PainHealer

By norsamora

84.6K 4.4K 191

[15+] PAIN SERIES #4 Aku hanya ingin membuat seseorang tersenyum tanpa membuat orang lain menangis. . . . Aku... More

Prolog
Betony
Camellia
Flax
Hyacinth
Forget-Me-Not
Spearmint
Oleander
Sweet Pea
Fig
Gillyflower
Hydrangea
Rosemary
Mistletoe
Snowdrop
Love-lies-bleeding
Chrysanthemum
Rose Leaf
Daffodil
Love-in-a-mist
Sweet William
Iris
Zinnia
Lily of the Valley
Epilog

Dandelion

1.8K 152 15
By norsamora

Dandelion memiliki arti Keinginan yang Terkabul. Aku menuliskan semua keinginanku sembari menunggu bintang jatuh malam ini. Ada banyak sekali, mungkin aku butuh semua bintang yang ada di langit. Tapi, seketika segalanya berbeda dengan kedatanganmu laksana malaikat. Bersamamu, aku tidak perlu lagi menunggu bintang jatuh.

***

AUTHOR’s POV

“Kiamat! Sebentar lagi akan kiamat!!”

“Rumah ini mulai dihuni hantu!”

“Ini pasti mimpi, ‘kan?!”

“Tidak mungkin ….”

“Siapa yang membuat makan malam kemarin?! Cepat panggil dan tanyakan apa yang ia masukkan ke dalam makanan dua Tuan Muda kita!”

Kira-kira begitulah bisik-bisik para pengurus kediaman Markab yang sebenarnya tidak bisa dibilang bisikan. Sangat berisik sampai Hujan dan Sauzan yang sedang sarapan sambil bercengkrama santai bisa mendengarnya. Mereka terlihat seperti dua bersaudara yang baik-baik saja, seakan tidak pernah hampir saling membunuh satu sama lain.

“Masakan lo enak juga.” Hujan memuji nasi goreng buatan Sauzan yang disantapnya. “Lo bakat jadi istri yang baik.”

“Wow, makasih banyak atas pujiannya, ya, Tuan Hujan.” Sauzan memutar bola matanya setelah menjawab dengan nada yang sarkastik. “Lain kali gue bikinin lebih enak dengan tambahan racun terbaik.”

“Sama-sama, Nona Sauzan. Ah, racun terbaik? Gue gak sabar menantikannya.” Hujan tersenyum manis.

Sauzan tidak menanggapinya, ia memilih kembali memakan nasi gorengnya. Keningnya lagi-lagi berkerut samar mendengar kehebohan para pembantu dirumahnya. Memang sih, pemandangan dimana Sauzan dan Hujan akrab seperti ini pastilah baru pertama kalinya mereka lihat.

“Zan, boleh gue tanya sesuatu?”

“Apa?”

Hujan menaruh sendok dan garpu ditangannya ke piring yang sudah bersih dari nasi goreng. Ia terlihat sedikit ragu untuk bersuara. “Lo gak ada rasa sama Lily, ‘kan?”

“Kenapa?” Sauzan mulai melirik Hujan.

“Gue sangat suka dengannya,” jawab Hujan kali ini tanpa ragu.

“Hmmm … gimana, ya?” Sauzan mengusap dagunya. “Gue tuh benci dia.”

“Syukurl─”

“Iya, benar-benar cinta.” Sauzan memotong ucapan Hujan seenak jidatnya.

Hujan melotot kaget. “Lo serius─”

“Bercanda kok.” Sauzan tertawa mengejek. “Lo harusnya lihat tuh muka jelek banget. Tenang, gue gak bakal ganggu lo.”

Hujan tersenyum lega sembari tertawa kecil. “Gak lucu, brengsek.”

Sauzan menyeringai tipis. “Tapi, kalau ada celah sedikit saja, gue bakal rebut Lily dari lo, loh~” ia lalu bangkit dari tempatnya dan kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk menjenguk Nyonya Dwita hari ini.

“Itu tidak akan terjadi!” seru Hujan sedikit berteriak.

