PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Spearmint
Oleander
Sweet Pea
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Love-lies-bleeding
Chrysanthemum
Rose Leaf
Daffodil
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Dandelion
Lily of the Valley
Epilog

Zinnia

2K 138 6
By norsamora

Zinnia, khususnya yang berwarna kuning, memiliki arti kenangan setiap hari. Suka dan duka yang kita lewati adalah bagian kecil dari alur klasik yang diciptakanNya. Namun, tak kupungkiri kehadiranmu adalah berkah yang luar biasa, laksana mukjizat terindah yang pernah ada. Aku yakin, Tuhan menunjukkan rasa cintanya padaku dengan cara mengirim dirimu ke dalam hidupku.

***

AUTHOR’s POV

“Lily turut senang mendengarnya, Kak.” Lily tersenyum mendengar cerita Hujan tentang kebahagiaan luar biasa yang ia rasakan selama ini. Senyum paling tulus yang pernah Lily berikan untuk orang lain. Hujan harus bangga melihat fenomena selangka double rainbow itu.

“Kadang, aku berpikir apa jadinya semisal aku dulu tidak SKSD mendatangimu dan memberimu bunga lili di Rumah Sakit.” Hujan meraih tangan Lily yang ada diatas meja dan menggenggamnya. “Ini memang agak menggelikan, tapi kamu membuatku percaya pada takdir, Ly.”

Wajah Lily merah padam. Biasanya dia akan merinding jika mendengar kalimat semacam yang Hujan katakan barusan. Tapi, cara Hujan mengucapkannya justru membuat hati Lily meleleh seperti es krim dibawah sinar mentari. Lily mendadak mati gaya dan semakin tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika kedua matanya dikunci oleh hangatnya kedua mata milik Hujan.

“Ekhem!”

Seseorang begitu saja menghancurkan momen mereka berdua. Hujan mendadak bete karna bisa menebak siapa yang mengganggunya hanya dari suara deheman menyebalkan itu. Sedangkan Lily reflek melepaskan genggaman tangan Hujan dan semakin salah tingkah dengan menunduk dalam menutupi wajahnya yang sangat merah sampai merambat ke telinga.

“Jasmine sialan, ngapain lo ada disini?” tanya Hujan penuh penekanan. Ia tanpa ragu menatap Jasmine tidak suka saat gadis itu duduk disebelah Lily yang masih salah tingkah.

“Kalian sendiri ngapain disini? Kencan, ya?” Jasmine merangkul Lily sambil tertawa puas melihat gadis itu tak berkutik. Tidak galak seperti biasanya. “Kebetulan banget ketemu kalian disisni. Gue join sabi kali.”

“J-JASMINE!” Lily mendorong Jasmine dengan kuat hingga nyaris terjatuh dari kursi yang didudukinya. “Ngapain kamu disini, hah?!” Lily menatap Jasmine dengan tajam dan wajah yang masih merona hebat. Lucu sekali bagi Hujan maupun Jasmine.

“ ... Please, jangan bikin gue makin suka sama lo, Ly.” Jasmine mencubit kedua pipi Lily dengan gemas. “Astaga, gue mau punya istri kayak lo!”

“Ngomong apa lo? Lily bakal jadi istri gue, ya, begundal!” Hujan bangkit dari tempatnya dan menarik paksa Jasmine agar menjauh dari Lily. “Lo cari istri yang lain sana.” Ia lalu duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Jasmine. “Orang ini sudah ada yang punya,” lanjutnya sambil merangkul Lily dengan protektif.

Jasmine mencibir Hujan dan sudi tak sudi menempati kursi yang baru saja ditinggalkan oleh lelaki itu. Kemudian, ia memperhatikan Lily yang nampak nyaman didalam perlindungan Hujan dan itu cukup membuatnya patah hati. Sepertinya memang tidak ada kesempatan untuk dirinya memiliki Lily.

