[✓] From 5317 Miles

By Elfpath

70.3K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... More

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Last Chance
Answer
Epilogue
1/4 : Bonus Chapter
2/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter
4/4

An Alley in Berlin

2.1K 366 35
By Elfpath

"Kau di mana? Bandara? Sekarang?" tanya Jeonghan dengan kedua alis saling bertautan. Ia sedang minum segelas brandy bersama dengan Sofie Kändler, teman satu tim kerjanya di pantry kantor sesaat setelah selesai rapat finalisasi blue print proyek ketika Seungcheol menelponnya dan mengatakan bahwa ia sudah tiba di bandara.

"Iya, Jeonghan." sahut Seungcheol dari seberang sana. "Aku ingin membuat kejutan. Hehe."

"Aku tidak suka kejutan, sialan. Kau tahu itu kan." Jeonghan bersungut-sungut dan beranjak berdiri meninggalkan pantry karena Sofie terlihat mulai tertarik dengan percakapannya dan ia tidak ingin orang kantor mengetahui tentang Choi Seungcheol. Meskipun kemungkinan Sofie Kändler memahami percakapan sangatlah tidak mungkin.

Seungcheol tertawa. "Kamu masih di kantor? Aku berarti boleh langsung ke flatmu?"

"Kau tidak punya kunci dan yeah aku masih di kantor."

"Lalu bagaimana?"

"Hubungi aku lagi kalau sudah tiba di Hauptbahnhof, aku akan izin pulang cepat untuk menerima tamu jauh." gurau Jeonghan.

"Tentu, Jeonghan. Selamat bekerja." ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon.

Kemudian ia langsung bergegas menuju bilik kerjanya dan membereskan semua dokumen yang kemungkinan akan ia kerjakan di rumah dan merapihkan meja kerjanya sebelum meminta izin pulang kepada ketua timnya.

"Max, sorry aku harus pulang cepat ada tamu penting datang dari Korea." katanya dengan bahasa jerman saat berhadapan dengan Max Bachmayer yang sedang berdiri di depan mesin fotokopi.

"Oh tumben sekali, Hani." kata Max acuh mengambil hasil fotokopiannya. "Aku kira nanti malam kita akan makan bersama sepulang kantor?"

Jeonghan mengangkat bahu, ia memang pernah menjanjikan makan malam dengan Max karena lelaki itu pernah mengambil alih tugasnya saat ia sedang sakit selama seminggu namun ia juga tidak terlalu ingin makan malam dengan kaukasia bermata biru dan rambut secokelat mahoni.

"Bagaimana kalau minggu depan? Aku ada rekomendasi tempat makan malam yang bagus dan baru buka, jadi waiting listnya sangat penuh." ujar Jeonghan memberikan jawaban bohong.

Max menatapnya dari balik kacamata tanduk. "Forget it. Just go home already."

Jeonghan tersenyum lebar saat mendapatkan izin dari Max dan sedikit memberikan pelukan singkat sebelum melenggang pergi dari kantor 2 jam lebih cepat dari waktu pulangnya yang biasa.

--x--

Dan, Jeonghan tidak hanya pulang lebih cepat tiga hari yang lalu dari pekerjaannya tetapi juga meminta izin cuti selama 7 hari sampai waktu kepulangan Seungcheol yang membuat Max memarahinya di telepon sampai satu jam lamanya dan mengacam kalau Jeonghan akan ditempatkan di lapangan untuk realisasi proyek.

"Merde." Jeonghan mengumpat saat ia mengecek e-mail dan mendapati Max mengirimkan banyak sekali draft laporan yang harus ia selesaikan bersamaan dengan permintaan untuk mengurus prototype maket proyek di hari keduanya cuti.

"Aku tidak tahu kamu bisa bahasa perancis." ujar Seungcheol sambil tersenyum.

Jeonghan memutar matanya. "Kau tahu tinggal di eropa mau tidak mau membuatmu bisa beberapa bahasa. Jangan tolol, Cheol."

"Maaf aku tidak pernah tinggal di luar negeri." balas lelaki yang sedang membuat scrambled egg di wajan dan menghangatkan sup rumput laut sisa kemarin malam di kompor yang satunya, sambil menunggu roti yang berada di pemanggang matang.

"Jangan ngambek, tidak lucu." Jeonghan menggerutu dari balik laptopnya, mengetik e-mail balasan untuk Max yang dengan semena-mena memberikannya tugas yang harusnya diselesaikan oleh dua orang. "Aku ingin membunuh Max Bachmeyer."

