[Para] Tentara Langit

נכתב על ידי DHoseki

43.4K 7.9K 3.2K

Kalian bisa pergi dari tempat itu. Tetapi dengarlah, kalian tidak akan mudah untuk kembali. Dan kalian datang... עוד

Bagian 1 - Sang Tuan Putri
1.1
1.2
1.3
Bagian 2 - 'Predator'
2.1
2.2
2.3
Bagian 3 - Gadis Jepang
3.1
3.2
3.3
Bagian 4 - Fisikawan Gila
4.1
4.2
4.3
Bagian 5 - Zeebonia
5.1
5.2
5.3
Bagian 6 - Perompak
6.1
6.2
6.3
Bagian 7 - Bocah Akhir Jaman
7.1
7.2
7.3
Acacio Academy
001- Acacio Academy
003 - Acacio Academy
004 - Acacio Academy
005 - Acacio Academy
006 - Acacio Academy
007 - Acacio Academy
008 - Acacio Academy
009 - Acacio Academy
010 - Acacio Academy
011 - Acacio Academy
012 - Acacio Academy
013 - Acacio Academy
Pojok Cerita

002 - Acacio Academy

683 145 64
נכתב על ידי DHoseki

"Dari arah sini, gedung yang ada di sebelah kiri adalah asrama perempuan, dan gedung yang ada di sebelah kanan adalah asrama laki-laki. Di dalam amplop yang kalian bawa, ada sebuah kunci dengan ukiran nomor kamar kalian. Nomor kamar satu hingga seratus lima puluh ada di lantai satu. Seterusnya hingga lantai delapan."

Kaori meremas amlop yang dia genggam, kemudian hati-hati membuka stempel merah yang merekatkan amplop. Benar saja, selain sebuah kertas, terdapat sebuah kunci di dalamnya. Kaori mengambil kunci itu, berwarna perak dan cukup berat, dan berukiran angka 276 di pantat.

"Nah, ada lagi yang masih ingin kalian tanyakan sampai di sini?"

Kaori memasukkan kembali kunci itu ke dalam amplop, kemudian mengangkat pandangan, diam-diam memberikan atensinya pada seorang pria paruh baya yang mereka temui ketika keluar dari ruang kepala sekolah. Pria itu kemudian dengan senang hati menunjukkan jalan keluar melalui bagian belakang kastil, mengantarkan mereka menuju asrama.

Di belakang gedung akademi yang berwujud kastil itu, berdiri gedung hitam kembar yang saling berhadapan. Gedung kembar yang terlihat horor di tengah kegelapan. Dua gedung itu dipisahkan dengan taman yang memanjang di antara keduanya. Dan di tengah panjangnya taman itu, terdapat sebuah air mancur yang terbuat dari beton atau entah apa, yang jelas berwarna putih dan berpendar cantik. Air yang mengucur pun terlihat berkilauan.

Sejauh ini, segala yang Kaori lihat segalanya berpendar, selain kedua gedung kembar yang disebut asrama itu.

"Jika belum ada pertanyaan lagi, sebaiknya kalian segera beristirahat. Besok kalian harus sudah mulai mengikuti kegiatan, jadi pastikan kalian mengembalikan stamina kalian dengan benar."

Kaori kembali menatap pria paruh baya itu. Dia memakai seragam serba hitam, sama seperti seragam laki-laki yang menjemputnya dari rumah yang penuh dengan kematian. Perbedaannya, seragam pria ini memiliki pangkat perak berumbai putih di kedua bahunya, dan di sebelah kanan dadanya, terjahit nama yang tidak bisa Kaori baca. Juga di sebelah kiri dadanya, terdapat beberapa lencana perak yang tidak bisa Kaori lihat dengan jelas apa yang terukir di sana.

"Semoga kita bertemu lagi di masa depan. Selamat malam, semuanya."

Pria itu tersenyum hingga matanya menghilang menyerupai garis. Sebenarnya, Kaori tidak yakin apakah pria itu pernah tidak tersenyum. Matanya terus membentuk garis yang menunjukkan keramahan, tetapi itu jadi membuat Kaori bingung bagaimana pria paruh baya itu melihat jalan dan mampu menunjukkannya pada mereka.

