Please, Accept My Heart

AnggrekAngGraini

84.1K 4.9K 128

[Completed] "Diam. Itu lah cara ku mencintai mu. Maaf" *********** "Aku menceraikan mu disaat hati ku juga m... Еще

Sebaiknya Kita Cerai
Gedung 2 Lantai
Hujan Di Malam Hari
Sembunyi Di Balik Senyum
Terkunci Dalam Masa Lalu
Terusik Dengan Sikap Mu
Ke-ramahan Pertama Ku
Perasaan Ini Masih Sama
It's Our Day
Ungkapan Sederhana
Bisakah Kita Kembali?
Nikah? Oh, Not Now!
Aku Belum Bisa Menjawab nya
Datang lah! Aku Akan Mengatakannya
Menyerah Pada Hati
Bodohnya, Aku Masih Tetap Menyukai Mu

Aku Meragukan Mu

3.4K 245 2
AnggrekAngGraini

Aku menyempatkan diri mampir ke rumah makan saat dalam perjalanan pulang. Aku memesan mie goreng pedas. Seharian ini aku belum menyentuh makanan sedikit pun. Ntah kenapa nafsu makan ku berkurang.

"Kau makan sendirian?"

Aku tersedak pada suapan pertama, tak menyangka bertemu dengannya setelah 2 hari ini tak bertemu. "K-kau..."

"Aku sedang tugas di sekitar sini" dia mengambil duduk di meja yang sama dengan ku.

"Ah, begitu..." ku lanjutkan suapan ku.

Dia memperhatikan ku, menunggu makanannya datang. "Kau belum makan siang?"

"Aku belum sempat makan seharian ini"

Ia bersender, melipat kedua tangannya, masih dengan mengamati ku. Aku menikmati makanan ku tanpa merasa terganggu dengan arti tatapannya.

Selang beberapa waktu, makanan pesanannya pun terhidang di atas meja kami. Namun, bersamaan dengan itu, Axell merebut makanan ku dan menggantinya dengan mangkuk nasi miliknya. Aku memandangnya protes tapi dihiraukannya. Aku kesal makanan ku direbut begitu saja. Dengan mengabaikan ku, ia memakan sisa mie ku hingga habis tak bersisa dalam beberapa detik.

"Perhatikan kesehatan mu. Pesan lah mie nya lagi nanti setelah kau menghabiskan nasi mu" perintahnya sembari mengambil mangkuk nasi lainnya dan melahapnya.

Jadi ia sengaja memesannya juga untuk ku?

"Kau terlalu sibuk dengan pekerjaan mu sampai melupakan isi perut mu. Lain kali jangan lakukan lagi. Kalau kau sibuk, kau bisa meminta ku membawakannya" sambungnya.

Ku hembuskan nafas pendek. "Aku tak akan pernah meminta mu"

"Kenapa? Kau takut berhutang budi pada ku?"

Ku suapi nasi ku perlahan. "Kebaikan semua orang hutang bagi ku. Aku harus menggantinya suatu hari..."

"Kalau begitu kau berhutang pada ku" suapan ku berhenti. "Aku sudah membelikan mu semua makanan ini. Jadi kau harus membayarnya lain waktu. Begitu kan?"

Aku mendesah pelan. "Mmm...lain waktu" ku lanjutkan makan ku.

"Kalau kau begini terus, akan banyak pria yang memanfaatkan sifat mu itu"

"Termasuk kau"

"Anggap lah begitu kalau kau menganggapnya begitu"

Selanjutnya kami makan dengan tenang hingga makanan di atas meja habis tak bersisa. Axell membayar semuanya. Percuma aku menolak, ia tetap memaksa membayarnya sendiri.

"Biar ku antar"

"Tak perlu"

"Aku sedang tak menawarkan tumpangan, naik lah!" ia membukakan pintu mobil untuk ku, setelah itu ia duduk di kursi kemudi dan menjalankan mobilnya. "Tidur lah selagi aku menyetir. Kita ke kantor ku dulu"

"Ha?"

"Ada berkas yang perlu ku ambil. Sebentar saja"

Karena lelah aku tak banyak berkomentar. Ku sandarkan tubuh ku memandang lurus ke depan. Axell mengendarai dengan pelan. Jalan yang kami lewati kembali melewati apotek ku. Kalau aku menolak tumpangan ini, aku pasti sudah berbaring di ranjang ku sekarang.

