Please, Accept My Heart

By AnggrekAngGraini

84.1K 4.9K 128

[Completed] "Diam. Itu lah cara ku mencintai mu. Maaf" *********** "Aku menceraikan mu disaat hati ku juga m... More

Sebaiknya Kita Cerai
Gedung 2 Lantai
Hujan Di Malam Hari
Sembunyi Di Balik Senyum
Terkunci Dalam Masa Lalu
Terusik Dengan Sikap Mu
Ke-ramahan Pertama Ku
Perasaan Ini Masih Sama
It's Our Day
Aku Meragukan Mu
Ungkapan Sederhana
Nikah? Oh, Not Now!
Aku Belum Bisa Menjawab nya
Datang lah! Aku Akan Mengatakannya
Menyerah Pada Hati
Bodohnya, Aku Masih Tetap Menyukai Mu

Bisakah Kita Kembali?

4K 227 5
By AnggrekAngGraini

"Jadi...kalian balikan?" keesokan harinya Kian dan Tifa mulai mengintrogasi.

"Apa kalian akan segera menikah juga?"

"Aku belum berpikir sampai kesana"

"Kalau kau menerimanya kembali berarti kau juga akan menerimanya sebagai suami mu lagi" timpal Tifa.

"Ntah lah. Aku sedang ingin seperti ini dulu"

"Lakukan saja perlahan. Tak perlu tergesa-gesa. Yang terpenting kalian sudah saling terbuka, itu kemajuan yang cukup bagus" balas Kian.

Aku mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong, malam ini aku tak akan pulang. Aku akan menginap di rumah Cio, teman kerja ku"

"Anak dokter pemilik apotek?" aku mengangguk, mengiyakan. Tifa menaik-turunkan alisnya dengan senyum menggoda. "Jadi kau mulai berperan menjadi wanita nakal?" mata ku berputar jengah. "Kau berhubungan dengan Axell disaat kau juga berhubungan dengan Cio?"

Aku yang sedang memegang sendok, memukul kepalanya pelan. "Berpikirlah lebih waras. Aku diminta membantunya mengurus persiapan pernikahannya" jelas ku.

"Kapan?"

"Besok malam"

"Jadi kau harus menginap?"

"Tentu saja. Keluarganya juga meminta ku menginap. Aku tak mungkin menolak"

Tifa mengusap dagunya, berpikir sambil memandang ku. "Bukan kah aneh? Notaben mu bukanlah keluarga mereka, kau tak perlu sampai menginap segala. Lagipula acaranya besok malam. Kalau mau membantu kau bisa membantu mereka besok"

"Aku tak akan berpikiran terlalu jauh selama mereka tak membuat ku rugi"

Tifa berdecak. Aku menghabiskan sisa makanan ku kemudian mencuci piringnya. Aku bergegas bersiap berangkat kerja. Semenit yang lalu Axell memberi ku pesan jika dia telah menunggu ku di depan.

"Aku berangkat"

"Hati-hati"

Seperti pesannya, pria itu sudah menunggu ku di dalam mobilnya. Aku segera masuk dan duduk di sebelahnya. Axell menyambut ku dengan senyum nya kemudian mengemudikan mobilnya.

"Lain kali tak perlu repot-repot menjemput ku. Aku masih bisa menggunakan kaki untuk berjalan kesana"

"Aku tak pernah menganggap mu tak bisa menggunakan kaki mu dengan sempurna. Aku ingin melakukan sesuatu yang biasa dilakukan sepasang kekasih"

Kekasih? "Semalam aku hanya mencium kening mu" aku menolak jika sudah dianggap kekasih baginya.

"Lalu?" aku tak mau menjawab. Ia sesekali melirik ku. "Apa kau harus mencium bibir ku agar kita bisa disebut sepasang kekasih?"

"Bukan!" jawab ku gelagapan.

