Please, Accept My Heart

By AnggrekAngGraini

84.1K 4.9K 128

[Completed] "Diam. Itu lah cara ku mencintai mu. Maaf" *********** "Aku menceraikan mu disaat hati ku juga m... More

Sebaiknya Kita Cerai
Gedung 2 Lantai
Hujan Di Malam Hari
Sembunyi Di Balik Senyum
Terkunci Dalam Masa Lalu
Terusik Dengan Sikap Mu
Ke-ramahan Pertama Ku
Perasaan Ini Masih Sama
It's Our Day
Aku Meragukan Mu
Bisakah Kita Kembali?
Nikah? Oh, Not Now!
Aku Belum Bisa Menjawab nya
Datang lah! Aku Akan Mengatakannya
Menyerah Pada Hati
Bodohnya, Aku Masih Tetap Menyukai Mu

Ungkapan Sederhana

3.5K 233 6
By AnggrekAngGraini

Dia pergi terlalu lama dan sulit untuk ku percaya bahwa cinta datang disaat kita tak lagi bersama. Bila cintanya memaksa ku percaya, apa yang harus ku lakukan? Aku semakin ragu dengan apa yang ku pertahankan dalam pikiran ku saat ini.

"Jadi kau sakit?"

Dia datang lebih awal, menjadi pelanggan pertama kamis ini. Tatapan intensnya menyapaku tiba-tiba. Aku memang sedang mengambil cuti sakit beberapa hari. Keadaan ku sedang tak fit. Kami juga jarang bertemu. Ku dengar dia baru pulang dari luar kota karena tugas dadakan. Azka yang memberitahu ku waktu itu.

"Kau mengabaikan panggilan ku"

Memang sejak kejadian malam itu, Axell beberapa kali menghubungi ku. Bahkan ia menggunakan ponsel Azka agar dapat berbicara pada ku. Sekali dia melakukannya aku tak pernah lagi menjawab telefon dari siapa pun yang berhubungan dengan Axell. Aku sedang menghindarinya. Aku sedang tak ingin diganggu olehnya. Tidak, lebih tepatnya aku sedang tak ingin diganggu oleh perasaan ku sendiri terhadapnya.

"Bicaralah satu kalimat, kau terlalu lama mendiami ku"

Aku berjalan ke arah Kian yang tengah merapikan buku-buku di rak. Aku membantunya alih-alih mengabaikan Axell yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Zi..."

Arah pandangnya tak luput dari ku. Kian beberapa kali menyikut ku, menyuruh ku menanggapinya dengan lirikan matanya. Aku tak meggubrisnya.

"Baiklah. Aku akan kembali nanti" pasrahnya. "Ini obat dari ibu ku. Obat yang selalu ibu ku buat untuk mu dulu" ia meletakkan tas yang dibawanya di atas meja. "Aku sempat mampir kemarin. Mendengar keadaan mu, ibu ku langsung membuatkannya untuk mu. Semoga kau tak keberatan menghabiskannya.

Aku pamit, ada laporan yang harus ku selesaikan siang ini. Saat aku kembali nanti, semoga kau mau bicara pada ku lagi. Cepat sembuh"

Melihatnya meninggalkan tempat ini aku baru bisa bernafas lega, berjongkok, menyenderkan tubuh ku. Kepala ku semakin sakit mendengarnya bicara pada ku. Bukan karena keberadaannya, tapi mendapatinya seperti itu justru membuat ku merasa bersalah.

"Kau terlalu egois, Zi. Kau terlalu keras kepala" tutur Kian menceramahi ku tanpa meninggalkan pekerjaannya. "Seberapa jauh kau menghindarinya, tak ada waktu untuknya menjauhi mu. Dia akan terus menghampiri mu"

"Ntah lah..."

"Kalau kau bisa menahan perasaan mu lebih lama lagi, katakan padanya agar dia tak terlalu mengharapkan mu"

"Aku melakukannya setiap hari..."