"Mau masuk?" tawarnya sesampainya di kantor polisi.

Aku menggeleng. "Cepat lah"

"Oke" dia keluar.

Ku sangga kepala ku di kaca mobil, mengamati orang berlalu lalang keluar masuk kantor polisi. Jika dilihat dari pakaian mereka yang turun dari truk mobil polisi, ku rasa malam ini mereka selesai melakukan operasi me-razia para PSK. Banyak wanita sexi dan pria hidung belang berbaris masuk ke dalam.

Selagi aku memperhatikan mereka, pandangan ku menangkap 2 sosok wajah yang sangat ku kenal berjalan bergandengan keluar dari salah satu mobil yang baru terparkir di depan kantor bersamaan dengan Axell keluar dari sana.

Mereka membeku, diam saling menatap. Aku bisa lihat bagaimana tatapan mereka satu sama lain. Terlebih bagaimana tatapan Axell pada wanita itu begitu pula sebaliknya.

"Riana...?" gumam ku tanpa sadar.

Aku hendak keluar namun hati ku terlalu berat melakukannya sampai pandangan Axell beralih pada ku yang masih mengamati mereka dari dalam mobil. Riana yang mengerti arah pandang Axell, ikut berbalik memandang ku bersama pria yang ku kenal sebagai suaminya.

Ku hembuskan nafas pendek memutuskan turun dari sana sebagai rasa sopan santun. Ragu-ragu ku dekati mereka dengan langkah pelan. Aku selalu berharap momen ini tak akan pernah terjadi.

"Hay..." sapa ku menemukan suara ku.

Riana yang semula diam tersenyum pada ku. Pancaran bola mata Riana, aku tak pernah melupakannya. Pancaran yang selalu berhasil menaklukkan Axell.

Riana memeluk ku duluan. Dan tanpa ku mau air mata ku begitu saja jatuh, begitu juga dengannya.

"Syukur lah kau baik-baik saja, Zi. Aku selalu mengkhawatirkan mu" bisiknya tulus.

Bagaimana bisa aku membencinya dengan sifat nya yang seperti ini. Wanita tulus dan baik hati ini, tak pernah terlintas sedikit pun aku membencinya. Aku membenci diri ku sendiri yang seperti ini.

"Kau terihat cukup baik juga, Ri" ucap ku sembari melepas pelukan kami.

Ia mengelus lengan ku, menatap ku penuh rindu. Sebaliknya aku menatapnya dengan rasa bersalah ku.

"Jadi kalian sudah saling menemukan lagi?" liriknya ke arah ku dan Axell. "Aku senang melihat kalian berdua bersama lagi"

Aku mengangguk kecil, meragukan jawaban ku.

Suaminya merangkulnya. "Jadi, kau tugas disini?" tanya suaminya yang ku ingat bernama Daffa.

Axell mengalihkan pandangannya dari ku pada Daffa. "Begitu lah. Dan kau?"

"Aku sedang dinas luar disini. Kebetulan aku longgar, jadi ku bawa serta istri dan anak-anak ku"

Ya, suaminya berprofesi sama dengan Axell. Mereka memulai pertemanan sejak sama-sama bergelut di bidang kepolisian.

"Baiklah. Kita bisa bertemu lain waktu selama kau disini. Kau bisa menghubungi ku. Nomor ku masih sama"

"Ide bagus. Kami akan menghubungi mu nanti"

Axell mengangguk. "Kami duluan" pamitnya pada keduanya.

Aku pun berpamitan dengan mereka. Riana sempat memeluk ku lagi.

"Aku akan berkunjung nanti"

"Kau harus berkunjung" balas ku kemudian beranjak pergi.

Axell membukakan pintu ku terlebih dulu kemudian dia berputar menduduki kursinya. Tak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan. Hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah, Axell hanya mengucapkan selamat malam pada ku kemudian pergi berlalu begitu saja.

Ku rasa firasat ku benar selama ini. Dia masih menyimpan rasa itu pada Riana.

*****

"Hay..." Azka muncul mendatangi apotek ku.

Aku tengah bersiap pulang. "Kau sudah kembali?"

"Pertanyaan apa itu? Pertanyaan mu terlalu bosan"

"Aku tak tau harus menyapa mu seperti apa lagi"

"Dan kali ini kau terlalu cuek menanggapi ku" Aku mendengus tapi tak terbersit rasa kesal ku padanya. "Aku ingin mengajak mu jalan-jalan"

"Di jam ini?" lirik ku ke jam dinding.

