Please, Accept My Heart

By AnggrekAngGraini

84.1K 4.9K 128

[Completed] "Diam. Itu lah cara ku mencintai mu. Maaf" *********** "Aku menceraikan mu disaat hati ku juga m... More

Sebaiknya Kita Cerai
Gedung 2 Lantai
Hujan Di Malam Hari
Sembunyi Di Balik Senyum
Terkunci Dalam Masa Lalu
Terusik Dengan Sikap Mu
Ke-ramahan Pertama Ku
Perasaan Ini Masih Sama
Aku Meragukan Mu
Ungkapan Sederhana
Bisakah Kita Kembali?
Nikah? Oh, Not Now!
Aku Belum Bisa Menjawab nya
Datang lah! Aku Akan Mengatakannya
Menyerah Pada Hati
Bodohnya, Aku Masih Tetap Menyukai Mu

It's Our Day

3.7K 239 7
By AnggrekAngGraini

"Kau yang bilang tak akan pergi sebelum aku meminta mu" dia mengangguk kecil. "Jangan pergi sebelum aku benar-benar menyuruh mu pergi" akhirnya kalimat sakral itu keluar juga dari mulut ku.

"Aku janji" Ia tersenyum lebar menampakkan giginya. "Jadi berhenti lah mengusir ku, aku juga bisa menyerah sewaktu-waktu hanya dengan mendengar kalimat mu itu"

Aku berdecak. "Kau bilang kau tak akan mengeluh dengan semua perlakuan ku"

Ia tertawa kecil. "Baik, baik. Aku menyerah. Kau lebih licik dari dugaan ku" ia berdehem memandang langit. "Tak apa lah asal aku sudah mendengar semuanya malam ini. Tak ada pilihan lain. Aku hanya akan melewatinya saja"

Aku menyerah dengan perasaan ini. Berjuta kali menghadapinya hasilnya akan tetap sama, hati ini akan tetap tertuju padanya. Aku tak kunjung berhasil membelokkannya sebab senandung yang ku mainkan dalam hidup ku hanya untuk pemilik nama yang tertera dalam dentingan melodi dalam hati ku.

*****

"Jadi kalian balikan?" Tifa membawa makanannya dan duduk di samping ku. "Apa mantan suami mu akan melamar mu lagi dan kalian menikah untuk kedua kalinya?"

Aku tersedak makanan ku. Kian menyodorkan air putih.

"Dia harus melamarnya kalau tak ingin direbut Azka" jawab Kian.

Tifa mendesah. "Padahal aku berencana membantu Azka mendapat kan mu" ujarnya sambil mengunyah makanannya.

"Dan kau harus menggagalkan rencana mu karena sudah pasti teman kita satu ini lebih memilih mantan suami yang sangat dicintainya itu"

Tifa berpikir memandang ke atas. "Tidak juga, Azka masih punya kesempatan sebelum Axell bertindak. Lagi pula Zizi belum sah menjadi miliknya. Dia harus masih mempermainkan Axell untuk meyakinkan dirinya sendiri"

"Jangan berujar sendiri. Lihat lah semalam mereka memutuskan memulainya dari awal"

"No...no...no..." Tifa menggoyangkan jarinya. "Azka juga punya kesempatan untuk merebutnya"

"Kau dengar?" Kian bicara pada ku. Aku mencoba mengabaikan mereka. "Axell harus cepat-cepat melamar mu, ah tidak, dia HARUS menikahi mu secepatnya supaya kau tak goyah dengan pilihan mu kelak" ia lebih terlihat bermonolog dengan dirinya sendiri.

Aku mendesah. "Coba lah menikah sekali saja kau akan tau sensasinya" tutur ku membawa piring kotor ku ke dapur.

"Aku akan mencobanya jika ada yang menawari ku"

"Wooohhh..." aku dan Tifa mendengarnya antusias.

"Apa pria mu itu tak mau kau ajak menikah?" goda Tifa menaik-turunkan alisnya.

