LEAD TO YOU (Sudah Terbit-Rep...

By dreamon31

220K 11.7K 466

REPOST YA... Cerita ini pernah diterbitkan cetak oleh Penerbit Indie, Novelindo. Cerita ini sudah direvisi d... More

Assalamualaikum
Lead To You | 1
Lead To You | 2
Lead To You | 3
Lead To You | 4
Lead To You | 5
Lead To You | 6
Lead To You | 7
Lead To You | 8
Lead To You | 9
Lead To You | 10
Lead To You | 11
Lead To You | 12
Lead To You | 13
Lead To You | 14
Lead To You | 15
Lead To You | 16
Lead To You | 17
Lead To You | 18
Lead To You | 19
Lead To You | 21
Lead To You | 22
Lead To You | 23
Lead To You | 24
Lead To You | 25
Lead To You | 26
Lead To You | 27
Lead To you | 28
Lead To You | 29 - END
Lead To You | 30
Lead To You | 31
Lead To You | 32
Lead To You |

Lead To You | 20

4.7K 329 10
By dreamon31

#156 In GENERAL FICTION (7/2/18) - 12.02 PM

#Edited 10/3/18 #138

Sekarang di #74 IN GENERAL FICTION (19/4/18)

Repost 22/3/19

******

😉😉 udah VOTE part ini kan yah? Jangan lupa komen terus share juga boleh😘

Kalo udah yuk lanjut baca kisah Alghaz dan Gadis-nya

LEAD TO YOU – PART 20

*****

Aku berlari setelah pintu lift terbuka di lobi, kemudian mengeluarkan ponselku dan memberikannya pada resepsionis dengan menitipkan pesan untuk memberikan ponselku pada Mr. Devran. Aku tidak mau membawa barang apapun pemberian Alghaz, kecuali pakaian yang ada di tubuhku tentunya, karena tidak mungkin aku membukanya. Aku tetap meninggalkan ponselnya pada resepsionis itu, walaupun ekspresinya bingung tapi ia tetap menerima ponselku. Setelah itu aku berlari meninggalkan lobi diiringi dengan tatapan heran dari security yang tadi mengantarku. Tapi baru kali ini aku tidak perduli. Aku berlari sejauh mungkin dari kantor Alghaz, tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak mengenal daerah ini, dan aku tidak tahu kemana tujuanku. Aku akan mengikuti saja kemana kakiku melangkah. Belok kanan, masuk jalan kecil, gang sempit yang padat perumahan, kemudian melewati lapangan, pinggir kali, kemudian melewati jembatan kecil. Aku mencari jalan yang tidak bisa dilalui mobil. Aku melirik jam tangan kecilku, sudah jam 4 sore dan aku belum shalat Ashar.

Setelah bertanya keberadaan masjid, kakiku melangkah menuju ke sana. Sepertinya aku sudah berjalan cukup jauh, karena kakiku terasa sakit dan pegal. Aku menuju tempat wudhu wanita dan menyegarkan diriku dengan air wudhu, Masya Allah, seketika hatiku merasa lapang dan sejuk ketika menyiramkan air wudhu itu ke wajahku.

Menumpahkan air mata di sajadah membuat beban hidupku berkurang, kebetulan tempat shalat bagian wanita tidak begitu banyak orang. Ada tiga orang akhwat selain aku yang juga sedang shalat. Aku jadi teringat Bu Ati dan Bu Ami, aku belum pamit pada mereka dan mengucapkan terima kasih yang banyak. Mereka juga adalah malaikatku, mereka pasti cemas aku tidak mengabari keadaanku. Ya Allah hilangkanlah perasaan khawatir di hati mereka, maafkan aku Bu...

Kemudian aku mendengar suara hujan deras di luar masjid dibarengi suara petir yang keras menyambar. Perutku berbunyi kelaparan, aku belum makan siang hari ini. Sudah benarkah keputusanku pergi dari Alghaz? Bagaimana kalau tiba-tiba Max menemukanku? Seketika ketakutan melandaku. Astagfirullah! Kenapa aku menganggap Alghaz lebih berkuasa dari Allah? Allah adalah sebaik-baik pelindung! DIA pelindungku sekarang, Sang Maha Pelindung.

"Assalamualaikum" seorang wanita bermukena menyapaku.

"Waalaikumsalam" jawabku.

"Maaf mbak, bolehkah saya pinjam ponselnya? Ponsel saya baterenya habis dan saya tidak bawa charger-nya, saya mau telepon rumah, mengabari keluarga bahwa saya sudah sampai" katanya sambil menunjukkan ponselnya yang mati.

Aku tersenyum seraya menggeleng, "Maaf mbak, saya juga tidak bawa ponsel"

Wanita itu menunduk, "Oh begitu..." raut wajahnya bingung, "Saya Dinar, mbak warga sini atau bagaimana?"