“Kali ini gue menang dari lo, Mimi.” Hujan menyeringai penuh kemenangan sehingga menyadarkan Jasmine dari rasa galaunya. “Gak cuma ini, dibalapan selanjutnya gue bakal─eh, gak deng. Gue udah pensiun dari sekarang.”

“Pensiun?” Jasmine membeo tak percaya. “Jangan, dong! Cuma lo lawan yang seimbang sama gue.”

“Gue takut mati sebelum nikah sama Lily.” Hujan mengeratkan rangkulannya dibahu mungil Lily. Ia terkekeh melihat Lily yang semakin salah tingkah saja. Hari itu, Hujan mendapatkan hobi baru, yakni membuat Lily salah tingkah karena dirinya.

“Ingin rasanya gue bunuh lo sekarang, sialan.” Jasmine mendengus kasar.

“Salty banget lo.” Hujan melempar gulungan tisu bekas diatas meja ke wajah Jasmine.

“Brengsek. Mati lo sana!” Jasmine berseru kesal. “Hmpft! Nyebelin banget lo kayak pembalap baru.”

“Pembalap baru? Siapa?” tanya Hujan membuat tampang Jasmine semakin kusut.

“Rose,” jawab Jasmine singkat. “Belagu amat. Semalam dia nantangin gue balapan dan menang. Sekarang gue harus traktir dia makan dan belanja,” lanjut Jasmine curcol.

Hujan tersentak. “Lo dikalahin anak baru?!” setelah itu tawa meledak dan wajah Jasmine lebih kusut lagi melihat kepuasan dari tawa Hujan. “Harga diri seorang Mimi sudah hancur. Udah, bakar saja mobil lo sekarang.”

Jasmine baru saja akan membalas ucapan Hujan namun dering ponsel membuatnya memilih bungkam dan menerima panggilan yang ternyata dari Rose. Jasmine menghela nafas panjang sebelum mengangkat panggilan itu dan melangkah pergi meninggalkan Hujan dan Lily. Bisa mereka berdua lihat Jasmine mencak-mencak meladeni panggilan itu.

Lily melirik lengan Hujan yang mendekapnya hangat lalu beralih pada sebuket Lili putih yang terletak diatas meja. Senyum bahagianya merekah dalam keheningan. Lily maupun Hujan sama-sama menikmati detik demi detik yang berlalu. Untuk sekarang, tidak ada kebahagiaan yang mereka inginkan lagi. Ini saja cukup.

***

LILY’s POV

Hampir setahun semua ini berlalu dan banyak sekali yang telah terjadi. Ini adalah tahun yang tidak biasa untukku maupun mereka.

Aku sudah sepenuhnya menerima Jasmine, Anggi, dan Lia sebagai temanku. Yah, meski kadang aku lebih suka mengasingkan diri daripada menghadapi kebodohan Lia yang suka kumat. Tak hanya itu, Jasmine yang dari awal sudah menyebalkan pun semakin menyebalkan karena selalu curhat tentang gangguan dari gadis bernama Rose yang katanya sangat mengganggu hidupnya. Sepertinya Anggi saja yang ‘normal’ diantara mereka berdua.

“Gue dan segenap hampir semua warga sekolah merasa patah hati dengan keputusan Kak Hujan.” Anggi menjatuhkan kepalanya diatas meja kantin dengan lesu. Matanya menatapku dengan sengit. “Banyak haters lo karena menjadi pasangan Kak Hujan di Prom minggu depan. Gue salah satunya.”

Aku memutar bola mata dengan bosan. Anggi tidak senormal yang kukira ternyata. Mereka bertiga sama saja. Apa sih dosa yang kuperbuat sampai dikelilingi manusia-manusia seperti mereka?

“Gue mau pensiun balapan kalo gini caranya.” Jasmine memasang wajah suram nan menyedihkan. “Tuh cewek beneran deh parasitnya.”

“Siapa, Min?” Lia bertanya polos.

