Diary Of an Introvert (REPOST...

By halloransey

629K 60.8K 8.3K

Follow @ranikastory on Instagram. Diary Series [1]: Ini aku dan kisahku yang selalu dianggap berbeda hanya ka... More

πŸ““Pengantar KataπŸ““
πŸ““Visualisasi TokohπŸ““
πŸ““Fyi + Review ReadersπŸ““
πŸ““ BOOK TRAILER πŸ““
πŸ““0 - Panggil Saja Aku Pao
πŸ““1 - Aku yang Berbeda
πŸ““2 - Teman Baru?
πŸ““3 - Eccedentesiast
πŸ““4 - Galaxy
πŸ““5 - Menjauh
πŸ““6 - Sebuah Kata Maaf
πŸ““7 - Sebuah Rasa
πŸ““8 - Antara Sedih dan Lucu
πŸ““9 - Keputusan Yang Salah
πŸ““10 - Tiba-tiba Merindu
πŸ““11 - Sehari Bersama Arlan
πŸ““12 - Bolos
πŸ““13 - Sebatas Topeng
πŸ““14 - Di Bawah Terpaan Hujan
πŸ““15 - Dilema
πŸ““16 - De Ja Vu
πŸ““17 - Semerbak Iris
πŸ““18 - Pinky Promise
πŸ““19 - Tak Selamanya Hening
πŸ““20 - Percaya
πŸ““21 - Imunisasi Hati
πŸ““22 - Kesedihan
πŸ““23 - Tersenyum Palsu
πŸ““24 - Terkuaknya Rahasia
πŸ““25 - Kekecewaan
πŸ““26 - Ancaman
πŸ““Side Story #1
πŸ““Side Story #2
πŸ““Side Story #3
πŸ““27 - Kekhawatiran
πŸ““28 - Melepaskan
πŸ““29 - Melupakan
πŸ““30 - Perencanaan
πŸ““31 - Rindu
πŸ““32 - Halusinasi
πŸ““33 - Kepergian
πŸ““34 - Kepulangan
πŸ““35 - Menghadapi Kenyataan
πŸ““36 - Tertuju Padanya
πŸ““37 - Keberanian
πŸ““38 - Sebuah Kabar
πŸ““39 - Merenung
πŸ““40 - Pengorbanan
πŸ““41 - Hujan di Kala Senja
πŸ““42 - Kasih dibalik Kisah
πŸ““Abellia DarrelπŸ““
πŸ““44 - Menebar Kebaikan
πŸ““45 - Kebahagiaan
πŸ““46 - Sahabat
πŸ““47 - Malu
πŸ““48 - Pentas Seni
πŸ““49 - Bukan Sebuah Akhir
πŸ““50 - Diariku (Ending)
πŸ““Terima Kasih Masa LaluπŸ““
πŸ““Extra Part
πŸ““Funny FactπŸ““
Nanya deh

πŸ““43 - Kembali Sekolah

6K 613 40
By halloransey

❝Bersekolah adalah masa terbaik yang harus dinikmati hari-harinya. Karena suatu saat nanti, mungkin saja aku tidak lagi dapat berkumpul dengan mereka.

. . .

Sejak kejadian tadi malam yang tanpa sengaja bertemu Arlan, aku sedikit menghindar darinya di sekolah. Bukan apa-apa, aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Semalam juga Om Willy memberikan rapor semesterku. Aku baru tahu kalau diriku mendapatkan ranking 10. Dapat ranking segitu saja, aku sudah bersyukur minta ampun.

"Dapat ranking berapa, Lin?" Revi bertanya ketika kami sedang duduk di halaman depan sekolah.

Ragu-ragu aku menjawab, "Sepuluh. Kamu?"

"Tujuh," sahutnya riang.

Revi terlihat senang sekali. Kalau melihat orang senang, hati ini juga jadi terikut senang.

"Elis sama Racha?"

"Elis sebelas, Racha satu lagi dong."

"Racha emang jenius banget ya."

"Hooh."

Aku kembali mengemut lolipopku sembari membaca buku tentang hal-hal mistik di dunia. Sesekali terbatuk-batuk dan pilek. Mungkin ini efek mandi hujan semalam.

"Malika!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Mirel, teman sekelasku berjalan menghampiri.