Aku menggeleng, "Bukan, mbak, saya hanya mampir untuk shalat di sini"

Ekspresinya berbinar, "Wah, kok sama. Saya mau ke rumah paman saya di daerah sini. Tapi karena mulai hujan mulai besar, saya mampir di sini sekalian shalat. Kalau begitu saya nunggu hujan berhenti aja, baru melanjutkan perjalanan lagi nanti"

Aku mengangguk merasa senang ada teman bicara sambil menunggu hujan berhenti. "Nama saya Gadis, mbak" cetusku, dan wanita itu tersenyum.

"Mbak Gadis mau kemana?" tanyanya.

Seketika aku jadi bingung menjawabnya, terus terang aku sendiri tidak tahu mau kemana. Jangankan tahu tujuanku, aku berada di daerah mana sekarang pun, aku tidak tahu. Aku menggelengkan kepala, "Saya tidak tahu mbak..."

Raut wajah Dinar, nama wanita dengan wajah bulat dan ramah itu berubah, "Lho? Maksudnya Mbak Gadis tidak tahu jalan pulang? Mbak nyasar atau bagaimana?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng lagi sambil memikirkan jawaban apa yang kira-kira tidak menimbulkan pertanyaan lagi. "Saya---saya---" Kruukk, suara perutku tiba-tiba berbunyi.

Alis mata Dinar meninggi sambil memandang perutku, dia tersenyum, "Ya ampun Mbak Gadis lapar ya?" kemudian ia sibuk merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan sebungkus roti, ia memberikannya padaku, "Ini, saya punya roti. Buat Mbak Gadis saja, ini halal---dan saya bukan orang jahat kok, insya Allah" katanya.

Aku ragu-ragu menerima pemberiannya, bukan karena takut ia orang jahat, tapi karena tidak enak karena tadi aku tidak bisa membantunya, sekarang malah ia menolongku. Tanganku menerima roti pemberian Dinar, "Terima kasih ya..." ucapku.

Dinar mengangguk, "Tapi saya tidak punya minumnya" katanya lagi,

Aku tersenyum sambil menggeleng dan menjawab, "Tidak masalah, yang penting perut saya terisi"

Dinar mengangguk lagi.

Hujan yang lebat, lama-kelamaan mulai berhenti dan meninggalkan gerimis kecil. Dinar bersiap-siap berdiri dan keluar dari masjid, ia menoleh padaku. "Mbak Gadis, kalau memang belum tahu mau kemana, bagaimana kalau ikut saya ke rumah paman saya?" ajaknya.

Hatiku berbunga mendengar tawarannya, aku memang benar-benar tidak tahu harus kemana, dan daritadi aku bermaksud bertanya pada Dinar, apakah aku bisa bermalam di rumah pamannya malam ini. Tapi ternyata dia menawarkan bantuannya padaku. Aku merasa terharu dan mengangguk, "Kalau memang tidak merepotkan Pamanmu, saya bersedia ikut Mbak Dinar..."

"Tentu saja tidak! Rumah pamanku cukup besar untuk menampung satu orang lagi. Paman dan bibiku juga orang baik kok! Mereka pasti suka aku membawa teman" katanya.

"Apa Mbak Dinar tidak takut kalau saya ini orang jahat?"

"Mbak Gadis orang jahat, bukan?"

Aku menggeleng, aku bukan, tapi mungkin aku anak seorang penjahat, anak pembunuh.

"Ya sudah, aku percaya Allah"

Aku tersenyum mendengar komentarnya.

Kami berjalan di bawah gerimis yang sangat tipis, kami harus berjalan pelan-pelan, karena jalanannya tidak semua beralaskan batu, lebih banyak tanah licin. Dinar menuntunku ketika melewati jalan kecil yang menurun menuju sebuah rumah yang terbuat dari perpaduan antara tembok dan kayu. Lampu terasnya sudah menyala, karena hari sudah hampir senja dan mendung. Jadi suasana memang agak sedikit gelap. Dinar mengucap salam dan mengetuk pintu rumah itu. Teras depannya terdapat kursi kayu dengan meja bulat di tengahnya dan lampu gantung sederhana di atasnya.

Seorang wanita setengah baya, kira-kira berumur 50 tahunan, keluar dan menjawab salam Dinar, kemudian memeluknya. "Waalaikumsalam" jawabnya.

Wanita itu melihat ke arahku. "Ini teman Dinar, Bi. Namanya Gadis" kata Dinarmenunjuk padaku.

Aku menghampiri wanita yang merupakan Bibi Dinar itu dan menyalami tangannya. "Assalamualaikum Bi..."

"Waalaikumsalam, ayo masuk...kalian hujan-hujanan?"

Kami masuk ke dalam rumah itu dan menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan Bibi Dinar itu, seputar perjalanan sampai ke rumahnya. Dinar menceritakan pertemuannya denganku di masjid tadi, Bibi Dinar memandangku dengan iba.