“Siapa lagi yang paling laknat di dunia ini selain Rose, hah?!” Jasmine membanting dompetnya ke meja dengan frustasi. “Gak cuma duit, tapi tenaga dan waktu gue pun terbuang. Scumbag satu itu memang gak ada duanya!”

“Oooh ….” Lia mengangguk antara paham dan tidak. Aku suka heran, kemana Lia yang dulu beraksi oh-so-intellegent? Apa kemarin-kemarin roh pintar tengah merasukinya dan sekarang sudah bosan sehingga meninggalkan dirinya bersama kebodohan lagi? Sayang sekali.

Mengabaikan mereka bertiga, aku mengecek ponselku dan ada notifikasi chat yang masuk dari Kak Hujan. Aku membuka notifikasi tersebut dengan senyum kecil. Isinya adalah ajakan Kak Hujan untuk mengunjungi Nyonya Dwita hari ini.

Keadaan Nyonya Dwita semakin membaik. Beliau hampir dinyatakan sembuh dari penyakitnya. Keluarga Markab pun menjadi keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Tentu saja aku senang dengan hal tersebut. Kak Mira dan Ayah juga terkadang menjenguk Nyonya Dwita dan tidak butuh waktu lama buat Kak Mira akrab dengan beliau.

Lain lagi dengan Kak Rion yang diam-diam memperhatikan anak magang yang membantu menangani Nyonya Markab, Amy namanya. Amy adalah gadis manis dan ceria yang beberapa kali kutemui secara tak sengaja. Auranya hangat dan membuat siapa saja nyaman didekatnya. Aku yakin dia akan menjadi psikiater yang  hebat kelak.

“Lily.”

Aku mendongak cepat mendengar suara familiar yang memanggilku. Kak Hujan berdiri tak jauh dari tempatku dengan senyum yang rasanya bisa membuat dunia damai sejahtera selamanya.

“Kebetulan sekali Kak Hujan ada disini.” Aku melirik ketiga gadis yang juga duduk di meja yang sama denganku. “Bawa Lily menjauh dari mereka semua.”

“Halah! Pacaran mulu lo, Ly.” Anggi memperlihatkan kesaltyannya.

“Lo milih dia banget daripada gue?” Jasmine memasang wajah yang lebih menyedihkan dari sebelumnya. “Gak apa-apa. Gue mah apa ya~”

“Memangnya lo apa?” Lia bertanya dan tak ada yang menghiraukannya. Kasian.

Aku bangkit dari kursiku tanpa memedulikan mereka lagi. Gak akan habis menanggapi mereka bertiga. Lebih baik aku menemani Kak Hujan makan di kantin. Lebih membahagiakan dan sehat buat jiwaku.

Sembari makan siang, Kak Hujan banyak bercerita kepadaku tentang apa saja. Dari hari-harinya di sekolah, Sauzan yang katanya sedang mendekati seorang gadis, sampai modus Kak Rion mendekati Amy yang perlahan mulai bereaksi pada gadis itu. Kak Hujan terlihat lebih sempurna dari sebelumnya, jauh lebih hidup dan berwarna. Aku jatuh cinta lagi dan lagi dibuatnya.

“Li … Lily!”

“Ah, iya?” aku tersentak mendengar Kak Hujan yang memanggilku dengan suara sedikit keras. Menyadarkanku dari lamunan yang kuciptakan di dunia kecilku. “Kenapa, Kak?”

“Ngelamunin apa?”

“Bukan apa-apa,” jawabku menggeleng pelan. “Cepat Kak Hujan habiskan makanannya. Sebentar lagi masukan, loh.” Aku mengingatkan dan Kak Hujan mengangguk kecil.

“By the way, kamu coba lihat meja teman-temanmu sekarang.” Kak Hujan mengendikan dagunya ke sesuatu yang ada di belakangku.

