Travelove

By urfavcalamari

67.3K 4.9K 206

Will be updated every Tuesday (hopefully) Start: May 1st, 2018, end: May 7th, 2019. ---------- Kia dan Bram t... More

2014 : 01
2014 : 02
2014 : 03
2014 : 04
2015 : 01
2015 : 02
2016 : 01
2016 : 02
2016 : 03
2017 : 01
2017 : 02
2017 : 03
2017 : 04
2017 : 05
2017 : 06
2017 : 07
2017 : 08
2017 : 09
2017 : 10
2017 : 11
2017 : 12
2018 : 01
2018 : 02
2018 : 03
2018 : 04
2018 : 05
2018 : 06
2018 : 08
2018 : 09
2018 : 10
2018 : 11
2018 : 12
2018 : 13
2018 : 14
2018 : 15
2018 : 16
2018 : 17
2018 : 18
2018 : 19
2018 : 20
2018 : 21
2018 : 22
2018 : 23
EPILOG

2018 : 07

1K 91 7
By urfavcalamari

beberapa menit selepas hari selasa. wakakak maap banget ya! hari ini distraksinya banyak, dan mereka semua unwanted. ah sudahlah.

halo, apa kabar? sehat? sudah siap baca kelanjutan kisah babang bram dan neng kia?

seperti biasa, read, vote, comment, dan bantu benerin typo ya ^^

enjoy!


---



Jakarta, Juni 2018, siang hari


"Happy birthday Kia, happy birthday Kia! Happy birthday, happy birthday! Happy birthday Kia!"

Begitu Kia melangkahkan kakinya ke lantai di mana ruangannya berada, tepuk tangan meriah pun menggema ke seluruh sudut ruangan. Lala muncul di hadapannya dengan membawa kue ulang tahun berwarna hijau—rasa pandan, yang akhir-akhir ini Kia sukai—beserta lilin menyala berbentuk angka '25' di atasnya. Rekan-rekan yang lain, bahkan Johan sebagai atasan Kia pun turut merayakan pesta kecil-kecilan di ruangan tersebut.

"Aw, terima kasih semuanya!" pekik Kia girang. Ia mengambil ancang-ancang untuk meniup lilinnya.

"Eits!" Lala segera menyingkirkan kue tersebut dari hadapan Kia. "Make a wish dulu, Ki. Baru boleh tiup lilin!"

"Ih, tiap hari gue juga berdoa, Mbak," sungut Kia.

"Oy, ini kan hari istimewa lo. Hari ini doanya dibanyakin, soalnya bertambahnya usia itu sama dengan berkurangnya umur. Gih!"

"Eh, ulang tahun gue udah lewat kali, Mbak. Cuma kemarin masih cuti bersama libur lebaran. Pas hari itu gue udah banyak-banyak berdoa!"

"Kayak amalan lo udah cukup aja, Dek. Gih sana, berdoa yang baik dan benar! Jangan cuma EYD yang kudu baik dan benar!"

Sementara yang lain tertawa, Kia hanya bisa cemberut karena apa yang Lala bilang itu benar. Tapi akhirnya Kia memanjatkan doa sesuai yang dipinta seniornya itu. Mendoakan dirinya sendiri agar diberi usia yang panjang, kesehatan, perlindungan, agar tetap mengingat Tuhannya, kesempatan untuk lebih berkembang, serta kebahagian bagi dirinya dan orang-orang terdekatnya.

Juga doa untuk Bram.

Agar selalu bahagia, dengan atau tanpa dirinya.

"Bujuuuggg, lu lama bener sih berdoanya? Ini bukan salat tarawih, Kia!" omel Lala. "Cepetan potong kuenya, gue belum sarapan nih..."

Kia menjulurkan lidah mengejek. "Salah sendiri!"

Tapi bukannya Kia, malah Johan yang meniup lilin dan memotong kue tersebut dan menaruhnya di piring kertas yang dipegang oleh Udin. Dengan santainya dia mulai mengunyah kue tersebut sementara yang lain melongo. Lebih-lebih Kia, karena kue itu seharusnya dia yang potong.

Johan melirik ke para bawahannya. "Kelamaan cing-cong sih kalian. Kamu juga, Kia. Doain siapa aja sampai lama begitu? Warga se-RT? Kamu nggak kasihan sama saya yang tadi kehabisan nasi uduk langganan saya gara-gara sayanya bangun kesiangan? Ya udah, karena kelihatannya kalian juga masih lama berdebat, saya potong sendiri aja kuenya," jelasnya santai. "By the way, selamat ulang tahun ya, Kia. Habis ini ke ruangan saya!"