"Eh Mirel kederel. Apaan lu manggil-manggil gue Malika? Gue tabok lo entar."

"Et, nggak boleh galak. Nanti dapet jodohnya susah."

"Nggak ada hubungannya, dodol! Apaan lo manggil-manggil gue? Ada hujan duit?"

"Buset. Gila lo. Lo dipanggil sama Pak Budi. Si Elis belahan jiwa lo udah di sana."

"Seriusan? Kok Elis nggak nungguin gue?"

"Mana gue tahu. Dah ah, gue mau mejeng dulu. Bye!"

Mirel berjalan lenggak-lenggok sambil melambaikan tangan ke orang-orang yang dilewatinya. Atensiku kembali lagi pada Revi ketika dia mengeluarkan suaranya.

"Gue ke Pak Budi dulu ya, latihan PBB. Besok gue ikut lombanya sama Revi. Doain kita ya."

"Siap!"

Setelah Revi pergi, tiba-tiba saja Windi sudah berada di sebelahku. Tatapannya menusuk, membuat nyaliku menciut saja.

"Gue peringatin ke elo. Nggak usah keganjenan deh deket-deket sama my baby Arlan."

Aku terkejut dengan perkataannya. Jadi selama ini Windi beneran suka Arlan?

"Ngerti nggak?"

Aku diam saja, pura-pura mencari objek lain untuk kukerjai.

"Woi! Lo denger nggak gue ngomong? Gue ngomong sama lo, bukan batu."

Aku menghembuskan napas panjang. "Iya, denger."

"Ya jawab dong, Bego!"

Kukepalkan tanganku, berharap kekuatan selalu menyelimuti. Aku harus sabar menghadapinya.

"Mau dijawab apa, aku sama Arlan nggak ada hubungan apa-apa."

"Bohong banget lo, bitch!"

Padahal aku menjawab baik-baik tetapi dia malah ingin menjambak rambutku. Kutepis tangannya kuat-kuat.

"Kalau aku bilang nggak ada apa-apa ya nggak ada. Nggak usah kasar dong," jawabku sebal.

"Oh, udah berani? Udah berani sekarang?"

Windi memajukan langkahnya dan aku refleks mundur ke belakang.

"Windi!"

Hampir saja aku kehilangan keseimbangan. Beruntung Abel datang menghampiri kami. Windipun langsung menangkap seraya merangkulku.

"Lo nyari masalah lagi ya?"

"Nggak kok, Bel. Tadi gue nanya, katanya kan dia nggak sekolah di sini lagi. Tapi kok sekarang dia malah di sini?" Windi terlihat gelagapan.

Abel sendiri sepertinya cuek-cuek saja. "Yuk ah, Meg ke ruang OSIS."

"Ayo ayo! Gue mau ketemu kesayangan gue, Rifen."

"Gue nggak diajak?" sela Windi.

Abel langsung memasang wajah menantang. "Gue ke sana mau kasih proposal. Bukan mau nge-bully orang. Yuk, Meg!"

Abel langsung merangkul Mega dan melenggang pergi meninggalkan Windi dan aku. Aku menatap Windi yang terlihat sedang kesal.

"Ih, ngeselin banget sih tu orang! Sial!"

Aku mengernyit, kemudian kami saling bersitatap.

"Apa lo lihat-lihat?"

Windi menghentakkan kakinya, meninggalkanku. Setelah dia agak jauh, barulah aku berkata, "Punya mata ya untuk ngelihat dong?"

Setelah itu aku mendengkus dan berjalan memasuki kelas.

. . .

Pengurus OSIS terlihat sibuk sekali ketika jam istirahat. Hari ini pembelajaran juga belum efektif. Jadi masih banyak jam kosong yang tersisa. Racha dan Revi yang tergabung dalam OSIS sibuk bolak-balik kelas ke ruangan OSIS guna mempersiapkan pensi yang entah kapan dilangsungkan.

"Aku kira kamu anak OSIS," ucapku memulai pembicaraan.

Sedari tadi Elis hanya mencari ribut dengan Dino. Arlan juga tidak kelihatan batang hidungnya.

"Gue anak MPK. Harusnya gue mantau anak OSIS nih."

"Terus kok masih di kelas?"

"Pala gue pusing. Lagian mereka lagi riweuh banget. Mantau doang nggak enak," cerocosnya.