Setelah mengangguk, pria itu berbalik, meninggalkan mereka bertujuh yang masih mempelajari kunci masing-masing dan gedung asrama kembar dengan seksama.

"Jadi, kita akan berpisah di sini?"

Kaori menatap ke arah Jaac yang akhirnya memecah keheningan setelah pria tadi berlalu.

"Kecuali kalau kalian para laki-laki mau mengikuti kami ke asrama perempuan." Aalisha menyeletuk, kemudian menyeringai ketika mendapati Jaac mengerutkan kening kesal. Membuat Kaori merasa aneh, kenapa mereka bisa secepat ini menjadi dekat satu sama lain?

"Tidak, terima kasih." Jaac mengatakannya dengan manyun, kemudian berjalan duluan menyusuri taman panjang berbata merah yang dengan rapi tersusun sebagai tempat berpijak. Atreo mengikutinya dengan tampak ogah-ogahan.

Aalisha dan Alka saling melemparkan pandangan, lalu tertawa satu sama lain.

Kaori mengejap memperhatikannya. Mereka berdua juga sangat dekat.

Entah itu Jaac, Aalisha, maupun Alka, mereka terlihat sangat cepat beradaptasi, tampak cukup antusias berada di tempat ini. Padahal mereka sama-sama bukan berasal dari dunia ini, padahal mereka sama-sama berada di tempat antah berantah saat ini, tetapi tidak tahu kenapa mereka terlihat menikmatinya, seolah sedang piknik.

Sepertinya, hanya Kaori di sini yang masih merasakan linglung dan bingung?

"Gue sebenernya mau bilang ini dari tadi ..."

Kaori berjengit mendengar suara yang begitu dekat dengan telinganya.

"... tapi lo bau mesiu."

Takut-takut Kaori menoleh, mencoba membalas tatapan tajam Elsi yang berdiri di sebelah kanannya. Tetapi sepertinya terlalu cepat bagi Kaori untuk berpikir seperti itu. Tatapan Elsi terlalu tajam, Kaori merasa seperti dikuliti. Dia segera mengalihkan perhatian, mencoba membaui dirinya sendiri dengan mengangkat sebelah lengan.

Benar saja, tubuhnya memang beraroma seperti yang dikatakan Elsi. Bau mesiu dari pistol milik Yash masih tercium pekat. Sepertinya karena jarak tembak yang terlalu dekat.

Ah, kepala Kaori jadi kembali terasa sangat pening sekarang.

"Lo abis tembak-tembakan apa gimana?"

Pertanyaan Elsi itu hanya bisa Kaori balas dengan ringisan kecil dan gelengan lemah. Nyatanya, Kaori memang tidak menembak. Yash yang menembak dirinya sendiri dan dengan jahatnya menggunakan jari Kaori sebagai perantara penekan pelatuk. Membuat Kaori merasa jahat.

Kaori memejamkan mata, pandangannya mulai berkunang-kunang lagi. Mengingat kejadian hari ini membuat seluruh tubuh Kaori rasanya berkontraksi.

Gadis itu mengenyitkan hidung ketika mendadak dia mencium bau anyir darah. Kaori yakin dia hanya berhalusinasi, tetapi bau itu rasanya sangat nyata, membuatnya tidak bisa menolak. Perutnya tiba-tiba saja bergejolak, ingin memuntahkan isinya sekarang juga.

"Jadi, sebaiknya sekarang kita juga pergi?"

Suara Alka yang mengembalikannya pada kenyataan membuat Kaori membuka mata. Setelah bersusah payah mengembalikan fokus, ia segera merapat pada Elsi, enggan tertinggal. Meski tidak berani terlalu dekat juga, takut Elsi merasa risih.

Tubuh Elsi lebih tinggi ketimbang Kaori, wajahnya begitu datar tanpa ekspresi, dan tatapan matanya seolah predator yang sedang mengancam mangsa. Paket lengkap yang cukup untuk membuat nyali Kaori menciut. Tetapi, tanpa alasan yang Kaori tahu, entah kenapa dia merasa aman berlindung (atau lebih tepatnya bersembunyi) di balik tubuh Elsi.