Johan pun membawa kuenya pergi menuju ruangan kerjanya, meninggalkan para bawahannya yang mengernyit dan melongo melihat kelakuannya. Tak terkecuali Kia.

"Bos lo kenapa tuh? Kurang minum air putih?" tanya Lala kepada Udin.

"Kan doi tadi udah bilang, belum sarapan. Nasi uduk langganannya habis, kan," jawab Udin. "Eh, itu bos lo juga kali!"

"Eh, udah-udah, jangan berteman terus. Eh, berantem maksudnya," sela salah satu rekan Kia, Edo. "Ki, mendingan itu kue cepetan deh lo potong. Biar lo habis ini bisa ke ruangan Pak Johan!"

Kia menepuk pelan dahinya, lalu mulai memotong kue tersebut dan membagikannya kepada para rekan kerjanya yang untung saja tidak terlalu banyak.


*


"Bapak manggil saya?" tanya Kia dari balik pintu ruangan Johan, dengan kepala melongok ke dalam.

Johan yang sedang membaca berlembar-lembar kertas yang dijadikan satu bendel pun menoleh ke arah pintu. Kacamatanya dilepas.

"Sudah selesai pestanya?" Johan balik bertanya.

"Sudah, Pak."

"Masuk dulu, Kia. Duduk situ," titah Johan seraya menunjuk sofa di ruangannya.

Kia pun menuruti atasannya. Dia masuk ke ruangan Johan dan duduk di sofanya, menunggu hingga Johan ikut duduk di sofa seberang tempatnya duduk. Johan meninggalkan kertas-kertasnya di meja, lalu bergabung dengan Kia.

"Jadi, lusa kita akan ke Semarang," tembak Johan langsung. "Saya dan kamu saja, sih. Naik pesawat."

Jantung Kia serasa melewati satu degupan mendengar kata Semarang. Mendadak dia cemas akan bertemu dengan seseorang yang tinggal di sana, yang sudah jarang berkomunikasi dengannya meskipun sekali atau dua kali masih saling sapa di WhatsApp.

"Kenapa... ke Semarang, Pak?" tanya Kia. Dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya.

"Saya ada pertemuan dengan beberapa pemilik hostel di sana. Ada rencana untuk bekerja sama dengan mereka, entah mungkin soal berlangganan majalah cetak kita dan nama hostel mereka bisa masuk ke dalam daftar agen resmi kita, atau kita mengadakan hadiah anniversary Wartawara paket liburan ke Semarang dengan hostel mereka sebagai salah satu akomodasinya."

Kia mengangguk sekali dengan berat. "Lalu... saya di sana ngapain, Pak?"

"Ya nulis artikel, dong. Sejak segmen Travel didirikan, kita belum pernah menjajal Semarang secara khusus babar blas. Jadi kamu nanti akan saya antar ke tempat-tempat yang direkomendasikan. Dengan begitu, saya juga bisa langsung koreksi artikel yang kamu buat, kan?"

"I...iya sih, Pak."

"Oke, berarti fix ya. Kita berangkat lusa, nanti saya kirim via WhatsApp soal detail jadwal penerbangan kita. Kemungkinan besar pagi, jadi kamu kalau sedang tidak berhalangan, saya sarankan salat subuh di bandara saja. Mengerti?"

"Mengerti, Pak."

"Ya sudah, kamu boleh kembali bekerja," ujar Johan akhirnya. "Eh, artikel soal kuliner backpacker friendly Jakarta sudah selesai?"

Kia yang hendak beranjak dari tempat duduknya pun mengurungkan niatnya. "Sebentar lagi jadi, Pak. Paling lama lima belas menit lagi sudah sampai ke email Bapak."

Johan mengangguk. "Good. Kamu boleh kembali kerja, Ki."

"Terima kasih, Pak," ucap Kia singkat dan langsung keluar dari ruangan Johan.

Kia sangat paham jika segmen Travel milik Wartawara sedang mencanangkan program baru yaitu menerbitkan majalah cetak sendiri secara eksklusif, terpisah dari induknya Wartawara, di mana majalah tersebut hanya dapat ditemukan di tempat-tempat akomodasi wisata seperti hotel, hostel, dan objek wisata di seluruh Indonesia. Tentu dengan catatan bahwa antara segmen Travel dan pihak penyedia akomodasi menanda tangani MoU.