"Pria sinting itu hanya memperdulikan foto mayat-mayat di kantornya"

"Jadi kau ingin ku nikahi?" suara pria yang dimaksud mendadak muncul dari pintu bersama 2 pria lainnya, Azka dan Axell. "Kau siap ku nikahi?" pertanyaan keduanya membuat Kian tersedak berlebihan.

Aku buru-buru membawakannya segelas air putih, mengurut leher belakangnya. Kian menepuk-nepuk dadanya kuat. Bola matanya sampai berair dengan batuk yang tak kunjung berhenti. Bintang mendekatinya, membantunya meredakan batuknya. Aku yang mengerti sikon mundur perlahan.

"Waaahh, aku tak menyangka hubungan kalian sudah sejauh ini" ujar Azka memasang tampang takjub. "Apa perlu ku carikan gedung untuk pernikahan kalian?"

Aku, Tifa, dan Axell menahan tawa melihat semburat merah yang muncul di wajah Kian hingga telinganya.

"Apa se-memalukan itu sampai wajah mu memerah separah ini?" ucapan Bintang justru memperparah warna merahnya.

Kian si pemalu tingkat akut buru-buru beranjak dari sana menuju kamarnya. Bintang geleng kepala, tersenyum geli mengamati tingkah gadisnya.

"Hey, kalian..." tunjuk Tifa pada ku, Axell, dan Azka. "Siapa yang berencana duluan melamar gadis kalian? Apa kalian akan saling memperebutkannya setelah kejadian semalam? Atau ada yang mengalah?" tanya Tifa blak-blakan.

Aku membungkam mulutnya dengan tangan ku, mendelik mengancamnya. Tapi, jawaban Axell dan Azka malah membuat ku gerah.

"Kami akan melakukannya secara jantan" jawab Azka dengan senyum nya. "Aku tak memaksakan kehendak ku karena memang sejak awal aku hanya menawarkan jabatan tangan pertemanan padanya. Kalau pun aku berhasil, itu sudah pasti bonus untuk ku"

"Kalau dia sudah memaafkan ku dia akan setuju ku nikahi. Dan aku harus memastikan diri ku untuk tak sekalipun terlambat meminta maaf seperti yang ku lakukan selama ini"

Aku menghembuskan nafas gusar.

"Apa ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuan ku?" Bintang menggaruk kepala mengamati kami.

Tifa berdehem. "Ku pikir kali ini pertanyaan ku salah. Sebaiknya aku tak ikut campur" Tifa mengambil tasnya bersiap pergi kerja. "Aku harus pergi. Sampai jumpa" ia berlalu pergi.

"Mau ku antar?" tawar Azka pada ku.

"Akan kami antar" sela Axell. Azka tertawa kecil. "Aku yang bawa mobil, kalian penumpangnya. Kau tak sepatutnya menawarkan jasa mobil ku"

Azka mencebikkan bibir, namun bukan berarti ia terlihat kesal. Justru sebaliknya. "Baiklah. Keputusan pemilik mobil sudah mutlak. Kau harus ikut dengan kami"

Aku hampir menolak jika saja Azka tak menarik ku terlebih dulu. Axell dan Bintang menyusul di belakang.

Aku dan Azka duduk di kursi belakang, sedang Bintang duduk di samping supir yang tak lain adalah Axell sendiri.

"Berapa lama orang tua mu berlibur kesini?" tanya Bintang.

"Nanti sore mereka harus pulang"

Aku mendengarnya diam-diam.

"Kau sudah mengambil cuti mu?" tanya Azka penasaran.

"Sudah. Aku sudah mendapat ijinnya"

"Kau tak membawanya?" Azka menunjuk ku. Aku menoleh, menaikkan sebelah alis ku. "Aku tak melarang mu walau aku ingin sekali merebut mu darinya" Ku putar bola mata malas. "Jadi dia tak mengajak mu?"

"Aku berencana mengajaknya sebelum kau mengacaukannya dengan pertanyaan mu itu"

Azka berdecak. "Aku bertanya karena penasaran"

"Itu berarti kau tak rela jika Zizi pergi" sergah Bintang kemudian mendapat jitakan dari Azka.

"Kita sampai" ucap Axell melirik ke belakang, tepatnya ke arah ku. "Kau terlalu pendiam hari ini. Apa kau menyesal karena kalimat mu semalam?"