Kaori mengikuti langkah Elsi yang mulai berjalan di atas tatanan bata merah. Di samping kanan kiri taman, tumbuh rerumputan yang dipangkas rapi hingga setinggi pinggang Kaori. Ketika mencapai pisahan pagar rumput terdekat, mereka berbelok ke kiri, memasuki halaman asrama putri. Kelimanya menuju pintu terdekat, yang pintunya terbuka sendiri sebelum mereka sempat mengetuk.

Kaori menatap Zeeb yang memutuskan untuk masuk terlebih dahulu. Kemudian diikuti Aalisha, Alka, Elsi, dan dirinya.

Satu hal lain yang tidak bisa Kaori mengerti dari Aalisha, yaitu fakta bahwa dia tampak nyaman berjalan dan berkeliling di sekitar Zeeb. Perbedaan fisik mereka tampak sangat mencolok, dan perempuan berkulit gelap itu terlihat sama menakutkannya dengan Elsi.

Padahal, Kaori merasa sangat segan bahkan hanya untuk menatap Elsi, apalagi mengajaknya berbicara dan mengganggunya. Mendengar suaranya saja, Kaori rasanya seperti mendengar suara tentara Inggris yang menghabisi rumahnya. Bedanya, Elsi tidak berteriak-teriak, sementara mereka berteriak-teriak dengan kasar. Meski begitu, bahkan berbicara normal versi Elsi saja sudah cukup untuk membuat hati Kaori tergerus.

Kaori saling menggenggamkan kedua tangan, mencoba mengendalikan tremor yang ia sadari sekali lagi kembali menghebat. Tremor yang tidak bisa ia hentikan semenjak ia menarik pelatuk dan melihat Yash mati di depan matanya sendiri. Gemetaran itu sebenarnya sudah membaik ketika Kaori ada di dalam ruang kepala sekolah, tetapi kembali menjadi buruk ketika Elsi mengingatkan Kaori akan tragedi yang menimpanya.

Mencoba mengalihkan perhatian, Kaori mengedarkan pandangan, menatap aula kecil yang tampaknya adalah lobi. Sayang, warna dindingnya yang gelap justru semakin memperburuk suasana.

"Kenapa kalian masih berdiri di situ? Waktu tidur sudah lewat hampir dua jam lalu."

Kaori lagi-lagi berjengit ketika mendengar suara tiba-tiba, kali ini sebuah suara yang asing. Dia mengintip dari balik lengan Elsi, mengarahkan pandangan pada asal suara. Seorang perempuan berambut lurus dan dipotong sependek bahu tampak berdiri di balik meja tinggi setengah lingkaran. Rambutnya yang kuning pucat membingkai sebuah wajah yang seputih mayat, dan sepasang matanya yang berwarna ungu muda menatap mereka dengan pandangan tidak suka.

Pucat. Seputih mayat.

Konotasi itu membuat Kaori bergidik ngeri, mengingatkannya pada mayat-mayat yang tergeletak di rumahnya. Gadis itu mencoba mengatur napas, marah pada dirinya sendiri yang enggan melupakan kejadian mengerikan itu.

"Maaf, kami baru saja kembali dari ruang kepala sekolah." Aalisha yang menjawab, sembari menunjukkan senyum lebar khasnya. Wanita di balik meja itu mengerutkan kening, tetapi tampaknya tidak ambil pusing.

"Segera masuk ke kamar kalian. Jangan berisik dan membangunkan siswi lainnya. Jika kalian ada di lantai satu dan di kamar satu sampai dua puluh, ambil lorong di kiri kalian. Sisanya, ambil lorong sebelah kanan. Jika kamar kalian di lantai dua, kalian bisa menaiki tangga manapun, ada banyak di sepanjang lorong," ujar wanita itu, kemudian kembali duduk di balik meja, tampak seperti menghilang karena sekarang tidak terlihat apapun di sana.

Aalisha memberikan isyarat untuk mengambil lorong sebelah kanan, kemudian menarik Zeeb dan mengambil langkah lebih dulu. Kaori cepat-cepat menyusul ketika Elsi mulai berjalan, berusaha memepet lagi pada punggung perempuan itu.

"Kalian di kamar nomor berapa?" bisik Aalisha. Sepertinya dia mengecamkan peringatan wanita tadi untuk tidak berisik dan membangunkan siswi lain.

Zeeb menunjukkan kunci di tangannya pada Aalisha dan langsung membuat gadis itu tersenyum sumringah. Sepertinya pertanda baik untuk Aalisha.

