My New Boss #Googleplaybook #...

Par AchelliaSugiyono

328K 29.6K 1.5K

#Cerita ini dibuat untuk mengikuti kompetisi Grasindostoryinc 2018. Hai, nama gue Arimbi, dan gue pengen ceri... Plus

Cast
Prolog
Pangsit Cik Ma
Kawinan Mantan
New Boss
Akward
New Rules
Team
Sisterhood
Meet My New Boss
Sofitel Bali
Mulut Singa
Lubang Buaya
THE VILLA
Mid - Night
Back to Office
Hard Day Ever
Bali - Part I
Bali - Part II
BALI PART III
Gala Dinner
Night
Back To Jakarta
You Again
You ?
BAB BARU
Singapore
Day 1
Day 2 - Mid Night
Day 3
Day 4
Day 4 - Part II
Day 5
One Day Left
The Last Day
Camer
What?
Hai
E book or Cetak
The Night Before
My Day
Camilia
Kesepakatan
Jealous
Jealous Video
Another Reason
Hai
Thank You
News !!
POD
Ebook
Giveaway
News
Ralat

Being a Stalker

7K 636 20
Par AchelliaSugiyono

Jam Sembilan malem dan gue baru kelar meeting dengan dua klien. Meeting pertama gue jam dua siang. Setelah bos gue yang super annoying itu pergi, gue ketemu klien kedua gue dan baru aja kelar. Gue terhuyung ke meja gue dan saat ini udah pukul sembilan malam. Semua energi gue udah hampir habis saat tiba-tiba gue mendengar suara tik tok tik tok, ketukan stiletto yang menhentak-hentak menuju ke arah gue.

"Kelar meeting-nya?" Tanya bos gue sambil melintas di hadapan gue dengan kecepatan ngalahin kecepatan Sinkansen.

"Yes mam" Jawab gue singkat, entah dia masih mendengar atau tidak. Dan sesaat setelah gue menjatuhkan kepala gue ke meja, gue mendengar suaranya lagi.

"Report-nya saya tunggu di ruangan saya, sekarang!" Dia selalu dating satu paket dengan perintah, dan itu sudah semacam satu tambah satu sama dengan dua, which is hukumnya adalah mutlak.

"Yes mam." Gue segera meraih map biru di hadapan gue dan membawanya masuk ke ruangan si bos.

"Ini report-nya mam, mereka masih minta revisi di beberapa bagian kontrak yang saya warnai merah." jelas gue.

"Ok." Katanya tanpa menatap ke arah gue, dia masih sibuk dengan smartphone di tanganya dan dalam hitungan detik dia menerima panggilan telepon dengan bahasa Prancis, dan memberikan isyarat agar gue keluar dari ruangannya. Entah jam berapa dia akan melepaskan gue dari cengkeramannya.

***

Gue termangu menunggu dia memberikan aba-aba agar gue bisa pulang, tapi sebelum itu seorang pria muda yang tampan tampak menghampiri meja gue.

"Hi." Sapanya ramah, gue melongo antara yakin nggak yakin apakah pria itu nyata atau justru halusinasi gue, mengingat jam segini tingkat kesadaran gue semakin perlu dipertanyakan. Gue menurunkan tangan dan mencubit paha gue sendiri, "auw . . ." sakit sih, berarti ini beneran.

"Hai." Sapa gue balik. Pria ini begitu tinggi, mungkin tinggi badannya sekitar 185 cm, berwajah oriental, dan gaya berpakaiannya smart casual, sangat kekinian.

"Saya mau bertemu Mss. Chatala." Katanya masih dengan wajah ramah.

"Oh, sebentar." Gue segera menekan tombol untuk membuat panggilan ke bos gue.

"Ya." Jawabnya cepat.

"Seorang pria ingin menemui anda mam."

"Suruh dia masuk." Perintahnya.

"Baik."

Gue meletakan gagang telepon di meja gue dan bangkit dari tempat duduk gue.

"Mari ikut saya." Gue berjalan mendahului pria itu dan membuka pintu ruangan bos gue untuknya.

"Thanks." Katanya sambil tersenyum kemudian masuk, baru setelahnya pintu gue tutup.

"Gila juga ni bos gue, bisa banget cari brondong ganteng." Batin gue.