Axell tertawa dan menghentikan mobilnya. Kita sampai. "Aku akan menjemput mu nanti"

"Tidak perlu" tolak ku sambil membuka sabuk pengaman ku. "Aku akan menginap di rumah Cio" ia memandang ku, meminta ku menjelaskan ucapan ku. "Cio akan menikah besok, aku diminta ikut menginap di rumahnya membantunya mempersiapkan pernikahannya"

Paham dengan penjelasan ku, Axell manggut-manggut. "Oke. Jaga dirimu"

"Tentu. Aku duluan"

Aku keluar setelah mendapat anggukannya. Cio sudah datang terlebih dahulu dan melambai pada ku. Aku menghampirinya dan membantunya menyusun beberapa obat-obatan yang telah habis.

*****

Cio membohongi ku. Sejak sejam lamanya aku berada di rumahnya, ia tak membiarkan ku melakukan apapun. Membantu persiapannya pun tidak. Ia hanya menyuruh ku duduk menemaninya di ruang tamu. Ada banyak sanak saudaranya datang berkumpul menyambut hari bahagianya.

Aku yang tak mengenal satu pun dari mereka kecuali kedua orang tua Cio, berdiam diri mendengarkan hal-hal yang tak aku mengerti sedikit pun. Jika mereka tertawa aku pun akan ikut tertawa tanpa mengerti hal apa yang membuat cerita mereka terdengar lucu.

"Kau bosan?" bisik Cio yang duduk berdempatan disamping ku.

Aku sengaja menempelinya sepanjang waktu. "Aku ingin pulang" jawab ku sambi berbisik pula.

Cio menahan tawa melihat ekspresi ku yang ntah lah. Aku terlalu jenuh dan kaku disini. "Aku sudah mempersiapkan kamar untuk mu. Kau boleh tidur jika ini terasa membosankan"

"Kau seakan tengah menguji kesopanan ku"

"Tenang saja. Mereka akan memahaminya"

"Aku tak akan mengambil resiko"

"Ya sudah, nikmati rasa bosan mu kalau begitu"

Aku mendengus. "Daripada disini, apa kau tak ingin berencana membawa ku ke belakang? Ku lihat kolam renang disana lebih menarik daripada disini"

"Bukankah itu juga termasuk sikap sopan mu?" aku mendengus. Ia tertawa pelan. "Kau ingin renang?"

Aku menggeleng. "Pemandangannya lumayan menggiurkan daripada disini"

Cio lagi-lagi menahan tawa. "Ayo" kami beranjak dari sana dengan melewati beberapa pertanyaan singkat dari mereka.

Aku hanya memberi senyum simpul untuk menanggapinya.

Sampai di kolam renang, aku baru bernafas lega. Bukan kolam renangnya yang ku tuju, melainkan taman di sekitarnya sangat menarik perhatian ku. Ku baringkan tubuh ku di atas rumput. Cio mengikuti ku.

"Ku kira kau berencana sekedar merendam kaki mu saja di kolam"

"Aku tak akan membiarkan kaki ku kedinginan"

"Disini juga dingin"

"Aku masih bisa menahannya" Cio berdecak. Kali ini aku tertawa menangkap ekspresi malasnya. "Kau gugup?" tanya ku mengingat besok dia akan melepas status single nya.

"Sedikit, tapi tak segugup calon istri ku" dia merogoh kantong celananya, menunjukkan ponselnya yang berisi pesan-pesannya dengan wanitanya pada ku. "Lihat! Dia terlalu berlebihan"

"Wajar, ini pertama kali untuknya"

"Lalu kau?"

"Apa?"

"Kapan kau akan menyusul? Mengingat umur mu 3 tahun lebih tua dari ku, kau tak ingin menikah?" Aku tersenyum, mengalihkan pandangan ku ke atas. Cio menghela nafas. "Jangan terlalu pemilih"

"Ntah lah. Aku perlu sesuatu untuk mematahkan keraguan ku"

Cio menghela nafas lagi. "Kau sudah punya calonnya?"

Aku berpikir lama, apakah Axell bisa ku sebut calon? Dia memang mengatakan mencintai ku, tapi apa kabar dengan ku?

