[✓] From 5317 Miles

By Elfpath

70.3K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... More

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
An Alley in Berlin
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Answer
Epilogue
1/4 : Bonus Chapter
2/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter
4/4

Last Chance

2.2K 367 31
By Elfpath

Lelaki dengan mata kucing yang ia kenal dengan nama Joshua Hong mendatangi dirinya ke kantor, menawari makan siang bersama dengan dalih ingin mengenal sosok pacar sahabat sendiri.

"Kebetulan tadi rapat di sini." Joshua berujar dengan senyum tegas. "Ternyata kantormu juga ada di gedung ini juga. Kebetulan yang menarik, eh."

Jeonghan hanya membalas perkataan tersebut dengan senyuman.

"Setuju makan siang denganku, Yoon Jeonghan-ssi?"

"Oh tentu saja." ia menyahut, meskipun ada sesuatu yang janggal dari cara Joshua tersenyum.

"Jangan bilang ke Seungcheol aku menghampirimu kesini." lelaki bermata kucing itu melanjutkan dan berjalan mendahului Jeonghan keluar dari gedung perkantoran dengan gaya futuristik mewah. "Biar aku saja yang memberitahunya."

Sudah seperti yang ia duga.

Joshua Hong menemuinya dengan maksud lain.

Tentu saja ia juga tidak akan bercerita ke Seungcheol mengenai hal ini. Apa pun percakapan yang akan terjadi, tidak akan memiliki pengaruh dengan dirinya atau Seungcheol.

Semoga.

Lagipula, ia tidak menyukai sikap Joshua mengingatkannya kepada Carmen, teman kuliahnya yang jalang itu--yang memiliki intrik dibalik sikap manis dan ramahnya.

Memuakan.

Setelah tiba di restaurant iga sapi yang terletak tidak begitu jauh dari kantornya, Jeonghan melirik ke arah Joshua Hong yang duduk di seberangnya. Jika lelaki ini datang untuk mengibarkan bendera perang, maka ia siap--paling tidak Wendy akan menyuruhnya untuk tidak boleh kalah.

"Senang berkenalan denganmu, Jeonghan-ssi." lelaki dengan kemeja flannel dan kacamata bergagang platinum itu berkata.

"Ya, aku juga." lanjutnya.

"Aku tidak tahu kalau orang yang dekat dengan Seungcheol saat ia di Jerman dan setelah kembali ke Korea adalah dirimu." Joshua berkata kembali, kali ini tidak segan-segan memunculkan seringai angkuh dan tatapan menilai menatap Jeonghan. "Kalau aku tahu bahwa Yoon Jeonghan yang ia maksud adalah dirimu, seharusnya aku membantumu untuk bertemu dia saat di kantor bulan lalu."

Jeonghan tertawa hambar menanggapi basa-basi itu. Ia cukup salut mendengar Joshua berbicara dengan basa-basi busuk yang harus ia ucapakn di depan orang yang ia benci--oh ia tahu Joshua membencinya, terlihat dari bagaimana sikap si jalang ini.

"Mungkin jika dirimu membantu aku dan Seungcheol tidak akan berbaikan."

Sesaat ia mendengar suara tawa tertahan dari Joshua yang membungkam mulut dengan tangan kanannya sendiri.

"Pardon me." ujarnya. "Aku hanya ingin tertawa mendengar perkataanmu."

Jeonghan mengerutkan alis, tidak mengerti.

"Kau mengatakan berbaikan, seolah-olah kalian memang berbaikan secara 'normal'" Joshua mendengus. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian berdua, itu hak Seungcheol untuk membuat hidupnya lebih menderita dengan bersamamu tetapi aku sebagai sahabatnya tidak dapat diam begitu saja."

Ia masih menatap Joshua dengan lekat, mulai memahami arah pembicaraan lelaki yang duduk di depannya. Ia tidak menggubris kata-kata yang menyebut dirinya adalah sumber penderitaan Choi Seungcheol.

Heh.

Dasar sok tahu.

"Jika kali ini kamu datang ke kehidupan Seungcheol untuk waktu yang singkat dengan permainan seperti dulu, sebaiknya kamu akhiri saja. Ia tidak pantas mendapat kebahagiaan semu, dari dirimu atau siapapun." Editor Hong berujar dengan penuh penekanan disetiap kata. "Ia bisa saja saat ini berkencan atau memiliki orang lain daripada kamu--aku bahkan Ibunya telah mencoba untuk mengatur kencan buta untuk dia, tetapi lelaki bodoh itu selalu menolak. Meski tidak membawa nama kamu, tetapi aku tidak cukup tolol untuk menebak." lanjutnya lagi.

