Head Over Heels (Kisah Cinta...

Bởi sagirangisme

154K 13.1K 1.1K

Samudra Joseph Reagan dan Luhara Lituhayu putus di malam anniversary ke-7 mereka. Selain karena orangtuanya... Xem Thêm

Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels
1. Sam
2. Luh
3. Sam
4. Luh
5. Sam
6. Luh
7. Sam
8. Luh
9. Sam
10. LUH
11. Sam
12. LUH
13. SAM
14. Luh
15. Sam
16. Luh
17. Sam
18. Luh
19. Sam
20. Luh
21. Sam
Basa-basi Part 2
1
2
4
5
6
7
8
9
10
Hai, Halo
Kabar terbaru dari Sam dan Luh

3

2.6K 226 32
Bởi sagirangisme


Akhirnya, sebagai seorang mantan PHP saya merasa bangga karena sudah menunaikan janji saya buat posting bab 3 setelah molor dua minggu. Baiklah, pembaca setia HOH yang lelah di PHP, babang kasih bab 3 dan postingan sebelumnya masih berlaku, dan silakan dijawab pertanyaannya.


Selamat menyelami kerumitan Sam dan Luh...

SAM

KADANG-KADANG gue melamunkan suatu hari gue terbangun dan beberapa hal dalam hidup gue berubah.

Begitu keluar kamar dalam keadaan siap ngantor misalnya, gue mendapati Luh sedang nyiapin roti bakar di dapur. Gue menyapa selamat pagisambil tersenyum, terus dia menoleh, membalas dengan sapaan serupa ditambah senyuman lebar yang akan membuat siapa pun yang melihatnya seperti punya jaminan bisa melewati hari dengan sempurna. Gue mengempaskan tubuh ke kursi meja makan sambil mencomot dua lapis roti bakar yang udah dibuatnya. Saat gue mau melahapnya, tangannya yang lembut mencengkeram pergelangan tangan gue.

"Itu roti srikaya buat pacar aku, Sam. Yang selai cokelat buat kamu lagi aku bikinin."Lalu dia mengambil dan menaruh kembali roti dari tangan gue ke piring. Setelah itu gue mulai membahas kalau gue selalu suka sarapan di apartemen bukan karena roti bakar buatannya paling enak sedunia. Tapi karena pacar gue lebih senang bikinin gue kopi di kantor, dan baginya itu udah lebih dari cukup sebagai sarapan sementara buat gue sama sekali nggak ngenyangin. Setelah itu dilanjut dengan obrolan ringan untuk memulai aktivitas harian kami sebagai seorang teman yang kebetulan tinggal bareng seapartemen.

Tapi seringnya gue menarik kembali lamunan gue itu, mengubah skenario lain yang diinginkan hati gue. Gue terbangun di pagi hari, siap-siap berangkat, dan saat ke dapur, gue mendapati Luh sedang memanggang roti. Lalu, saat gue mengambil dan hendak melahap yang sudah tersaji di piring, dia buru-buru nyegah, "Itu roti selai srikaya punya aku, sayang. Yang buat kamu masih aku bikinin nih. Yang sabar, ya. Entar dikasih sarapan lebih."Kalimatnya dibarengi dengan seringaian nakal, dan gue sebagai suami ngerti apa maksudnya.

Ya, ngimpi aja terus gitu, Sam.