Aku berpikir semalaman, bisakah kami kembali seperti dulu?

"Kau lihat pria yang duduk di sebelah mu tadi?" aku menoleh, menggeleng tak mengerti maksudnya. "Dia kakak sepupu ku. Kalian pernah bertemu waktu dia menggantikan jadwal ayah ku"

Aku mencoba mengingat, tapi tak sedikit pun bayangan tentang pria yang dimaksud itu muncul. "Aku...lupa..."

"Dia sedari tadi memperhatikan mu, mengambil duduk di samping mu"

"Seingat ku tak ada siapa pun di dekat ku"

Cio memandang ku malas. "Sesekali jangan hanya perhatikan sesuatu yang membuat mu tak nyaman dan melupakan sesuatu yang lebih menarik" Aku berdecak. Dia mendudukkan dirinya saat ponselnya berdering. "Diam sebentar. Calon istri ku menelpon" tunjuknya bangga pada ku.

Aku mengangguk, mempersilakannya. Malam itu ku habiskan waktu ku menemaninya asyik berbicara menenangkan gadisnya mengenai pernikahan mereka, hingga tanpa sadar aku terlelap melupakan dimana aku berberbaring sekarang.

*****

Acara pernikahan Cio berjalan lancar dan dia masih berdiri di atas pelaminan menyambut para tamu.

Aku berdiri di sekitar meja makan dengan piring ditangan ku, melihat makanan-makanan yang ada disana tanpa menyentuhnya sama sekali. Pikiran ku melayang tentang kejadian semalam. Cio bilang, aku ketiduran dan kakak sepupunya yang membuat ku berpindah haluan ke atas ranjang di kamar yang telah di sediakan Cio.

"Kau tak akan kenyang dengan hanya melihat-lihatnya saja" seorang pria mendatangi ku dengan piring di tangannya juga.

"Maaf...silakan" aku bergeser sedikit.

Ia tersenyum. "Mau ku ambilkan?" ia menaruhkan beberapa makanan sebelum aku menolaknya. "Panggil aku Bara"

"Ha?"

"Aku sepupunya Cio"

Sepupu? Ingatan ku berputar dan menemukan titik terang atas pertanyaan di kepala ku.

"Ah...jadi kau...."

"Tidur mu nyenyak?"

"Terlalu nyenyak sampai aku tak tau kalau kau yang membopong ku masuk"

"Itu hal menyenangkan"

Aku berdecak dalam diam. "Aku Zizi, rekan kerja Cio"

"Aku tau. Semalam aku ingin menyapa mu, tapi kau terlalu sibuk dengan ketidaknyamanan mu" senyum kaku muncul begitu saja. "Kalau kau sempat memperhatikan sekeliling mu, aku duduk tepat di samping mu"

"Maaf..."

"Wajar, kau tak perlu minta maaf" senyum nya tak lepas juga. "Mau duduk bersama ku disana?" tunjuk nya ke salah satu meja kosong.

Aku mengangguk canggung. Ia menuntun ku kesana. Hanya kami berdua yang duduk disini menikmati makanan kami. Sesekali ku dapati Cio mengedipkan matanya pada ku sembari mengangkat jempolnya. Aku bertanya melalui mata ku, tapi hanya dijawab dengan anggukan semata.

Bara banyak bertanya mengenai segala hal pada ku. Terutama mengenai kehidupan ku. Aku menjawab seadanya tanpa berniat bertanya balik. Ini hanya cara ku menjaga sikap ku padanya sebagai sepupu dari rekan ku.

"Kau punya pacar?"

Aku berdehem, menghabiskan makanan dalam mulut ku. "Tidak ada pertanyaan lain?"

"Ha?"