Dan, kehebohan para pengurus rumah Markab semakin menjadi. Mereka semakin dikejutkan dan dibuat penasaran oleh sosok yang mereka yakini penyebab utama dari akurnya dua saudara yang dari kecil tidak pernah akrab; Lily.

***

“Lily itu hebat, ya?” Hujan memetik bunga lili putih di Rumah Kaca milik keluarganya. “Dia mampu menjadi pahlawan tanpa menjadikan yang lainnya penjahat.”

“Random banget sih lo,” timpal Sauzan yang matanya sibuk mengagumi berbagai bunga yang ada di Rumah Kaca tersebut. “Itu mungkin karena dia pernah berada diposisi orang ‘jahat’.” Sauzan menggerakan dua jari tangannya untuk mengutip kata jahat.

Hujan mengangguk sekali, ia mulai merangkai bunga-bunga yang telah dipetiknya menjadi satu buket yang indah. Sauzan masih belum bosan mengagumi tiap sudut tempat itu. Mereka menciptakan keheningan yang nyaman untuk satu sama lain. Jarang sekali.

“Sudah selesai,” ucap Hujan menarik perhatian Sauzan.

“Lo selalu ngasih Lili putih ke Ibu?” Sauzan cukup terkesima dengan kemampuan Hujan. Ia berpikir Hujan boleh juga menjadi Florist.

“Iya, karena ini bunga yang sangat disukai Ibu. Tapi, kalo gue gak ada waktu, Ayah yang ngasih ke Ibu.”

“Maaf, selama ini gue cuma jadi seorang pengecut,” ucap Sauzan getir.

“Minta maaflah ke Ibu, bukan gue.” Hujan menjitak kepala Sauzan dengan kekuatan kasih sayang.

“WOI!” Sauzan mengusap kepalanya yang terasa nyut-nyutan.

Hujan maupun Sauzan tertawa bersama, mengisi seluruh Rumah Kaca dengan aura hangat yang tak pernah terjadi sebelumnya. Aura yang mampu membuat Ayah mereka─yang tanpa mereka sadari ada disana beberapa saat lalu─terkejut.

“Kalian─” Tuan Arjuna tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia masih tak bisa percaya dengan pemandangan didepannya. Lelaki yang masih tampan diusianya yang menginjak setengah abad itu mendekati kedua putranya yang bersikap sangat tidak biasa saat ini.

“Ayah, maafkan Sauzan selama ini tidak pernah mengunjungi Ibu.” Sauzan sedikit menunduk karena merasa bersalah. “Ayah boleh hajar Sauzan karena sudah durhaka sama Ibu.”

Bukan sebuah pukulan yang didapatkan Sauzan, melainkan tepukan pelan dikepalanya disusul usapan yang sedikit kasar dirambutnya. “Ayah senang kamu akhirnya datang.”

“Ayah …,” gumam Sauzan kembali menegakkan kepalanya. Ia bisa melihat senyum diwajah yang terlihat lelah tapi tetap tampan itu.

“Tunggu apalagi? Jangan membuat Ibu kalian menunggu.” Tuan Arjuna berjalan mendahului kedua putranya. Ada senyum ringan terukir diwajahnya untuk pertama kali entah sejak kapan tepatnya. Yang pasti, Tuan Arjuna merasa ini adalah hari yang baik untuk mereka.

“Ayo, gue udah gak sabar ketemu Ibu kita!” seru Sauzan mencengkram tas berisi tempat bekal yang dibawanya lebih erat. Ia berjalan duluan menyusul Ayah mereka tanpa menunggu Hujan yang terpaku di tempat.

“… Ibu kita, ya?” Hujan merasakan kebahagiaan luar biasa mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka rasanya diterima akan sebahagia ini. Hal yang selalu ia inginkan satu per satu mulai terwujud. Hujan merasa begitu bersyukur merasakan manisnya hidup untuk pertama kali dalam hidupnya.