Ia mengangguk. "Kalau kau tak keberatan"

Aku berpikir sejenak. "Baik lah. Aku juga sedang ingin refreshing"

Ia tertawa kecil. "Itu karena pekerjaan mu terlalu membosankan"

"Jangan meledek pekerjaan ku"

"Pekerjaan ku juga cukup membosankan"

Kami tertawa bersama.

Kami pergi setelah berpamitan terlebih dulu pada Cio dan dokter yang kebetulan datang berkunjung memeriksa pasien.

"Dimana mobil mu?" pandangan ku menelusuri area parkir yang kosong.

Azka menggaruk kepalanya. "Aku ingin mengajak mu jalan-jalan" cengirnya.

Dahi ku berkerut mencoba memahami kalimatnya dan kemudian aku mengerti maksudnya. Ku tepuk dahi ku. "Ja-lan..." Kedua jari ku bergerak memastikan maksudnya. Dan anggukannya membuat ku tertawa. Aku manggut-manggut memandangnya sedikit terkesan. "Okey..."

Kami tertawa kembali.

Sepanjang langkah ia menanyakan banyak hal mengenai kegiatan favorite ku. Tak jarang aku dibuatnya tertawa. Ia juga menceritakan sedikit banyak mengenai dirinya dan keluarganya. Bahkan ia sedikit menyinggung pertemanannya dengan Axell.

"Ngomong-ngomong lain kali perjelas kalimat mu..." aku berhenti mengusap peluh ku dan duduk di bangku depan salah satu toko. "Aku istirahat sebentar"

Ia tertawa dan mengangguk, ikut duduk di samping ku. "Kau sudah terbiasa jalan bukan?"

"Ya, tapi kita mengambil jalan memutar terlalu jauh"

"Aku mengajak mu refreshing, jadi kita harus lewat jalan yang jarang kita lewati" aku berdecak. "Kau harus sering olah raga jarak jauh"

"Aku bukan pasukan seperti mu"

"Tapi semua orang butuh olah raga"

"Kesibukan ku sudah cukup membuat ku olah raga setiap hari"

"Benar juga" dia bergumam. "Apa perlu ku carikan taxi?"

"Ha?"

"Akan ku carikan taxi kalau kau mau"

"Setelah setengah jam berjalan?" dia mengangguk. "15 menit lagi kita sampai. Kita terlalu lamban berjalan"

"Sesekali nikmati lah pemandangan malam, kau membutuhkan udara segarnya"

"Ya, ya, ya..."

Dia malah tertawa menanggapi ku.

Beberapa menit ku rasa sudah cukup ku kumpulkan energi ku, aku berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan. Seperti dugaan ku, dalam 15 menit kami tiba.

Namun, pemandangan yang tak jauh dari pandangan ku, tepat di depan rumah ku, Axell berdiri bersama wanita itu. Wanita yang selalu membuatnya tersenyum seteduh itu. Senyum yang jarang ku dapatkan darinya. Dan tatapan itu, tatapan yang selalu membuat ku iri.

"Zizi..." wanita itu melambai riang bersamaan dengan Axell berbalik menoleh pada ku.

"Riana...?" gumam ku pelan.

Tatapannya sempat berubah saat mata kami bertemu. Ia menyipitkan mata, namun senyum nya muncul menutup tatapan anehnya pada ku. Ku gigit bibir bawah ku seraya melangkah pelan ke arah mereka.

"Kalian...datang?" tanya ku kaku.

Senyum ramah yang ditampilkan nya pada ku juga tak pernah berubah. "Kau baru selesai kerja?"

"Zizi..." Tifa dan Kian muncul dari dalam menghampiri kami. "Kau sudah pulang?"

"Ya..." aku kembali memandang ketiga tamu kami. "Kalian masuk lah..."

"Kau mau kemana?" tanya Azka.

"Aku mau membelikan camilan untuk kalian. Kami tak punya apapun di kulkas"

"Benar, pergi lah. Titipkan saja mereka berdua pada kami" timpal Tifa. "Kau..." arah matanya berganti ke arah Azka. "Pergilah bersamanya"

"Oke..." Azka manggut-manggut, sesekali melirik ku dan Axell.

"Kami pergi dulu, masuk lah" kata ku pada Riana.