"Aku hanya tak suka privasi ku di pertanyakan" aku mulai tak bisa mengendalikan rasa ketidaksukaan ku. "Maaf jika menyinggung mu, tapi sebaiknya kau simpan saja pertanyaan itu. Aku tak berniat menjawabnya"

Ia meletakkan sendok makannya, memandang ku serius tanpa melepas senyumnya. "Aku bertanya karena punya niat lain pada mu"

"Aku tau. Aku sudah berkali-kali menghadapi pria seperti mu"

"Kalau kau tak menjawab berarti kau masih belum punya seseorang disamping mu" aku memandangnya kurang berminat. "Kau sendiri yang mengundang ku semakin dekat dengan diam mu ini"

"Ada. Aku punya seseorang di samping ku"

"Jadi kau sudah punya kekasih?"

"Hanya seseorang yang selalu disamping ku"

Dia tertawa lagi. "Dia selalu di samping mu tapi bukan kekasih mu. Bisa ku simpulkan dia juga sama seperti ku, sedang melakukan pendekatan pada mu"

"Ya, bisa dibilang begitu" jawab ku menyelesaikan makanan ku. Aku bersedekap membalas pandangannya.

"Aku masih punya kesempatan juga kalau begitu"

"Aku hanya memberi kesempatan padanya, tidak dengan pria lain"

"Jadi kau sudah berniat menerimanya?" aku mengedikkan bahu. Dia menghela nafas. "Jadi aku terlambat?" ia lebih bermonolog sendiri. "Kalau aku memaksa mu mengenal ku?"

"Kau akan bosan dan pergi begitu saja dari ku"

"Aku bukan tipe pria yang suka mengundurkan diri dari percintaan"

"Lakukan sesuka mu, jangan salah kan aku jika aku melakukan hal yang lebih dari ini. Percakapan ini saja sudah cukup membuat ku kurang nyaman"

Ia terbahak. "Kau terlalu kasar"

"Itu yang membuat semua pria memutuskan mundur"

"Baiklah akan ku coba dulu sampai mana aku bisa betah dengan sikap mu ini. Kita cukup dengan hubungan ini dulu, aku sebagai sepupu dari rekan kerja mu. Kalau kau berubah pikiran kau bisa berpaling pada ku" ujarnya sambil bercanda.

Aku tersenyum lebar. "Akan ku pikirkan"

Selebihnya kami lanjutkan dengan percakapan mengenai pengalaman pekerjaan, tak lagi mengarah kesana. Dia yang lebih aktif berbicara daripada diri ku.

*****

Sebelum acara selesai aku pamit terlebih dulu dengan Cio dan istrinya. Cio sempat menanyakan perihal percakapan ku dengan pria yang dimaksudnya semalam. Aku mengedikkan bahu, terlalu malas menjawabnya. Cio menanggapinya dengan dengusan tanpa rasa kesal.

Aku keluar diantar Bara sampai depan, menemani ku sebentar menunggu taxi. Namun, tak berapa lama seseorang menghubunginya dan dengan menunjuk rasa bersalahnya pada ku, dia meminta ijin ku untuk pergi. Sejujurnya aku tak membutuhkan ekspresi dan kata maafnya. Sekali lagi, demi sopan santun ku, aku mengangguk mempersilakannya pergi dengan senyum lebar. Belum saatnya aku berkata terlalu ketus.

Tak lama Bara meninggalkan ku, suara seseorang menyapa ku tiba-tiba. Pria berjas hitam lengkap dengan penampilannya yang selalu membuat ku terpana muncul dari sudut lain.

"A...Axell...??"

"Hanya seseorang yang selalu disamping ku?" ia berjalan ke arah ku dengan kedua tangan diselipkan dalam saku celananya. "Jadi, aku hanya seseorang yang selalu disamping mu?" tak ada kemarahan disana, justru sebaliknya.

"Kau diundang kesini?"

"Kau terlalu sibuk berbincang dengan teman pria baru mu dan mengabaikan kehadiran ku"

"Kau kenal Cio?"

"Aku kenal pengantinnya. Dia teman ku"

"Owh..."

"Jadi, kau setuju menjalin pertemanan dengannya juga seperti Azka?"