"92," Elsi menjawab.

"276." Dan Alka menyahut.

Ucapan Alka nyaris membuat Kaori mematung dan terancam tertinggal rombongan. Itu angka yang sama seperti yang terukir di pantat kunci milik Kaori.

"Kaori?"

Kaori sekali lagi tersentak pelan, kemudian menatap Aalisha yang kini memberinya perhatian, seolah menunggu jawaban.

"Dua ... tujuh enam," jawab Kaori pelan.

"Ooh," Aalisha mengangguk-angguk. "Aku, Zeeb, dan Elsi ada di kamar yang sama. Alka dan Kaori berarti menempati kamar di lantai dua," lanjutnya.

"Kita berlima berpisah?" tanya Alka dengan nada sedikit mengeluh.

Ya, Kaori juga ingin mengeluh. Ini berarti dia akan berpisah dengan Elsi.

Perasaan Kaori mendadak tidak nyaman. Dia tidak tahu harus bagaimana jika tanpa Elsi, meski Elsi juga belum melakukan apapun untuknya sejauh ini. Tetapi, rasanya, ini seperti Kaori harus berpisah dengan Okaa-san di tengah pasar. Kaori merasa akan tersesat.

"Tidak apa-apa. Besok pagi kita akan bertemu lagi," kata Aalisha ringan.

Tidak. Ini bukanlah sesuatu yang ringan. Kaori ingin menggigit jarinya sendiri jika saja tidak mengingat bahwa dirinya tengah berada di tempat asing dan di sekeliling orang-orang asing.

"Yasudahlah," kata Alka akhirnya.

Kaori mengembuskan napas kasar. Tubuhnya mulai bergerak-gerak tidak tenang. Memikirkan akan berpisah dengan Elsi, entah kenapa membuatnya frustrasi. Ini aneh, Kaori tahu. Tetapi seperti yang Kaori bilang sebelumnya, dia merasa aman berada di dekat Elsi. Hanya ketika dia berada di dekat Elsi. Entah apa alasannya.

"Sebaiknya kita berpisah di sini," usul Aalisha ketika mereka sampai tangga ketiga yang sudah mereka temui di sepanjang lorong.

Kaori menatap punggung Elsi dengan tidak rela. Dia kembali tersentak pelan ketika tiba-tiba tangannya disentuh. Gadis itu menoleh pasrah, mendapati Alka menggenggam tangannya sembari tersenyum hangat.

"Ayo, Kaori."

|°|°|

Kaori melipat baju kebayanya yang benar-benar beraroma mesiu, memasukkannya dalam almari. Setelah mandi dan membersihkan diri, dia berganti dengan salah satu pakaian yang dia temukan di dalam almari di kamarnya.

Gadis itu mendudukkan diri di atas dipan, menatap sekeliling ruangan. Kamar itu tidak luas dan tidak juga sempit. Ada tiga ranjang, tiga nakas yang masing-masing berada di setiap sisi-sisi ranjang, dan tiga almari. Ada pula satu jendela besar yang terbuka, hanya tertutup selembar kain gorden tipis yang terus tersibak karena angin. Dari sana cahaya bulan menelisik masuk, memberi penerangan pada kamar yang remang. Tidak ada lilin, tidak ada sumber cahaya lain selain dari sang bulan. Dan yang terakhir, satu pintu lain selain pintu masuk, menghubungkan dengan kamar mandi.

Pandangan Kaori beralih ke salah satu ranjang yang bertuan. Gadis bersurai kuning keemasan yang tidur di atasnya terlihat nyenyak dan tidak terganggu dengan angin dingin yang menusuk tulang. Juga tidak terganggu dengan suara derit pintu ketika Alka dan Kaori masuk beberapa lama lalu. Tetap nyenyak terbuai dalam alam bawah sadarnya.

Kaori belum pernah melihat gadis itu. Perasaan khawatir yang datang entah dari mana tiba-tiba saja mulai menggerogoti hatinya. Tetapi, melihat wajah yang pulas itu, Kaori agaknya berharap baik terhadap si gadis. Semoga saja dia orang yang ramah, meski tidak mampu Kaori pungkiri, gadis itu tampak memiliki aura keangkuhan yang sama seperti yang Elsi miliki, bahkan meski dia tengah terlelap.