Jeonghan menghela napas panjang. "Jadi, maksud perkataanmu adalah?"

Lelaki dengan rambut hitam mengkilat itu mencondongkan tubuh ke arahnya, membuat wajahnya yang mungil dan bekas luka cukuran di dekat sudut bibir terlihat jelas oleh Yoon Jeonghan. "Setiap orang memiliki batasan, begitu pula Seungcheol. Suatu saat ia pasti akan meninggalkanmu jika kau tetap seperti ini, kekanakan dan seolah segalanya permainan."

Mendengarkan kalimat yang terlontar dari mulut manis tersebut dengan lancarnya, kedua mata Jeonghan terbelak sempurna.

"I refuse to back off---"

Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Joshua kembali berbicara kali ini ketenangan di dalam suaranya menghilang tidak seperti tadi. "Mungkin saat ini kamu merasa kalian baik-baik saja dan Seungcheol jatuh ke dalam permainanmu lagi, namun kau tahu dia sedang mengevaluasi semuanya sebelum memberi keputusan akhir. Dasar pencundang. Kau."

Kata 'permainan' dan cara Joshua menyebut bahwa segala yang ia lakukan sampai rela kembali ke Korea adalah sebuah permainan membuatnya sakit hati. Tentu saja ia merasa sakit hati. Orang yang tidak mengetahui apa pun tentang dirinya mengatakan ia hanya bermain-main, hanya melihat dari satu sudut pandang, tidak mencoba menjadi dirinya.

Brengsek.

Joshua Hong adalah kebrengsekan yang nyata.

"Astaga!" Jeonghan berseru sambil membanting gelas yang sudah tidak ada isinya ke atas meja kayu dengan kasar. "Biarkan itu menjadi urusanku, brengsek. Aku dapat mengurusnya dan kalau memang ia memilih untuk tidak memilihku pada akhirnya, ambil saja lelaki itu."

Lelaki dengan rambut cokelat yang tidak lebih panjang daripada telinga itu langsung berdiri tanpa mengidahkan tatapan tajam Joshua yang seakan mengatakan bahwa percakapan mereka belum selesai.

"Aku tidak ada waktu meladenin omongan tolol dari mulut tololmu." Jeonghan berujar, pertama kali berbicara kasar sejak ia tiba di Korea lalu memutar arah berjalan menuju pintu yang terletak 5 meja dari tempatnya berdiri.

---x---

Lelaki dengan rambut cokelat yang ia pertahankan sedang duduk bersedekap di sofa sebuah apartemen di kawasan Itaewon yang sering ia datangi dalam kurun waktu beberapa minggu.

Ia menyandarkan kepala diatas lutut, memandangi laki-laki dengan rambut hitam yang sedang terlibat diskusi melalui ponsel dengan seseorang bernama Joshua.

Sebenarnya, hari ini ia berniat untuk menghabiskan akhir pekan dengan lelaki yang masih sibuk mengoceh panjang namun saat nama Joshua Hong muncul di layar ponsel, ia tahu bahwa rencana Netflix and Chill mereka harus tertunda.

Omong-omong soal Joshua, Seungcheol pernah beberapa kali mengajaknya untuk makan siang bersama dengan Joshua Hong dan setiap kali itu pula ia selalu menolak--dengan alasan sibuk. Meskipun sebenarnya ia tidak menyukai lelaki tersebut. Tidak, ia tidak cemburu, hanya saja ia tidak menyukai tatapan tajam yang Joshua Hong lemparkan kepada dirinya dan cara laki-laki itu berbicara dengannya.

"Cheol," ia memanggil saat lelaki dengan bulu mata lentik itu telah selesai menelpon dengan kerutan di dahi. "Ada masalah pekerjaan?"

Choi Seungcheol mengangguk. "Kali ini masalah produksi untuk penulis bernama Peach, kau tahu dia?" Jeonghan menggeleng. "Dia penulis yang sedang naik pamor, karyanya bagus dan publik meminta cetak ulang--hanya saja adendum internal kita ada kesalahan."

Jeonghan mengangguk menanggapi penjelasan Seungcheol yang kini duduk di sampingnya. Ia tidak mengetahui banyak tentang perusahaan penerbit, namun secara natural bidang kerja mereka adalah sama--yaitu memenuhi permintaan klien dan Jeonghan sedikit banyak dapat bersimpati.

