanpa Kia harus menyuarakan pertanyaannya, Ibu sudah duluan menjelaskan, "Bapak dan Ibu pengin lihat wajah barunya Bandara Ahmad Yani, katanya jauh lebih bagus." Detik itu pula Kia baru tahu bahwa bandara Semarang itu baru selesai diperbaharui. Memang beberapa kali Kia agak lamban dalam menerima kabar atau informasi baru. Segera instingnya sebagai penulis artikel segmen Travel bergerak. Dia mulai menyusun rencana untuk mengambil beberapa foto bandara dan menuliskannya. Kalau diterima Johan ya syukur, kalau tidak ya tak mengapa.

Selama perjalanan menuju bandara tadi, Ibu memberikan beberapa dus bandeng presto dan lumpia. Ah, makanya Ibu minta agar Kia duduk bersamanya di kursi belakang, ternyata agar lebih leluasa memberikan oleh-oleh kepada gadis itu. Kia yang sedikit terharu—tapi menyembunyikan raut ingin menangisnya itu—menerima segala kebaikan hati Ibu tanpa menolaknya. Dia sangat paham jika Ibu ingin memastikan agar dia tidak kekurangan makanan di Jakarta. Untung saja mereka berbeda kota. Kia yakin jika Ibu berada di Jakarta, pasti setiap hari disuruh ikut makan bersama keluarganya. Oh, mungkin tidak hanya itu. Dari gelagatnya, kemungkinan besar Ibu juga ingin meminta Kia agar menginap di rumahnya. Namun, Ibu juga tahu bahwa Kia dan Bram belum mahram sehingga beliau tidak bisa memintanya.

Sesampainya di bandara, Johan belum datang. Bram sendiri sengaja menjemput Kia lebih awal—siang hari setelah zuhur—agar mereka berempat dapat menghabiskan waktu sebentar untuk makan siang. Tidak di bandara tentunya, yang penting searah ke sana. Ibu benar-benar memanfaatkan dengan baik momen tersebut untuk memesankan Kia makanan yang sehat dan bergizi dan tentunya mengobrol lebih banyak dengan gadis itu. Untunglah mereka tidak terlambat sampai bandara. Barulah beberapa menit kemudian setelah kedatangan Kia, Johan terlihat tanpa Edwin di sampingnya.

"Saya langsung ditinggalin sama dia. Emang dia semenyebalkan itu," sungut Johan bete.

Johan juga menyampaikan salam dari Edwin untuk Kia. "Kata Edwin, saya nggak boleh jahat-jahat sama kamu. Emang saya pernah jahat ke kamu? Nggak pernah, kan?" Kia tertawa mendengarnya. Johan memang tidak jahat, tapi kalau merevisi tulisannya suka kejam.

Kia masih mengobrol dengan Bram dan Ibu (serta Bapak, karena akhirnya Bapak ikut nimbrung) ketika Johan melihat jam tangannya. Mata Kia yang tidak luput dari pemandangan itu pun mulai teringat bahwa waktunya di Semarang sudah hampir habis. Hal itu dipertegas dengan Johan yang memberikan kode kepada Kia, yaitu menunjuk jam tangannya.

"Ibu, Bapak, Mas Bram," panggil Kia, "sepertinya saya sudah harus masuk."

"Oh," sahut Ibu kecewa. "Sekarang, kah?"

Kia mengangguk. "Nggih, Bu. Tapi saya kapan-kapan ke sini lagi, insyaa Allah. Boleh, Bu?"

Ibu tertawa. "Ya boleh, tho Nduk. Kapan aja kamu mau, pintu rumah terbuka lebar untuk kamu."

Kia senang mendengarnya. Kalimat yang dilontarkan Ibu bukan hanya lip service semata. Mata Ibu yang telah sayu dengan garis-garis penanda usia di sekitarnya tetap memancarkan kehangatan dan penerimaan terhadap gadis itu. Selama kunjungannya ke Semarang, Ibu memperlakukannya seperti anak sendiri. Bahkan mungkin melebihi perlakuannya terhadap Bram. Kia sempat sekali lagi ke rumah Bram, yaitu pada hari yang sama dengan kunjungannya ke Sam Poo Kong. Saat itu, Kia bahkan diajak masak bersama. Kia bisa memasak, tapi belum terlalu ahli. Maka dari itu, dia senang karena selain Ibu mengajaknya masak, beliau juga mengajarinya beberapa teknik memasak hingga membersihkan bahan makanan tertentu dan peralatan masak.

"Berdoa dulu sebelum pesawatnya take off, Nduk," Bapak menambahkan.

"Nggih, Pak," jawab Kia. Dia kemudian mencium tangan kedua orang tua Bram untuk pamitan. Johan pun turut menjabat tangan mereka selagi Kia menyalami Bram.