Sementara itu gue terhuyung kembali ke meja gue, mungkin cowo itu bakalan lama di dalam ruangan bos gue, dan itu berarti gue punya waktu yang cukup untuk sekedar merebahkan diri gue di kursi yang sebenernya cukup nyaman ini. Gue membanting badan gue ke atas kursi dan menikmati leher gue disangga oleh penyangga kursi yang empuk.

"Ah . . ." Sedikit menggeliat, memberikan sensasi pergeseran tulang-tulang gue, juga otot-otot gue yang tadinya tegang menjadi sedikit lebih rileks.

***

"Bangun!" Gue terlonjak ketika mendengar seseorang mengetuk-ngetuk meja gue, shit itu bos gue, dan dia udah menenteng tas di tangannya, sementara pria itu berdiri di belakangnya, tersenyum ke arah gue yang sedang sibuk merapikan rambut gue, dan memastikan bahwa gue nggak sempet ngiler pas ketiduran tadi.

"Nggak mau pulang?" Tanya bos gue sambil tersenyum, sumpah, ini kali pertama gue lihat dia tersenyum, dan ini juga kali pertama gue melihat dia melilitkan tangannya di lengan seorang pria. Mereka berjalan meninggalkan gue yang sibuk mengumpulkan nyawa gue yang sempat berceceran.

Saat gue melihat jam tangan, sudah jam sepuluh, itu berati sejam gue ketiduran dengan nyenyaknya, dan sejam juga meraka berada didalam ruangan itu berdua. Ngapain?

"Nggak semua yang terjadi di dunia ini harus jadi urusan lo, Bi . . ." batin gue menasehati diri gue sendiri.

Setelah mematikan semua piranti computer, gue bergegas turun, menuju lobi dan berharap bahwa ojek online yang gue pesan barusan udah sampai dan menunggu gue di depan kantor.

"Ting." Pintu lift terbuka dan sial bener, gue baru ngeh kalau hujan lebat di luar.

Nasib, bisa nggak sih ramah ke gue barang sehari aja? Udah seharian capek setengah mati, kepergok ketiduran sama si annoying bos dan berondongnya yang super ganteng, dan udah jam sepuluh malem, mau balik, cuman naik ojek, malah ujan deres banget.

Gue menunggu di loby sementara seluruh penghuni gedung ini mungkin saja sudah keluar. Siapa yang bisa gue hubungi? Bokap sama nyokap nggak mungkin, abang gue juga lagi di luar kota, dan kakak perempuan gue lagi hamil, lagian nggak enak juga sama suaminya kalau minta jemput dia.

"Belum balik?" Suara itu membuat gue menelan ludah, semakin malam gue semakin nggak yakin dengan tingkat kesadaran gue. Dan saat gue menoleh bener, suara itu gue kenal banget, dan itu adalah Edwin. Gue melihat dia masih menyelempang drafting tube di pundaknya. Kesialan yang sempurna untuk hari ini.

"Belum." Jawab gue singkat, sambil beringsut menjauh, berpura-pura mengecek hujan dengan menegadahkan tangan gue, padahal jelas-jelas hujan masih deres banget, demi apa? Demi biar gue nggak berada di sekitar dia.

"Mau bareng pulangnya?" Tanyanya ikut-ikutan menengadahkan tangan ke langit, ini gue doang yang stupid atau stupidity itu menular sih? Kok dia juga jadi ikutan aneh.

"Duluan aja, saya udah pesen ojek kok." Gue mundur, dan dia masih berada di posisi dekat gue berdiri tadi, terkena terpaan tampias hujan.

"Ok, saya duluan." Katanya menoleh ke arah gue sambil melempar senyum, sebelum akhirnya lari-lari kecil ke arah parking area yang ada di luar gedung. Dan beberapa menit kemudian mobilnya melintas di hadapan gue, menyisakan cipratan air hujan yang tadinya sempat tergenang. Ngilu, nyeri, entah bagaimana menggambarkan perasaan gue saat ini. Pas lagi cinta-cintanya, dan udah lima tahun juga, dengan alasan "sering berantem" kami akhirnya menyerah untuk hubungan kami, dan sekarang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dia bisa menemukan wanita lain yang fit dengannya dan siap dia nikahi. Ironis banget nggak sih dunia ini.

Apa iya selama lima tahun ini yang cinta hanya gue?