"Selama ini kau melakukan hal-hal yang terdengar omong kosong, sebaliknya kau menunggu nya setiap hari" aku mendengus. "Kau tak bisa membohongi siapa pun dengan sikap mu itu. Axell bukan pria bodoh yang tak memahami alur pikiran mu itu"

Aku memandangnya tak suka. "Maksud mu?"

"Selama ini kau selalu menunggunya, maka dari itu dia datang dan terus akan datang sampai kau menyerah dengan perasaan mu. Percuma kau menahannya karena sudah sangat jelas kau tak akan berhenti menunggunya" ucap Kian menyelesaikan pekerjaannya.

Aku berdecak kesal. "Lalu dia..."

"Sebenarnya dia hanya punya satu jurus untuk menaklukan mu" dahi ku berkerut. "Melamar mu ku rasa cara yang pas untuk membuat mu semakin terpojok"

"Terkadang kau terlalu pintar mengada-ada"

"Tidak, aku mengutarakan isi pikiran ku. Dia akan melakukannya, tapi dia sedang bersabar untuk melakukannya..."

"Bodoh..."

"Kau yang bodoh. Padahal masalahnya cukup sederhana, kalian sama-sama saling menyukai, tinggal terima dia di samping mu. Tapi sifat keras kepala mu itu selalu membuatnya runyam" dia geleng kepala. "Aku tak mengerti jalan pikiran mu yang terlalu berbelit-belit" ucapnya berjalan melangkahi kaki ku yang terjulur.

Dan saat itu pelanggan kami mulai berhamburan datang memenuhi perpustakaan ini.

Karena tubuh ku belum sepenuhnya sehat, aku hanya duduk di kasir dan menyambut kedatangan mereka. Sedang Kian mondar-mandir melayani mereka.

Meski layar laptop ku menayangkan film kesukaan ku, namun pikiran ku melayang menyerapi pembicaraan kami barusan. Bahkan ingatan ku mengenai Axell terus berputar di kepala ku. Aku menggeram kesal, menidurkan kepala ku di atas meja. Memikirkan nya terus membuat kepala ku berputar.

*****

Seperti ucapannya, dia datang lagi.

"Aku ingin jalan-jalan..." ucap ku setelah memikirkannya berulang kali.

Ia menyambutnya dengan senyuman. "Ayo, keburu malam"

Aku mengangguk mengenakan jaket tebal. Ia membukakan pintu untuk ku.

"Ke arah mana?" tanyanya lagi.

Jari ku menunjuk ke arah kanan. "Disana ada restaurant baru"

Dia mengangguk lagi. "Ayo"

Kami kesana dengan berjalan kaki karena memang tempatnya yang tak terlampau jauh.

"Katakan pada ku kalau kau kedinginan"

"Aku tak akan mengatakannya. Aku sudah mempersiapkan tubuh ku dengan memakai pakaian serba tebal"

Dia tertawa pelan. "Bagus lah. Jadi aku tak harus melepaskan jaket ku untuk mu dan membiarkan tubuh ku menggigil kedinginan"

Aku berdecak tapi tak kesal mendengarnya. Kami diam lagi beberapa saat.

"Berapa hari kau sakit?"

"Ntah lah, aku tak sempat menghitungnya"

"Ibu ku selalu menanyakan mu"

"Karena kau menceritakan keadaan ku padanya"

"Karena dia tak berhenti bertanya tentang mu sampai aku tak tau harus menjawab apa"

"Kau tak perlu menjawab semuanya"

"Aku bisa saja tak menjawabnya, tapi justru membuatnya kecewa"

"Kalau begitu jangan ambil saran ku"

"Aku merindukan mu" langkah ku berhenti. Dia dua langkah berhenti di depan ku. "Aku menjawabnya karena aku juga merindukan mu. Itu cara kami melepas rindu dengan ibu ku yang selalu bertanya dan aku yang selalu bercerita segala hal tentang mu. Maka dari itu, aku tak bisa tak menjawabnya meski kata-kata ku habis mengekspresikan segala tentang mu, mulut ku tak bisa berhenti berceloteh begitu saja" ia tersenyum.