Aku menuruti perkataan Kak Hujan untuk melihat apa yang ada disana. Awalnya, aku sedikit tidak paham dengan apa yang terjadi, namun keganjilan pun kutemukan. Mataku sedikit terbelalak dan kugunakan satu tanganku untuk menutup mulut karena cukup tak percaya dengan pemandangan yang ada disana.

Aku mengembalikan posisi dudukku dan menatap Kak Hujan penuh arti. “Jangan bilang─”

Kak Hujan mengerling dengan maksud yang kumengerti artinya. Ah, sepertinya kita memiliki dugaan yang sama.

Sekali lagi aku melihat pemandangan yang masih sama disana; Sauzan dan Anggi yang nampak akrab sekali dengan satu sama lain.

***

AUTHOR’s POV

Lily menatap pantulan dirinya sendiri dicermin besar yang ada di mini salon rumahnya. Miranda menatap puas dengan hasil karyanya yang merubah Lily menjadi sangat cantik. Rion bahkan sampai terperangah tidak percaya kalau gadis cantik dihadapannya adalah adiknya yang menurutnya adik paling kurang ajar dan beringas sedunia.

Penampilan Lily tidak berlebihan tapi sangat manis. Ia mengenakan dress berwarna putih gading diatas lutut bermotif floral yang dipadukan dengan make up natural dan rambut yang diikat setengah. Untuk sepatu ia mengenakan stiletto berwarna hitam navy blue yang senada dengan tas kecilnya.

“Gimana, Yon? Kamu sampai pangling, ‘kan?” Miranda semakin besar kepala melihat reaksi Rion yang berniat melaporkan bahwa Hujan sudah datang menjemput.

“Gue akuin Lily jadi sedikit lebih cantik,” ucap Rion dengan ekspresi meremehkan. “Oh iya, Hujan udah datang tuh.”

Lily tersenyum gugup. Ia menciptakan gerakan gelisah dan sebulir keringat dingin mengalir dari dahinya. Miranda dan Rion menahan tawa melihat reaksi Lily seperti seorang pengantin yang akan turun ke altar.

“Lo cuma jadi pasangan buat Prom, bukan mau dikawinin, Ly.” Rion menarik tangan Lily untuk keluar dari tempat tersebut diiringi gelak tawa Miranda yang mendengar ucapan Rion barusan.

Lily yang selalu memiliki tenaga untuk meneriaki dan menghajar Rion seketika hanya bisa diam membisu dan pasrah ditarik-tarik. Andai saja Rion tidak peduli dengan riasan Lily, mungkin saja ia sudah mengacak-acak rambut dan menguyel-uyel wajah manis gadis itu. Kapan lagi ia bisa berhadapan dengan Lily yang jinak seperti ini? Jarang sekali!

Hujan yang tengah mengobrol dengan Oliver di ruang tamu pun dibuat terdiam karena melihat salah satu keindahan ciptaan Tuhan yang sekarang ada dihadapannya. Ia tersenyum melihat Lily yang ditarik-tarik Rion untuk mendekat. Persetan dengan Rion, Hujan hanya peduli dengan Lily yang sekarang malu-malu dengan lucunya.

“Jangan pulang kemalaman, ya, Hujan.” Oliver mengingatkan. “Nanti saya laporkan ke Ayahmu.”

“Siap, Om!” Hujan menegakkan tubuhnya dan menghormati Oliver seperti menghormati bendera pada upacara tiap Senin di Sekolah.

Oliver mengangguk sembari tertawa kecil. Ia ikut mengantar Hujan dan putri bungsunya ke muka rumah sampai dua sejoli itu masuk ke dalam mobil dan melesat meninggalkan kediaman Chakradinata.

“Putri kecilku sudah besar,” gumam Oliver pada diri sendiri sebelum masuk kembali ke dalam rumah.