"Aku tak harus menjawab pertanyaan mu"

"Kenapa? Karena hubungan kita belum jelas?" aku mengedikkan bahu. "Ya sudah, kalau begitu ayo perjelas hubungan kita"

"Aku belum tertarik membahasnya. Aku ingin pulang"

"Biar ku antar setelah menjawab pertanyaan ku"

"Apa lagi?"

"Mau jadi kekasih ku?"

"Aku tidak mau. Aku mau pulang" aku berbalik menghindari pertanyaan yang masih ingin ku hindari. Namun, saat tangan ku terangkat menghentikan taxi, pertanyaan Axell membuat ku membeku sejenak.

"Kalau begitu, mau jadi istri ku?"

Aku berbalik menatapnya tak percaya. Ia tampak lebih serius dari sebelumnya. Aku tak menjawab apapun selain mentertawainya. Mengabaikannya, aku naik ke dalam taxi meninggalkannya berdiri disana. Melalui kaca spion, masih sempat terlihat jelas dia tersenyum memandang taxi yang membawa ku pulang. Aku pun ikut tersenyum meski ia tak tau.

Ponsel ku bergetar menandakan pesan masuk.

Aku serius dengan ucapan ku. Pikirkan baik-baik sebelum ku buat pria-pria mu yang lain menjauh seperti yang ku lakukan dulu. J

Aku tertawa sendiri membacanya.

"Kekanakan..." gumam ku.

Beberapa detik kemudian ponsel ku bergetar kembali, masih pesan darinya.

Kabari aku kalau sudah sampai

Aku masih tak berniat membalasnya. Mengabaikan pesannya, aku memberikan alamat rumah ku pada supir taxi.

*****

Keesokan harinya, karena pernikahan Cio, apotek ditutup untuk seminggu ke depan. Aku punya banyak hari untuk bermalas-malasan dengan menghabiskan waktu untuk tidur seharian.

Tepat jarum jam di angka 12 aku bangun dan menyapa Tifa dan Kian yang tengah menjaga perpustakaan. Kebetulan hari ini Tifa juga sedang libur. Namun, belum sempat mulut ku terbuka, Axell muncul dari pintu.

Pandangannya menelusuri penampilan ku dari atas ke bawah. Aku lupa membersihkan muka ku terlebih dahulu, terlebih lagi pakaian ku masih memakai gaun semalam. Aku terlalu lelah dan lupa mengganti pakaian ku.

"Kau baru bangun?" ia mencibir ku. Aku memandangnya tak suka. "Bersiap lah. Kita pulang"

"Ha?" Apa aku salah dengar? "Apa kau bilang?"

"Kita pulang"

"Aku sudah pulang sejak semalam"

"Pulang ke rumah kita"

Aku menganga. "Maksud mu ke rumah..." Axell mengangguk, mengiyakan. "Aku belum menjawab pertanyaan mu semalam"

"Aku tak harus menunggu jawaban mu untuk mengajak mu pulang"

"Lalu?"

"Ibu meminta ku membawa mu pulang sebentar. Mereka merindukan mu"

"Aku tak mau. Ada banyak hal yang harus ku urus"

"Kau libur seminggu. Hal yang ingin kau urus hanya tidur sepanjang hari seperti yang kau lakukan hari ini" sindirnya. "Keluarga besar ku akan berkumpul besok lusa..."

"Woooohhhhh..." seru Tifa dan Kian serempak.

"Tenang saja, aku belum akan melamar mu kalau kau belum siap dengan hal itu"

"Jadi hubungan kalian sudah sejauh ini?" goda Kian. "Tunggu apa lagi? Lakukan saja acaranya secepat mungkin"

"Semua tergantung jawabannya" jawab Axell. "Aku sudah melamarnya secara pribadi semalam, tapi dia justru melarikan diri dari ku"

Kian dan Tifa terkekeh.

"Bukannya dia melarikan diri, mungkin dia malu untuk mengakuinya dan menjawab 'Iya' pada mu"

Aku mendelik.

Axell tersenyum lebar. "Ku pikir juga begitu"

"Sudah, jangan menyudutkan ku terus. Dan maaf Axell, hubungan kita belum sampai tahap untuk aku bertemu dengan keluarga besar mu..."

