❝Di antara miliaran orang, kenapa aku harus bertemu kamu?❞
. . .
Aku kembali bersekolah sesuai janjiku. Karena merasa tidak nyaman, aku malah bertukar tempat duduk dengan Revi. Jadilah aku duduk di depan bersama Racha.
"Lo beneran nggak papa?"
Raut wajah Racha terlihat cemas. Aku menggeleng sembari mengulas sebuah senyuman kecil.
"Lo nggak boleh ngehindar terus. Gue nggak tahu persis masalah lo. Tapi yang jelas, lo harus ngomong baik-baik sama Arlan," ujarnya seraya berbisik. Namun pandangannya masih menuju papan tulis.
Racha menoleh ke arahku. Aku mengangguk kecil, tak tahu harus merespon apalagi. Racha pun tidak bertanya lagi. Aku bersyukur akan itu.
Enaknya duduk depan, aku bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Berbeda saat aku duduk di belakang—tidak belakang juga sih—tetapi tetap saja tidak bisa melihat jelas tulisan yang ada di papan tulis. Alhasil aku harus menyalin apa yang Elis tulis.
Untung saja Elis baik, selalu membantuku.
Selama seharian ini, aku dapat menghindari Arlan. Ketika cowok itu ingin berbicara denganku, tepat juga Racha memintaku menemaninya di perpus. Aku langsung saja mengiyakan, asal tidak berbicara dengan Arlan.
Melihat wajah Arlan, hanya membuatku kembali teringat dengan masa laluku. Teringat wajah menyeramkan itu.
"Lo pulang sama siapa?" Elis menyadarkanku dari lamunan.
"Dijemput Bang Jef."
"Gue sama Revi duluan nggak papa, kan?"
"Iya, lanjut aja. Hati-hati ya."
Aku tersenyum saat mereka berdua serempak melambaikan tangan padaku.
"Bye, Zelin! Salam buat abang lo."
Aku tertawa kecil melihat tingkah Revi yang menari tak jelas. Revi selalu saja membuat kehebohan. Aku jadi terhibur melihatnya.
Racha yang baru keluar dari kelas melihatku bingung. Dia pasti baru selesai mencatat ulang semua yang dijelaskan guru tadi.
"Ada aja kelakuan si Revi," ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
"Iya tuh."
Aku yakin saat ini Racha pasti menunggu jemputan. Kami duduk bersama di dekat taman depan. Selang tak berapa lama, mendadak Abel menghampiriku.
"Jangan lupa besok syuting. Lo kan salah satu pemeran utama. Masa pemeran utama nggak ada?!"
Oh iya, hampir saja aku terlupa. Untung Abel mengingatkan.
"Oke, Bel."
Abel tidak membalas, hanya menatap kami sarkastik seperti biasa. Tetapi aku tahu, hatinya baik.
"Zel, gue udah dijemput nih."
"Iya, pulang aja," jawabku mengerti.
"Lo nggak mau nebeng gue gitu? Udah sepi loh."
"Nggak papa, aku udah biasa sendirian. Lagian Bang Jefri udah mau nyampai kok."
"Bener nih? Gue jadi nggak enak."
Aku menepuk bahunya, biar terkesan akrab. "Iya, santai aja kali."
Racha mengulas senyuman. "Lo hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, telpon gue."
Aku mengangguk sambil memberikan jempol padanya.
"Bye!"
Suasana sekolah sudah sepi. Aku berjalan lalu duduk di dekat gerbang sekolah sembari menunggu untuk dijemput. Bang Jefri mengatakan aku harus pulang dengannya.
Untuk memperbaiki suasana, lebih baik aku menurut saja.
Karena bosan duduk terus-terusan, aku berjalan-jalan di tengah lapangan sembari merentangkan tangan lalu memiringkannya ke kanan-kiri seperti sedang membawa motor. Kalau orang melihatku, mungkin mereka mengira aku sedang tidak waras.
"Zelin Fauziyah!"
Aku terdiam, membeku dan bungkam saat suara yang terdengar familiar memanggil namaku.
Otakku ingin berlari. Namun hatiku seakan menahanku untuk tidak berlari. Hingga cowok itu berada tepat di hadapanku.
