I Feel The Love (Playstore)

By dianjesika

1.9M 117K 4K

Sudah dipindahkan ke Dreame. Novel dewasa. Sebelumnya, Devika merasa hidupnya sangat bahagia dan sempurna. Di... More

Prolog
Bagian - 1
Bagian - 2
Bagian - 3
Bagian - 4
Bagian - 5
Bagian - 6
Bagian - 7
Bagian - 8
Bagian - 9
Bagian - 10
Bagian - 11
Bagian - 12
Bagian - 13
Bagian - 14
Bagian - 15
Bagian-16
Bagian - 17
Bagian - 18
Bagian - 19
Bagian - 20
Bagian - 21
Bagian - 23
Bagian - 24
Bagian - 25
Coba Tilik Bentar, boleh?
Bagian - 26
Bagian - 27
Bagian - 28
Bagian - 29
Bagian - 30
Bagian - 31
Bagian - 32
Epilog
Open PO
E-Book

Bagian - 22

57.5K 3.9K 145
By dianjesika


"Pulang naik apa, Devika?" Reno menghampiri Devika yang sedang merapikan meja dan peralatannya. Waktu sudah menunjukan jam pulang kantor.

"Ada yang jemput, Pak."

"Pacar, ya?"

Devika hanya tersenyum sebagai jawaban. Biarlah Reno yang menebak sendiri. Biasanya diam pertanda Iya, kan.

"Yah, saya kira kamu masih sendiri." Reno tak menyembunyikan raut kecewanya.

"Maksud, Bapak?"

"Tidak ada. Sudah lupakan saja. Ayo ke luar bersama."

Devika masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reno, tapi perempuan itu tak memperpanjangnya. Mereka keluar bersama menyusuri lorong menuju lobi.

''Yang mana pacar kamu?" Reno bertanya, sedikit penasaran dengan kekasih wanita yang ditaksirnya.

Devika sudah akan menjawab sebelum kemudian sebuah mobil mewah bewarna hitam berhenti di depan mereka, ia mengenali mobil itu. Milik Fabian.

"Saya duluan ya, Pak." Devika berujar. Kakinya yang tidak terlalu jenjang menapak di aspal sedikit cepat, dalam hati merutuki rasa antusiasnya yang berlebihan untuk bertemu dengan Fabian.

Reno tersenyum mengerti. Ternyata kekasih Devika bukan pria sembarangan, lihat saja mobil mewahnya. Harganya pasti milyaran rupiah. Ia merasa dirinya masih tidak sepadan. Devika memang wanita yang cantik, luar biasa memikat malah. Dari sikapnya yang ramah, senyumannya yang lembut dan..lekuk tubuh yang memikat. Tak salah bila banyak pria bertekuk lutut padanya. Ia menghela napas, kelihatannya ia harus menata hatinya yang hari ini sempat berharap pada Devika.

Devika masuk ke kursi belakang setelah sebelumnya membuka pintu depan dan menemukan supir Fabian di sana.

"Hai," bisik Devika seraya tersenyum. Ia memajukan kepalanya, ingin memberi Fabian kecupan singkat namun urung saat menyadari keberadaan supir yang sedang mengemudi.

Bila Devika peduli, Fabian sama sekali tak peduli. "Jangan melihat ke belakang!!" Perintahnya pada sang supir. Pria itu kemudian memegang tengkuk Devika lalu mencium wanitanya itu. Rasanya sangat tepat menyebut Devika sebagai wanitanya.

Rasa bibir Devika sangat manis, bak madu yang melumuri lidahnya. Ia selalu hilang kendali jika sudah mencicipi rasa nikmat di daging kenyal milik perempuan ini. Bibirnya tipis dan memabukkan. Tepat seperti yang diinginkannya.

Fabian melumat bibir bawah dan atas Devika secara bergantian, setengah mati Devika menahan desahannya agar tak keluar. Matanya terpejam, dengan kedua tangan menyentuh dada bidang Fabian, ia terbuai akan kenikmatan lumatan bibir pria itu.