Azka dan Bintang saling melirik canggung dan berpura-pura memandang ke luar jendela.

"Kalian terlalu asyik mengobrol dan aku juga tak punya materi untuk dibahas"

Axell tersenyum. "Kau bisa membahas usulan Tifa untuk ku nikahi"

Azka menyela obrolan kami. "Heyy, hey, saingan mu ada disini. Kau terlalu frontal mengatakannya. Harusnya kalian membicarakannya berdua saja tanpa aku" Azka memukul dadanya. "Haahhh...hati ku terlanjur sakit menerima kenyataan tak mengenakkan ini" katanya terdengar candaan di telinga ku.

Aku dan Axell menahan senyum karenanya. Karena tak ingin berlama-lama, aku turun tanpa mengatakan apapun. Saat itu aku berpapasan dengan Cio dan kami masuk bersama. Mobil mereka pun segera melaju setelah membunyikan klakson sekali sebagai ucapan perpisahan.

*****

Malam ini hujan turun lagi. Aku terpaksa menunda kepulangan ku.

Ponsel ditangan ku berdering menandakan pesan masuk. Tertera nama Axell. Mengenai ajakannya, aku menolak ikut. Tapi aku orang tuanya sudah menyempatkan diri mendatangi ku ke apotek sebelum mereka pulang. Dia sudah berangkat mengantar orang tuanya pulang karena tak tega membiarkan mereka menaiki bis semalaman.

Aku mulai membaca isi pesannya dan membalasnya secepat kilat.

Kau sudah pulang?

Belum. Hujan datang lagi.

Kau bisa pakai payung yang ku berikan kalau masih kau simpan

Sayang sekali, aku meninggalkannya di rumah. Ngomong-ngomong, kau sudah sampai?

Kalau aku belum sampai, aku tak mungkin berani mengirimi mu pesan

Ah, benar juga

Andai kau bisa ikut

Andai aku bisa ikut, mungkin aku akan ditahan disana lebih lama melihat sikap ibu dan papa yang seperti itu

Aku juga berencana melakukan seperti apa yang mereka lakukan

Beruntung aku tak menerima tawaran kalian

Tapi tetap saja, aku berjanji akan membawa mu pulang

Coba saja semampu mu, aku belum terpikirkan sampai kesana. Aku masih menikmati hidup ku yang sekarang

Lama aku mendapat balasan. Memutar-mutar ponsel ku dengan pikiran yang melayang-layang ntah kemana.

"Kau akan lebih menikmati hidup mu jika bersama ku sepanjang waktu..."

Suara itu....

Aku hampir terjungkal ke bawah jika Cio tak menahan kursi ku yang kebetulan melintas di belakang ku.

"Kau baik-baik saja?" tanya Cio khawatir. Ku lirik Axell yang tengah tertawa di hadapan ku. "Kalian saling mengenal?"

Ku abaikan pertanyaan Cio yang tak terlalu penting. Seolah mengerti arti pandangan ku, Axell menjawabnya tanpa ku tanya.

"Kebetulan Azka mendapat tugas di luar kota dan jalur yang dilewatinya melewati rumah ku. Sekalian ku titipkan orang tua ku pulang bersamanya"

"Jadi sedari tadi kau disini? Bukan di rumah mu?"

Dia menganggkat ponselnya. "Maaf, Azka tiba-tiba mengabari ku dan menawarkan dirinya. Jadi aku tak sempat mengabari mu"

"Tapi kau sempat kesini dan mengirimi ku pesan"

"Ya, karena wajah mu terlalu masam untuk tak ku kerjai"

Aku mendengus kesal. Selang beberapa waktu, suara tangisan bayi membuat ku cepat-cepat melupakannya dan menghampiri kamar inap. Pasien itu masih dirawat disini.

Ku ambil pelan-pelan bayi itu dari ranjangnya, menggendongnya dengan hati-hati. Ku ayun pelan menenangkannya. Ibunya tengah tertidur pulas. Aku memakluminya, mungkin karena kondisinya yang masih lemah.