Memang nggak ada jaminan kita bisa melupakan seseorang yang pernah tinggal lama di hati, mengisi hari-hari kita dan membayangkan dia ada dalam rencana masa depan hidup kita. Kapan hari gue sempat buka-buka dan baca artikel majalah di ruang tunggu kantor. Splash, Slash atau Squash, gue nggak ingat nama majalahnya yang bener yang mana. Mereka menyebut kalau melupakan adalah proses terberat sekaligus terpanjang ketimbang jatuh cinta itu sendiri, yang bisa saja terjadi dalam hitungan detik. Dalam film Before Sunrise, artikel itu memberi contoh, proses jatuh cinta dimulai saat Jesse melihat Celine yang berpindah tempat duduk ke seberangnya dalam sebuah perjalanan. Mereka mengobrol di restoran dalam gerbong kereta, Jesse iseng nyeletuk kalau dia bakal menyesal seumur hidup kalau nggak mengatakan kegilaannya untuk mengajak Celine ikut turun di Vienna. Dan dalam waktu yang amat singkat itu mereka bisa jatuh cinta. Sementara melupakan adalah perkara berbeda.

"Kopi, Sam?"

Gue mendengar suara renyah yang khas di dekat gue. Begitu menoleh, gue mendapati Kintani berdiri di dekat kubikel dengan memegangi dua cangkir yang mengepulkan aroma wangi.

"Moccachino, bener, kan?"Dia mengangsurkan salah satu cangkir kopi yang biasa gue minum itu ke gue.

"Eh, thanks, Kin." Dengan kikuk gue menerimanya. "Tadinya gue mau bikin sendiri, tapi ya gimana lagi kalau udah begini." Gue memperlihatkan cengiran ke arahnya.

"Karena sejak tadi gue liatin elo kalau nggak masang wajah ngantuk, ya wajah cengo kayak besok mau ditembak mati gitu." Kintani tertawa, dan seharusnya dia nggak secantik itu dengan tawa lebar yang memperlihatkan susunan giginya yang rapi.

Kadang-kadang gue heran kenapa cewek ini masih bekerja di Aegis Advertise, kantor agensi periklanan yang menurut Irham levelnya hanya pertengahan dari agensi periklanan lain. Kintani bisa menjadi bagian dari Leo Burnett Group, bekerja di dalam gedung yang lebih besar dengan view indah menghadap pemandangan kota yang bakal membuat inspirasinya terus mengalir. Dan gaji yang luar biasa. Jadi hanya Kintani sendiri dan Tuhan yang tahu kenapa dia masih betah bekerja di kantor ini, dengan atasan sengeselin Irham.

"Ini, kan, udah waktunya jam darurat kecolongan tidur, Kin. Tapi tadi gue sedang fight sebenernya."Semenjak gue menjalin hubungan dengan Luh selama tujuh tahun, selama itu pula gue menutup pintu hati gue terhadap perempuan lain. Jadi, setelah putus, seharusnya inilah saat yang tepat bagi gue perlahan-lahan membuka kembali hati gue buat perempuan lain. Tapi mau segera dapetin penggantinya Luh gimana kalau interaksi gue dengan perempuan malah sekaku ini.

"Dan gue ngelihat elo yang paling butuh diselamatkan pertama kali dari teror cowok sensitif di ruangan itu—" Dia menunjuk ruangan Irhan. "—meskipun gue tahu lo sahabatnya, tapi ya kita sama-sama tahu kalau di kantor dia semonster apa kalau udah nyangkut urusan kerjaan."Mata besarnya mengedip, dan gue suka sembulan lesung pipinya saat tersenyum.

Waktu sedang kumpul bareng di 365 Eco Bar, Rikas pernah ngasih pertanyaan kepada Irham, kenapa di umurnya sekarang dia kayak nggak memperlihatkan sedikit pun keseriusannya buat berkomitmen dengan satu perempuan. Rikas sama Dewi—yang sekarang masih terjalin kuat meskipun mereka LDR-an. Terus gue sama Luh—iya, ini gue lagi nyeritain masa lalu. Sementara Irham hanya kencan semalam dengan perempuan yang ditemuinya di bar atau Tinder. Kemudian dengan entengnya dia menjawab, "Karena gue percaya kalau kebanyakan cewek nggak bawa mutual gen secara barengan pas lahir. Dia yang beruntung punya packaging oke, biasanya isi kepalanya kopong kayak tahu. Berlaku sebaliknya juga. Jadi sangat mustahil gue bisa dapetin paket komplet kayak Maudy Ayunda."