Fabian menekan tombol , kaca hitam sebagai pembatas kursi depan dan belakang naik perlahan. Sedikit terlalu terburu-buru ia membawa Devika kepangkuannya.

Karena tak ada lagi yg bisa melihat keintiman mereka, Devika tak lagi menahan desahannya. Ia melenguh dengan suara serak yang semakin membuat Fabian menggila.

Fabian menarik diri, ia tersenyum puas melihat bibir Devika yang sedikit bengkak. Dengan lembut jarinya mengusap bibir itu. ''Sumber canduku," gumamnya pelan.

Devika membuka mata, wajahnya memerah karena gairah barusan. Kedua tangannya melingkar di leher Fabian. Ia menjatuhkan kepalanya kebdada Fabian, menikmati bau harum pria itu yang akhir-akhir ini menjadi bau favoritnya. Fabian mengusap rambut Devika, pria itu mengecup puncak kepala Devika kemudian menurunkan kaca pembatas.

"Langsung pulang, Tuan?" Supirnya bertanya.

''Hotel Mutiara, Pak." Jawab Fabian.

"Ngapain?" Devika menatap Fabian dengan sorot bertanya.

***

Mereka memesan satu kamar di Hotel mutiara. Meski hatinya masih bertanya-tanya tapi Devika tetap mengekor di samping Fabian.

"Ngapain kita nginap di sini?"

"Kita tidak menginap."

"Lalu kenapa kau memesan kamar?''

"Hanya untuk beberapa jam."

''Yah tapi buat apa?"

Fabian berjalan cepat ke depan Devika. Pria itu membawa tangan Devika pada bagian tubuhnya yang mengeras dan sakit kemudian berkata dengan suara seraknya yang seksi. "Untuk ini."

"Ya ampun, Fabian." Ia terhenyak kaget.

"Kita tidak mungkin melakukannya di mobilku, ada supir."

"Kita kan bisa melakukannya di apartemenmu, tidak mesti di sini."

''Sialan. Aku sudah tidak tahan lagi. Tiga hari aku menahan gairah, dan sekarang aku tak bisa menunggu lagi." Ia mencium mulut Devika dengan buas dan bergairah. Dilumatnya bibir mungil itu secara penuh. Tangannya tak diam saja, membuka kancing-kancing kemeja Devika. Setelah kemeja Devika tanggal, disusul dengan branya kemudian. Kini Devika sudah telanjang dada.

Sementara ciuman mereka tetap berlangsung, tangan Fabian meremas payudara Devika. Memilin puting merah mudanya hingga lenguhan lolos dari bibir wanita itu.

Mulut Fabian bergerak ke bawah, melingkupi puncak payudara Devika yang menegang. Wanita itu meremas rambut Fabian tatkala pria itu terus mengulum putingnya.

"Aauughh," desis Devika kesakitan. ''Jangan digigit."

"Maaf," ujar Fabian tidak jelas di sela-sela mengisap puting Devika.

Fabian membawa Devika ke atas ranjang dan meletakkannya dengan pelan. Devika akan membuka roknya namun Fabian melarang.

"Kita akan melakukannya dengan kau tetap memakai rokmu."

Devika menurut, matanya sayu akibat gairahnya sendiri. Fabian membuka kemejanya dengan cepat begitu pun dengan celananya. Setelah benar-benar polos ia naik ke atas tempat tidur. Menindih Devika di bawahnya."

Bibir Fabian kembali mencium bibir Devika, melumatnya dengan intens. Devika sendiri berusaha mengimbangi Fabian. Dikalungkannya kedua tangan ke leher Fabian, mencecap apa pun yang diberikan pria itu padanya.

Fabian menaikkan rok Devika hingga pinggang. Menarik celana dalamnya ke satu sisi, kemudian...

"Eeengghh, aaahh," Devika mendesah merasakan benda tumpul yang keras memasukinya. Fabian menggeram, menenggelamkan kepalanya di rambut Devika lalu pinggulnya perlahan bergerak.