***

“Ibu …,” Sauzan merasa patah hati sekali melihat keadaan Ibunya. Sangat kacau dan mengiris hati hingga ia meneteskan air mata. “Ibu!” Sauzan berlari mendekat dan memeluk tubuh ringkih wanita yang menatap kosong anak bungsunya itu.

Sauzan masih memeluk erat Ibunya dengan air mata yang tak ada tanda akan berhenti. “Ibu, maafkan Sauzan. Maafkan Sauzan yang tidak─”

“Sau … zan?” lirih Nyonya Dwita memotong ucapan Sauzan.

Perlahan Sauzan melonggarkan pelukannya pada Ibunya yang baru ia sadari tengah memeluk boneka Superman yang menjadi penyebab senyum pahit diwajahnya terukir. Sauzan kembali memperhatikan wanita yang telah melahirkannya itu lebih lekat. Ia merasa dihadapkan oleh orang yang berbeda, meski sudah jelas wanita didepannya adalah orang yang sama, yakni Ibunya.

“Pada akhirnya, boneka ini yang paling setia sama Ibu, ya?” Sauzan tertawa getir. Ia menatap boneka tersebut dengan pandangan yang mengabur karna air mata. “Hujan, gue berani taruhan lo gak mengerti tentang boneka ini.”

“Itu boneka lo, ‘kan? Ibu selalu menjadi tenang ketika memeluk boneka itu.” Hujan menjawab sekenanya.

“Bukan, itu bukan boneka punya gue.” Sauzan menggeleng. Ia menoleh untuk menatap Hujan yang nampak kebingungan. “Itu boneka punya lo.”

“Hah? Tapi, gue sama sekali gak ingat punya boneka itu.”

“Ibu pernah cerita waktu kecil lo dibawa ke rumah bersama dengan boneka itu. Ibu sebenarnya sayang sama lo, hanya saja kenyataan yang dihadapi tidak mudah. Rasa sakit hati Ibu kepada Ayah, penyesalan Ayah yang tidak merubah apapun, dendam yang gue miliki ke lo dan kebencian lo terhadap gue. Tak ada yang berjalan baik di dalam keluarga toxic kita.

Setiap kali Ibu berbuat buruk ke lo, ia akan menyesalinya dalam diam sambil memeluk boneka itu. Awalnya, Ibu tentu saja tidak mau membuka suara tentang apapun mengenai boneka itu. Namun, dengan sedikit paksaan akhirnya Ibu mengatakan semuanya. Lo bisa bayangkan gimana kesalnya gue saat itu, hm?

Satu lagi, lo tahu apa yang bikin gue makin kesal? Segala cara Ibu lakukan untuk menumbuhkan rasa bencinya ke lo itu nyatanya tidak sepenuh hati. Iya, Ibu yang mengutuk lo tiap saat serta tanpa lelah menyatakan betapa beliau tidak mengingikan kehadiran lo di dunia ini gak sepenuhnya benar. Bahkan ketika tahu nama lo adalah Hujan, sesuatu yang tidak disukainya, Ibu mengaku tidak sepenuhnya membenci lo. Tapi, kenyataan beliau juga tidak bisa menerima lo adalah benar.”

Hujan tidak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana. Pikirannya mendadak kosong setelah mendengar semua kebenaran yang baru saja ia ketahui. Boneka yang selama ini bersama Ibu adalah miliknya. Berarti, secara tidak langsung ia seberharga itu untuk Ibunya meskipun ia selalu tidak diinginkan dan hanya menjadi beban hati Ibunya. Hujan berjalan ke sisi kasur Ibunya dan duduk di tepi yang berlawanan dengan Sauzan.

“Dan, begitu juga waktu lo membuat Ibu bangga. Iya, sebenarnya lo selalu membuat beliau bangga dengan semua kelebihan lo. Ibu menyampaikan rasa senangnya dalam diam pula kepada boneka itu. Melalui boneka itulah Ibu menunjukkan rasa sayangnya untuk lo. Aneh, ‘kan?” Sauzan meraih sebelah tangan Ibunya hingga wanita itu menoleh padanya. “Pada akhirnya, Ibu bukanlah wanita yang jahat. Ia hanya terluka dan tak tahu cara menyembuhkannya. Menjahati lo adalah jalan yang Ibu pilih buat keluar dari rasa sakit yang beliau tahu itu salah.”