"Jeonghan, kalau polisi mendengar kamu bisa terkena masalah." tegur Seungcheol mematikan kedua kompor dan menghampiri roti yang telah matang terpanggang. "Aku minta maaf membuatmu terjebak masalah seperti ini."

"Tidak apa-apa, Max memang seringi seperti ini karena aku menolak kencan dengannya paskah kemarin." kata Jeonghan acuh.

"Dia pacarmu?" tanya Seungcheol.

Jeonghan menggeleng dan tersenyum licik saat menekan ikon send. "Tentu saja bukan. Dia laki-laki freak berumur 40 tahun yang pernah menawariku blow job di siang hari bolong saat inspeksi lapangan di Hamburg."

Seungcheol menghentikan sesaat gerakannya mengambil piring dan berbalik menatap Jeonghan yang sedang meletakkan laptop di atas tumpukan majalah lama milik Axel. "Untuk orang yang lebih tua dia sangat berani."

"Jangan sarkastik."

"Itu pujian, lebih berani daripada diriku." kata Seungcheol meletakkan masing-masing satu buah piring untuk dirinya dan Jeonghan.

"Kau cemburu?"

Seungcheol meliriknya sekilas. "Aneh, cemburu padahal bukan siapa-siapa."

"Katakan saja, Seungcheolie." ujar Jeonghan dengan gemas, lalu lompat ke punggung Seungcheol saat lelaki tersebut memunggunginya--melingkarkan tangan di leher tersebut. "Berhenti bersikap lucu seperti ini."

"Jeonghan turun. Aku tidak bisa makan." ujar Seungcheol terdiam di tempat berusaha melepaskan cengkraman tangan Jeonghan yang ada di sekitar lehernya. "Kita akan telat untuk pergi ke Berlin, Yoon."

Lelaki dengan rambut yang kini dicat kembali berwarna platinum blonde tertawa terbahak-bahak dan bergegas turun dari punggung Seungcheol sebelum lelaki yang lebih tua darinya itu membatalkan rencana jalan-jalan mereka ke Berlin hari ini karena jengkel dengan dirinya.

--x--

Menempuh perjalanan 4 jam 30 menit dengan menggunakan kereta sepertinya adalah ide yang sangat buruk dari rencana liburan mereka ke Berlin hari ini karena mereka berdua awalnya memutuskan untuk pulang-pergi berlin selama satu hari tetapi saat mereka sampai di Berlin pukul tiga sore, Seungcheol tidak berhenti menggerutu sepanjang mereka keluar dari Stasiun Utama Berlin.

"Seungcheol, diamlah!" Jeonghan berseru dengan kesal ketika mereka masuk ke dalam taksi. "Hackescher Markt." lanjutnya memberikan nama lokasi ke supir taksi yang memperhatikan mereka dengan curiga.

"Andai saja tadi kamu tidak lupa membayar sewa flat, mungkin kita sekarang sudah bersenang-senang di Brandenburg." ujar Seungcheol mengungkit-ungkit masalah yang sama dengan yang ia bicarakan di kereta tadi. "Sangat tidak masuk akal kau lupa membayar sewa flat, wah kalau aku tidak ada kamu bisa jadi gelandangan."

Jeonghan mengernyit mendengar omongan Seungcheol, seolah-olah lelaki bermarga Choi itu adalah pahlawan yang membuatnya terhalang dari pengusiran di flat padahal jelas-jelas Jeonghan hanya lupa membayar karena itu adalah tugas Axel--dan ia memiliki uang untuk membayar.

"Jangan brengsek, Choi Seungcheol. Aslimu begini, ya? Mengomel tidak jelas dan membuat temanmu merasa tidak nyaman?"

Seungcheol tertawa hambar. "Dan tidak mengatakan kalau naik kereta memakan waktu lama, harusnya kita naik pesawat."

"Aku tidak membuang-buang uang, Seungcheol. Aku bukan orang dewasa sepertimu yang bisa seenaknya mengeluarkan uang karena memiliki posisi tinggi di kantor, oke?"

"Aku bisa membayarkanmu." sahutnya dengan suara memelan.

Jeonghan tidak menjawab, ia melemparkan pandangannya ke arah jalan bebas hambatan A 100 yang merupakan jalur utama dari Stasiun Besar menuju daerah artistik dan indie yang untung saja dengan kecerdasan dan kemampuan Axel dalam menjelajah hotel ia jadi tahu ada hotel yang tidak terlalu mahal yang hanya berjarak 12 menit dari stasiun.