"Sial," ia mengumpat pelan seraya menghunjam. "Sialan nikmat." Umpatnya lagi.

Devika melebarkan pahanya saat tusukkan kejantanan Fabian kian kasar dan menuntut. Antara nyeri dan nikmat berpadu menjadi satu membentuk satu rasa yang luar biasa.

Payudara Devika kembali dihisap, Fabian menyentuh setiap lapisan kulitnya. Desahan dan erangan menjadi musik diantara pergumulan panas mereka.

Ketika puncak kenikmatannya tiba, Devika mengerang hebat dengan tubuh yang bergetar. Fabian menyusul kemudian, bibir pria itu memanggil nama Devika dengan keras.

"Kau milikku," kata Fabian dengan suara serak, wajah pria itu menunjukkan wajah seorang pria yang puas. "Katakan! Katakan kau milikku." tuntutnya lagi.

"Aku milikmu, Fabian." Lirih Devika, jemarinya menyentuh rahang Fabian yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. ''Selalu milikmu."

Fabian tersenyum lebar, dengan lembut dikecupnya bibir Devika. Miliknya yang masih berada didalam kelembutan Devika, mengeras kembali.

''Lagi," ucap Devika tidak percaya.

Fabian hanya tertawa. "Ya, lagi."

Detik berikutnya mereka kembali memadu kasih. Kali ini Fabian melakukannya dengan lebih lembut dan memperlihatkan perasaannya pada wanita itu.

***

Keesokan harinya, hujan gerimis turun ketika Devika pulang dari kantor. Perempuan itu berdiri di lobi, menunggu hujan reda. Tadi ia tidak membawa payung. Dalam hati Devika mengingatkan diri supaya besok ia memasukkan payung ke dalam tasnya. Di bulan-bulan seperti ini Jakarta memang sering hujan.

Hari ini Fabian tidak menjemputnya karena ada pertemuan dengan klien. Ketika Fabian menawarkan supirnya yang menjemput, Devika menolak. Dirinya bisa naik taxi, bukan masalah baginya.

"Lagi menunggu pacar kamu, ya?" Reno datang, berdiri di sampingnya. Ia menatap ke depan, mungkin melihat hujan mungkin juga melihat orang-orang yang berlari kecil menghindari gerimis.

Devika tak salah jika mengatakan pria di sampingnya ini tampan. Reno memang tampan. Pria itu tinggi, meski tak setinggi Fabian. Rahangnya kokoh dan matanya seperti tertawa. Kalau Fabian memiliki kulit yang coklat, pria yang satu ini berkulit putih bersih. Secara keseluruhan, Reno lelaki idaman. Jika tak mengingat Fabian, Devika kira dia pasti akan jatuh hati padanya, atau setidaknya tertarik.

"Bukan," katanya, ikut menatap ke depan setelah membalas senyum pria itu. ''Lagi menunggu taxi, Pak.''

"Pulang denganku saja, Dev. Aku tidak keberatan mengantarmu." Memang itu maumu, Reno. Ejek batinnya. Reno memang tampan tapi sedikit terlalu berlebihan menurut Devika.

"Oh, tidak perlu Pak! Bentar lagi taxinya nyampe kok, aku sudah pesan."

Beberapa saat kemudian taxinya datang. "Aku duluan, ya Pak." Devika tersenyum kepada Reno, yang dibalas pria itu dengan anggukan dan bibir terangkat sedikit.

Sore ini Devika berencana belanja bahan makanan, ia akan memasak dulu di apartemen Fabian. Mungkin mereka akan bercinta sekali. Lalu makan malam bersama, baru kemudian ia akan pulang.

Devika sudah mencatat di buku kecilnya apa-apa saja yang ingin ia beli. Bukan masakan berat sebenarnya, hanya ayam sambal kecap dan sup. Belakangan ini ia sering mencari menu-menu masakan dan mempelajarinya sendiri di rumah. Untuk kedua masakan tadi, ia sepertinya sudah cukup percaya diri untuk mempersembahkannya pada Fabian.