Kaori menatap gaun terusan sederhana yang dipakai gadis itu, berwarna hitam seluruhnya. Berbeda dengan milik Kaori yang memiliki perpaduan antara warna moka dan coklat. Baju terusan yang dia temukan di almari, bersama dengan satu set baju lain yang Kaori tidak yakin bagaimana memakainya. Alka juga menemukan hal yang sama di almarinya, kecuali bahwa gaunnya berwarna biru tua dan muda, dan memutuskan bahwa gaun itulah yang tampak paling nyaman untuk dikenakan saat tidur.

Kaori meraih amplop dari kepala sekolah yang tadinya ia letakkan di atas nakas kecil berwarna putih di samping ranjang miliknya. Aura di dalam kamar sangat berbeda dengan lorong yang gelap. Dinding-dinding yang berwarna pastel membuat kamar terasa lebih nyaman dan memiliki suasana yang baik. Tanpa disangka, membawa pengaruh yang sangat baik pula untuk Kaori. Tubuhnya tidak lagi terlalu gemetar, dan hatinya sekarang terasa jauh lebih tenang. Sesuatu yang tidak Kaori pikir akan terjadi ketika dia berpisah dengan Elsi.

Kaori membuka amplop krem di tangannya dan mengambil kertas di dalamnya. Kaori pikir tadi itu hanya satu buah kertas, mengingat amplopnya tampak begitu mulus dan ramping. Tetapi setelah ia keluarkan, kertas itu mendadak bervolume. Bukan sebuah kertas, melainkan segenggam perkamen yang dilipat.

Lelah, Kaori tidak ambil pusing. Segalanya sudah cukup ajaib. Tumpukan perkamen yang menjadi tipis ketika masuk ke amplop tidak cukup untuk mengejutkan Kaori yang sudah pening seharian ini. Gadis itu memutuskan untuk membaca bekal pemalsuan identitasnya.

Nama : Eri Kaori

Umur : 18 tahun

Asal : Kerajaan Ballard

Kerajaan Ballard dikenal dengan air terjunnya yang tinggi dan dingin, juga sejuk. Mata pencaharian utama kerajaan ini adalah bercocok tanam. Namun perdagangan dan peternakan juga berkembang baik. Kerajaan ini dikelilingi pegunungan yang seolah menjadi benteng dari dunia luar. Medan untuk mencapai kerajaan ini cukup sulit di terjang dan jaraknya pun cukup jauh dari Acacio Academy.

Menurut kabar yang beredar, membutuhkan waktu lebih dari satu purnama mengarungi lautan untuk mencapai kerajaan ini.

Perkamen itu berisi hampir seluruhnya tentang Kerajaan Ballard. Begitu juga perkamen-perkamen selanjutnya. Di lembar perkamen terakhir, terdapat jadwal agenda kegiatan selama di Acacio Academy.

Kaori mengangkat wajah, menatap ke arah pintu kamar mandi. Alka sudah di dalam dari tadi, setelah Kaori keluar. Tetapi gadis itu tampak belum akan keluar-keluar juga. Kaori punya ingatan yang buruk tentang kamar mandi—Yash ijin pergi ke sana sebelum melakukan pembantaian, ingat?—dan itu membuat Kaori merasa tidak nyaman.

Setelah memasukkan kembali perkamen-perkamen ke dalam amplop dan menyimpannya di laci terbawah nakas, gadis itu melangkah menuju pintu kamar mandi, mengetuk pintunya.

"Alka, kamu baik-baik, saja?" tanya Kaori pelan.

Tidak ada jawaban, membuat Kaori semakin merasa gelisah. Dia mengetuk sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Ragu-ragu, Kaori mencoba membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Takut-takut, Kaori mengintip sembari sekali lagi memanggil nama Alka.

"Oh, ya Tuhan. Kamu mengagetkanku, Kaori!" Alka terlonjak dan berseru ketika Kaori berhasil menemukan sosoknya.

"Eh, aku sudah memanggil dari tadi," balas Kaori canggung.

Alka geleng-geleng kepala. "Suaramu itu bahkan lebih pelan daripada angin," katanya.