"Tidak, biar aku yang pergi bersamanya. Kau istirahat lah. Riana sudah lama menunggu mu disini" sela Axell memandang ku.

"Tapi..."

"Axell benar. Lagi pula kau baru pulang kerja, biar mereka yang membelinya" Riana menanggapinya dan aku mengangguk canggung menyetujuinya.

Mereka pun pergi dan kami masuk ke dalam. Aku mempersilakannya duduk di mini bar. Sedang Kian dan Tifa tengah bersiap menutup perpustakaan.

"Jadi kau wanita karir sekarang?" tanya nya membuka percakapan.

Aku menyuguhkan secangkir minuman padanya. "Tidak juga. Aku hanya karyawan di apotek. Kalau perpustakaan ini hanya sekedar menyalurkan hoby saja"

Ia menyeruput minumannya. "Lalu bagaimana kabar mu?"

"Seperti yang kau lihat, aku baik. Bagaimana dengan mu?"

"Baik juga. Seperti yang kau lihat"

"Owh..."

Ia tertawa kecil. "Kau sangat canggung pada ku. Ah tidak, kita berdua terlihat canggung. Apa aku salah mendatangi mu?"

Aku menggeleng cepat. "Cuma sedikit...aneh?" aku memikirkan kata aneh yang keluar dari mulut ku.

Ia tertawa lagi. "Tentu saja aneh setelah apa yang terjadi"

Ku usap leher ku. "Ya, setelah apa yang terjadi maka dari itu semua terasa aneh"

"Jangan secanggung itu, aku jadi berpikir kedatangan ku selalu tidak tepat"

"Ha?"

"Kedatangan ku di antara kalian selalu tidak tepat" ia meminum minumannya lagi. "Kau terlalu menunjukkannya kali ini..."

"Ha?"

"Pancaran mata mu, aku selalu tepat membacanya"

"Ri..."

Ia mengibaskan tangannya. "Santai saja. Sikap mu ini bisa saja ku manfaatkan untuk menggoda pria mu dan merebutnya dari mu" Aku mendesah pelan. "Suami ku sedang tugas disini dan tanpa sengaja bertemu kalian. Bukan kah ini luar biasa?"

Aku mengangguk. "Dimana anak-anak mu?"

"Aku menitipkan mereka pada tante mereka. Lagi pula aku sudah memprediksi akan pulang selarut ini"

"Sudah lama kalian menunggu ku?"

"Lumayan. Aku sempat membaca 1 novel disini. Tapi karena bosan, aku keluar dan tak sengaja bertemu suami mu"

"Mantan suami..." aku memperbaiki kalimatnya. Ku seruput minuman ku yang masih panas.

"Aku terkejut saat kalian memutuskan untuk bercerai"

"Aku juga terkejut melakukannya"

"Kalian sudah bertemu lagi, apa ada niat melanjutkan hubungan tertunda kalian?"

Aku tertawa kecil mendengarnya. "Hubungan tertunda?" dia mengangguk. "Jangan berlebihan"

"Apanya berlebihan. Kalian dipertemukan lagi, bukan kah sudah cukup menjelaskan kalau kalian memang berjodoh?"

"Ri..."

"Apa?"

"Bisa kita tak membahasnya?"

"Kau keberatan?" aku diam. Ia mendesah panjang. "Maaf..."

"Kau tak perlu minta maaf. Aku hanya tak nyaman dengan pertanyaan mu"

Ia terkikik. "Kau selalu menghindar jika berhubungan dengannya" aku diam lagi. "Maaf..."

"Untuk apa lagi kali ini?"

"Aku memutuskan berpacaran dengannya lalu membuangnya"

Aku menggut-manggut. "Benar. Kau harus minta maaf pada ku karena menyakiti satu-satunya sahabat pria ku"

Ia tertawa kecil. "Tapi kau harus berterimakasih pada ku. Kalian akhirnya menikah"

"Dan akhirnya bercerai"

"Dan hasilnya kalian bertemu kembali. Itu keberuntungan yang besar"

"Keberuntungan?" ku aduk-aduk minuman ku tak beraturan. "Justru aku bingung harus meletakkan hubungan ini dimana"

Ia mendesah panjang. "Kalau ku tau akhirnya begini, aku menyesal telah melepasnya untuk mu"

"Kalau begitu kau harus kembali padanya"

Ia tertawa keras. "Hey, kau sungguh mengatakannya dengan nada bercanda tak mengenakkan itu? Jaga kalimat mu, Zi. Aku bisa saja melakukannya"

"Lakukan saja, aku bisa mengambil suami dan anak kembar mu nanti"

Ia tertawa lagi. "Apa kita coba bertukar peran saja?"