Semalam ayahnya masih menyinggung soal rencananya. Dengan tegas Devika menolak mentah-mentah rencana itu. Devika tak habis pikir apa yang membuat ayahnya bisa mempunyai rencana gila seperti itu. Harus diakuinya Fabian sudah cukup baik pada mereka.

Mengenai Fabian yang memerawaninya, pria itu tak pernah kasar padanya. Bahkan mereka melakukannya atas dasar suka-sama suka. Ia menerimanya karena ia pun menginginkan Fabian.

Tanpa sadar ia menghela napas, ia berharap ayahnya akan segera sadar dan membatalkan niatnya yang tidak baik terhadap Fabian.

Taxi berhenti di lampu merah. Devika memandang hujan yang masih turun lewat kaca taxi yang tertutup. Matanya sudah akan menoleh ke arah lain, namun satu objek membuatnya kembali menoleh ke arah yang sama.

Jarak mobil itu sedikit di belakangnya. Warna hitam yang sangat dikenalinya. Juga berhenti karena lampu merah. Kaca mobil itu terbuka, sehingga Devika bisa melihat Fabian di sana. Sedang merokok, sebelah tangannya memegang kemudi sementara tangannya yang lain memegang rokok. Bibir pria itu mengucapkan sesuatu. Berarti Fabian tak sendiri di dalam sana.

Entah apa yang membuatnya merasakan perasaan tidak enak saat ini. Ketika lampu berubah hijau, ia menahan supir supaya bertahan sebentar.

"Tunggu mobil yang belakang lewat dulu, pak." Devika menatap lekat kepada mobil Fabian. Mobil itu perlahan maju dan terlihatlah siapa yang berada di sebelah pria itu.

Tidak tertanggung sakitnya, betapa sesak dadanya melihat pemandangan yang baru saja berlalu di depan matanya.

Monica tertawa begitu lebar di dalam sana. Devika tidak tahu penyebabnya dan sudah jelas tak ingin tahu. Cukup ia tahu kalau Fabian telah berbohong padanya.

"Jalan, pak," nada suara Devika serak, menahan air mata. Kenapa selalu seperti ini? Batinnya mengerang pilu. Tak terbendung lagi, airmata akhirnya jatuh membasahi pipinya.

***

Devika sebenarnya tidak ingin datang ke apartemen Fabian setelah kejadian tadi. Tapi ia menguatkan hatinya agar tak mudah hancur karena pria itu. Melihat Fabian berbohong di depan matanya, hati Devika seperti ditusuk dengan pedang yang tajam. Perih. Namun betapa pun sakitnya yang kini ia derita, ia masih ingin mendengar penjelasan pria itu.

Dengan langkah pasti ia naik ke apartemen Fabian.

***

"Cari tahu lebih banyak tentang pria tua bangka itu," Fabian bergumam dengan  nada tajam pada seseorang di sebrang telepon. "Aku tidak akan memecat siapa pun, tangan kananku bisa mengawasinya."

Fabian tiba beberapa menit yang lalu. Saat tak menemukan Devika di sana, ia masuk ke ruang kerjanya dan menghubungi orang suruhannya yang memata-matai Adam, ayah Devika.

"Jangan biarkan satu hal pun terlewat, sekecil apa pun harus kau kejar. Mengerti?"

Fabian baru saja mematikan telepon saat terdengar pintu dibuka dengan kasar. Ia sudah hampir mengumpat karena mengira itu tangan kanannya yang tadi berada di sana untuk mengantarkan berkas yang dimintanya.

Devika yang berdiri sangar dengan mata melotot membungkam kata-kata kotornya. Alis pria itu melengkung, merasa ada yang salah pada wanita cantiknya itu.

"Kau baik-baik saja?" Fabian berdiri dari kursinya. Meskipun Devika yang seperti ini--rambut berantakan, kemeja ketat yang tak lagi rapi dan rok pensil selutut serta raut murka di wajah perempuan itu-- terlihat luar biasa seksi, ia tetap merasa khawatir pada Devika.