Bram tersenyum, namun tidak selebar biasanya. Dia sedikit berat melepas kekasihnya, namun setengah dari dirinya juga paham bahwa Kia memang harus kembali ke Jakarta dan kembali bekerja. Keberadaan Kia di Semarang lebih lama lagi mungkin akan membuatnya nekad pergi ke KUA dan diam-diam mengurus pernikahan dengan gadis itu. Tidak peduli kontrak kerja Kia yang belum membolehkannya menikah hingga setidaknya November tahun ini.

"Have a safe and nice flight," ucap Bram seraya menepuk pelan ubun-ubun Kia. "Langsung istirahat ketika nanti sampai kos."

Kia mengangguk. "Oh iya, Mas... saya mau pindah kos minggu depan. Ke kos-kosan khusus cewek yang Alhamdulillah lebih deket ke kantor. Cuma dua halte TransJakarta langsung sampai."

"Oh ya? Bagus, dong! Tapi kalau saya ke sana, nggak bisa ngobrol sama Dion lagi, dong," keluh Bram. Rupanya dia masih mengingat tetangga kamar Kia di indekos campuran itu, yang dulu kamarnya sempat disinggahi oleh tas-tas Bram selagi dirinya berkencan dengan Kia.

"Dia tuh udah balik kali, ke Semarang. Malah Mas Bram bisa lebih leluasa ketemu dia, kan?"

"Lho, beneran?"

"Beneran," kata Kia, kemudian menunjukkan nomor kontak Dion untuk Bram salin. "Hubungin dia langsung aja, kali kalian malah bisa main bareng di sini."

"Makasih," ucap Bram. "Ya sudah, nanti kalau sudah sampai Jakarta jangan lupa hubungi, ya."

Kia mengangguk.

"Kia."

"Ya?"

"Do you still love me?" tanya Bram dengan suara kecil, namun cukup untuk didengar oleh Kia. "Are we still together? Still on the same page? Do you still think of becoming my wife?"

Kia terdiam. Dia paham mengapa Bram menggunakan bahasa Inggris, yaitu agar orang tuanya tidak mencampuri obrolan mereka. Tapi, Johan yang berada tidak jauh dari mereka dapat sedikit mendengar pertanyaan Bram. Dia mundur selangkah untuk memberikan privasi kepada mereka berdua.

"I..."

"Are you still troubled with the fact that your sister and I have some history together? Tell me the truth, Kia."

Kia menelan ludahnya susah payah. Untuk sesaat bahkan dia merasa sedang menyeberangi jembatan yang terbuat hanya dari tali di atas sebuah sungai dengan aliran yang deras. Salah langkah, dia akan jatuh. Salah mengambil posisi kaki, aliran deras sungai akan menghanyutkannya.

Tapi tentu saja Kia tidak ingin lagi ada kebohongan di antara mereka berdua, termasuk dengan apa yang diucapkannya.

"To be honest... yes, I am. I'm still troubled with that fact," jawabnya. "But worry not, I'll get used to it soon. Because I love you. We're still together and on the same page. And..." dia tersenyum, "I still think of becoming your wife. So... can you please promise me to be patient and obediently wait for me?"

Senyum Bram yang tadi melempem, kini melebar seperti yang Kia tahu. Bram sampai mati-matian menahan keinginan untuk memeluk Kia. Akal sehatnya masih bekerja, apalagi dengan fakta bahwa orang tuanya sedang memperhatikan mereka bersama Johan yang tersenyum miring.

"With all my life," Bram mengucapkan janjinya.

Kia tersenyum. Dia mengulurkan kelingkingnya untuk ditautkan dengan kelingking Bram. Seperti anak kecil yang meminta janji kepada seseorang yang menjanjikannya wisata ke taman bermain.

Kemudian, gadis itu menoleh ke Bapak. Bapak menaikkan alisnya, mengantisipasi apa yang akan Kia katakan.

"Bapak, untuk pertanyaan Bapak tempo hari... jujur, saya belum mampu menjawabnya," kata Kia. "Tapi, saya tahu bahwa Mas Bram akan selalu mendukung apapun keputusan saya nantinya. Saya juga akan mengusahakan apapun agar ketika kami menikah, kami akan tetap saling mendukung satu sama lain dalam setiap keputusan yang kami ambil. Saat ini saya sangat menyukai pekerjaan saya, tapi saya juga sangat menyukai Mas Bram. Pun dengan Bapak dan Ibu. Terima kasih karena membuat saya merasa 'pulang' ke Semarang, bukan hanya berkunjung."

Bram terbelalak mendengar perkataan Kia kepada Bapak. Kedua orang tua Bram pun sama terkejutnya. Johan sendiri hanya menyeringai. Namun, kemudian Bapak mendekati Kia dan menggenggam bahu gadis itu. Beliau mengangguk dengan senyum meneduhkan.

"Bapak mengerti, Nduk," ujarnya. "Bapak dan Ibu juga sangat menyukai kamu. Kalau sempat, main lagi ke sini, ya? Biar nanti Bapak dan Ibu kasih tahu kiat-kiat menghadapi Bram."