"Cantik" ternyata Axell ikut masuk dan ia terlalu dekat membisikkannya di telinga ku. "Kalau kau melahirkan pasti akan secantik ini"

"Tentu saja"

"Aku menginginkannya"

"Siapa pun menginginkannya"

"Termasuk kau?"

"Tentu saja"

"Kau bisa membuatnya bersama ku" Aku mendelik. "Aku serius. Aku menginginkannya juga"

"Kau bisa membuatnya sendiri"

"Tak bisa. Aku butuh kau. Tapi aku perlu menikahi mu terlebih dahulu"

Aku mendesis. "Diam lah, dia mulai tertidur"

Pelan-pelan ku taruh bayinya di tempatnya kembali. Bayinya menggeliat, ku tepuk-tepuk pelan menenangkannya. Aku tak berhenti terkesima mengamatinya.

"Aku sungguh menginginkannya..." Axell juga merasakan hal yang sama. Aku bisa lihat dari pancaran matanya. "Melihatnya, aku ingin segera menikahi mu"

Tepukan ku berhenti. Ia tampak serius mengucapkannya meski tanpa melirik ku sekali pun.

"Aku juga menginginkannya..." Axell menoleh pada ku, tapi tidak dengan ku yang terpaku pada bayi nya. "Tapi aku belum siap menikah lagi"

Senyum simpul melengkung di bibirnya. "Lakukan perlahan, aku juga tak akan terburu-buru. Aku hanya mengatakan perasaan ku tanpa menuntutnya"

"Aku memang meminta mu jangan pergi, apa kau tak keberatan jika akhirnya aku tak menginginkan pernikahan lagi dengan mu?"

"Jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat..."

"Aku bilang jika aku melakukannya..."

"Kalau begitu aku harus lebih keras mewujudkannya" ku hela nafas berat. "Jangan hanya memikirkan nya, kau hanya perlu melakukannya"

"Benar, aku terlalu memikirkannya. Padahal aku belum tau apa mau ku sebenarnya"

Ia mengusap kepala ku lembut membuat ku mendongak menatapnya. "Jam berapa kau pulang?"

Ku lirik jam tangan ku. "Sekarang"

"Bersiap lah, aku akan mengantar mu pulang"

Ku kira dia akan meyakinkan ku lagi.

Aku megangguk mengiyakan.

*****

Aku tak menyangka Axell memaksa masuk ke dalam kamar ku. Ia tengah menelusuri seisi kamar ku yang sempit.

"Hanya ada lemari, meja, dan ranjang" kritiknya menduduki ranjang ku.

Aku sibuk merapikan pakaian kotor di sudut kamar yang sengaja ku kumpulkan setiap hari untuk ku cuci di hari minggu.

"Kau tak perlu merapikannya, aku hanya ingin melihat-lihat kamar mu"

"Aku cuma mewanti-wanti kau akan mengkritik ku lain waktu"

Ia tertawa kecil. "Apa dulu aku sekejam itu?"

"Kau bahkan mengumumkannya ke seluruh teman-teman ku kalau kamar ku tak layak dihuni manusia"

"Aku mengatakan yang sebenarnya"

Ku letakkan semuanya di keranjang dekat pintu. "Aku tak sejorok itu, kau tau itu"

Ia tertawa. "Kau masih marah mengenai waktu itu?"

"Tentu saja. Hampir semua penjuru sekolah mengetahuinya dan karena itu aku dijauhi pria incaran ku"

Ia malah tertawa terpingkal-pingkal memegang perutnya. Aku menarik lengannya, memaksanya pergi, tapi tubuhnya terlalu berat untuk ukuran tubuh ku. Justru ia balik menarik ku membuat ku berbaring di sampingnya. Rasa kesal ku berganti melihat tawanya hari ini dan tanpa sadar aku pun ikut tertawa membayangkan hal-hal bodoh yang kami lakukan dulu.

"Aku merindukan masa kita waktu itu" ucapnya tiba-tiba menghentikan tawa kami. "Kedekatan kita bahkan dianggap berlebihan. Banyak orang mengira kalau kita pacaran"

Aku setuju. "Sampai kekasih mu sendiri menganggapnya begitu"

Ia memandang langit-langit kamar ku. "Dia terlalu polos..."