"Membuat adendum dari awal tidak mungkin, kalau ada kesalahn produksi di bawah angka realisasi kau bisa meminta selisih untuk masuk ke batch berikutnya?" Jeonghan berujar mencoba memberikan saran.

Choi Seungcheol tidak menyahut, hanya memberikan kecupan singkat di pipi Jeonghan secara tiba-tiba membuat empunya terlihat kaget.

"Aku pusing membicarakan pekerjaan. Biarkan itu jadi urusan Joshua dan orang percetakan." sahutnya, melingkarkan tangan di pinggang Jeonghan. "Aku merindukanmu." lanjutnya, menjatuhkan ciuman di pucuk kepala dengan rambut berwarna kecokelatan.

Yoon Jeonghan tersenyum kecil sambil merapatkan diri ke dalam pelukan Seungcheol, dan merain remote control--mencari TV Series yang sedang hangat dibicarakan orang-orang.

Merasakan kembali pelukan Choi Seungcheol setelah sekian lama tidak ia rasakan membuat hatinya menghangat, menyadari bahwa ia mungkin membutuhkan lelaki itu untuk saat ini saja, meskipun tidak ada keberlanjutan percakapan mengenai hubungan mereka dan segala tanda tanya konflik.

Seharusnya ia khawatir dengan hal tersebut, ketika ia dan Seungcheol sangat baik-baik saja namun ia sadar sang editor buku terlihat sangat menghindari pembicaraan tentang konflik mereka di masa lalu dan hubungan yang saat ini sedang terjadi. Ia tidak tahu apakah Seungcheol berusaha untuk membuatnya nyaman atau ada hal lain yang tidak dikatakan oleh lelaki tersebut.

Namun yang pasti, apa pun itu ia tidak benar-benar merasa aman ataupun nyaman dengan seluruh ketenangan yang terasa seperti palsu.

Terima kasih untuk sosok yang sepertinya berhasil menanamkan pemikiran yang bergerak di dalam kepalanya sejak seminggu terakhir.

"Hei, Jeonghan?"

Suara Seungcheol memecahkan lamunan, membuat dirinya menoleh dan menatap Seungcheol yang duduk di sampingnya--dan menyadari bahwa ia tanpa sadar duduk menjauh dari jangkauan Seungcheol.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" laki-laki itu bertanya lagi.

"Tidak.." Ia menyahut dalam suara berbisik dengan rahang terkatup ."Aku tidak apa-apa, dan berhentilah berasumsi. For god's sake."

Seungcheol masih menatapnya dalam diam, seolah mengetahui alur pikiran seorang Yoon Jeonghan. "Hani..."

"I've told you before, haven't I? not to called me that." Jeonghan berujar dengan ketus, melemparkan tatapan tajam ke arah Seungcheol.

Sialan.

Ia benar-benar menghancurkan seluruh acara akhir pekan mereka dengan membentak Seungcheol dan betapa moodnya berubah dengan cepat saat tidak sengaja teringat perkataan Joshua Hong.

Keparat.

Seungcheol bergerak mendekati Jeonghan yang kini sudah berdiri di tengah ruangan dengan tangan kanan menangkup wajahnya sendiri.

"Kau memikirkan kita?" tanyanya.

Jeonghan mengangguk. "Ya, dan itu sangat bodoh."

Alis Seungcheol terangkat. "Bagian mananya yang bodoh Jeonghan?"

Ia berdeham pelan, mengusap sekali wajahnya sebelum memandang ke arah Seungcheol. "Semuanya. Kau, aku dan kita."

"Karena aku tidak pernah sekali pun membahas masalah kita dan memilih untuk terus melanjutkan apapun yang kita jalani?"

"Itu... tidak..." Jeonghan untuk beberapa saat ragu sejanak. Sungguh, ia bahkan tidak tahu apa yang dirinya inginkan dan pikirannya pikirkan. "Katakan kenapa kamu mau menerima diriku lagi setelah aku berbuat jahat kepadamu, setelah aku membuat hidupmu sengsara oleh permainan ini?"

Seungcheol menatap Jeonghan lamat-lamat sebelum membuka suara, masih dengan menjaga jarak antara dirinya dan Jeonghan. Ia sadar bahwa mungkin inilah saat yang tepat untuk berbicara hal yang telah ia tahan.

"Jujur, apakah kamu menganggap hubungan kita hanya permainan saja?"