"Emang acara pensinya kapan?" tanyaku penasaran.

"14 Februari. Gue yakin pasti seru banget nih!"

Aku mengangguk. Semoga saja begitu. Lagipula mereka sudah bekerja keras juga.

"Woi, jomblo!"

Jujur Revi mengagetkanku dengan hentakan tangannya di atas meja.

"Anjir, lemes banget congor lo yak," sahut Elis. Aku masih mengurut dada perlahan.

Revi mengambil kursi belakang dan meletakannya di sebelah Elis. Racha yang baru datang mengikuti mengambil kursi dan duduk di sebelahku.

"Makanya, jangan ngarepin Dino mulu. Jomblo terus, kan?" pancing Revi lagi.

"Ah, kayak lo punya pacar aja."

"Gue sih jomblo fisabilillah."

"Jomblo apaan tu?" Elis mendelik ke arah Revi. Aku tertawa dalam hati mendengarnya.

"Cha Cha apaan kemarin yang lo bilang Cha?" Revi menepuk Racha, jadi aku yang kena. Nasib.

Kulirik Racha memasang wajah pura-pura tak tahu. "Apaan? Pacar gue tiga kok."

"Hah?" Elis menganga.

"Pertama, Allah. Kedua Rasulullah. Ketiga orang tua. Bener, kan?"

"Yailah. Gue kira beneran," ujar Elis memutar bola matanya. Aku terkekeh pelan. Lucu.

"Kan bener. Mereka semua yang ada di hati gue."

"Iya deh, terserah lo aja."

"Jadi kalau ngejawab, gue nggak bohong, dong?" tanyanya sambil cekikikan.

"Lo bener juga, Cha."

"Iya dong," sahutnya terdengar menyombongkan diri.

Suara azan kini terdengar di telingaku. Aku ingin salat sebelum Racha mengeluarkan suaranya.

"Salat yuk!"

Ketika aku menyebut kata salat, Elis dan Revi mulai lemas. Kebiasaan.

"Jangan bilang halangan lagi. Ayo!"

Racha langsung menarik tangan Revi dan aku juga ikut menarik tangan Elis.

"Ayo, Lis."

"Oke oke!" seru mereka serentak.

Mulai tahun baru, sudah banyak peraturan baru ditetapkan di sekolah ini. Seperti di kelas, semua murid harus melepaskan sepatu dan meletakkannya ke rak yang sudah disediakan.

"Besok-besok bawa sendal deh. Ribet pake sepatu gini," gerutu Elis.

Setelah memakai sepatu, kami semua bergegas ke musala.

Usai salat, kami ngumpul sejenak di depan musala. Sampai satu pemandangan mengusik mataku.

Windi berdekatan dengan Arlan.

"Si Windi itu makin lama makin pengen gue nyakar mukanya."

Aku menoleh ke arah Elis di sebelahku. Ternyata dia melihat pemandangan menyebalkan itu juga.

"Emang muka dua banget tu anak," timpal Racha yang tampak kesal melihatnya. "Bisa-bisanya Abel langsung maafin dan masih nerima dia jadi temannya."

"Kayak bukan Abel biasanya," celetuk Elis.

"Kalian nyadar juga? Gue pikir gue aja yang ngerasa aneh."

"Semua orang di sekolah ini juga tahu gimana sikap Abel. Brutal banget, nggak pernah takut apapun. Apalagi itu si Windi malah deketin Arlan, pangerannya," papar Revi.

"Aneh banget kalau Abel nggak bawa kasusnya itu serius. Apalagi Windi udah mencemarkan nama baiknya. Masa dia nggak ada bilang apapun ke mamanya yang notabene ketua komite sekolah?"

Aku diam karena sudah mengetahui semuanya. Abel tidak akan mau mengatakan apapun ke mamanya karena hubungan mereka tidak harmonis.

"Kita selidiki yuk."

"Eh nggak usah." Dengan cepat aku menyela ucapan Elis.

Elis dan Revi kini memandangku serius. Beruntung Racha tidak ikut-ikutan. Kuteguk ludahku kasar.

"Kenapa? Baru aja gue kepikiran mau buat grup khusus 86 squad buat menguak kasus ini."

Aku kaget. Mereka lagi sandiwara atau gimana sih? Kok tiba-tiba pengin jadi detektif?