Apa dia akan mulai menceritakan masa lalu kami? Aku ingin menghentikannya, karena terlalu menyakitkan bila dibahas lagi.

"Ya, dia terlalu polos sampai kau jatuh cinta padanya" sambut ku mengenyahkan pikiran konyol ku.

"Aku tak mengerti darimana semua itu dimulai"

"Kata 'darimana dimulai' tak terlalu penting dipertanyakan jika kau sedang jatuh cinta" aku memiringkan tubuh ku menghadapnya yang tengah menoleh pada ku. "Bagaimana kabarnya?"

"Dia sudah melahirkan anak kembar" kami saling menatap satu sama lain.

"Kau tak ingin merebutnya lagi"

"Aku tak pernah berniat merebutnya"

"Kalian sering bertemu"

"Aku selalu meminta ijin dari mu"

"Lebih tepatnya kau sekedar mengatakannya pada ku"

"Itu karena aku tak pintar memilih kata yang tepat untuk tak menyakiti mu. Aku mencemaskan segala sesuatu yang ku lakukan"

"Kau hanya mencemaskan dirimu sendiri. Kau hanya mementingkan perasaan mu"

"Aku mencoba menghindari mu"

"Kau menjauhi ku karena pernikahan kita"

"Kenapa kau menerimanya?"

"Kau sudah membaca diary ku. Kau sudah mendapat jawaban ku"

"Kau tak pernah mengatakannya pada ku"

"Kalau aku mengatakannya mungkin kita akan bercerai lebih cepat"

Ia kembali memandang ke atas kemudian mendudukkan dirinya di pinggir ranjang. Aku melakukannya juga. Ia tampak serius menerawang sesuatu. Karena tak ingin memasukinya terlalu dalam, aku berdiri berniat keluar dari suasana ini meski tak ada lagi ketegangan seperti biasanya.

"Aku beberapa kali jatuh cinta pada mu" akunya menghentikan langkah ku di depan pintu. "Aku bahkan melakukan banyak hal untuk menjauhi semua pria yang mendekati mu"

"Kau tak pernah mengatakan nya pada ku"

"Karena aku tak terlalu yakin dengan perasaan yang ku punya"

"Tapi kau yakin dengan perasaan mu padanya"

"Bagi ku aku hanya punya 1 sahabat dan 1 cinta"

"Aku sahabat mu dan dia cinta mu. Itu sudah jelas"

"Karena 1 sahabat lebih berharga dari 1 cinta yang ku miliki. Aku yakin saat aku memutuskan mu menjadi sahabat ku, kau tak akan pernah meninggalkan ku. Sebab jika cinta ku pergi meninggalkan ku aku masih punya sahabat ku di samping ku"

"Tapi kau juga memutuskan membuat ku pergi"

"Dan saat kau pergi aku benar-benar kehilangan cinta ku sekaligus sahabat ku" Aku terkesiap saat ia tiba-tiba memeluk ku dari belakang, meletakkan dagunya di pundak ku. "Cinta ku pada gadis bernama Zizi dan sahabat ku yang juga bernama Zizi"

"Lepaskan aku..."

"Aku bukannya terbebani karena pernikahan kita. Meski aku berpikiran 1 sahabat lebih berharga dari 1 cinta yang ku punya, nyatanya..." ia mendesah. "Aku terlalu egois melepaskan salah satu dari kalian berdua" Aku menoleh mengerutkan alisku. "Kenyataannya...aku mencintai kalian berdua"

"A-apa...?"

"Aku mencintai kalian berdua. Aku mencintai mu dan Riana"

"Lalu...?"

"Riana mengetahuinya dan melepas ku begitu saja"

"Lalu menyuruh ku menikah dengan mu? Kalian membodohi ku?" emosi ku tersulut. "Pembual!"