Dan, yah, kehadiran Kintani ini kayak membumihanguskan keyakinan Irham. Dia punya dua kualitas dalam satu sosok yang akan membuat siapa pun terpesona—mungkin secara nggak langsung gue juga mengakuinya. Secara fisik, Kintani ini tipe model iklan sabun era Luna Maya sama Dian Sastro. Tinggi, langsing, kulit bersih, rambut hitam sebahu yang sering dibiarin tergerai. Secara non fisik, gue terkagum-kagum sama kinerja otaknya selama bekerja setim sama dia.

Misalkan saat gue bermonolog, mencoba mempersentasikan konsep iklan di meja gue, Kintani yang berada di samping meja gue mendengarkan dengan tangan berada di kibor komputer. Begitu persentasi kecil gue selesai, dia berkata, "Bentar, ya, Sam," lalu berjalan ke mesin pencetak kertas. Setelah itu dia kembali dan menyerahkan beberapa lembar hasil visualisasi dari apa yang gue katakan sambil bilang, "Ini udah gue buatin konsep yang lebih ringkas, supaya elo nggak lupa pas presentasi di depan bapak sensi di ruangan itu." Wajahnya menunjuk ruangan Irham. Sementara gue cuma bengong menatap dia dan kertas di tangan gue. Gue sempat mengira kalau dia ini sejenis robot android yang diciptakan masa depan supaya hidup gue di kantor ini nggak suram-suram banget.

"Jadi gue harus ngapain selain bilang terima kasih atas kopi-kopi buatan elo nih Kin?"

"Harus, ya, memangnya?"

"Yah, biar gue nggak dikatain temen nggak tahu diri aja." Gue mengulas senyum, yang membuat Kintani berpikir beberapa saat.

"Gimana kalau makan malam di—"Ucapan Kintani nggak berlanjut saat getar ponsel gue menggerung di atas meja.

Gue menginterupsi obrolan dengan mengangkat tangan ke arah lawan bicara gue. Saat menengok, gue mendapati nama Nana, satu-satunya adik gue, di layar ponsel. Di tengah kesibukan bisnisnya, dia nggak akan nelepon gue kalau nggak ada urusan yang bener-bener darurat. Diliputi kekhawatiran mengenai keadaan Mam dan Dad, gue langsung menerimanya.

LUH

"TAHU nggak Luh, Tante mau masak menu apa siang ini?"

Suara berat Tante Danur menyeruak dari balik pintu dapur, bersahutan dengan kicauan burung milik Om Tanto di halaman depan. Pagi-pagi sekali aku sudah berada di meja taman belakang kediaman keluarganya Annet yang berlokasi di bagian barat Jakarta, memenuhi undangan sahabatku semalam yang tiba-tiba mengirimkan Voice Note, "Darling, besok pagi ke rumah gue ya, I have a good news specially for you. Gue udah ngantuk berat sekarang, see you tommorow, okay!" setelah itu obrolannya offline.

"Masak apa memangnya, Tante?" tanyaku antusias. Tinggal jauh dari orangtua membuatku merindukan momen-momen kebersamaan dengan keluarga. Jadi, saat Annet mengundangku ke rumahnya, aku selalu merasakan kehangatan keluarga yang sangat kurindukan.

"Ayam rica-rica sama tumis brokoli, Luh. Tante pastikan kamu bakal menyesal kalau sampai pulang sebelum jam makan siang."

"Dia bakal nyesel kalau sampai nggak ikut lunch bareng Adnan, Ma. Karena selain mau bahas soal tawaran kerja, ponakan Mama yang ganteng itu mau neraktir kami nonton."Annet menyesap teh dalam cangkirnya.