"Ya nggak papa." Aku mengibaskan tangan dan pura-pura ketawa. "Ya nggak usah ikut campur urusan oranglah."

"Gitu ya?"

Aku mengangguk antusias.

"Tapi gue penasaran."

"Gue juga."

"Gue apalagi."

Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. "Udah ah, kita ke kelas aja yuk!"

Aku mengalihkan pemikiran mereka dan ... berhasil! Aku mengulas senyuman kemenangan.

Setidaknya untuk saat ini, mereka menghapuskan niat menyelidiki Abel. Aku hanya kasihan padanya.

. . .

Bel pulang berbunyi. Segera kami keluar kelas. Sekarang kalau mau masuk atau pulang harus absen dulu menggunakan sistem fingerprint. Banyak siswa yang berceloteh, tetapi kalau menurutku, ikuti saja peraturannya. Toh bukan aku pemilik sekolah ini.

"Gimana? Kita bentuk tim 86?"

Dahiku mengerut. Masih saja mereka penasaran dengan sikap Abel kepada Windi.

"Gue mau ngomong sama lo."

Seketika Windi berada di depan seraya menghadangku. Jantungku terlonjak dibuatnya.

"Eh santai dong lo! Nggak usah ngegas."

Revi maju menyingkirkanku dan menghadapi Windi.

"Eh kalian mending minggir deh. Gue nggak ada urusan sama kalian."

"Eh cabe, tapi lo ada urusan sama sahabat gue. Jadi gue berhak ikut campur." Elis jadi ikut-ikutan. Aku jadi kelimpungan.

"Lo bilang gue apa tadi? Cabe?"

"Iya, lo cabe. Cabe busuk! Pergi sana jauh-jauh. Hush!"

Windi mengeram. "Awas kalian ya." Cewek itu menatap tajam kami semua. Kalau ada teman begini, aku tak merasa takut. Manusiawi, bukan?

Setelah itu, Windi pergi meninggalkan kami. Aku menghela napas lega.

"Kita bales aja tu anak. Makin mencak aja gue lihat." Elis terlihat begitu emosi. Aku mencoba menenangkan dengan mengelus punggungnya.

"Kalian inget hukum III newton nggak?" Racha bertanya aneh.

"Anjir, di saat-saat kayak gini lo pake bawa hukum segala."

Elis mencebik namun Racha sepertinya tidak memperdulikan. Dia terus melanjutkan perkataannya.

"Apabila sebuah benda memberikan gaya kepada benda lain, maka benda kedua memberikan gaya kepada benda yang pertama. Kedua gaya tersebut sama besar namun berlawanan arah. Tahu intinya apa?"

Aku menggeleng. Kepalaku mendadak pusing mendengar penjelasannya.

"Menganggu atau menyakiti orang lain konsekuensinya bakal disakiti juga. Namun kalau kita berbuat baik, insyaallah akan mendapatkan kebaikan."

"Luar biasa, Ustadzah Racha!"

Revi dan Elis bertepuk tangan. Aku jadi ikut-ikutan.

"Rese kalian. Nggak bisa diajak serius."

Racha sepertinya kesal dengan kami. Aku langsung kelimpungan.

"Lah, kok jadi ngambek?"

Refleks aku menyusuli Racha diikuti Revi yang memanggil namanya.

"Cha, Racha!"

"Jangan ngambek dong," pinta Revi setelah berada dekat mobil Racha. Aku mengangguk cepat.

Racha menoleh ke belakang. "Nggak kok, gue bukan anak-anak. Sekarang gue mau pulang."

"Alhamdulillah." Revi mengusap wajahnya. "Gue pikir lo marah sama gue."

"Nggak, tenang aja. Zelin, bareng gue yuk." Racha mengajakku. Aku bingung untuk mengiyakannya.

"Iya, lo pulang ama Racha aja. Daripada naik bus."

"Oke deh," jawabku akhirnya.

Akupun masuk ke dalam mobil Racha.

"Kita duluan ya. Bye!" seru Racha. Aku hanya melambaikan tangan ke arah mereka.

Sepanjang perjalanan, aku hanya memainkan ponsel. Sesekali melihat snapgram siswa-siswi SMA Trijaya.

"Mang, entar singgah dulu ke taman ya."

Dahiku mengerut. "Ngapain ke sana, Cha?"