Lagi, hati ku tersentil dengan mudahnya. Ku lanjutkan langkah ku menghindari percakapan yang membuat ku semakin canggung.

Kami berhenti di tempat yang ku tuju. Lumayan ramai, tapi masih ada sisa meja kosong untuk kami tempati setelah memesan beberapa makanan ringan.

"Suasana dan dekorasinya seperti tempat yang sering kita kunjungi dulu"

Aku tersedak dan meminum kembali minuman ku. Memang sempat terpikirkan oleh ku bagaimana rincian tempat ini. Dekorasinya yang mirip kebarat-baratan dicampur nuansa alam, kami memang punya satu selera yang sama.

Dulu, ada tempat yang seperti ini dan menjadikannya tempat favorite kami. Namun dibalik itu semua, ada satu cerita paling mengenang. Dimana tempat itu adalah saksi bagaimana kami pertama kali menjalin persahabatan. Kejadian yang masih terngiang di kepala ku dan aku merindukan masa-masa menyebalkan sekaligus menyenangkan itu.

"Aku masih sering mampir kesana" katanya sambil menyeruput minumannya. "Tulisan kita juga masih tergantung dipohon" Aku mendengarnya dalam diam, memainkan sedotan dalam minuman ku. "Aku ingin membacanya bersama lain waktu..."

Mengenai tulisan yang kami tulis dalam selembar kertas dan memasukkannya ke dalam amplop kemudian menggantungkannya di pohon yang memang disediakan untuk orang-orang yang menaruh harapan agar dipertemukan dengan kekasih mereka yang pernah pergi dan belum kembali. Kami mencobanya waktu itu karena iseng.

"Tapi, aku menambah tulisan ku disana bahkan hampir memenuhi pohon itu" tawanya. "Pemilik restaurant malah mendukung ku dan membiarkan ku melakukannya. Lucu kan?"

Aku menatapnya. "Berhenti tertawa..."

Dia menyeruput minumannya. "Kau boleh membukanya kalau sempat mengunjungi tempat itu" senyumnya kali ini bersamaan dengan makanan kami datang terhidang di atas meja.

"Akan ku pikirkan saran mu jika aku datang kesana"

"Kau harus melakukannya. Berjanjilah pada ku"

"Aku tak akan berjanji untuk apa yang ku ragukan"

Dia manggut-manggut. "Tapi aku yakin kau akan datang kesana suatu hari nanti"

Aku melahap makanan ku. "Selamat makan" ucap ku menutup pembicaraan kami.

Bukan ide yang bagus mengajaknya kesini. Ini sama saja aku sedang mencoba memasuki masa lalu ku sendiri. Lihat lah, makanan yang kami pesan bahkan rasanya pun sama persis dengan makanan yang ku makan dulu.

Apa tempat ini dibangun oleh pemilik yang sama?

*****

"Kalian kencan?"

Sapaan itu yang pertama kali kami dengar dari wanita yang berdiri di hadapan kami. Riana dan suaminya. Fokus ku justru pada 2 bayi kembar dalam gendongan mereka. Mata ku seakan enggan berkedip.

Jika saja Axell tak menyikut ku, aku tak akan menyadarkan diri ku. Axell tersenyum menggeleng kepala melihat ku. Begitu juga sepasang suami istri di hadapan ku, mereka tertawa melihat tingkah ku.

"Mereka bayi kembar kami" Riana memperkenalkan kedua anak mereka.

"Kalian segera lah menikah. Aku yakin kalian juga pasti akan mendapatkan anak seperti ini" canda suaminya tanpa sungkan.

Aku hanya terkekeh kaku menanggapinya.

"Tentu, kami akan membuatnya dan ku pastikan akan lebih tampan dari 2 pangeran kecil ini" Axell menjawil pipi anak yang ada dalam gendongan Daffa.