"Tentu saja tidak, aku memang tidak menyukai label tetapi aku tidak pernah sekalipun menganggap permainan bahkan ketika aku tidur dengan orang lain." sahut Jeonghan dengan suara tenang. "Setiap orang yang datang di kehidupanku memiliki porsinya masing-masing."

Seungcheol tidak melepaskan tatapannya dari kedua manik Jeonghan yang gelap dan sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kecil. "Kau tahu kenapa aku menerima dirimu lagi?" Yoon Jeonghan menggelengkan kepala dengan tatapan polos yang membuat Seungcheol melebarkan senyumnya. "Aku tidak tega untuk membalas perbuatanmu."

Untuk orang waras perkataan Choi Seungcheol pasti akan mengundah haru dan perasaan hangat, namun untuk seorang Yoon Jeonghan tidak. Ia mengerutkan kening, menerjemahkan perkataan tersebut ke dalam makna yang berbeda--makna yang membuat sifat kekanakan dan emosi labilnya terdorong keluar.

"Kau hanya kasihan denganku, begitu?" gumam Jeonghan. "Oke, aku mengerti kalau kau hanya kasihan denganku dan ini semua hanya evaluasi."

Seungcheol melebarkan mata tidak mempercayai pendengarannya sendiri dan reaksi Jeonghan yang jauh dari perkiraannya. "Bukan begitu maksudku, Jeonghan."

"Bukan?"

"Bukan." Seungcheol menggeleng, senyum letih tergores di bibirnya. Jujur, menghadapi Jeonghan adalah hal yang paling melelahkan.

"Tetapi Joshua..."

"Joshua?" Kedua alisnya mengerut dengan kebingungan yang tercetak jelas membuatnya tidak memahami arah pembicaraan ini. "Kenapa tiba-tiba menyebut Joshua?"

Jeonghan memutar bola matanya. "Tanyakan saja kepada dia sendiri." sahutnya lalu berjalan melewati Seungcheol dan meraih mantel yang tergantung di tembok. "Aku pulang, banyak yang harus aku pikirkan."

Lelaki bermarga Choi dengan cepat menarik pergelangan tangan Jeonghan dan membuat lelaki kurus itu berhenti di tempat, memutar badan menatap Seungcheol dengan mata melebar. "Lepaskan." desisnya.

"Kau tidak boleh pergi sampai kita menyelesaikan pembicaraan ini." kata Seungcheol, seolah-olah paham jika kabur dari pembicaraan penting adalah kebiasaan seorang Yoon Jeonghan.

Jeonghan dengan kasar menepis tangan tersebut dan membenarkan mantel yang sudah melekat di tubuhnya. "Sampai jumpa."

Lalu ia berjalan keluar dari kamar apartemen yang terletak di lantai 10.

---x---

Mengkonfrontasi seorang Joshua Hong bukanlah hal yang bagus, ia mengetahui hal tersebut dari pengalaman. Choi Seungcheol berdiri di dalam ruang kantornya dengan bertolak pinggang sambil melihat Joshua yang duduk di hadapannya sedang sibuk melakukan conference call dengan orang dari percetakan dan divisi lain.

Juga, ia tidak seharusnya memikirkan urusan pribadi ketika berada di tengah conference call dan masalah pekerjaan--hingga ia hampir saja melewatkan perkataan penting yang terlontar dari kepala percetakan.

"Bagaimana, Choi?" tanya Joshua yang balik menatapnya dengan alis mengerut, lalu menekan tombol mute di pesawat telepon. "Kau mendengarkan diskusi ini, kan?"

Ia mengangguk. "Lanjutkan."

Dengan dengusan halus, Joshua menonaktifkan fungsi mute dan kembali berbicara melanjutkan diskusi dengan Seungcheol yang menimpali di bagian sana dan sini beberapa kali.

Setelah conference call selesai, Joshua yang duduk di kursi, bersandar dengan kedua kaki saling bertumpu dan menatap tajam ke arah Choi Seungcheol yang sudah kembali duduk di tempatnya.

"Katakan." perintahnya.

Seungcheol menghela napas saat menatap Joshua yang menatapnya dengan curiga. "Kenapa tidak memberitahuku kalau kau menemui Jeonghan?"

"Dia memberitahu kamu?"

"Ya, sabtu kemarin."

Joshua menatap Seungcheol sejenak sebelum ia mulai membereskan laptop yang ia bawa ke ruangan Editor-in-Chief. "Aku hanya memberitahunya untuk tidak bermain-main denganmu, aku tidak ingin melihatmu sengsara."

