KAIROS

By inariwritingproject

216K 24.7K 3.4K

Update setiap hari Senin pukul 08.00 WIB. Marco dan Floriska bersahabat sejak lama. Marco si tukang berantem... More

Inari Writing Project
INTRO KAIROS
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
Imajinasi Tokoh
Present
BAB 17
BAB 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Random 0.1
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Between Two Stars
Cuap 0.1
Vote
Kairos Terbit
PO Kairos dibuka

BAB 19

4K 629 72
By inariwritingproject

“Burung bersayap lebar tidak akan selamanya kerasan di dalam sangkar yang sempit. Suatu saat mereka akan diam-diam mendobrak sangkar itu dan terbang bebas di antara awan-awan.”

^*^

“Ke mana sih Marco?” celutuk Vanesa, menatap bangku kosong Marco dan mejanya yang berantakan. Cowok itu tidak muncul sejak bel tanda istirahat kedua berakhir berbunyi sampai jam kelas berakhir.

“Palingan di laborat biologi. Udah kebiasaan, suka bolos sejarah tuh anak.” Sahut santai Ibram sembari mengemasi barangnya.

Sahabat Floriska itu memang tidak berminat dengan sejarah. Katanya mempelajari masa lalu adalah hal yang berat baginya. Ya, dia saja yang terlalu mendramatisir karena tidak tahan kantuk mendengar suara Pak Gani yang terdengar seperti sedang meninabobokkan seisi kelas.

Daripada dia tertidur di kelas dan akhirnya dikeluarkan juga oleh Pak Gani, mendingan sekalian saja tidak masuk.

“Seharusnya selain IPA, IPS dan Bahasa, ada jurusan Biologi yang khusus buat makhluk kayak Marco di SMA ini,” komentar Vanesa diikuti tawa ringan Floriska dan Ibram. “Ya udah, gue balik dulu ya?” pamitnya, kemudian beranjak meninggalkan kelas.

“Gue juga ya Flo, duluan, mau latihan basket nih,” sambung Ibram. “Sekalian titip barangnya Marco,” lanjutnya sebelum meninggalkan Floriska sendiri untuk merapikan barang-barang Marco.

Floriska berbalik menghadap ke meja Marco lalu menghembuskan napas pelan. Mejanya berantakan. Seakan di setiap pergantian pelajaran dia tidak memasukkan buku-buku dari jam pelajaran sebelumnya. Sehingga pensil, pulpen, stipo, dan buku-buku itu menumpuk dan berserakan.
Heran kenapa Ibram bisa tahan duduk di sampingnya.

Tanpa berlama-lama lagi, Floriska mulai membereskannya. Dibukanya tas Marco dan tampaklah isi tas yang sama berantakannya dengan meja di hadapannya. Ada toples kaca dengan tutup berlubang-lubang berisi seekor kumbang bersungut yang Floriska tak tahu jenisnya, beberapa karet gelang, Tupperware milik Floriska yang lupa dia kembalikan, tumpukan kertas-kertas kusut yang terlipat di dasar tas bercampur remah-remah berwarna kelabu yang  asalnya sulit dijelaskan.

Floriska paling anti dengan kondisi kotor seperti itu, sehingga dengan gemas, dia pun membongkar semua isi tas Marco, menuang remah-remah itu ke tempat sampah dan menata kembali  satu persatu barang-barang sahabatnya itu ke dalam tas hitamnya.

Buku-buku, peralatan tulis dan toples belalang sudah tersusun rapi. Tumpukan kertas-kertas kusut yang terlipat itu dilicinkan Floriska di meja sebelum dimasukkan kembali ke tas. Kertas-kertas itu terdiri dari potongan-potongan kopian materi dan hasil print out daftar Universitas di luar negeri. Mendadak Floriska terhenyak, di daftar kampus-kampus bergengsi tersebut, Marco melingkari salah satu Universitas, menggambar bendera Inggris dan menulis dengan huruf cakar ayam di sampingnya, ‘45% loading, see you soon Portsmouth!!

Melihat semua itu, seketika telapak tangan Floriska berkeringat. Sensasi panas menjalari leher menuju ke pipinya. Dadanya berdetak cepat. Sahabatnya itu diam-diam akan menyeberang jauh ke benua lain untuk mengejar impiannya.