"Kau sudah mengenal dekat mereka, sudah sepatutnya kau juga menghadirinya"

"Apa akan ada acara special?"

"Aku ingin mengenalkan mu pada mereka kembali. Bersiaplah, jangan menolak"

"Maaf, aku tidak mau. Kau boleh lakukan apapun tapi tidak dengan mempertemukan ku dengan mereka. Aku masih belum punya nyali"

"Ku beri waktu sampai nanti malam. Aku berharap kau setuju karena kesempatan ini sangat penting bagi ku"

"Penting bagi mu bukan bagi ku. Pulang lah sendiri, mereka akan paham karena posisi ku tak lagi berada pada tahap aku harus menyapa mereka semua"

"Kau tinggal ambil kembali posisi mu dengan menikah dengan ku"

"Kita pernah bercerai dan aku harus memikirkannya dengan matang"

"Kau belum yakin pada ku? Kau bilang kau tak membenci ku"

"Aku hanya perlu waktu memikirkannya lebih matang"

Dia menatap ku sedikit kesal. Dia melirik jam tangannya. "Aku harus pergi. Nanti malam aku datang lagi. Pastikan jawaban mu tak mengecewakan ku" ia pergi begitu saja.

Ku hela nafas panjang, menjatuhkan kepala ku di atas meja. Kenapa rasanya semakin berat jika berurusan dengannya?

Kian dan Tifa yang sedari tadi bungkam ikut menghela nafas.

"Ternyata kau masih kekeh dengan sifat keras kepala mu ini" ucap Kian.

"Aku sependapat dengannya. Mereka pernah bercerai, dia harus memikirkannya lebih matang kali ini" Timpal Tifa

"Apa yang perlu dipikirkan? Tak ada lagi penyebab Axell berpaling darinya"

"Belajarlah terluka, kau akan tau apa yang harus kau lakukan sebelum kau memutuskan untuk kembali pada cinta lama mu meski kau masih menaruh hati padanya" ujar Tifa seolah menggurui Kian.

Ku dengarkan saja perdebatan kecil mereka tanpa berniat ikut berdebat.

*****

Malam-malam Bara menghampiri ku ke rumah tepat saat Azka dan Axell juga datang. Memang terasa canggung, tapi aku tak bisa mengusir Bara begitu saja setelah aku menerima pesan dari Cio yang menyuruh ku menjamu sepupunya dengan baik.

Aku dibantu Kian menyiapkan minuman dan beberapa camilan ringan. Kebetulan Bara juga membawa bingkisan, jadi kami menyuguhkannya juga.

"Kau dokter?" tanya Azka basa-basi.

Bara mengangguk. Aura keramahannya membuang kecanggungan yang sempat ada.

"Kau juga menyukainya?"

"Maaf?"

"Kau juga menyukai gadis di samping ku ini?" liriknya menggoda ku.

"Dia sepupu rekan kerja ku. Kau tak perlu berpikiran macam-macam" jelas ku agar Azka berhenti. Namun, nyatanya tidak. Ia semakin gencar mengorek sesuatu.

"Kau akrab dengan teman mu, tapi kenapa justru sepupunya yang datang?" aku mendelik menyuruhnya berhenti.

"Kami sempat berkenalan kemarin. Aku bercerita padanya kalau aku mengelola perpustakaan, sama dengannya" tekan ku di setiap kata.

"Owh, jadi kalian punya hoby yang sama?" pandangan Azka beralih pada Bara yang sejak tadi memperhatikan kami dengan pandangan menarik.

"Ku rasa aku paham apa yang ingin kau tau dari ku" Bara membalas pandangan Azka. "Aku menyukainya. Kau juga?"

Azka mengangguk. "Ya, kami juga menyukainya"

"Kami?"

"Aku dan pria santai ini" tunjuknya pada Axell yang tak tertarik dengan percakapan ini. Ia asyik menikmati kopinya. "Jadi menurut mu, siapa yang akan dia pilih?"