"Sudah kubilang untuk tidak perlu ikut campur, Joshy." gumam Seungcheol terdengar frustasi.

"Hei, aku membantumu, Choi. Aku cukup kasihan melihatmu stress karena ibumu terus menyodorkan calon melalui kencan buta setiap minggu, dan dengan kehadiran Jeonghan aku tidak ingin dirimu yang dulu kembali." Joshua beralasan, tidak sekali pun ia memutuskan tatapannya ke Seungcheol. "Dirimu saat pisah dengan Jeonghan sangat memuakan, kau tahu? Seperti bukan dirimu."

Seungcheol berusaha untuk tidak menumpahkan kekesalannya kepada Joshua yang telah lancang ikut campur urusan pribadinya dan mengenali sifat Joshua yang mudah untuk mengeluarkan kata-kata tajam, ia tahu pasti ada kata-kata yang membuat Jeonghan bersikap seperti orang linglung dua hari yang lalu. Tetapi, ia juga bukan orang yang mencari keributan atau orang yang mudah marah tetapi melihat sikap Joshua yang acuh dengan kekacauan yang ia buat, sepertinya ia lebih baik mengurusnya langsung dengan Jeonghan dan untuk Joshua--terserahlah, ia tidak ingin membahas lebih lanjut.

Mungkin.

"Joshua," Seungcheol memanggil ketika Joshua hendak keluar dari ruangannya.

Dengan sebelah alis terangkat, lelaki dengan mata mirip kucing itu berujar. "Ada apa lagi? Aku ada conference call dengan penulis Jerman yang dulu pernah kau pegang."

Mendengar perkataan tersebut, Seungcheol memutuskan untuk mengutarakan pikirannya dengan singkat. Ia tidak ingin mood Joshua buruk dan merusak diskusi penting.

"Aku yang memilih untuk kembali kepadanya, kau tahu ia sangat berantakan dengan suasana hati yang sulit ditebak." ujarnya. "Intinya, aku menganggap diriku pantas untuk mendampingi orang seperti dirinya."

"Kau marah denganku, kan?" Joshua bertanya, tatapannya tetap tajam.

"Ya, aku marah dan kesal." jawabnya. "Tetapi, kau mengenal diriku kan?"

Joshua menyeringai, mengangkat bahu dan berujar sebelum keluar dari ruang kerja Choi Seungcheol.

"Whatever, Choi."

---x---

"Hyung, kau sangat kekanakan." suara berat Jeon Wonwoo memecah keheningan apartemen studio milik Jeonghan.

Lelaki yang hanya lebih tua 3 tahun darinya itu menatap dengan raut wajah merengut. "Apa? Aku lapar wajar kan." Jeonghan mendengus, menegak bir yang ia tuang ke dalam gelas.

"Bukan itu." Wonwoo menyahut, menyiapkan beberapa makanan buatan pacarnya yang ia bawa dari apartemen untuk sepupunya. "Ceritamu barusan, kau marah dengan laki-laki ini karena perkataan temannya. Itu kenakan, hyung. Kau harus mendengar pendapatnya dahulu."

Jeonghan menggeleng dengan cepat. "Nein, nein. You don't know him, Woo."

"Hyung, kau benar-benar kekanakan tahu? Merencanakan kabur ke Jerman karena perkataan seperti itu." Jeon Wonwoo mendengus, meskipun di dalam hati ia berharap Yoon Jeonghan tidak akan memukulinya karena mengatakan hal tersebut.

Di luar dugaannya, Jeonghan masih diam di tempat sambil memandangi ponselnya. "Jerman is the safest place I ever know. Kamu aja yang gak pernah ke sana."

"Untuk masalah ini, aku rasa tidak perlu ke Jerman hyung." Wonwoo masih bersikukuh dengan pendiriannya. "Aku tahu uangmu banyak tetapi membeli tiket pesawat tidak murah dan kau baru bekerja di sini sebulan."

Jeonghan tambah merengut, bibirnya mengerucut. "Wonwoo," panggilnya.

"Ya?"

"Kau berisik sekali." lanjutnya. "Sana pulang, aku sedang ingin sendiri."

"Menyebalkan." gerutu Wonwoo dengan bersungut-sungut lalu beranjak keluar dari apartemen dan sang pemilik hanya memandangi dari kursi.

Namun saat Jeon Wonwoo keluar, sosok yang tidak ia harapkan berdiri di depan pintu apartemennya dengan senyum yang sungguh manis.