"Kalau begitu kalian harus rutin melakukannya" gelak tawa tak terelakkan lagi.

Axell sesekali melirik ku jahil. Aku sendiri bahkan tak berani meliriknya.

"Sudah, sudah" sela Riana. "Kalian mau kemana setelah ini?"

"Rencana mau pulang..."

"Daripada pulang, bagaimana kalau kalian ikut kami jalan-jalan ke taman dekat sini. Besok kami akan kembali, hitung-hitung salam perpisahan dari kami" usul Daffa antusias.

Axell menoleh pada ku meminta persetujuan. Aku mengangguk setelah menimangnya. Tak mungkin ku tolak jika mereka memasang wajah mengharapkan seperti itu.

"Baik lah. Ayo"

Kami kembali berjalan ke arah taman yang memang sering dikunjungi para pengunjung dari luar kota. Tempatnya yang sejuk, ditumbuhi banyak pohon, dan terdapat sungai buatan di tengahnya memang cocok untuk tempat bersantai. Bahkan beberapa orang melakukan olah raga malam disini mengingat tempatnya yang cukup luas untuk melakukan aktifitas apapun.

Kami duduk di antara anak tangga yang mengarah ke sungai di bawah sana. Axell dan Daffa pergi mencari camilan untuk kami makan. Daffa menitipkan anaknya pada ku.

Aku tak berhenti menciumi dan mengajaknya bermain. Riana juga ikut bermain bersama anaknya. Hubungan kami terasa lebih nyaman sekarang.

"Jadi besok kalian pulang?" tanya ku membuka percakapan.

"Begitu lah. Tugas suami ku sudah selesai disini"

"Owh, kau tak pernah berkunjung lagi hari itu"

"Bagaimana aku bisa berkunjung, Axell melarang ku menemui mu" Aku tersentak, menatapnya heran. Dia justru tertawa. "Axell menceritakannya pada ku"

Aku menghela nafas pelan. "Maaf, aku hanya belum terbiasa dengan kehadiran kalian"

"Zi, sejujurnya aku keberatan dengan sikap mu ini. Aku tidak tau apa yang kau pikirkan tentang ku. Aku bisa menjelaskan apapun yang ingin kau tanyakan pada ku sebelum aku pergi. Setelah aku menjawabnya hasilnya terserah pada mu. Tapi ku harap kau tak membenci ku separah ini"

"Maaf..." aku menunduk menyesalinya. "Aku hanya tak tau bagaimana cara ku memperlakukan hubungan kita sekarang"

"Berlakulah seperti Zizi yang dulu. Kau sahabat ku, aku tak akan pernah membenci mu. Lagi pula jika dipikir-pikir aku tak melakukan kesalahan pada mu. Kalian saja yang terlalu lamban menyadari kalau kalian memang saling mencintai"

"Sejak kapan kau tau?"

"Kalian sering bersama, tatapan kalian saling terhubung, sikap kalian saling terkait. Awalnya aku hanya mengetes hubungan kalian. Tapi, aku juga tidak tau darimana hubungan kami dimulai. Axell yang sering mengancam dan menjauhkan mu dari para pria justru menembak ku.

Awalnya ku kira dia ingin memanas-manasi mu, tapi sikapnya pada ku...ya kau tau lah, aku merasakannya juga. Dia juga mencintai ku tapi juga tak berhenti mengancam pria-pria mu. Dia selalu menjawab ingin melindungi mu.

Kau tau? Bahkan kami sering bertengkar karena itu. Tapi melihat keseriusannya pada ku, aku tak bisa meragukannya"

"Lalu bagaimana...?"

"Orang tuanya tak setuju pada ku. Mereka bilang akan menjodohkannya dengan mu. Di lain pihak orang tua ku juga berniat menjodohkan ku dengan Daffa dengan alasan juga tak menyukai Axell. Akhirnya aku memutuskan menerima pinangan Daffa"

"Daffa tau?"