"Jadi..., itu berita yang bikin lo ngirim VN tengah malem dan terus gue ditinggal begitu aja?" Aku mengambil cangkir hot green tea-ku, kemudian menghidu aromanya yang harum dan mulai menyesapnya. Waktu Annet hendak menjelaskan, Tante Danur muncul lagi dari arah dapur. Tangannya memegang sebuah baki, lalu segera diletakannya sepiring makanan yang bentuknya menyerupai serabi.

"Ngomong-ngomong, Luh, Samudra kok nggak sekalian dateng?" tanyanya kemudian seperti granat yang tiba-tiba meledak di mulut. "Tante kangen sama omelet buatan dia yang pedas banget. Terus, tumben aja, biasanya kan ke mana kamu pergi, Samudra bakal ada di sisi kamu terus, Luh."

Hampir saja aku menyemburkan minuman dalam mulutku ke arah Annet, tetapi aku buru-buru meraih tisu dalam tas sambil berusaha menelannya sampai tidak tersisa di mulut.

"Kayaknya aku lupa bilang deh Mam, kalau mereka berdua udah putus sejak lama," Annet kemudian menjelaskan dengan memasang ekspresi serbasalah.

"Oh," Tante Danur menekapkan kedua tangan pada mulutnya dengan kaget. "Tante nggak tau, Luh. Maafin Tante, ya."

"Nggak apa-apa, Tan. Tenang aja lagi. Udah setahun yang lalu juga." Segera kuletakkan kembali cangkir di tanganku ke atas meja. Setahun yang lalu, tapi kehadirannya kembali membuat sisa-sisa kenangan yang nyaris sepenuhnya kulupakan kembali mencuat."Dan ngomong-ngomong ini makanan apa ya, Tan. Mirip serabi, tapi ada keju sama seresnya?" Aku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan dari Sam.

"Sayang banget padahal, Luh. Samudra kan calon menantu idaman banget. Ganteng, lucu, bisa masak juga."

Terakhir aku main ke rumah ini bareng Sam satu bulan sebelum hubungan kami berakhir. Sebelumnya kami cukup intens mengunjungi rumah Annet, sampai-sampai Sam dekat dengan orangtua Annet dan bisa diterima dengan mudahnya oleh ibu dari sahabatku ini. Aku sempat bertanya-tanya waktu itu, kalau Sam begitu menyenangkan di mata mamanya Annet, dan juga mamanya Irham waktu kami makan malam bareng, kenapa hal serupa tidak berperanguh di hadapan Bunda?

"Maen sindir-sindirannya udahan dulu, ya, Mam? Lagian, sekarang aku udah bisa lepas dari si brengsek itu kok."

"Ah, oke, Sayang, semoga kejadian kemarin bisa jadi pelajaran buat kamu." Tante Danur menautkan jemari tangannya, kemudian pandangannya beralih kepadaku. "Tuh kan Luh, hampir saja Tante lupa jelasin. Ini Tante lagi coba-coba bikin serabi modern. Kalian cobain, deh."Setelah itu, Tante Danur berpamitan ke dapur untuk mencoba resep-resep lainnya.

"Jadi lo berhasil meyakinkan sepupu lo itu?" Aku masih antusias saat Annet mengatakan kalau hari ini kami akan bertemu dengan seorang owner radio yang digandrungi anak muda se-Jakarta, yang merupakan sepupunya itu. Setiap melakukan perjalanan, entah itu ke kantor atau ke mana pun, aku selalu menyalakan Bosch FM. Mendengarkan ocehan segar para penyiarnya serta pilihan lagu-lagu mereka yang enak untuk menemani perjalanan.

"Kok lo insecure gitu sama diri sendiri?" Annet memasang wajah nyebelinnya.

Kontrak kerjaku yang diakhiri sepihak oleh kantor lamaku membuat kepercayaan diriku merosot. Bahkan, aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa mendongakkan wajahku saat berhadapan dengan laki-laki yang sekarang tinggal bersamaku di apartemen.