Lagipula, ia tidak menyukai teman seperjalanan yang seperti Choi Seungcheol--tidak menyukai spontanitas, tidak suka petulangan yang lebih banyak coba-coba daripada terjadwal, harus memesan tempat menginap, berkunjung ke tempat-tempat tidak keren dan terkesan sangat turis sekali. Memang, Wendy dan Axel adalah rekan seperjalanan yang paling enak yang pernah ia temui--ia jadi teringat perjalanan mereka ke Dresden yang seperti gelandangan karena lebih memilih tidur di sudut bar atau perjalan dengan mobil tiga hari ke Kiel tanpa menginap dan tidur di dalam mobil tanpa mandi. Mungkin jika Seungcheol mendengar cerita-cerita perjalanan tersebut, ia akan menyuruh Jeonghan ke rumah sakit untuk suntik vaksin.

Tolol.

Saat mereka tiba di daerah Hackescher Markt, Jeonghan memberikan beberapa lembar euro sebelum Seungcheol dapat membayar ongkos taksi.

"Aku sudah menemukan hotel untuk kita. Senang?" tanya Jeonghan yang mendapatkan tanggapan sebuah senyum lebar dari Seungcheol. "Jangan senyum." lanjutnya dan berjalan mendahului masuk ke dalam lobi hotel.

Setelah check-in hotel di sebuah hotel murah seharga 30 euro, Jeonghan mengajak Choi Seungcheol berjalan-jalan mengitari Hackescher Markt--tempat yang ia berani bertaruh, tidak akan Choi Seungcheol kunjungi jika ia ikut dalam perjalanan paket turis karena HackescherMarkt adalah kawasan padat yang bukan tujuan utama turis karena hanya berisi gedung-gedung pertokoan yang saling berdempetan dengan halaman luas yang dipergunakan sebagai cafe atau restauran kecil, dan jika masuk lebih dalam akan sampai pada lorong-lorong penuh grafiti berwarna-warni dengan nuansa warm dan freedom yang sangat kuat, juga bendera-bendera segitiga yang memiliki kesan karnaval yang sudah lewat bahkan ada gedung kosong yang seluruh temboknya diberikan coretan-coretan artistik yang sangat artsy.

"Keren sekali." Seungcheol berujar setelah mereka keluar dari gang kecil dan bertemu dengan jalan besar dan papan led berwarna merah dengan tulisan uniqlo. "Jalanan disini saling berkaitan satu sama lain, seperti benang laba-laba."

Jeonghan mengangguk menyetujui sambil menceritakan kalau dia dan Wendy pertama kali kesini pernah tersesat selama beberapa jam karena belum hapal dan akhirnya memutuskan untuk menjadi gelandangan dengan menumpang tidur di restauran kecil 24 jam.

Seungcheol tersenyum tipis. "Pasti merepotkan sekali waktu itu." katanya, melanjutkan perjalanan mereka kembali masuk ke dalam gang yang berjarak beberapa blok dari gedung tadi.

"Justru serunya di situ, Cheol." sahut Jeonghan. "Aku jadi punya kenangan disini."

Sekali lagi mereka berjalan menyusuri setiap gang yang ada di Hackescher Markt dan Jeonghan dengan angkuhnya melewati gang yang baru ia tahu tetapi mengatakan kalau ia pernah kesitu tetapi lupa. Oh, Seungcheol tentu tahu kalau lelaki kurus itu hanya membual.

Berjalan di sepanjang gang-gang sempit Hackescher Markt sambil bercerita tentang hal-hal yang tidak mungkin akan mereka bicarakan ketika berada di tengah kehidupan urban membuat Jeonghan tersenyum dalam hati, ia sedikit senang melewatkan waktu bersama Seungcheol karena untuk pertama kalinya lelaki yang lebih tua tersebut bersikap lebih rileks dengan mengajak dirinya untuk mencoba setiap restauran kecil yang mereka temui di sepanjang Hackescher Markt dan tidak menolak ide Jeonghan untuk melewati salah satu gang yang terlihat becek dan sedikit kotor.

"Han, tadi itu sungguh gila." kata Seungcheol saat mereka telah melewati gang yang terlihat seperti tempat uji nyali padahal hanya sebuah gang sempit yang cukup gelap karena langit-langitnya tertutup oleh beton. "Tidak ada penerangan sama sekali, bagaimana kalau tadi ada kejahatan?"