"Ntah lah, aku sedang berusaha"

"Jangan berusaha karena aku sudah berusaha juga. Hatinya sudah terisi penuh, kita tak punya tempat disana"

"Jadi kau menyerah?"

"Tidak. Aku menunggunya saja" Bara terkekeh. "Bersiaplah patah hati bersama ku"

"Kalau tak ada bahan pembicaraan, pulang lah!" sela ku jengah.

"Sedari tadi kami sedang mengolah tema pembicaraan yang kami pilih"

"Aku keberatan jika kalian menjadikan ku objek pembicaraan kalian"

"Sebaliknya topik itu yang paling menarik bagi kami"

Aku mendengus. Kian dan Tifa tertawa memperhatikan kami tanpa niat menyela. Sesekali ku lirik Axell yang tengah sibuk dengan ponselnya. Wajah tenangnya kali ini tak setenang biasanya.

"Aku keluar sebentar..." ucap Axell seraya meletakkan ponselnya di telinganya.

Wajah itu sering ku dapati dulu ketika sesuatu terjadi tak sesuai dengan keinginannya. Aku ikut keluar setelah minta ijin dari mereka. Sebelumnya aku mengkode Tifa dan Kian untuk mengambil alih keadaan sebentar.

"Baiklah. Aku akan memintanya pulang..." itu lah kalimat terakhir yang ku dengar sebagai penutup percakapannya di telepon.

"Ada apa?" tanya ku setelah ia memutuskan hubungannya.

"Aku tak punya waktu menghabiskan malam ku disini. Aku akan pulang. Jadi, bagaimana dengan mu? Kau sudah mengubah keputusan mu?"

Mendapati ketegasan dan kecemasan disana aku mulai berspekulasi. "Ada yang kau sembunyikan dari ku?"

Ia menghembuskan nafas berat kemudian tersenyum kecut. "Kau mencintai ku?"

"Ha?"

"Kau mencintai ku?" tanya nya lagi. "Katakan kau mencintai ku, jadi aku bisa pulang sendiri dengan tenang"

"Aku tak mengerti"

"Aku akan pulang beberapa hari ke depan. Meninggalkan mu bersama kedua pria yang juga mengejar mu, aku kurang percaya diri meninggalkan mu begitu saja. Jadi, katakan saja kau mencintai ku, itu sedikit membantu dan membuat ku tenang"

"Kau berlebihan"

"Aku serius"

"Jangan kekanakan"

"Kau yang kekanakan, menolak ajakan ku pulang dengan alasan yang berlebihan"

"Aku mengikuti isi pikiran ku"

"Dan pikiran mu terlalu mempersulit hubungan ini" aku mengalihkan pandangan ku. "Pulang lah dengan ku. Aku akan memperkenalkan mu dengan keluarga besar ku sebagai tunangan ku"

"A-apa...?"

"Putri tante Tika akan segera menikah. Di acara itu aku membutuhkan mu mendampingi ku" aku gagal menangkap maksudnya. "Mereka berencana memperkenalkan ku dengan seorang wanita"

"H-ha?" dia akan dijodohkan?

"Kalau kau tak bersedia cukup katakan kau mencintai ku. Itu cukup memberi ku jaminan untuk ku utarakan maksud ku pada mereka untuk menolak perkenalan itu"

"Kalau kau memang mencintai ku, ku rasa kau tak membutuhkan kalimat itu keluar dari mulut ku" meski aku cemas mengenai perkenalan itu, aku berusaha untuk tak menunjukkannya.

Ia tersenyum. "Tapi aku membutuhkannya secara nyata meski tanpa kau mengatakannya aku yakin kau mencintai ku juga. Hanya katakan sekali saja. Aku akan mengantonginya dengan senang hati"

Aku berdehem. "Jadi...kau akan menerima perkenalan itu?"

"Menurut mu?"