Karena seluruh Indonesia, jelas Semarang juga termasuk. Kia ingat, dulu dalam obrolan-obrolannya dengan Bram, pria itu berandai-andai jika Kia bertugas meliput di Semarang. Sebelumnya, secara sangat kebetulan mereka punya jadwal yang sama ke Surabaya, sehingga mereka bisa janjian bertemu. Sekarang, seharusnya dinas ke Semarang pun bisa mempermudah akses ketemu dengan Bram...

Tapi itu jika Kia tidak sekeras kepala itu untuk mengurangi intensitas komunikasi dengan Bram.

Sebetulnya, Kia tidak tahu apakah status hubungan mereka masih pacaran atau sudah putus. Masalahnya, di antara mereka tidak pernah ada kata putus, tapi jadi jarang kontak. Lebih tepatnya, Bram menyapa Kia di aplikasi chatting namun gadis itu tidak selalu membalasnya. Jika memang membalas pun, pesannya pendek-pendek.

Bukannya Kia sudah tidak lagi mencintai Bram. Dia hanya masih belum dapat menata hatinya. Kia sendiri membenci kerapuhan hatinya yang terlalu insecure dengan fakta bahwa Bram dan Fay pernah menjalin hubungan, meskipun tidak sampai pacaran. Pikiran itu diperkeruh dengan munculnya anggapan baru bahwa Bram dan Fay mungkin akan terlihat lebih serasi dibandingkan jika dengan dirinya...

Astaga. Belum ke Semarang aja udah butek nih pikiran, batin Kia.

"Dinas lagi lo?" tanya Lala yang dijawab anggukan lemah oleh Kia yang sedang berjalan menuju kubikelnya sendiri. "Ke mana?"

Kia baru saja duduk di kursinya lalu menjawab, "Semarang."

"Oh... Semarang. Deket, dong," celetuk Lala. Kemudian dia mengernyit begitu teringat sesuatu. "Hah?! SEMARANG?! Tempetnya cowok lo?!"

Lagi, Kia mengangguk lemah.


*


Semarang, Juni 2018, pagi menjelang siang hari


Dua hari setelahnya pada pukul sembilan pagi, Kia sudah berada di pusat kota Semarang. Tepatnya dalam perjalan menyusuri Semarang, menggunakan taksi daring yang Kia pesan untuknya dan Johan. Johan duduk di kursi samping supir dan mengobrol dengannya, sementara Kia menatap ke luar kaca jendela mobil, mengamati Semarang lebih lekat.

Sebenarnya, keluarga besarnya juga tinggal di sini. Bunda sebetulnya asli Semarang, tapi kemudian pindah ke Jogja setelah menikah dengan mendiang Ayah. Dulu Kia memang sering ke Semarang, terutama saat libur lebaran. Hanya saja karena kakek dan neneknya sudah meninggal, ditambah ayahnya pun juga sudah tiada, keluarga Kia jadi jarang ke Semarang. Lebaran yang baru saja lewat pun keluarganya tidak ke kota ini. Toh hanya Kia dan Dirga yang pulang ke rumah, sementara Fay ikut Yudha pulang ke rumah orang tua kakak iparnya itu.

Awalnya Bunda menawarkan untuk pergi ke Semarang agar beliau dapat bertemu dengan Bram, namun Kia menolak dengan alasan dirinya lelah setelah menempuh perjalanan dari Jakarta. Berdesakan dengan banyak orang di Stasiun Pasar Senen sudah membuatnya pusing. Alasan lainnya adalah bahwa Dirga sedang pulang bersama Hera, Rio, dan adik Rio yang masih dalam kandungan. Kia khawatir Hera akan semakin lelah jika mereka betulan pergi ke Semarang. Kia tidak berbohong untuk alasan yang terakhir, dia memang khawatir terhadap Hera. Untunglah Bunda mengerti, sehingga mereka berlebaran di Jogja saja.

Pada hari lebaran dan ulang tahunnya kemarin, Bram meneleponnya. Karena percaya dengan iktikad baik Bram, Kia mengangkatnya. Bram mengucapkan kalimat klise namun penuh makna yang terkenal saat lebaran—mohon maaf lahir dan batin—dan diikuti oleh permintaan maaf atas kurangnya kepekaan terhadap perasaan Kia. Kia pun meminta maaf karena dirinya telah egois.

Pada hari ulang tahunnya, Bram meneleponnya lagi. Pria itu memanjatkan doa yang berbeda dari yang diucapkan oleh orang lain kepadanya, namun tetap merupakan doa yang baik. Bram berdoa agar hati Kia dilapangkan dan masih membukakan pintu hati untuknya.