"Aku memilihnya. Aku tetap memilihnya. Aku bahkan bersujud meminta restu dari orang tuanya"

"Lalu apa yang ku lakukan? Orang tua mu menyuruh ku menjadi pengantin mu setelah dia menolak mu...ah salah sejak awal mereka tak menyetujui hubungan kalian"

"Aku marah pada diri ku sendiri karena menikahi mu"

"Tapi kau mau melakukannya. Kau juga meminta ku meski aku menolak mu. Aku memang mencintai mu, tapi aku juga tak ingin disebut memanfaatkan kondisi mu"

"Waktu itu aku masih terlalu mencintainya..."

"Dan cinta mu pada ku sudah hilang..."

"Aku tak bisa berpikiran jernih. Orang tua ku juga memaksa ku menikahi mu. Karena rasa bersalah ku pada Riana terlalu besar aku mengabaikan sisa perasaan ku pada mu"

"Dan pada akhirnya kau juga membodohi perasaan ku"

"Aku belum tau kalau kau mencintai ku juga"

"Karena kau lebih memilih Riana daripada diri ku"

"Maafkan aku"

"Berhenti meminta maaf, aku sudah menerimanya tanpa kau memintanya" aku melangkah pergi, tapi sebelumnya aku juga ingin mengatakan sesuatu. Aku menoleh ke belakang. "Kau salah mengartikan perasaan mu pada ku. Jika kau mencintai ku, kau juga tak akan dengan mudahnya melepas ku seperti yang kau lakukan pada Riana" ucapku seraya memberinya senyum kalau aku baik-baik saja dengan semua ini.

Sejak awal aku sudah mengikhlaskan nya. Aku tak apa dengan cinta ini sebab setiap detik untaian indah cerita yang kami jalani di masa lalu lah yang membuat ku menumbuhkan cinta ini dan hanya bisa ku kontrol tanpa harus menggenggam nya.

"Zi..." Axell menyusul ku ke bawah.

"Xell...pulang lah!" pinta ku lelah.

Ia justru memeluk ku dari belakang. Aku tak punya banyak tenaga untuk berontak. "Aku ingin kita saling terbuka mengenai masa lalu. Aku sungguh ingin memulainya dari awal dengan mu, dengan saling membuka diri. Aku melakukannya karena ku pikir kau harus tau bagaimana perasaan kita dulu. Kau berhak membenci ku, tapi jangan abaikan aku"

"..."

"Zi..."

"Andai aku yang berada di posisi mu, apa yang akan kau lakukan Xell?" dia diam. "Andai aku mencintai pria lain dan juga mencintai mu, siapa yang harus ku pilih?"

Pelukannya mengerat. "Pria yang kau yakini tak akan pernah menyakiti mu. Kau harus memilih pria yang seperti itu"

"Dan sialnya hati ku lebih memilih pria yang selalu menyakiti ku"

"Jika itu terlalu menyakitkan lepaskan saja tanpa menoleh ke belakang sekali pun"

"..."

"Jika kau menoleh pria itu akan kembali pada mu"

"Dan aku selalu menoleh sepanjang waktu"

"Maka pria itu harus berjanji mengobati lukanya"

"Axell..."

"Dan aku harus melakukannya, aku harus melakukannya untuk mu. Benar kan?"

Benar. Kau harus mengobati ku terlebih dulu sebab kau lah penyebab aku tak bisa memilih cinta lain yang ditawarkan dunia untuk ku miliki.

*****

TBC..

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 87.5K 32
[SUDAH PERNAH DIBUKUKAN, CERITA MASIH BISA DIBACA DENGAN SISA PART YANG ADA] Ada di sini yang orang Jawa? Pernah mendengar mitos yang bunyinya 'Anak...
203K 14.3K 35
Prinsip Zara Amira Prabuwijaya soal Percintaan: 1. Tidak mau dijodohkan. 2. Tidak boleh jatuh cinta atau menikah dengan pria yang sekantor dengannya...
110K 12.1K 61
Khiya dan Mahesa adalah sepasang petani yang menitipkan hati satu sama lain. melalui kasih, ada satu dunia yang hanya mereka tempati. melalui kasih...
228K 10.4K 57
Hera bahagia, dia mencintai keluarganya, suaminya dan anak perempuannya, dia juga mencintai pekerjaannya walaupun dia memiliki bos yang menyebalkan. ...