Apa iya selama lima tahun ini yang berjuang hanya gue?

Gue berjalan menerobos hujan begitu saja, seperti bulir-bulir air hujan yang ternyata sudah tidak sederas tadi jatuh begitu saja tanpa menyalahkan angina yang sudah membuatnya jatuh, mungkin gue juga harus seperti itu. Mengingat pesan eyang gue, apapun yang terjadi dalam hidup kamu, kamu harus menerima dengan legowo, karena semua sudah tertulis di telapaktanganmu. Tidak ada yang kebetulan. Dan termasuk kandasnya hubungan gue dengan Edwin, ini juga bagian dari takdir yang harus gue terima dengan legowo.

"Mba Arimbi?" Tanya seorang pria yang tampak basah kuyup berselimutkan mantol model kelelawar.

"Iya." Angguk gue.

"Ini helmnya mba. Mau pakai mantol dulu?" Tanyanya.

"Nggak usah mas, udah kadung basah juga." Jawab gue.

"Yakin nih mba?"

"Iya yakin." Gue menerima helm itu dan memakainya sebelum akhirnya membonceng si mas ojek. Dan sepanjang perjalanan, gue bisa menangis tanpa ada orang yang menyadari.

***

Sesampai gue di rumah, nyokap sama bokap masih ngobrol di ruang tengah. Kakak perempuan sama kakak ipar gue di depan TV lagi milih-milih stroller yang mau mereka beli di lapak dagangan online, dan gue melintas begitu saja tanpa mereka peduli, masuk ke kamar gue dan segera membersihkan diri gue, mandi.

Selesai mandi, gue keluar kamar dan melihat TV sudah dimatikan, kakak dan kakak ipar gue udah pindah lapak. Masih dengan handuk yang terlilit gue berjalan ke ruang makan, berusaha menemukan sisa-sisa makanan yang bisa gue kunyah sebelum akhirnya tidur. Tapi gue sedikit terkejut melihat nyokap ada di dapur.

"Ngapain mah?" Tanya gue, melihat apa yang nyokap lakuin di depan kompor.

"Manasin kepiting asam manis kesukaan kamu, mama sengaja sisain buat kamu." Kata nyokap sambil terus mengaduk-aduk masakan di atas kompor.

"Oh." Gue berjalan ke arah lemari pendingin dan menemukan juice jeruk dingin di sana, menuang setengah gelas dan meminumnya. Rasanya jadi pahit, karena gue habis sikat gigi.

"Nih makan dulu." Nyokap menyajikan kepiting asam manis yang tentunya super pedas diatas piring dengan satu piring nasi hangat. Ah pengen nangis lagi. Dari semua orang di rumah ini, cuman nyokap yang paling peduli sama gue. Bokap juga sih. Abang sama kakak gue juga lumayan peduli by the way.

"Mamah kalau mau tidur duluan nggak papa lho, habis ini Bi juga mau tidur kok." Gue mempersilahkan nyokap tidur, karena gue tahu banget, nyokap juga pasti super capek, sedari pagi ngurusin pesenan snack dan catering makanan di kantor bokap.

Sembari memakan kepiting dengan satu tangan gue, satu tangan gue yang lain sibuk dengan kegiatan jahat netijen, apalagi kalau bukan stalking? Mantan gue emang bukan pengguna social media yang baik, dia cuman punya akun Instagram, itu juga fotonya satu, gambar puddle doang. Tapi gue tau akun calon bininya dan kebetulan nggak di private. Ini saatnya gue melakukan penelitian, apa yang sebenarnya di miliki wanita itu, yang nggak gue miliki sih?

Ok, check this one out, hasil stalking gue.

Emang sih, dia cantik, pinter ngerawat diri, dan tahu bagaimana berpenampilan menarik. Gue rasa dia juga dari kalangan yang bukan "B-aja" kaya gue. (Biasa aja - maksudnya) Mungkin ni cewe juga anak orang kaya, atau pengusaha gitu. Ah . . .

Di akun sosial medianya hanya ada ratusan foto selfi dan liburan, dia bahkan jarang men-tag teman-temannya, kecuali satu foto dia bareng sama Viona.