"Jeonghan..."

"Oh, kau. Mau makan? tadi Wonwoo membawakan makan malam." sela Jeonghan, lalu beranjak berdiri menghampiri Seungcheol yang sedang melepas sepatu. "Dia sepupuku, lain kali akan aku kenalkan."

Seungcheol ingin mengatakan sesuatu terkait Jeon Wonwoo, namun ia urungkan karena niat kedatangannya kesini adalah membahas hal yang lain.

"Kau sudah lebih baik?" ia bertanya sambil meletakan tas kerjanya di sofa.

Jeonghan menatap ke arah Choi Seungcheol yang mengenakan blue jeans, kemeja berwarna putih dan jaket kulit berwarna hitam--ia selalu menyukai cara lelaki itu berpakaian. Setelah beberapa detik ia mengangguk. "Ya, jika yang kau maksud adalah keadaan kesehatanku tapi kalau untuk yang lain aku rasa masih belum."

Mendengar hal tersebut Seungcheol mengarahkan tangan ke rambutnya, mengacak-acak rambut hitam dengan sedikit rasa kesal di dalam hati. Kalau ia mau jujur, sebenarnya ia sedikit muak dengan Yoon Jeonghan yang selalu bersikap egois tetapi ia tidak bisa untuk tidak mengalah di hadapan lelaki ini.

"Tuangkan pikiranmu, Jeonghan." ia berujar, menggapai lengan kurus Yoon Jeonghan dan memberikan usapan lembut. "Kita harus memiliki komunikasi yang baik jika menginginkan hubungan ini berjalan lancar."

Jeonghan menggigit bibir mendengar perkataan Seungcheol yang menurut dirinya pun ada benarnya. Tetapi sepertinya berbicara dengan benar dan memiliki komunikasi yang baik bukanlah ciri khas dirinya, ia mengakui itu.

"Aku akan kembali ke Jerman."

Satu kalimat tersebut seakan membuat jantungnya berhenti sesaat, seakan kejadian yang lalu terulang kembali. "Apa maksudmu?" ia bertanya, dengan suara tercekat.

"Aku ingin menenangkan pikiranku. Perkataan Joshua Hong sangat mengganggu, mengatakan kalau aku hanya mempermainkamu, kau yang menganggap ini hanya percobaan dan bahwa aku tidak pantas untuk dirimu." Jeonghan bertutur dengan suara pelan, menghindari menatap kedua mata Choi Seungcheol yang menatapnya dengan tajam.

"Kau marah?" ia melanjutkan.

"Tentu saja!" Seungcheol berseru dan mencengkram kedua lengan lelaki kurus itu dengan kuat. "Aku marah, setiap kali kita dalam keadaan baik kau menghancurkannya!"

"Cheol..."

"Berhenti menyalahkan Joshua dan belajar untuk mempercayaiku. Kau itu memiliki hubungan denganku bukan Joshua, Yoon Jeonghan." Seungcheol masih berujar dengan suara meninggi dan tatapan mata marah.

"Yang ia katakan benar,"

"HENTIKAN, JEONGHAN!"

Satu bentakan tersebut membuatnya terbungkam rapat, seluruh badannya bergetar dalan ketakutan melihat Choi Seungcheol yang selalu bersikap lembut kepadanya kini berdiri di depannya dalam keadaan marah yang menyeramkan.

Kedua mata lelaki bermarga Choi tersebut berkilat. "Sekali lagi kau pergi ke sana, kita selesai." lanjutnya. "Tidak... tidak... saat kau benar-benar memilih untuk kembali ke Jerman, kita berakhir Yoon Jeonghan."

---------------------------------
2933 words

Ini bakal jadi drama dan konflik terakhir diantara mereka~

Continue Reading

You'll Also Like

37.8K 5.4K 16
- 인식 (Recognizing) from PLOTTING - Seorang detektif ternama, Kwon Soonyoung ditugaskan untuk menyelidiki sebuah ancaman, namun semuanya telah tertata...
1.2M 246K 49
Rukma Asmarani bermimpi menemukan seorang lelaki yang baik, melahirkan anak, lalu jadi keluarga paling bahagia di dunia. Namun, seperti takdir yang e...
11.6K 1.1K 12
Choi Seungcheol tak melihat orang yang selalu bersamanya selama ini -- terus menerima tanpa pernah memberi -- dan Yoon Jeonghan lebih memilih memenda...
370K 30.8K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.