Jadi, inilah kota di mana Bram lahir dan dibesarkan. Andaikan Kia tahu sejak dulu, dia sudah pasti akan sering-sering ke Semarang. Mendadak Kia bertanya-tanya bagaimana keadaan Bram saat masih sekolah dulu. Nakalkah, atau malah justru anak baik-baik? Populer atau kaum tersingkir?

Kia menghela nafas. Ketidaktahuannya mengenai Bram sedikit membuatnya frustrasi. Makin frustrasi lagi ketika Kia bertanya dalam hatinya, seberapa banyak yang Fay tahu tentang Bram.

Taksi daring mereka sampai di suatu rumah. Kata Johan, itu adalah rumah saudaranya yang bersedia meminjamkan mobil sebagai transportasi mereka selama di Semarang. Namanya Edwin. Mobilnya sedan tipe city car, tapi karena mereka hanya berdua, itu sudah lebih dari cukup.

"Eh, mobilnya belum gue cuci," ujar Edwin sambil cengengesan. "Lo cuciin dulu, ya? Hari ini lo fully packed, nggak? Belum, kan?"

Johan berdecak kesal. "Ya udah sini gue bawa ke cucian mobil. Lo yang bayar tapi!"

"Beres itu mah! Nih ongkosnya," kata Edwin seraya memberikan sejumlah uang untuk Johan. "Cucinya di deket sini aja, namanya Pluto. Di situ lebih murah tapi lebih bersih. Dari mulut gang itu, lo nanti belok kiri. Pluto-nya pas sebelah minimarket merah, kalau dari sini berarti setelahnya. Nanti kiri jalan. Nggak jauh-jauh amat, kok."

"Iye-iye. Gue cabs dulu!" pamit Johan. Kia pun mengikutinya masuk ke mobil.

"Eh, lo bawa-bawa anak gadis jangan lo macem-macemin, Jo," Edwin berpesan sebelum Johan meninggalkan pekarangan rumah Edwin.

Johan menggeram kesal. "Berisik banget sih lo! Sama petasan renceng kagak ada bedanya! Udah ah, gue cabut dulu!"

"Pelan-pelan cabutnya biar enak!"

Johan pun melontarkan sumpah serapah, diikuti dengan acungan jari tengah. Barulah kemudian dia melajukan mobil keluar dari rumah Edwin.

Kia yang duduk di samping supir menahan muka yang memerah akibat mendengar percakapan laknat antara Johan dengan saudaranya. Menyadari itu, Johan langsung minta maaf.

"Maaf ya, Ki. Edwin mulutnya kayak ember bocor. Udah gitu nggak ada filter-nya, lagi. Jadi, yang tadi itu nggak usah kamu pikirin, ya."

"Iya, Pak," ucap Kia pelan.

Akhirnya mereka sampai di tempat cuci mobil langganan Edwin. Ada seorang karyawan cuci mobil tersebut yang mengenali mobil Edwin dan langsung mendatanginya, namun terkejut ketika yang muncul dari dalam bukan si pemilik mobil.

"Saya saudaranya Edwin, sedang pinjam mobilnya. Edwin tadi pesan untuk nyuciin mobilnya di sini," jelas Johan kepada sang karyawan tersebut.

"Oh begitu, baik Pak. Nama saya Doni, saya yang akan mencucikan mobil ini bersama beberapa karyawan lain," ujar karyawan tersebut. "Bapak dan mbaknya bisa duduk-duduk dulu di sofa dalam, Pak. Sekaligus bisa pesan makanan dan minuman."

Kia bersorak dalam hati. Dia sudah sangat lapar. Maka dia mengikuti Johan ke ruang tunggu dalam yang bersofa dan ber-AC, sambil membayangkan makanan apa saja yang tersedia di sana.

Hanya saja, Kia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan melihat Bram begitu pintu ruang tunggu terbuka.


***

Continue Reading

You'll Also Like

153K 6.8K 21
Setelah yakin dan meyakini kedua orangtua Amira bahwa Bastian serius, serius untuk menikahi seorang Amira, saat itulah terjadi pernikahan diantara me...
24.7K 2.4K 17
pluem have a crush on his bestfriend who already like someone else. Knowing how hard it's feel, as a good friend, he decided to buried his feelings a...
18.1K 1.5K 32
Marissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikh...
288K 23.9K 25
Quina tidak pernah tahu seperti apa dongeng Cinderella itu. Kata temannya, Cinderella itu si upik abu yang menikah dengan pangeran tampan dan pastiny...