Dia bahkan hanya mengunggah satu fotonya Bersama Edwin. Kenapa di mata gue foto itu "kaku" nggak luwes, seperti di buat-buat dan wajah Edwin juga tertekan.
Gue yang baper liatnya kali ya.

"Arimbi, kalau gini terus lo bakalan sakit sendiri. Lo bakalan makin susah move on" siapa lagi yang bisa menasehati gue selain diri gue sendiri?

Gue menjatuhkan ponsel gue ke meja dan menceburkan kedua tangan gue ke kuah kental kepiting untuk mencabik-cabik setiap sisi cangkang dan melumat dagingnya.

brrrttt brrrrttt

Sialan, giliran tangan lagi kotor-kotornya ada pesan masuk. Gue bergegas mencuci tangan, nggak tahu sih siapa yang kirim pesan malem-malem begini, dengan tangan setengah basah yang gue lap ke kaos pink yang gue pakai, gue buka lock schreen ponsel gue.

"Besok meeting jam 7 pagi, don't be late!"

Anoying boss.

Super, di jam 23.34 menit, dia mengirim pesan yang intinya besok jam 7 gue udah harus sampai kantor, it's mean gue harus berangkat dari setengah enam pagi dan it's mean juga kalau gue harus bangun subuh buat prepare, kenapa nggak dia bilang aja sekalian, "Jangan tidur, siapin meeting besok!"

Sumpah, gue khawatir bos gue lupa soal aturan jam kerja. Kantor itu mulai oprasional setengah sembilan pagi dan selesai setengah enam sore, lima hari kerja, sabtu setengah hari kadang, yang penting empat puluh jam kerja terpenuhi, nah gue, jam tujuh teng udah harus ada di kantor, emang ini sekolahan apa?

Bingung antara pengen marah atau nangis

Arimbi, gini amat ya kerja sama orang.

Apa gue resign terus bantuin nyokap ngurus catering di kantor bokap aja ya?

Tok Tok

Tiba-tiba kepala mama menyembul dari balik pintu, memastikan gue udah tidur belum.

"Belum tidur?" Tanya mama.

"Belum." Gue bergegas meletakan ponsel gue dan menarik bantal ke pangkuan, mama masuk dengan segelas air putih, karena biasa gue selalu menyediakan segelas air putih di dekat tempat tidur.

"Makasih ma."

Nyokap nggak langsung pergi, dia duduk di tepi ranjang, ah, bakalan ngobrol "berat" kalau udah kaya gini.

"Bi. . . "Suara mama selalu terdengar adem di telinga gue, semarah apapun dia.

"Yap." Gue nggak pengen suasana menjadi mencekam kalau gue jawabin serius juga.

"Soal Edwin . . ." Mama menggantung kalimatnya.

"Ah, Bi males bahasnya ma." Gue nggak pengen bahas dia lagi please.

"Nggak tau kenapa mama nggak sreg sama dia, mama minta maaf kalau perkataan mama beberapa hari lalu bikin kamu sedih."

"Ma, Bi nggak papa, lagian Edwin juga udah mau nikah." Jawab gue sambil beringsut ke arah nyokap, sementara tatapan nyokap gue jelas terkejut. Karena kami sempat bersitegang ketika gue bahkan udah putus sama Edwin demi apa, demi agar gue bisa balikan sama Edwin dan nikah.

"Bi, kamu serius?" Nyokap masih belum percaya, dan gue beringsut semakin dekat, merebahkan kepala gue di pangkuannya, dan gue hanya bisa menangis di sana. Nyokap mengusap-usap kepala gue, seperti ketika gue masih kecil, setiap kali gue kalah bertengkar dari kakak perempuan gue. Nyokap selalu jadi tempat berlindung dan berkeluh kesah.

"Kamu harus kuat, laki-laki nggak cuman Edwin." Bisiknya.

"Bener kata mama."

"Mama nggak bermaksud membuat kamu sedih, mama justru berpikir untuk mengalah dan memberi restu untuk kamu dan Edwin. Apapun demi kebahagiaan anak mama."

Dan tangis gue menjadi mendengar kalimat nyokap yang terakhir.

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

1M 48.2K 38
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
322K 4.4K 10
"Because man and desire can't be separated." 🔞Mature content, harap bijak. Buku ini berisi banyak cerita. Setiap ceritanya terdiri dari 2-4 bab. Hap...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
713K 139K 46
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...