"Aku mau ngomong sama kamu."
Untuk beberapa saat, bibirku mengatup rapat. Setelah mengambil napas berulang kali, barulah aku menjawab.
"Ngomong aja," jawabku pelan, namun sepertinya masih terdengar olehnya.
"Kamu nggak serius ngomong putus, kan?"
"Aku serius," sahutku cepat, membuatnya terdiam.
"Aku tahu alasan kamu berubah."
Aku tersentak, lalu menunduk, tak sanggup melihat wajahnya. "Baguslah kalau kamu tahu."
Arlan mencengkram bahuku, cukup kuat. Sampai dadaku jadi terikut sesak. Aku mengangkat kepalaku sedikit. Jarak kami berdekatan—hanya beberapa senti. Sejenak sebelum kepalaku kembali tertunduk.
"Tatap aku."
Aku tersentak, namun tetap menunduk, tak punya keberanian menatapnya.
Namun tiba-tiba Arlan menaikkan daguku dengan tangannya. Kedua mata kami beradu. Jantungku tak bisa diatur lagi. Detakannya sangat cepat dan mungkin sudah berada di ambang batas stabil.
"Kenapa kamu menghindar?"
Napasku tertahan. Untuk mengeluarkan suara saja susah dengan suasana yang sedekat ini.
"Sudah beberapa hari ini aku memikirkan alasan kamu menjauhiku. Aku bahkan bertanya-tanya tentang kesalahanku."
Jeda sejenak sebelum dia kembali membuka mulut.
"Apa karena aku adalah anak pembunuh?"
Tenggorokanku tercekat. Ternyata Arlan tahu yang sebenarnya terjadi. Deru napasku dan Arlan saling kejar-mengejar. Ketegangan berpendar di udara, begitu mencekam di sekeliling kami.
"Kamu percaya takdir?" tanyanya tiba-tiba.
Aku bergeming, tidak menjawab pertanyaannya.
"Aku percaya. Walau saat ini kamu dipaksa pergi dariku, aku percaya suatu saat nanti kamu pasti kembali."
Dia tertawa kecil, entah apa yang diketawakannya.
"Entah itu besok, seminggu, setahun, bahkan bertahun-tahun aku sanggup," lanjutnya.
Aku menatapnya sendu. Dia memang tertawa, namun ketika kutilik lagi dari matanya, aku dapat merasakan kesedihan yang tak pernah ditampakkannya.
"Sementara aku bukan rumah, aku hanya perlintasanmu."
Kemudian Arlan memelukku erat, seakan saat ini terakhir kalinya kami bertemu. Aku sendiri terkejut bukan main. Tubuhku mematung dan kakiku rasanya lunglai sekali. Kalau Arlan tidak memegangi pinggangku, mungkin saat ini aku sudah jatuh.
"Aku pernah bilang, kalau kamu udah tahu yang sebenarnya, aku rela melepasmu." Dia menghembuskan napas yang bisa kurasakan di telinga. Pelukannya padaku semakin erat. "Dengan ini, kamis tujuh desember dua ribu tujuh belas pukul lima tepat, Arlan resmi melepaskan Zelin."
Tak kuasa tangisku pecah. Aku ingin membalas pelukannya, namun tidak. Aku tak ingin membuatnya berharap. Perlahan, pelukan kami merenggang.
"Aku adalah orang yang selalu menepati janjiku."
Dia menatapku lalu membelai rambutku lembut beberapa kali.
"Jaga diri kamu baik-baik."
Kakiku melumer seolah ingin jatuh ke lantai. Deru napasnya masih terasa di leherku.
Arlan berjalan meninggalkanku dan mungkin tak akan kembali lagi. Aku melihatnya sampai jejaknya menghilang.
"Pao!"
Kuusap wajahku yang ternyata sudah basah oleh air mata. Kemudian aku menoleh ke samping dan melihat sekilas Bang Jefri sudah berada di sebelahku. Pandanganku kembali ke arah Arlan menghilang.
"Daritadi abang panggil nggak disahut."
Aku mendengar suara Bang Jefri, namun pandanganku masih tetap ke arah Arlan menghilang.