"Matamu," Fabian mengulurkan tangan hendak menyentuh mata Devika yang memerah karena menangis daritadi.

"Jangan sentuh aku," desis Devika galak. Ia menepis tangan Fabian dengan kasar. "Dasar kau pembohong!"

"Apa yang kau bicarakan?"

"Kau bilang bertemu klien, tapi apa? Hah?"

"Aku memang bertemu klien.".

"Siapa nama klienmu itu?"

"Kukatakan pun kau tidak mengenalnya."

"Oh, ya!! Aku tau siapa yang kau temui, yang kau bilang klien itu. Monica, kan?"

"Apa-apaan..."

"Aku melihat kalian. Di mobil berdua. Wanita itu tertawa, kau juga tersenyum." Suara Devika kian serak, airmatanya kembali jatuh. "Tak cukup kah aku untukmu?"

"Aku sudah sering mengatakan padamu jangan berlebihan, Devika." Fabian berbicara dengan nada suara yang terkendali, pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Devika. "Aku tidak suka tidak dipercayai! Saat kukatakan aku tidak memiliki hubungan apa pun dengan Monica, itulah kebenarannya."

"Kau----"

"Tidak ada untungnya bagiku berbohong padamu! Jika aku lebih memilih Monica aku pasti sudah meninggalkanmu. Sebaiknya kau berhenti dengan kecurigaanmu itu."

Airmata Devika sudah tak turun lagi. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, jemarinya memilin ujung kemejanya. "Lalu kenapa---?"

"Kenapa Monica bisa ada di mobilku?"

Devika mengangguk. Fabian menghela napas dengan keras.

"Kami bertemu di restoran tempatku bertemu dengan Klienku. Dia tidak bawa mobil. Di luar hujan dan dia minta tolong menumpang di mobilku. Menurutmu aku akan menolak? Monica anak dari sahabat ayahku, lagi pula itu hanya pertemuan tak disengaja. Kau dan sikap curigamu membuatku kesal."

"Kau kesal padaku karena cemburu?" Devika kembali berkaca-kaca, diusapnya matanya dengan tangan. "Baiklah! Lebih baik aku pergi saja."

"Ya Tuhan," Fabian mengerang tertahan. "Sebenarnya berapa usiamu? Kau seperti anak-anak saja."

"AKU CEMBURU KARENA AKU MENCINTAIMU! TAPI SEPERTINYA ITU TAK ADA ARTINYA UNTUKMU." Devika berteriak dengan kencang sampai dadanya naik turun akibat emosi.

Dalam hitungan detik Fabian sudah memeluknya, mengecup puncak kepala perempuan itu dengan sayang. "Maaf," bisiknya.

Devika tak menolak pelukan Fabian. Ia malah membalas pelukan pria itu dengan sama eratnya.

"Fabian---"

"Sssttt! Dengarkan aku.'' Fabian menjeda kalimatnya, ia mengusap rambut Devika. "Aku. Mencintaimu, Devika."

Devika terkejut, ia menarik kepalanya tapi Fabian semakin menenggelamkan pada dadanya. "Aku mencintaimu. Aku milikku! Tidak ada perempuan lain yang kuinginkan selain kau. Cukup jelas untukmu?"

"Fabian---"

Lagi-lagi kalimatnya dipotong. "Untuk kedepannya aku tidak ingin melihat kau seperti itu. Devika, pekerjaanku sudah cukup banyak tanpa harus menjelaskan hal-hal tidak penting seperti ini."

Kali ini Devika berhasil menarik kepalanya, ia mendongak. "Kau mencintaiku?"

"Aku yakin ini bukan kali pertama aku mengatakan aku mencintaimu."

"Kau serius?"

"Aku belum pernah seserius ini selama hidupku."





Tbc...

Continue Reading

You'll Also Like

932K 71.3K 55
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
2.3M 12.7K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
583K 39.8K 47
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
759K 76.8K 35
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...