Alka tampak tengah berusaha membuka gaunnya. Gaun kuning itu turun hingga sebatas perut, menunjukkan korset di dalamnya yang baru berhasil terlepas setengah dari semua ikatan. Sepertinya Alka menemui kesulitan yang berarti.

"Anu, Kaori, bisa membantuku? Ini sangat sulit." Alka meringis menatap Kaori. Kaori mengangguk pelan kemudian memasuki kamar mandi dan menutup pintunya lagi.

Kaori sebenarnya tidak yakin harus melakukan apa, tetapi sepertinya dia cukup melepas semua temali yang mengencangkan korset. Sarung tangan panjang Alka sudah disampirkan di wastafel, memperlihatkan lengannya yang seputih susu. Bahunya yang terbuka tampak begitu mungil dan indah, membuat Kaori menelan ludah, merasa dirinya sendiri langsung menciut.

Setelah semua temali korset itu berhasil terlepas, Alka menghela napas penuh kelegaan. Punggungnya yang sejak tadi tertahan korset langsung mengendur santai. Gadis itu tampaknya tersiksa dalam gaunnya sendiri.

Alka kemudian menarik lepas gaunnya yang mengembang. Dengan bersungut-sungut, dia berusaha merobek gaun itu, tetapi agaknya terbuat dari kain yang cukup tebal, membuat usaha Alka sia-sia. Kaori tidak tahu harus melakukan apa melihat Alka yang tampaknya sudah sangat kelelahan dan ingin segera beristirahat, tetapi urusan gaun ini menghalanginya.

Begitu gaun kuning Alka terlepas, terlihat kerangka aneh melingkari pinggang Alka, membuat Kaori tidak yakin lagi apakah ini adalah pemandangan yang biasa atau tidak, mengingat segalanya adalah hal yang tidak normal selama seharian ini.

Alka sekali lagi bersungut-sungut berusaha melepaskan kerangka itu. Kaori tidak tahu cara melepasnya untuk membantu Alka, dan tampaknya gadis itu sendiri juga tidak tahu bagaimana melepasnya. Beberapa kayu penyusun kerangka itu patah di tangan Alka, dan begitu kerangka itu berhasil terlepas, sudah tidak terlihat lagi bentuk aslinya.

"Ti ... tidak apa-apa rusak begini?" tanya Kaori pelan.

"Astaga! Oh, ya Tuhanku!" Alka memekik tertahan. "Ya ampun, aku lupa kalau kamu masih di situ, Kaori."

Kaori hanya tersenyum kecil sambil mengangguk, tidak tahu harus merespon apa. Sepertinya dia harus segera terbiasa pada orang-orang ini, yang Kaori sadari memang mudah melupakan keberadaannya.

"Tidak apa-apa, benda-benda ini memang seharusnya hancur saja. Ini adalah kabar baik karena aku bebas, tidak akan ada yang marah-marah dan memaksaku memakai semua ini lagi." Alka berkata sumringah.

"Keluarlah, aku akan mandi dan ganti baju. Kamu bisa tidur lebih dulu."

Kaori mengangguk. Dia berjalan keluar, membuka pintu, kemudian menyapa Alka untuk terakhir kalinya sebelum beranjak tidur.

"Oyasuminasai, Alka."

|°|°|

Fun facts:

Di versi sebelumnya, Kaori jauh lebih penakut dan paranoid. Tapi setelah saya baca ulang kondisi Kaori saat keluarganya masih utuh, dia adalah gadis yang auranya sangat positif dan dia hidup dengan baik. Dari situ, saya memutuskan untuk mengurangi kadar kepengecutan Kaori agar dia punya kesempatan yang lebih besar (dan lebih cepat) untuk berubah jadi lebih baik.

See yaa ~(⁰▿⁰)~

13May20-rev

המשך קריאה

You'll Also Like

828 280 31
(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di...
5.6K 429 9
Sungai Brantas ... dengan dendam arwah yang tak terbalas. Terpendam dalam kelam, mengalir pilu ... di celah bebatu. Sungai Brantas ... yang kelam, da...
9.4K 1.6K 37
"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!" Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar p...
3K 555 19
(Tentang obsesi, tentang dilema, tentang inner child. Cerita ini mengandung unsur toxic!Bijaklah dalam menyikapi!) # 1 tarbiyah ( 21 Mei 2021) # 1 ra...