“Gue tidak pernah memandang Ibu sebagai orang jahat,” ucap Hujan dengan air mata yang entah sejak kapan mengalir dikedua pipinya. Hujan merasa seringan kapas sekarang. Semua ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Hujan takut semua yang terjadi hanyalah bunga tidur yang akan berakhir esok pagi. “Ibu tetaplah Ibu di mata gue. Gue selama ini yakin, sedikit saja Ibu pasti pernah peduli sama gue. Buktinya, jika mau, Ibu bisa membunuh atau menelantarkan gue dari dulu. Tapi, gue masih disini dan rasa sayang gue pada beliau tidak berkurang sedikit pun.”

Hujan meraih sebelah tangan Ibunya yang memeluk boneka Superman tersebut. Ia menggenggam tangan kurus nan pucat Ibunya dengan erat penuh kehangatan. Ia memajukan tubuhnya untuk merengkuh tubuh Ibunya dengan sebelah tangan yang kosong. Dapat ia rasakan tubuh itu sedikit menegang.

Sauzan yang membaca situasi dengan baik pun memberikan ruang untuk Hujan dengan Nyonya Dwita. Ia melepaskan genggaman tangannya pada Nyonya Dwita dan sedikit menjauh dari sisi kasur.

“Terima kasih telah menjadi Ibu yang hebat untuk Hujan.” Hujan memeluk Ibunya penuh kehangatan dan kasih sayang. “Sekarang Hujan mengerti alasan mengapa tidak ada dendam kepada Ibu yang Hujan rasakan. Ternyata Ibu beneran sayang dan peduli dengan Hujan. Hujan bahagia.” Hujan tersenyum dibalik lekuk leher Ibunya. Senyum paling bahagia dalam hidupnya ia ukir diwajahnya. “Sangat amat bahagia. Terima kasih sudah menjadi Ibunya Hujan.”

“Hu … jan.”

Dan, hal yang paling mengejutkan pun terjadi. Tuan Arjuan serta perawat yang selama ini merawat Nyonya Dwita─yang baru datang membawa makan siang untuk Nyonya Dwita─pun dibuat kaget. Sauzan yang tidak tahu-menahu selama ini bahkan merasakan ini adalah suatu pertanda baik. Hujan? Lelaki itu seketika meledakan tangisan seperti anak kecil.

“Hujan disini, Bu. Hujan ada disini.” Hujan berucap dengan suara gemetar diantara tangisannya. Ia semakin memeluk Ibunya dan menangis tanpa tahu kapan berhenti. Rasanya terlalu bahagia sampai Hujan ingin menangis terus-menerus.

Perlahan tapi pasti, kedua tangan Nyonya Dwita yang pucat dan kurus mulai terangkat dan membalas pelukan Hujan. Dengan gerakan kecil tangan itu mengusap punggung lebar Hujan.

Tak peduli Ibunya sadar atau tidak dengan apa yang dilakukannya sekarang, yang pasti Hujan merasa lebih bahagia lagi. Ini adalah pelukan pertama yang diberikan oleh Nyonya Dwita untuknya.

Sauzan tak bisa menahan senyum dan keinginan untuk bergabung dengan Ibu dan saudaranya. Ia mendekat dan mendekap Ibu serta saudara tirinya yang mulai ia terima keberadaannya. Ia merasa ini cukup mustahil. Bagaimana bisa melepaskan kebencian ternyata semenyenangkan ini? Masa lalu yang suram jadi terasa seperti mimpi buruk belaka untuknya.

“Ini kemajuan yang sangat baik,” ucap perawat yang ikut meneteskan air mata karena terharu. “Nyonya Dwita beruntung sekali memiliki anak-anak yang baik seperti mereka.”