Ada sesuatu di tenggorokannya yang mendadak muncul dan sulit ditelan. Tubuhnya pias. Selama ini dengan bodohnya dia tak pernah berpikir ke arah sana.

Marco dan otaknya yang cerdas, buku-buku referensi entomologi tebal berbahasa Inggris milik Om Dewa yang selalu dia baca, berlembar-lembar hasil pengamatannya dari tahun ketahun itu, Marco siap membentangkan sayapnya untuk terbang bebas di negara yang jauh.
Meninggalkannya.

Suatu hari Marco akan menjejakkan kaki panjangnya di atas repihan dedaunan musim gugur di Inggris. Menerpa angin musim dingin dengan tubuhnya yang jangkung dan selalu ingin tahu itu. Sementara dia akan menetap di sini. Di kota yang sama. Memperjuangkan hidupnya sendiri dan menjaga adiknya seorang diri.

Tanpa Marco.

Padahal beberapa hari yang lalu di loteng, cowok itu berkata akan selalu bersamanya. Sampai kapan pun yang Floriska ingin. Tapi kenapa Marco harus berkata seperti itu jika pada akhirnya dia harus pergi?

Terdengar derap kaki berlari di luar kelas, dengan cepat dan tangan gemetar, Floriska memasukkan semua kertas-kertas itu ke dalam tas Marco. Beserta Tupperware yang sejak awal dia pisahkan untuk dia simpan di tasnya sendiri.

“Flo, ternyata masih ada di sini, kirain udah di parkiran.” Marco berseru menghampirinya.

“Oh, aku baru aja ngeberesin barang-barangmu dulu,” jawab Floriska tanpa menatap wajah Marco. Tangannya menutup resliting lalu diberikan tas itu padanya.

Marco tersenyum menerimanya. “Makasih Flo,” ucapnya kemudian mencangklong tas tersebut di bahunya dengan santai. Tak menyadari bahwa saat ini, di dalam tas hitamnya itu ada sebuah informasi yang membuat sahabatnya itu mendadak merasa demam. “Kita jadi mampir ke perpustakaan kota kan? Ya, udah yuk berangkat. Kasian Bio nanti sendirian di rumah” ajaknya.

Floriska membiarkan Marco berjalan terlebih dulu beberapa langkah di depannya. Ditatapnya sosok sahabatnya itu dari belakang. Kenapa dia tidak menyadarinya sejak dulu? Kenapa dia begitu bodoh? Kenapa dia jadi terngiang ucapan Mbak Alma bahwa dia setumpul pinggiran buku? Mungkin wanita itu benar. Dia tidak peka dengan sekitar sebelum ditampar keras-keras.

Kedua tangan Floriska mengerat kaku. Marah dengan dirinya sendiri. Kenapa dia begitu mengandalkan Marco selama ini? Kenapa dia berpikir Marco selalu ada? Jika, pada akhinya Marco pun akan meninggalkannya sendirian, seperti kedua orangtuanya.

Seharusnya dia bangga bukan, memiliki sahabat secemerlang itu? Tapi kenapa dia merasa… sesak.

“Flo,” Marco berbalik. Menunggunya. “Kenapa diam di situ?”

Dipandangnya wajah Marco sesaat, Floriska mencoba mengendalikan diri. Perasaannya sekarang ini tumpah ruah tak terjelaskan. Kenapa sahabatnya itu bahkan tak pernah menceritakan rencana sepenting itu pada dirinya?

“Marco, kita langsung pulang aja ya? Aku kapan-kapan aja ke perpustakaan kota.”

Marco mengerutkan dahi sejenak, kemudian mengiakannya.

***

Malam itu, Floriska enggan sekali memasak. Dia hanya berdiri berlama-lama di bak cuci piring menatap sayuran yang dia akan masak. Ketika Marco datang dan menyapanya, dia tidak berpaling. Bukan tidak ingin. Dia hanya terlalu berat menghadapi kenyataan yang akan dia songsong tak lama lagi. Sendirian. Sekali lagi, dia akan ditinggalkan.

“Flo, mau bantu aku cuci sayurnya?” Tawar Marco sembari melipat kaus lengan panjangnya. “Aku udah laper banget nih, habis bantuin finishing sculpture Tante Sandra. Banyak banget dan semua bertema telanjang. Tahu nggak, beberapa hari yang lalu ada model-model cewek yang datang dan pergi dari rumah. Ternyata Tante Sandra bikin replika tubuh mereka.” Cerocosnya. “Tahu gitu, aku bantuin sejak Tante bikin replika.” Kekehnya iseng.