"Tentu saja. Aku menerimanya setelah aku menceritakan segalanya mulai dari kau, aku, dan Axell. Dia menerima apapun keputusan ku. Tapi, kau tau sendiri aku tak mungkin membantah orang tua ku. Apalagi melihat mu sering berada di sampingnya, aku yakin dan memutuskan untuk mengembalikannya pada mu"

"Kau terlalu gegabah mengambil kesimpulan"

"Axell lebih membutuhkan mu daripada aku"

"Axell bahkan bersujud meminta mu kembali"

"Itu karena dia egois. Dia mencintai ku tapi juga mencintai mu. Itu kesalahannya"

"Darimana kau tau dia masih mencintai ku...?"

Dia tertawa. "Kau pernah kembali ke restaurant itu?" dahi ku mengernyit. "Bodoh! Sempatkan dirimu datang kesana. Surat yang kalian tulis pertama kali, maaf aku diam-diam membacanya" aku terbelalak. "Berkat itu aku meyakinkan diri ku atas keputusan yang ku ambil"

"Ri..."

"Aku juga membaca surat mu saat kau kehilangan moment kebersamaan kalian karena kedekatan kami"

"Kau..."

Dia mengangguk meng-iyakan isi kepala ku. "Kami sering kesana berdua. Sejak awal aku sudah curiga mengenai kalian, tapi waktu itu aku belum sempat membacanya. Setelah masalah kami muncul, aku memberanikan diri membaca semuanya.

Kau yang paling banyak menulis disana. Surat itu yang memperjelas bagaimana perasaan kalian. Kau selalu menghindar dari kami. Disaat cuma kami yang datang, dia diam-diam menulis dan menggantungnya disana"

Aku memainkan jari ku.

"Ku rasa Axell juga sudah membacanya"

Mata ku melebar cemas, menjilati bibir ku. Melihat reaksi ku Riana tergelak.

"Tenang saja, dia baru menyadarinya dan membacanya setelah aku memberitahunya sebulan setelah kalian bercerai. Dia terpukul dengan apa yang dibacanya dan berniat mengajak mu bicara. Tapi kau keburu pergi dari rumah dan membuatnya marah"

Aku membatu memikirkan hal itu. Jujur saja aku melupakan semua surat-surat itu.

"Ku sarankan datanglah sesekali kesana. Kau harus baca apa saja yang ditulis Axell selama beberapa tahun terakhir sejak kau memutuskan benar-benar menghilang darinya"

Dan tepat saat itu Axell dan Daffa kembali membawa beberapa kantong makanan ringan. Bersamaan dengan itu juga percakapan ku dengan Riana berakhir dan kami tak membahasnya walau sedikit.

Mata ku bahkan tak lepas dari wajah Axell yang berkali-kali menangkap basah diri ku yang sedang memandangnya. Namun, Axell tak bertanya apapun dan hanya menggenggam tangan ku dengan memberi ku senyumnya.

*****

Ku hela nafas panjang, akhirnya kita sampai juga di rumah ku setelah setengah jam berjalan kaki. Di tengah jalan Daffa dan Riana lebih dulu pulang menggunakan taksi.

"Apa yang kalian bicarakan sampai membuat mu diam dan hanya mengamati ku diam-diam sejak tadi?" akhirnya ia menanyakannya. "Bukannya aku keberatan, tapi tatapan mu pada ku agak membuat ku gugup"

"Aku tak membenci mu"

Ia tersenyum. "Aku tau. Lalu...?"

Ku hela nafas panjang untuk ke sekian kalinya. Sejak tadi aku hanya memikirkan satu hal untuk menata hati ku. "Xell..."

"Ada apa?"

"Kau sudah membaca semuanya?" dahinya berkerut memikirkan ucapan ku. "Semua surat yang ku tulis di pohon itu..."

Ia paham. "Maaf...dengan cara itu aku bisa menemukan mu"

"Jadi, sudah lama juga kau tau aku disini?"