"Maaf kalau saya merepotkan, kalau Bibi keberatan saya menginap di sini, saya akan---"

"Eh, tidak-tidak! Kamu di sini saja, hari mulai gelap. Dan perempuan secantik kamu tidak aman berada di luar sana malam hari" katanya.

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Malam ini aku selamat, aku bertemu orang baik yang bersedia menolong orang asing dan memberi makan. Aku tidur nyenyak bersama Dinar di kamarnya. Pamannya seorang ketua RT di kampung sini, jadi aku tidak perlu melapor lagi untuk menginap di rumahnya. Dinar rutin mengunjungi Paman dan Bibinya seminggu sekali, karena mereka hanya tinggal berdua saja.

"Ini, pakai baju saya saja, sayang baju bagusmu itu untuk tidur" ujar Dinar seraya mengangsurkan pakaiannya padaku. Aku menerimanya dengan mengucapkan "terima kasih." Aku mengganti bajuku setelah Dinar keluar kamar. Sudah pukul 9 malam, mungkin saat ini Bu Ami dan Bu Ati sedang panik menantiku pulang. Ya Allah, kenapa aku tega sekali membuat mereka khawatir. Dinar mengetuk pintu lagi dan kupersilakan masuk, karena aku sudah selesai berganti pakaian.

Kemudian aku memberanikan diri meminjam ponselnya untuk menghubungi ibu angkatku. Dinar memberikan ponselnya, "Pakai saja, setidaknya supaya ibu Mbak Gadis tidak cemas"

Aku mengangguk setuju, "Iya...terima kasih lagi Mbak Dinar"

"Sepertinya umur saya dan Mbak Gadis enggak jauh deh, gimana kalau kita saling memanggil nama saja, tidak usah pakai mbak-mbak segala?" katanya sambil merapikan bantal di tempat tidur, "lagi pula sepertinya kamu masih sekolah ya?"

Aku tersenyum, mungkin dia akan terkejut kalau aku bilang sudah menikah, pernah menikah maksudku. "Saya baru mau lulus SMA..."

"Tuh kan, kita hanya terpaut satu tahun aja kok, saya kuliah, mau tingkat dua. Saya panggil Gadis aja ya?"

Aku mengangguk senang, "Iya Mbak Dinar"

"Ih, kamu juga panggil saya Dinar aja" cetusnya, "ya sudah sana, telepon Ibu kamu dulu"

Aku mencoba mengingat-ingat nomor ponsel Bu Ami. Tapi jawabannya nomor yang dituju salah. Aduh, bagaimana ini? Setelah mencoba tiga sampai empat kali nomor yang kuingat, dan tidak ada satupun yang tersambung. Aku mengembalikan ponselnya pada Dinar.

"Saya tidak dengar kamu bicara sama Ibu kamu, Dis?"

Aku menggeleng lesu sambil ikut berbaring di tempat tidur, "Saya tidak ingat nomornya, Mbak" sahutku merasa tidak enak, nomor ponsel ibu sendiri tidak bisa mengingatnya. Justru yang aku ingat adalah nomor ponsel Alghaz. Tapi tidak mungkin aku meneleponnya, kan? Jantungku berdebar hanya karena mengingatnya saja. Apa yang sedang Alghaz lakukan sekarang ya? Apa dia mencemaskanku, apa dia mencariku? Ingin tahu aku ada di mana? Atau ia bahkan tidak perduli lagi anak dari pembunuh orang tuanya ini mau hidup atau mati?

Selamat tidur Alghaz.

*****


Ekh...nulisnya jadi geregetan sendiri..haha..tapi udah 1000 lebih words jadi harus stop...😁

Yang masih di kepala buat next chapter aja😥 kalo gak keburu ngilang😮

Makasih Vote dan Komennya ya darlings kuh!😚

Alhamdulillah Rank nya LTY naik lagi nih...yang baca juga pelan2 nambah...walo pelaaaaan bingits...tapi tak apah...tetep cemungud kok!

Karena daku tayang Alghaz...😗

Continue Reading

You'll Also Like

491K 41.9K 43
#81 in Romance 31/03/2018 #88 in Romance 28/03/2018 #96 in Romance 25/03/2018 Luna. Wanita berusia 29 tahun, telah gagal menikah. Pernikahannya bera...
809K 12.3K 21
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.2M 52.3K 24
Quality: Raw Rate:21+ Status: 27 to 27 Started: 01 September 2016 End: 25 Desember 2016 Bagaimana jika rencana pernikahan yang sempurna, ga...
441K 27.5K 30
Status: on-going Rate: 21+ Quality: Raw Starts: February 14th, 2017 End: - *a Sequel of Wedding Breakers Bagi Eleonora, meni...