"Itu hak mu"

"Hak mu juga"

"Aku...aku tak keberatan"

"Aku keberatan"

"Itu urusan mu"

"Urusan mu juga"

"Aku tak mau berurusan dengan mu"

"Kau mencium dahi ku dengan sepenuh hati mu, berarti kau setuju berurusan dengan ku mulai detik itu"

"Berhenti menggoda ku"

"Kalau begitu ikut lah pulang bersama ku"

"Untuk menunjukkan calon mu pada ku?"

"Untuk menunjukkan calon ku pada semua orang"

"A...aku..."

"Berhenti main kucing-kucingan. Besok ku jemput jam 8 pagi"

"Aku bilang aku tak mau ikut"

"Tadi kau bilang kau mau ikut"

"Kapan...?"

"Tadi, setelah aku mengatakan mengenai perkenalan itu, wajah mu berubah secara drastis"

"Kau membohongi ku?"

"Ikut lah agar kau percaya kalau aku sedang tidak berbohong"

"Tidak..."

Axell mentertawai ku. "Dengan sikap mu ini kau yakin menjawab tidak?" ia bersedekap menghakimi ku.

Baiklah, aku menyerah. Aku mengakuinya. Aku takut dia menerimanya meski aku yakin dia tak akan menerimanya. Benarkan? Apa aku terlalu kentara? Tapi, aku masih bersikap sewajarnya. Kenapa susah sekali menutupinya?

"Tidur lah. Besok ku jemput jam 8. Calon mertua mu berharap banyak pada mu. Tak seharusnya kau menolak undangan mereka. Kalau kau datang, aku yakin mereka semua akan menerima mu kembali kalau itu yang kau khawatirkan. Mungkin mereka lah yang akan melamar mu untuk ku"

"Kalau pikiran mu salah?"

"Dengan ibu ku yang selalu bertanya tentang mu, apa kau masih meragukan ku?"

Tidak, aku tidak meragukan mu. Aku...aku percaya pada mu. Sejak dulu aku percaya pada mu. Dan sekarang pun, aku masih mempercayai mu. Aku ingin kau tau kebodohan ku ini.

Bisakah kami kembali? Tatap ku sendu padanya. Aku masih meragukan keputusan yang ingin ku ambil.

"Berjanjilah, jika mereka menolak ku..."

"Kau hanya perlu menggenggam tangan ku sampai mereka menerima mu" selanya meyakinkan ku. Dan kalimat yang dilontarkannya, mengingat kan ku pada cerita beberapa tahun silam. Cerita yang membuatnya berpaling dari ku.

"Jangan mengatakannya. Kalimat mu terdengar kau sedang membodohi ku"

"Kau bisa menonjok ku seperti yang kau lakukan dulu"

Aku tertawa kecil. "Pasti"

"Jadi..." dia minta kepastian.

"Akan ku hubungi jika aku berubah pikiran"

"Jadi kau tetap tak berniat ikut?"

"Aku masih memikirkannya"

"Baiklah. Terserah pada mu. Aku cuma ingin menunjukkan keseriusan ku pada mu"

"Aku tau. Masalahnya hanya pada ku"

"Aku mengerti. Katakan pada Azka, aku pulang duluan. Selamat malam" senyum nya mengakhiri perjumpaan kami.

*****

TBC....


Tinggal beberapa chapter lagi cerita ini bakal usai.

Thanks yang udah baca dan nunggu dengan setia cerita ini. Maaf jika membosankan dan makin kurang menarik.

Voted & Komen selalu ditunggu ya guys :)

Continue Reading

You'll Also Like

690 129 45
Tidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020...
1.2M 87.5K 32
[SUDAH PERNAH DIBUKUKAN, CERITA MASIH BISA DIBACA DENGAN SISA PART YANG ADA] Ada di sini yang orang Jawa? Pernah mendengar mitos yang bunyinya 'Anak...
22.1K 1.7K 43
"Gue bakal bikin lo suka sama gue setengah mati!" ucap Audrina. "Astaga cewek aneh binti ajaib namanya Nana bikin gue sakit kepala. Dia sempet nyebar...
4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...