"Lihat background elo sebagai jurnalis dan juga presenter di JOT TV, dia kayaknya tertarik. Padahal waktu itu gue cuma iseng nanya ada lowongan apa enggak di kantornya," jelasnya kemudian.

Aku luar biasa senang mendengar kabar ini. Itu artinya tidak lama lagi aku akan kembali bekerja. Memulai kehidupanku dari nol, dan menjadi pribadi Luh yang kukenal seperti dulu.

"Gue hubungi si Adnan dulu nih buat ngabarin kalau kita jadi ketemu siang ini."

"Oke." Aku meraih cangkir teh dan ketika hendak menyesapnya, ponselku yang kutaruh di dalam tas berbunyi. Aku mengambilnya dan mendapati nomor Sam di layarnya.

"Siapa?" Annet bertanya dengan nada datar.

"Sam," jawabku.

"Ditinggal bentar aja udah kangen kayaknya dia."

"Tolong itu mulut dijaga ya, babe!" Aku mendelik ke arahnya, yang membuatnya tertawa.

"Ya udah, angkat gih. Entar ngambek kalau telat nerima telepon."

Aku mendecih. Tapi aku tidak segera menerima panggilannya. Kalau ada perlu apa-apa, biasanya Sam hanya mengirimkan obrolan teks di WA. Jadi, komunikasi kami di luar pertemuan di dalam apartemen hanya itu. Tapi akhirnya aku menggeser layar hijau di layar.

"Halo, ada apa Sam?" Aku memang menjaga jarak komunikasiku dengan Sam. Jadi, sapaanku barusan harusnya terdengar normal.

"Luh, masih di rumahnya Annet?" tanya Sam kemudian. Aku mendengar nada suaranya seperti sedang diburu-buru.

"Ada apa Sam?" Aku mengulang kembali pertanyaanku.

"Bisa pulang sebentar nggak?"

Sam mengatakan "pulang" dengan nada yang membuatku merasa bahwa kami sudah tinggal bersama selama puluhan tahun. Sebagai sepasang manusia yang pernah mengutarakan janji setia di altar untuk mengarungi hidup dalam suka dan duka, setia sehidup semati. Sebuah kata yang menyiratkan kepemilikan yang mutlak yang anehnya terdengar akrab.

"Pulang gimana maksudnya, Sam?"

"Mam, Dad, sama Luna di Jakarta. Mereka dalam perjalanan ke apartemen. Gue harap lo ada di sana buat menyambutnya sebelum gue pulang ngantor sore nanti."

Itu maksudnya apa ya?

"Gue mohon Luh."

"Tapi—" Aku punya janji dengan Adnan siang ini. Aku mau mengatakan itu, tapi kemudian telepon Sam mati. Beberapa saat kemudian, dia mengirim teks di WA. Aku membaca, kemudian menyerahkan ponselku saat Annet bertanya apa yang terjadi.

"Kalau gitu, apa mau dikata, babe. Gue cancel janji sama Adnan sementara lo urus mantan calon mertua lo itu dulu."

Apakah seberat ini cobaan untuk mendapatkan pekerjaan baru? []


Salah satu perusahaan periklanan terbesar ke-4 di dunia dia, dan jadi salah satu perusahaan periklanan terbesar juga di Indonesia. Keren, kan?

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

3.5K 423 5
[ SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU! ] From: jelitaemelia@fmail.com Subject: Hello, it's not nice to see you Teruntuk Guntur Adipraya di tempat Gue nggak b...
583K 116K 34
"Paham, kan? Kamu cuma alat yang aku pakai untuk lari dari kenyataan. Untuk melupakan."
792K 59.9K 53
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
2.1K 290 9
Gara-gara satu kejadian lucu di kelas, Kiran dijodoh-jodohkan oleh seluruh penghuni XI IPS 3 dengan Hesa, orang yang diam-diam pernah ia sukai saat k...