***

Lily tidak nyaman dengan acara Prom kakak kelasnya karena terlalu ramai dan tidak ada yang ia kenal. Ia merasa awkward di tengah acara itu sehingga memilih untuk duduk menyendiri di halaman belakang sekolah. Menikmati angin malam yang berembus lembut membelai rambutnya dan temaram cahaya bulan. Ini jauh lebih baik untuknya.

“Ternyata kamu ada disini.”

Lily yang terbuai menikmati ketenangan malam itu pun membuka kedua matanya dan sosok tegap Hujan telah menghalangi cahaya bulan. Ah, pemandangan yang indah.
    “Maaf, Lily tidak nyaman ada disana.” Lily mengaku dengan sedikit tidak enak.

“Aku juga kurang nyaman dengan acaranya.” Hujan duduk disebelah Lily dan ikut menikmati angin malam yang berembus. “Lebih nyaman disini, ya.”

“Hmmm ... Kak, tadi Lily tidak sengaja menemukan ini.” Lily membuka telapak tangannya dan terlihatlah setangkai semanggi berdaun empat jari. “A-ambilah.”

“Kamu hebat juga bisa tidak sengaja menemukannya,” ucap Hujan menyeringai jahil. “Yakin bukan dicariin buatku nih?”

“L-lily tidak punya waktu mencari beginian!” seru Lily membuang wajahnya dengan angkuh. “Dibuang saja kalau t-tidak suka!”

“Terima kasih, akan kusimpan kok.” Hujan mengambil semanggi tersebut dan menyimpannya di saku jasnya.

“Lily yakin lelaki jenius kayak Kak Hujan sudah tahu arti dari semanggi empat jari.” Lily menatap Hujan yang juga menatapnya. Mata mereka saling mengunci satu sama lain. “Kuliah yang giat dan jangan lupa pulang sesekali.”

"Pasti." Hujan mengangguk. Ia menatap Lily lebih dalam dan tersadar akan sesuatu. Tangannya dengan cepat merogoh saku celananya dan bisa Lily lihat benda yang dikeluarkan oleh Hujan berkilauan dibawah cahaya bulan malam itu. Sebuah kalung dengan liontin bunga lili yang terbuat dari emas putih.

“Kalung itu─”

“Untukmu,” potong Hujan. Hujan berdehem kecil sebelum kembali berucap, “boleh aku pakaikan untukmu?”

“Y-ya,” jawab Lily mengangguk kikuk. Lagi-lagi salah tingkah.

Hujan mendekat untuk memasang kalung itu ke leher Lily. “Jika tiba saatnya, aku akan menggantinya dengan sebuah cincin.”

Hujan menatap Lily lebih intens, dan dengan jarak sedekat itu bisa ia lihat lebih jelas rona merah dan ekspresi malu-malu yang diperlihatkan oleh Lily. Kedua tangan Hujan membingkai wajah gadis itu dan wajahnya kian bergerak menutup jarak.

Lily menutup kedua matanya saat merasakan lembutnya bibir Hujan menyentuh bibirnya. Ciuman yang manis itu tercipta di malam yang cerah. Angin berembus lebih hangat seakan turut berbahagia untuk mereka dan cahaya bulan yang memeluk mereka dengan sinarnya membuat segalanya menjadi lebih sempurna.

Kenangan kembali diciptakan malam itu dan pagi hari masih menunggu dengan sabar.

***

#CATATAN MORA#

HHHHHH bikin adegan romantis memang susah sekali, ya.

Jika adegannya cringe dan gak greget mohon maaf T.T

Apalah Mora yang hopeless romantic ini.

Adakah yang masih ingat dengan Amy yang muncul di dua chapter terakhir di PainFinder? Wkwkwkwkwk.

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 331K 67
Angel's Secret S2⚠️ [cepat, masih lengkap bro] "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Ang...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
ZiAron [END] By ✧

Teen Fiction

7.8M 734K 69
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. TERIMAKASIH] _________________________________________________ (16+) Hanya kisah kedua pasang...