"Ngelihatin apa sih?"
Aku terkaget, lalu segera menormalkan ekspresiku, datar.
"Bukan apa-apa," sahutku cepat lalu berjalan mendahuluinya.
Ketika menaiki motor, aku merasa badan Bang Jefri gemetaran.
"Abang kenapa?" Aku khawatir. Takut-takut dia sedang sakit namun malah memaksa untuk menjemput.
"Ta-tadi kamu ngelihat setan ya?"
Aku memutar bola mata jengah. Kelihatannya saja pemberani, tetapi aslinya penakut.
"Pao, jadi tadi kamu—
"Nggak. Tadi itu Pao ngelihat monyet di sekolahan."
Dapat kurasakan Bang Jefri melega. Aku sedikit terhibur melihat tingkahnya.
"Huh, syukur. Abang kira kamu ngelihat setan." Kemudian Bang Jefri terdiam. "Tunggu!"
"Apa lagi, Bang?" tanyaku malas.
"Emang sekolah kamu ada monyet?"
Aku tersedak. Menghela napas berat aku mencoba mengalihkan pemikiran Bang Jefri.
"Bang, Pao laper. Yuk ah buruan pulang."
Napasku terasa berat. Aku terus kepikiran Arlan. Apa bertemu dengannya adalah sebuah takdir?
Kami bertemu saat masih kecil, lalu bertemu lagi di kota yang berbeda. Lalu kembali dipertemukan tanpa diduga-duga. Aku bingung. Kenapa semesta seakan mempermainkanku?
Kenapa di antara miliaran orang, harus dia yang selalu dipertemukan denganku?
. . .
Sudah beberapa kali aku mencoba untuk mengalihkan diri, namun tetap saja aku tak bisa berhenti memikirkan Arlan.
"AH!"
"Kenapa, Pao?"
Aku mengerjap. Kak Zara tampak mengelus dada. Kekehan kecil keluar dari bibirku.
"Hah? Nggak papa kok," ucapku linglung.
"Bikin kaget aja kamu."
Aku tertawa kecil. Bisa-bisanya aku lupa kalau Kak Zara tidur di sini.
Bego bego bego!
Setelah merasa rileks, aku mengambil kertas naskah drama seni budaya, mencoba fokus menghapal. Supaya pikiranku tak terus-menerus tertuju padanya.
Beberapa jam kemudian aku mulai mengantuk. Ku lihat Kak Zara sudah tertidur pulas. Aku tersenyum kecil. Kakakku itu memang suka tidur cepat, namun nanti dia akan terbangun di jam dua dan tidak tidur lagi.
Aku takkan bisa sepertinya. Menurutku, tidur adalah nikmat yang terselubung dalam hobi.
Aku mengambil diariku dengan langkah berat, lalu menulis.
Jakarta, 7 Desember 2017
Dear Diary,
Luka di hatiku kembali terkoyak. Aku kembali kehilangan orang yang kusayangi. Dan itu, sungguh menyakitkan.
Kenapa aku selalu kehilangan di saat aku merasa bahagia? Aku benci mengatakan bahkan menuliskan perasaanku.
Iya, aku menyukai, tidak, mencintainya. Sebagai seorang lelaki yang selalu melindungiku.
Diari, aku tidak membenci perasaan ini, walau sungguh, aku menyesali apa yang terjadi di antara aku dan dia. Karena bagaimanapun, Arlan tetap menjadi bagian dari cerita masa laluku.
Mungkin ini terakhir kalinya aku menulis diari. Bukan apa-apa, setiap kali aku menulis tentang perasaanku, entah kenapa aku jadi teringat dirinya.
Aku hanya ingin hidup tenang dan damai. Walau kenyataan selalu tak mendukung.
—Zelin
Setelah menutup diari dan meletakkannya ke dalam box, kepalaku terngiang dengan kejadian tadi sore. Arlan benar-benar sudah melepaskanku. Melepas di saat aku tersadar akan perasaanku padanya.
Aku harus kuat. Aku tak boleh lemah dengan alur masa lalu.
Zelin kuat. Zelin kuat. Aku terus melafalkan kalimat tersebut hingga tak sadar tertidur.