"Pak!" Bram protes, sementara Kia tertawa.

"Beres, Pak!" celetuk Kia jail seraya melirik Bram yang manyun. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa 'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," balas ketiga orang itu bersamaan.

Johan pun mengangguk sebagai salam terakhir sebelum masuk dan membantu Kia membawa barang bawaannya yang beranak pinak. Kia masih melambaikan tangan hingga Bram beserta orang tuanya menghilang dari pandangannya.

"Kamu punya calon mertua yang sangat baik, di samping calon suami yang mumpuni," kata Johan. "Saya yang cuma atasan kamu saja iri."

Kia tersenyum dan mengangguk. Johan benar. Apalagi yang harus dia minta? Oh, dia harus meminta agar insecurity yang diidapnya dapat berangsur sembuh.


*


Jakarta, Agustus 2018, siang hari


Kia dan rekan-rekan kerjanya berkumpul di ruang pertemuan. Johan mengadakan pertemuan sedikit mendadak di awal Agustus ini, membahas mengenai bantuan kemanusiaan untuk korban gempa di Lombok. Johan sudah merapatkan hal itu lebih dulu dengan para petinggi dan kepala segmen lain di Wartawara sebelum mengumpulkan anak buahnya sendiri. Mereka langsung merencanakan untuk menggalang dana bersama Wartawara sebagai satu kesatuan.

Kia menghela nafas panjang. Mengingat Lombok, dia juga kembali teringat pertemuan pertamanya dengan Bram. Meskipun pertemuan pertama mereka bukan di Pulau Lombok melainkan di Gili Trawangan, tetap saja Kia sedih karena Lombok terkena gempa. Tentu saja dia antusias dengan niat Wartawara untuk membantu para korban gempa. Rekan-rekannya yang lain juga langsung gerak cepat.

Tepat begitu Kia keluar dari ruang pertemuan, ponselnya berbunyi. Kia sedikit terkejut melihat nama yang muncul di layar.

Rei.

Kia pun mengangkatnya. "Assalamu 'alaikum. Rei?"

"Wa 'alaikum salam. Kia, semangatin aku, dong."

Mendengar itu, Kia mengerutkan kening. "Semangatin? Buat apa?"

"Aku termasuk tentara yang dikirim ke Lombok untuk membantu para korban gempa. Ini tugas besar pertamaku. Aku takut gagal..."

Gadis itu terdiam.

"Kia?" panggil Rei setelah jeda beberapa detik. "Kamu keberatan menyemangati aku?"

Kia memejamkan matanya. Memori akan ayahnya yang dulu meninggal saat bertugas kembali lagi. Dadanya berdegup kencang.

"Rei," ucap Kia, "kumohon, kembalilah dalam keadaan selamat dan utuh."


***


note:

numpang promosi boleh ya? boleh dooong.

insyaa Allah tanggal 4 Maret 2019, buku novel perdanaku akan diterbitkan oleh gramedia.

judulnya RUN.

nih kovernya:


begini sinopsisnya:


Reno itu cowok paling nggak peka di sekolah. Semua orang tahu dia bersahabat dengan Rania si cewek tangguh supersupel. Keduanya membentuk duo akustik, RUN, yang penampilannya selalu dinanti-nanti. Saking solidnya hubungan mereka, banyak yang mengira mereka berpacaran.

Lalu, tiba-tiba, muncul Bara di antara mereka. Cowok itu adik kelas mereka dan memiliki kegemaran bermain basket, seperti Nia. Entah kenapa, Reno mulai terusik dengan kedekatan mereka dan mulai gampang marah pada Nia.

Nia jadi pusing. Duo RUN sedang berkompetisi di ajang menyanyi nasional. Tetapi, bagaimana mereka bisa tetap solid kalau sikap Reno begitu? Ada apa sih dengan cowok itu? Kenapa dia jadi sensi kalau Nia membahas Bara? Masa sih Reno naksir Nia?


nah... udah penasaran belum? pokoknya nantikan insyaa Allah 4 Maret 2019 di toko buku Gramedia ya! jangan lupa promosiin ke teman-temanmu ^^ ciao!

Continue Reading

You'll Also Like

288K 23.9K 25
Quina tidak pernah tahu seperti apa dongeng Cinderella itu. Kata temannya, Cinderella itu si upik abu yang menikah dengan pangeran tampan dan pastiny...
15.6K 1.7K 40
Punya mantan suami, ayah dan paman yang berselingkuh saat sudah sukses bikin Sinar alergi sama cowok sukses. Waktu Satrio Hendrawan, si calon profeso...
5.5K 246 26
TAMAT ~Novel 4~ Tega... Aku tahu dirimu kini telah ada yang memiliki Tapi bagaimanakah dengan diriku Tak mungkin ku sanggup untuk kehilangan dirimu A...
24.7K 2.4K 17
pluem have a crush on his bestfriend who already like someone else. Knowing how hard it's feel, as a good friend, he decided to buried his feelings a...