Jeonghan terkekeh. "Tenang saja. Aku percaya kamu bisa melindungi kita, Cheol."

Mata Seungcheol membulat menatap Jeonghan yang memandang lurus ke arah jalan. Suasana salah satu jalanan sempit Hackescher Markt yang tenang dengan musisi jalanan duduk di kursi yang telah tersedia di samping deretan cafe kecil berisi cukup banyak pelanggan duduk saling berhadapan dan tertawa membuatnya sedikit terbawa perasaan, yang tanpa sadar ia meraih pergelangan tangan Jeonghan dan menggenggamnya. "Kalau begitu izinkan aku."

Jeonghan berhenti ditempatnya menoleh menatap Seungcheol. "Apa?"

Seungcheol menelan ludah sebelum mendorong Jeonghan perlahan ke salah satu tembok berwarna krem yang telah dipenuhi grafiti. Ia tidak terlalu peduli jika orang-orang di cafe kecil yang ada di belakang mereka menjadikan mereka tontonan gratis.

"Izinkan aku untuk melindunginmu dari orang jahat dan dari orang freak seperti Max." kata Seungcheol, menepis jarak wajah mereka sedikit demi sedikit. "Aku serius dengan perasaan ini."

Yoon Jeonghan mengerjap-ngerjapkan matanya dengan bingung, merasa aneh dengan sikap Seungcheol yang menghimpitnya di ruang publik seperti ini. Tanpa menunggu aba-aba ia mencondongkan wajahnya dan mencium bibir Choi Seungcheol dalam lumatan-lumatan lembut sebelum melepaskan pagutan bibir mereka. "Jawabanku tetap sama."

"Sampai kapan?"

"Tidak tahu."

"Aku tidak suka menunggu terlalu lama." bisiknya.

"Kenapa begitu?"

Seungcheol tersenyum. "Aku bukan orang penyabar seperti yang kamu kira."

Beberapa menit berlalu tanpa suara, mereka tetap dalam posisi yang sama dengan mata saling menatap yang ditemani oleh suara nyanyian musisi jalanan dan suara orang-orang yang berbicara dengan bahasa jerman yang cepat. Jeonghan memejamkan mata dan mengerucutkan bibir setelah berkata dengan pelan. "Cium aku."

Kali ini Seungcheol menangkup sebelah pipi tirus Jeonghan, menggesekan hidungnya di hidung Jeonghan. "Kamu benar-benar sangat unik, Jeonghan."

Mendengar kalimat tersebut, Jeonghan membuka matanya dengan seulas senyum menggantung di bibir saat ia merasa takjub dengan dirinya sendiri yang menikmati pujian yang Seungcheol lontarkan.

"Ayo, lakukan." bisiknya lagi.

Begitu Seungcheol mendekatkan bibirnya ke bibir ranum Yoon Jeonghan, suara laki-laki yang menyapanya dengan aksen polandia kental membuat Jeonghan membantu di tempat dan membuyarkan prosesi ciuman mereka.

"Oh, Yewn Hani 'olla!"

Jeonghan menengok ke arah asal suara tersebut dan melihat seorang laki-laki yang sudah sangat ia kenal berdiri tidak jauh darinya dengan senyum jahil dan tangan yang memegang ponsel ke arah mereka.

"Arschloch, Axel! Verpiss dich!"

-------------------------------------
1888 words

'olla!

Ternyata aku rindu nulis cerita ini meskipun cuma bisa sebulan sekali karena idenya rada rumit gara-gara bingung mau namatin cerita ini gimana saking gak ada draft outlinenya kayak cerita yang lain he he he.

Seungcheol sudah memberi ultimatum kepada Yoon!

Seperti biasa silahkan kritik, saran dan pertanyaannya.

-kamus mini-
Arschloch : asshole
Verpiss dich! : piss off!
Merde (france) : shit

Continue Reading

You'll Also Like

89.5K 16.2K 41
[COMPLETED] 'Listen to your heart' adalah sebuah program radio favorit yang kini tengah digemari oleh banyak orang. Sebuah program radio yang bukan h...
6.1K 507 12
Perusahaan milik Kyungsoo bangkrut. Ada seorang pemuda yang bersedia menolong keluarganya dengan syarat Kyungsoo harus menikah dengan pemuda tersebut...
910K 75.6K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
193K 16.5K 87
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...