“Inilah alasan mengapa saya sangat mencintainya,” gumam Tuan Arjuna memandang kedua anak serta istrinya yang tengah berpelukan. “Dwita adalah rumah untuk saya. Untuk kami. Tak ada tempat untuk pulang selain dirinya.”

“Kalau begitu, kembalilah pulang, Pak Arjuna.” Perawat itu tersenyum tipis melihat Tuan Arjuna yang hanya bisa menatap dari tempatnya sekarang. “Saya tidak begitu paham masalah kalian. Tapi, saya tahu ini waktunya Anda kembali pulang, ‘kan?”

“Apa Dwita masih mau menerima saya? Secara garis besar, ini semua adalah salah saya.” Tuan Arjuna masih terlihat ragu.

“Sebuah rumah akan selalu terbuka untuk pemiliknya,” ucap si Perawat mendorong pelan tubuh Tuan Arjuna. “Pulanglah.”

Tuan Arjuna perlahan melangkah mendekati istri dan kedua anaknya. Ketika ia sudah tepat di depan mereka, Hujan dan Sauzan melonggarkan pelukannya pada Ibu mereka. Perhatian mereka kini beralih pada Tuan Arjuna yang terlihat lebih rapuh dari biasanya.

Tuan Arjuna menatap Hujan dan Sauzan secara bergantian. “Maafkan Ayah untuk segalanya,” ucap Tuan Arjuna getir. Ia lalu beralih kepada istrinya yang terlihat sedikit lebih hidup. “Dwita, maafkan aku. Aku mencintaimu.” Tuan Arjuna mendekap Nyonya Dwita dan mencium kening istrinya itu lembut dan penuh perasaan.

“Mas …,” gumam Nyonya Dwita pelan.

Tuan Arjuna luar biasa bahagia mendengarnya. Ia mendekap istrinya lebih erat lagi dan membisikkan kalimat cinta yang tulus sekali lagi.

Hujan dan Sauzan tersenyum tipis melihat pemandangan didepan mereka.

***

“GUE GAK SALAH DENGAR?!” Rion berteriak dengan heboh sembari mendobrak pintu kamar Lily dengan brutalnya sehingga sang pemilik kamar memekik kecil karna kaget.

“APAAN SIH?!! SENENG BANGET KAK RION HANCURIN PINTU KAMAR LILY!!!” Lily berdiri dan menghadap Rion yang sekarang sudah ada didepannya dengan tampang syok menyebalkan. “PERGI SANA!” usir Lily mendorong kuat dada Rion lalu kembali duduk di depan piano kesayangannya.

“T-tapi, lo sadar aja ‘kan mainin lagu Twinkle-Twinkle Little Star?” Rion dengan paksa menangkup wajah Lily dan meneliti wajah yang memberikan ekspresi terganggu akan kehadirannya. “Lo gak apa-apa? Ini lagu yang paling lo benci, loh!”

Lily menghela nafas lelah. “Kenapa Lily punya Kakak bego banget, Ya Allah.” Lily menjauhkan dengan kasar tangan Rion yang menangkup wajahnya. “Denger ya, Kak Rion yang paling bego sedunia. Lily sudah tidak apa-apa dengan lagu itu.” Lily memperbaiki posisi duduknya, jemarinya yang lentik mulai menekan lembut tuts. “Terlebih lagu ini yang akan selalu membuat Lily ingat dengan Kala. Lily akan terus memainkannya dan mengenang hal baik tentang dirinya.”

Lagu anak-anak tersebut mengalun merdu sekali lagi ke seluruh penjuru kamar besar milik Lily.

***

#CATATAN MORA#

Haihaiii!!!

Telat, ya? Charger laptop Mora rusak dan baru dapat penggantinya HHHHH.

Mora gak suka ngetik di hp karena kurang memuaskan aja gitu. Hehe.

Ga penting ya bacotan Mora.

Intinya, tiga chapter lagi PainHealer akan tamat daaaannnn Pain Series akan selesai!!!

Ah, Mora akan merindukan semua karakter di Pain Series :”)

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

895K 66.6K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
13.5M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2M 328K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...