"Mau cari angin aja dulu," jawabnya sekenanya.

Setelah itu, aku diam saja sampai kami tiba di tempat tujuan.

Aku duduk di bangku taman berdekatan dengan kolam ikan. Racha izin sebentar dan menyuruhku duduk terlebih dahulu. Aku mengiyakan.

Selang tak berapa lama, Racha menyodorkan es krim cokelat kepadaku.

"Lo ngapain aja kemarin sama Arlan?" tanyanya langsung sambil mengecap es krimnya.

"Cuma nginap kok."

"Duh, gue sampai bohong tahu nggak," timpalnya sambil menjilati es krim perlahan.

Aku melihat wajahnya pias. Jadi tidak enak hati.

"Maafin aku ya, Cha. Makasih banget udah bantuin aku."

Aku menunduk dalam-dalam, berharap Racha memaafkan kesalahanku. Detik kemudian, dia merangkul bahuku.

"Kalau ada apa-apa bilang, jangan diem aja."

Aku melirik ke arahnya. "Iya. Maaf ya."

Racha mengangguk dan itu membuat hatiku melega.

"Gue lagi bingung nih." Posenya sekarang berubah menjadi kedua tangannya memangku dagu.

"Kenapa?" tanyaku heran.

Diam sejenak sebelum Racha menjawab. "Rifen deketin gue lagi."

Aku tersenyum kecil. Kalau dilihat-lihat, mereka memang benar-benar cocok. Cantik dan ganteng. Pintar sama pintar. "Yaudah, respon dong. Kalau aku lihat, kamu juga suka sama dia."

"Gue nggak mau nambah daftar goal yang udah gue susun rapi. Lagipula gue mau fokus belajar. Aku mau ke Skotlandia."

"Kamu ... jadi pindah?"

Kepala Racha terangguk. Mendengarnya membuatku sedikit sedih.

"Kapan?"

Pandangannya menerawang ke depan. Garis wajahnya terlihat lelah.

"Setelah selesai kelas sebelas. Gue bakal kangen banget sama kalian!"

"Kenapa harus pindah sih, Cha?"

"Gue mau belajar lebih dalem juga. Di sini gue ngerasa nggak maksimal aja."

Aku menepuk bahunya beberapa kali. "Kalau itu yang lo mau, aku sebagai sahabat cuma bisa ngedukung."

"Makasih ya, Lin." Racha tersenyum tulus. "Kira-kira kapan ya aku kasih tau Revi sama Elis?"

"Besok aja. Lebih cepat, lebih baik. Kalau lama dipendam entar kamu malah kepikiran terus."

"Iya-iya, lo bener." Dia mengangguk-angguk tak jelas.

"Makasih juga traktirannya," ucapku tersenyum.

Racha menepuk pundakku sekali. "Santai aja kali."

Kami kembali memasuki mobil dan berjalan hingga menuju rumahku.

"Makasih ya, Cha. Makasih, Mang," kataku setelah tiba di depan rumah.

"Sama-sama." Mereka menjawab serentak. Akupun turun dari mobil.

Pintu kaca terbuka, Racha berbicara lagi padaku.

"Aku seneng kamu balik ke Jakarta lagi." Dia tertawa renyah. "Aku pulang."

"Hati-hati," ucapku.

Kuperhatikan mobil itu sampai menghilang. Sepertinya ini keputusan terbaik yang pernah kubuat. Aku senang bisa bersekolah lagi di sana.

Menghabiskan waktu bersama orang-orang yang peduli denganku. Rasanya ... menyenangkan.

Continue Reading

You'll Also Like

18.1K 813 85
β€’ Kumpulan Puisi β€’ "Sajak Bersayap-Mengapa tidak untuk berdialog dengan alpabet" Mengandung kalimat Melahirkan makna Membesarkan sajak ...
999K 62.6K 47
(Longlist and Shortlist Wattpad 2018) Wattys 2018 winner kategori Heartbreaker [C O M P L E T E] "Aku tak akan bersumpah serapah agar kamu terlibat d...
494K 13K 51
[Follow dulu sebelum membaca] Instagram : @vanndareynaldi Hati-hati! Area berbahaya, anda sedang berada di zona BAPER! [High Rank] #1 - storyquotes (...
1.5M 69K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...