Dia menggeleng. "Aku baru tau setahun setelahnya. Ada satu surat yang terlewatkan, yang belum ku baca"

"Owh...jadi begitu..."

"Setelah itu aku memutuskan mengurus kepindahan kesini setelah memastikan mu memang ada disini" aku menunduk. "Karena pesan mu itu aku yakin kau menunggu ku..."

Aku tersenyum kecut. "Benar. Aku menunggu mu...aku tak bisa mengelak lagi" Axell terdiam. Ku angkat kepala ku, memberanikan diri menatapnya langsung. "Aku tidak tau harus mengatakannya mulai dari mana..."

"Kau hanya perlu mengatakan apa yang ingin kau sampaikan pada ku"

"Membaca semua surat ku, aku yakin kau paham betul bagaimana aku menyukai mu, bagaimana aku di samping mu, bagaimana aku menghindari mu, bagaimana aku manahan dan menyimpannya, bagaimana kesal ku pada mu karena cemburu, dan bagaimana cara ku...menunggu mu.

Aku...

Aku tau tak seharusnya aku menanyakan ini, tapi...aku penasaran dengan apa yang kau rasakan saat ini" aku menatapnya lebih dalam. "Jujur lah, apa kau masih mencintainya?"

Ia menatap ku lekat kemudian tersenyum meletakkan tangan kanannya di atas kepala ku. "Apa kau akan puas dengan jawaban ku?" aku menelan ludah, rasanya kepala ku terlalu kaku untuk sekedar mengangguk. "Aku bersumpah, jika hati ku berbohong, kau bisa mengusir ku pergi selamanya" mulut mengering.

Ia menurunkan tangannya perlahan menutup mata ku. Lambat laun jari telunjuknya melewati hidung ku, bibir ku, turun lagi melewati leher ku dan berhenti tepat di jantung ku. Ia mensejajarkan wajahnya dengan ku, mengunci tatapan ku lebih dalam lagi. Nafasnya terasa hangat menerpa wajah ku.

"Aku juga menunggu mu...seberapa lama kau menunggu ku, selama itu juga aku menunggu mu. Tapi tak seluas hati mu saat menunggu ku. Dulu aku menunggu mu dengan hati 50%, kali ini setelah aku menyadari segalanya, aku menunggu mu 100%. Belum ada yang berubah.

Aku...aku mencintai mu, aku mencintai mu Zi..." ucapnya seperti bisikan di telinga ku. "Kali ini ku mohon percayalah pada ku. Aku mencintai mu. Aku berjanji tak akan menjadi pria bodoh yang akan melepas mu. Aku mencintai mu..."

Hati...

Ijin kan aku mempercayainya kali ini. Keraguan ku mulai tergerus hingga tak bersisa. Aku ingin melakukan apa selama ini ingin ku lakukan.

Hati...

Bolehkah aku melakukannya?

Aku ingin meng-klaimnya dengan cara ku, karena sang waktu terus mendorong ku melakukannya.

Perlahan kaki ku berjinjit, memejamkan mata ku, dan...

meletakkan bibir ku disana...

Di dahinya.

*****

TBC...

PLEASE KOMENT NYA GUYS....!!! :)

Continue Reading

You'll Also Like

22.1K 1.7K 43
"Gue bakal bikin lo suka sama gue setengah mati!" ucap Audrina. "Astaga cewek aneh binti ajaib namanya Nana bikin gue sakit kepala. Dia sempet nyebar...
25.5K 3.2K 33
Fauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba...
110K 12.1K 61
Khiya dan Mahesa adalah sepasang petani yang menitipkan hati satu sama lain. melalui kasih, ada satu dunia yang hanya mereka tempati. melalui kasih...
6.2K 680 16
"Jadi, gue harus manggil kakak atau enggak nih?" Tanyanya. "Jangan! Marsha aja." Jawab gue. "Oke, Mars!" Lalu, gue tertawa karena dia memanggil gue d...