Floriska memejamkan mata sesaat. Perih.

“Hmm, begitu,” jawabnya kemudian dengan tak bergairah.

“Iya begitu,” Marco masih terkekeh. “Ya udah minggir biar aku cuci.”

Floriska tidak menyingkir, dia malah mengangkat kembali sayuran dari bak cuci, lalu berkata pada Marco.

“Marco, aku… bisa nggak aku nggak masak hari ini? Atau mau nggak kalau aku masak dadar telur aja?”
Marco terdiam sesaat, tapi kemudian mengangguk. “Aku sih nggak masalah. Bio, mau makan malam pakai dadar telur aja nggak?” seru Marco pada Bio yang mengerjakan pekerjaan rumahnya di ruang tengah.

“Mau, tapi pakai kecap sama bawang goreng,” jawabnya tanpa mengangkat wajah.

“Tuh, mau.” Sambung Marco lagi. “Kamu sakit Flo? Tamu bulanan?” dia bertanya lagi setelah beberapa saat ketika Floriska tidak kunjung menjawab. Terdengar cemas.

Floriska menggeleng lalu mengangguk. “Em ya, aku... cuma nggak enak badan sedikit. Kamu tahu lah kayak biasanya.” Dustanya. “Tapi aku masih bisa kok kalau cuma bikin dadar telur,”

Dia pun meletakkan kembali sayuran itu ke dalam kulkas dan meraih tiga telur di pintu kulkas. Dia tahu, Marco memperhatikannya, tapi dia berusaha menghindari kontak matanya.

“Kalau cuma dadar telur aku juga bisa kok, Flo.” Komentar Marco. “Kamu istirahat aja di kamar. Nanti aku panggil kalau udah selesai masak. Oke?”

Kemudian Floriska membiarkan cowok itu meraih telur-telur dari tangannya dan dilihatnya dia mengambil mangkuk dan garpu di rak. Dia bisa bertanya saat ini juga tentang rencana kuliahnya itu, tapi tidak. Dia belum mempersiapkan diri untuk mendengar jawabannya.

“Kalau gitu, aku tinggal ke kamar dulu ya?”

“Oke, nanti aku panggil,” jawab Marco sembari tersenyum ringan.

Floriska mengangguk, lalu berjalan melewatinya. “Bio, dadar telurnya dibuatin Kak Marco ya? Kak Flo sakit perut,” pamitnya pada Bio. Anak itu hanya mengangguk santai. Ketika dia menaiki tangga, dia kembali menoleh pada Marco yang mulai sibuk memecahkan telur.

Tanpa terasa, dia memang sudah terbiasa mengandalkan Marco sebagai penggantinya.

***

Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamar diketuk, seketika Floriska berpura-pura tidur.

“Flo, udah mateng nih, makan dulu.” Panggil Marco. Floriska tidak menjawab. Pintu itu diketuk lagi, hening, lalu terdengar derap langkah menjauh.

Floriska membuka mata dan menghembuskan napas pelan. Kini dia sendirian. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat kembali dan tanpa diketuk, pintu kamarnya dibuka perlahan. Dengan tergesa, dia meraih selimut menutupi badannya, berbaring memunggungi pintu dan memejamkan mata.

Dia tahu langkah berat itu Marco. Terdengar bunyi keramik membentur meja nakasnya, lalu dirasakannya Marco membetulkan selimutnya sampai menutupi sebatas leher. Dan cowok itu pun mematikan lampu sebelum keluar dari kamarnya.

Ketika cukup yakin Marco sudah turun, Floriska membuka mata, berbalik dan melihat segelas teh hangat dan sebotol pil penahan nyeri di meja nakas di sampingnya. Melihat semua itu jemarinya mengerat di tepi selimutnya.

------
------

Haloo ketemu lagi dengan Kairos

Bom part 1 udah ketahuan yaa^^

Minggu depan bom selanjutnya hihihi

See you next week...

Rela gak kalau Marco pindah ke luar negeri??

Ps : tadi bikin mv khusus part ini. Gak bagus sih, tapi aku suka lirik lagunya. Hehehe
Tom Waits ~ if i have to go
Cek di instagram @eymarcelyna ya.
Thank you 😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

915K 13.4K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
250K 23.8K 30
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.2M 220K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.6M 140K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...