Ku putar bola mata ku. "Kau wanita terburuk yang pernah menjadi sahabat ku"

"Kalau tak begitu kau tak akan berteman dengan ku"

Aku berdecak menggeleng kepala ku.

"Apa yang kalian bicarakan sampai tertawa sekeras itu?" Azka dan Axell datang dengan sekantong plastik besar.

"Membicarakan sesuatu yang menyenangkan" jawab Riana yang terlihat cepat akrab.

Kian dan Tifa ikut bergabung mengobrak-abrik plastik yang mereka bawa. Saat tengah memilah makanan apa yang perlu kami olah, ponsel Riana berdering. Ia agak menjauh dari kami.

"Hey teman-teman..." dalam sekejap ia kembali memakai jaketnya. "Aku harus pulang, suami ku menjemput ku di depan"

"Sayang sekali, kami sudah membelikan mereka semua untuk mu" kata Azka menunjuk barang bawaannya.

"Simpan lah untuk ku. Aku akan datang sesering mungkin" ia mengambil tasnya. "Aku pulang. Bye" ia bergegas pergi sebelum mendapat jawaban dari kami.

"Apa wanita itu orang ketiga yang merusak hubungan kalian?" tanya Tifa lagi-lagi mengeluarkan isi pikirannya dengan frontal.

"Bukan, dia bukan orang ketiga..." semua menoleh pada ku. Ku ambil tas ku bersiap naik ke kamar. "Aku orang ketiganya" jelas ku menyingkir dari sana.

Namun, perkataan Axell menahan ku. "Kau bisa mengusirnya kalau kau keberatan dengan kedatangannya"

"Lebih tepatnya aku keberatan dengan kedatangan mu. Jadi, pulang lah"

"Kau cemburu?" ku gigit bibir ku menahan kata-kata ku. "Baru beberapa hari ini kau bersikap baik pada ku, lalu sekarang dengan kehadirannya kau kembali dingin pada ku. Ah...aku lupa. Aku tak boleh mengeluh. Aku harus menerima semua perlakuan mu. Kau pemegang kendali hubungan kita sekarang"

"Aku tak pernah mengendalikan apapun..."

"Jadi berhentilah berpikiran konyol terhadap ku..." aku menoleh. "Tanya kan pada ku secara langsung bagaimana perasaan ku, jangan hanya menebak tanpa tau apa yang ku rasakan. Kau hanya perlu menanyakannya tanpa perlu menimangnya. Aku akan menjawabnya dengan jujur"

"Jawaban mu tak akan memuaskan ku"

"Setidaknya kau harus menanyakannya terlebih dulu" ia meletakkan jajannya lalu mengenakan jaketnya. "Aku akan pulang. Sampai bertemu besok" ia mengusap kepala ku sebelum melangkah.

"Maaf..." kata ku menahannya. "Aku akan tetap memejamkan mata dan perasaan ku mengenai perasaan mu" tatap ku sendu tepat ke manik matanya.

Ia menanggapinya dengan senyum tipis. "Lakukan apapun yang menurut mu bisa memuaskan mu" ia pergi.

Ya, aku akan tetap dengan pemikiran ku. Dengan begitu aku akan baik-baik saja dengan memendam rasa ini selamanya.

*****

TBC...

Продолжить чтение

Вам также понравится

KIRANA ANAK MAGANG | TAMAT ✔ Shining Cream

Любовные романы

821K 22.4K 16
Selamat datang semester tujuh, selamat datang masa magang yang katanya, super sibuk dan harus berhadapan dengan momok serba dadakan. Kacung dadakan...
Hidden Marriage Safira RM

Любовные романы

1.1M 55.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
Naughty Nanny 🐻🐶

Любовные романы

6.3M 325K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
Accidentally Met You almayts

Короткий рассказ

6.2K 680 16
"Jadi, gue harus manggil kakak atau enggak nih?" Tanyanya. "Jangan! Marsha aja." Jawab gue. "Oke, Mars!" Lalu, gue tertawa karena dia memanggil gue d...